DRUNK DIALING

By pramyths

233K 36.7K 3.8K

DRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while... More

Prolog
1. Yang Terjadi Sebelum Tragedi Sabtu Dini Hari
2. Satu Alasan Lagi untuk Membenci Hari Senin
3. Yang Tidak Biasa dari yang Biasanya Biasa
4. Fakta Memalukan yang Disimpan dalam Diam
5. Dilarang Main HP Saat Mabuk dan Makan Malam Bersama
6. Satu Orang Disapa Lainnya Bagian dari Udara
7. Menjadi Kesayangan yang Nggak Selalu Disayang-sayang
8. Apakah di CV Tercantum Informasi tentang Makanan Kesukaan?
10. Kunjungan Rumah Sakit dan Cute yang Tak Terduga
11. Sesi Curhat Dadakan dengan Tuan Penghancur Rencana
12. Perbedaan Pergi Bersama yang Kencan dan yang Bukan Kencan
13. Perkara Ingatan dan Inisiatif yang Berujung Salah
14. Makan Malam Keluarga Rasa Ujian Nasional
15. Tiga Pertanyaan yang Biasa Muncul dalam Acara Sidang Keluarga
16. Lihat Baris Chat Itu dan Teruskan Galaumu
17. Hal-Hal yang (Tidak) Perlu Dilakukan dengan Emosi
18. Alasan Mengapa Status Asmara Bos Seharusnya Tercantum dalam SOP
19. Maukah Kamu Jadi Pasanganku dalam Senang Bareng dan Malu Bareng?
20. Menyoal Kenangan Mantan dalam Dua Babak
21. Hadapi Serangan Mantan dengan Maju Ugal-ugalan
22. Perkara Martabak, Apel Pacar, dan Tetangga yang Ngebet Punya Mantu
23. Karena Kita Tidak Sedang Main Belakang

9. Minggu Pagi dan Adegan Drama Korea yang Gagal

9.7K 1.6K 156
By pramyths

Apa yang lebih buruk daripada bertemu Bos di akhir pekan—terlebih jika bosmu terlihat lebih menarik daripada biasanya?

"Keluyuran terooooss!" sindir Bang Eros ketika Irish tengah memakai sepatu kedsnya di teras rumah. Penampilannya sudah rapi dengan celana jeans dan polo shirt berwarna hijau tua.

"Keluyuran apaan? Mau kerja ini!"

"Lembur akhir pekan?"

"Bukan. Ada kerjaan lain, bukan dari kantor."

"Dih, udah kerja monday to friday apa nggak capek?"

"Kalau nggak mau ngasih duit satu miliar mending diam aja."

Bang Eros tergelak. "Makin hari lo makin mirip Papa."

"Ya kan anaknya! Apa lo nggak bingung kalau gue mirip Donald Trump?" protes Irish.

Bang Eros terus saja menyinyiri kegiatan Irish sembari berolahraga ringan di teras. Push up, Scott jump, satu, dua, tiga. Bang Eros baru berhenti ketika ada serombongan ibu-ibu yang mungkin hendak ke tukang sayur lewat depan rumah dan ada tanda-tanda mau mengajak Irish ngobrol. Abangnya yang nomor dua itu seketika kicep dan buru-buru kabur ke dalam. Irish tertawa dalam hati. Bang Eros memang introver tingkat tinggi. Bang Eros nggak takut tikus, kecoak, ular, atau bahkan maling. Namun, Bang Eros paling takut keluar rumah, karena itu artinya dia bisa saja bertemu tetangga dan harus berbasa-basi atau sekadar menyapa. Itu adalah kegiatan yang sangat mengerikan bagi Bang Eros. Lebih mengerikan dari bugs yang bertebaran setelah website dirilis, katanya.

Bisa dibilang, karakter Bang Eros itu berbanding terbalik dengan Irish yang paling suka ngobrol dengan siapa pun. Jika Bang Eros lebih suka ngumpet di rumah dan pura-pura nggak ada, Irish justru uring-uringan jika nggak punya kegiatan dan cuma mondar-mandir di rumah. Jika Bang Eros alergi manusia, Irish justru paling senang bertemu orang. Irish bisa terlibat obrolan panjang dengan tukang cilok yang mangkal di depan rumah. Dia juga bisa langsung akrab dengan kurir yang mengantar galon ke rumah, sehingga saat galon habis, Irish cuma perlu chat pendek "gpl" atau "aus" dan si kurir akan datang membawakan galon sekaligus memasangkannya.

"Berangkat dulu, Baaang!" teriak Irish saat membuka pagar dan mengeluarkan motor dari garasi.

Bang Eros nggak menjawab, mungkin takut ketahuan ada di rumah dan disamperin tetangga. Hanya Bang Eros yang ada di rumah. Bang Aras yang kebagian sif malam belum pulang dan papanya sudah pergi narik taksi pagi-pagi tadi.

Bang Aras sering bilang kalau Irish itu seperti anak kucing usia 4-6 bulan. Lagi aktif-aktifnya dan nggak bisa diam. Anggapan itu nggak salah, karena Irish memang bukan tipe orang yang betah berdiam diri di rumah. Waktu generasi kepala tiga atau nyaris-kepala-tiga ramai-ramai mengeluh soal kekurangan energi hingga hanya mampu rebahan di rumah tiap akhir pekan, Irish nggak kenal kondisi itu. Saat akhir pekan tiba, Irish punya banyak agenda. Mulai dari ketemu teman lama, ikut komunitas atau kursus kilat, memaksa papanya olahraga, sampai kumpul kegiatan lingkungan—mungkin cuma Irish anak muda di kompleknya yang rajin ikut kegiatan lingkungan, sampai akrab dengan ibu-ibu PKK. Intinya, Irish selalu merasa kelebihan energi, dan itu membuatnya gelisah kalau nggak punya sesuatu untuk dilakukan.

Hari ini Irish ada kerja sambilan menjadi barista di acara Car Free Day. Sunday Morning—kedai kopi tempat Irish bekerja sebelum menjadi legal officer sering membuka pop up cafè di acara-acara serupa. Seringnya, mereka membutuhkan tenaga freelance untuk bantu-bantu di sana. Karena performa Irish selama bekerja bagus dan hubungannya terjaga baik meski nggak lagi bekerja di sana, Irish masih sering dihubungi jika mereka butuh barista lepas. Irish, sih, senang-senang saja, karena selain menambah kegiatan, itu juga menambah pundi-pundi penghasilan untuk biaya hidup Betmen yang semakin mahal.

Hari masih sangat pagi ketika Irish sampai di area CFD. Namun pop up cafè Sunday Morning sudah berdiri dengan cantik. Bagus, barista senior Sunday Morning, juga orang yang menghubungi Irish, sudah standy by di belakang coffee bar menyiapkan alat-alatnya.

"Morning, Bang," sapa Irish ceria.

Bagus mendongak. "Oi, Rish. Thank you ya udah datang. Itu apron udah gue siapin."

Irish mengangguk. Dipakainya apron cokelat kulit yang Bagus siapkan. Nggak lupa, dia menyematkan pin nama di apron. Pin itu masih Irish simpan meski nggak lagi bekerja di Sunday Morning lagi. Terbukti, pin itu bisa berguna di saat-saat seperti ini.

"Ini cuma berdua aja, Bang?" tanya Irish.

"Yoi. Hanifah hari ini lamaran. Makanya gue langsung kontak elo, Rish."

Semakin siang semakin ramai pula area CFD. Pengunjung yang datang ke stand Sunday Morning juga banyak, sampai-sampai Bagus menyalakan mesin kasir kedua.

Irish menikmati pekerjaan ini. Orang lain mungkin berpikir Irish kurang kerjaan, atau bisa juga kekurangan uang, karena rela bekerja lepas di akhir pekan saat orang-orang kantoran lain biasanya beristirahat. Namun, Irish punya alasan sendiri. Selain karena dia lebih suka menikmati libur dengan beraktivitas di luar rumah, mengerjakan sesuatu di luar pekerjaan resmi juga jadi hiburan tersendiri bagi Irish. Setelah lima hari berkutat dengan berbagai pasal, perjanjian, dan hal-hal berbau hukum plus birokrasi lainnya, membuat kopi dan berinteraksi dengan pembeli membuat mood-nya kembali full.

Dasar ekstrover sampai dalam tulang, begitu kata Agas yang nggak pernah mengerti kenapa Irish pecicilan tiap akhir pekan.

Yah, setidaknya sampai Irish melihat seseorang di antrean pembeli Sunday Morning yang familier.

(*)

Awalnya Irish nggak yakin dengan apa yang dia lihat, terutama karena jarak mereka cukup jauh, terpisah sekitar enam antrean pembeli. Apalagi pria itu memakai celana pendek selutut berwarna krem, sweter putih, running shoes dan topi. Sebuah style yang sangat-sangat bukan Caraka. Namun, ketika jarak mereka terpangkas hingga tinggal empat orang pembeli, Irish yakin dia nggak salah orang.

Ya, Tuhan, haruskah gue ketemu orang ini di luar kantor juga, keluh Irish dalam hati.

Namun, sekelebat pemikiran muncul di benaknya. Kenapa Caraka ada di sini? Dari sekian lokasi CFD yang ada di kota ini, kenapa Caraka harus ada di sini juga? Sudah berkali-kali Irish membantu pop up café Sunday Morning, baru kali ini dia melihat Caraka. Apa jangan-jangan ... pria itu menguntitnya?

Irish jadi ingat kejadian Kamis malam lalu ketika Caraka menawarkan jemputan setelah Irish lembur. Irish nggak menjawab pesannya, tetapi Caraka benar-benar muncul di kantor nggak lama setelahnya. Meskipun akhirnya Irish bersikeras pulang sendiri—lagi pula, Irish kan bawa motor!—sikap Caraka benar-benar mencurigakan.

Satu orang pembeli di barisan antreannya menyelesaikan transaksi. Irish mulai gelisah, tetapi dia berusaha keras tetap profesional. Dirinya dibayar untuk melayani pembeli dengan maksimal, bukan?

"Kakak lagi pengin yang coffee atau noncoffee?" tanya Irish, kepada pembeli yang bingung menentukan pilihan.

"Yang paling enak apa ya, Mbak?"

Irish tersenyum. "Kakaknya suka yang manis atau lebih suka yang segar-segar?"

Irish merasa sedikit tertolong dengan kegalauan pembeli yang satu ini. Sementara satu per satu antrean di baris Bagus juga berkurang. Dengan hitungan cepat, Irish tahu bahwa Caraka akan berpindah ke antrean Bagus. Hatinya sedikit lega. Improvisasi, Irish bahkan mengajak pembelinya semakin galau dengan menawarkan promo-promo yang sedang berlangsung—yang sebenarnya sudah tertera di mini banner di atas meja bar.

"Berikutnya silakan," ucap Bagus, meminta pembeli berikutnya di baris Irish untuk pindah—dalam hal ini adalah Caraka.

Irish nyaris tersenyum. Sayangnya, dia gembira terlalu cepat. Karena bukannya pindah ke barisan Bagus, Caraka malah mempersilakan antrean di belakangnya untuk pindah sementara dirinya tetap di barisan yang sama, menunggu Irish selesai menyiapkan pesanan pembeli sebelumnya.

Irish gusar. Ingin rasanya dia berlama-lama menyiapkan pesanan agar Caraka berpindah ke barisan lain. Namun, setelah apa yang terjadi, logikanya tahu bahwa Caraka nggak akan melakukan hal itu.

Masalahnya, apa sih tujuan Caraka? Kenapa Caraka terus-terusan beredar di sekitar Irish? Apa ini benar-benar karena telepon saat mabuk itu? Memangnya apa yang sudah Irish katakan sampai bisa mengubah sikap seseorang sampai sedrastis ini? Lalu, apa yang Caraka inginkan dari Irish?

"Selamat pagi," sapa Caraka ketika mereka sudah berhadapan.

Profesional, Ris. Profesional.

Irish tersenyum lebar. "Halo, Pak. Wah, ternyata beneran Pak Caraka. Dari jauh tadi saya agak galau, mirip tapi kok beda."

Kali ini dia nggak bohong. Di luar gedung kantor dan juga pekerjaan, Caraka terlihat lumayan berbeda. Kostum santainya membuat pria itu terlihat lebih muda. Lebih ganteng juga ... hus! Irish buru-buru mengomeli pikirannya sendiri

"Habis olahraga, Pak?"

Mau nggak mau, Irish harus tetap berekspresi ramah. Selain Caraka adalah bosnya, pria itu juga pembeli Sunday Morning yang berhak atas pelayanan yang ramah.

"Iya," jawab Caraka pendek. "Kamu kerja di coffee shop juga?"

"Cuma sambilan aja kok, Pak. Buat hiburan di akhir pekan. Oh, ya, Pak Caraka mau pesan apa?"

Caraka tersenyum. "Hot cappucino dan caramel macchiato with oatmilk. Semuanya less sugar."

Irish menulis detail pesanan di masing-masing cup lalu menginputnya ke sistem. Setelah transaksi pembayaran selesai, Irish meminta agar Caraka menunggu sementara dia mulai menyiapkan pesanan pria itu. Di saat yang sama, pikiran Irish juga sibuk sendiri.

Kenapa Caraka memesan menu favorit Irish? Jangan-jangan ... tunggu! Apakah ini akan seperti salah satu adegan di drama Korea Cheese in the Trap itu? Ada satu adegan di mana Jung—si male lead—membeli dua menu di coffee shop, dan satunya dia berikan kepada Hong Seol—si female lead—yang saat itu merupakan barista yang melayaninya. Ya, Tuhan, nggak bakal kayak gitu, kan? Dulu Irish merasa adegan itu sangat manis, tapi berpikir akan mengalaminya sendiri membuatnya sangat gugup.

Tanpa sadar Irish geleng-geleng kepala. Jika benar Caraka menguntitnya, hal itu harus dihentikan, bukan? Ini nggak boleh diterus-teruskan. Supaya sama-sama jelas, Irish harus bertanya langsung apa tujuan Caraka. Dia nggak bisa menebak-nebak terus, kan? Dan mungkin, justru inilah kesempatan untuk bertanya. Tuhan mempertemukan mereka di luar kantor, supaya Irish punya kesempatan bagus untuk bertanya langsung tanpa disesaki oleh ketidaknyamanan hierarki pekerjaan.

Pesanan Caraka pun siap, bersamaan dengan kemantapan yang muncul di hari Iris. Dihelanya napas panjang, dan kembali menghadap Caraka yang menunggu di balik meja. Dia menaruh kedua minuman itu di atas meja.

"Satu hot cappucino dan caramel macchiato with oatmilk, semuanya less sugar."

Irish menahan napas, ketika Caraka mengulurkan tangan.

"Terima kasih. Yang ini saya pesan bu—"

"Pak Caraka," potong Irish cepat, nyaris menjerit. Kepanikannya melejit. "Bapak punya waktu? Bisa ngobrol sebentar?"

Caraka yang sudah memegang kedua gelas kopi tersebut mengangkat alis. Lalu pria itu tersenyum dan mengangguk. "Tentu," jawabnya pendek.

Irish membuka bibirnya, tapi mendadak otaknya blank. Bagaimana cara mengatakannya?

Di saat yang sama, segerombolan remaja masuk ke stand Sunday Morning, menambah kesibukan di area bar.

Caraka menatap Irish dengan kening berkerut. "Sepertinya kamu yang nggak punya waktu," katanya.

Irish mengangguk lemas. "Yah ... mungkin—"

"Saya bisa tunggu sampai kamu selesai kerja."

Setelah mengatakan itu, Caraka tersenyum lalu berjalan meninggalkan stand Sunday Morning, membawa dua pesanannya. Nggak ada adegan Cheese in the Trap. Nggak ada caramel macchiato with oatmilk yang sengaja dipesan untuknya. Nggak ada momen-momen yang Irish khawatirkan. Malahan, ketika pria itu sudah keluar dari stand Sunday Morning, seorang cewek cantik berambut panjang yang juga berpakaian olahraga menyambutnya. Caraka memberikan caramel macchiato itu kepada si cewek, sementara dia menyesap cappucino miliknya. Keduanya berjalan menjauh dengan beriringan.

Irish ternganga, tidak memercayai adegan yang muncul di hadapannya.

"Banana smoothies satu ya, Mbak."

Pandangan Irish jatuh kepada remaja perempuan di hadapannya. Nggak tahan lagi, Irish berkata, "Maaf, sebentar ya, Kak."

Tanpa menunggu lama, Irish menunduk, bersembunyi di bawah meja bar, lalu meremas rambutnya sendiri dan berteriak tanpa suara serta memaki-maki kebodohannya sendiri. Bisa-bisanya berpikir akan ada adegan drama korea?! Benar-benar memalukan!

(*)

Sememalukan apa pun, itulah kenyataan yang terjadi. Irish harus menerimanya dan melanjutkan hidup dengan baik untuk melayani pembeli demi pembeli yang terus datang

Menjelang zuhur, pengunjung sudah sepi, begitu juga dengan area CFD. Irish mulai membantu Bagus untuk beres-beres. Dia juga sudah mulai bisa melupakan peristiwa memalukan tadi. Dalam pikiran Irish, mustahil Caraka masih menunggunya seperti yang pria itu janjikan tadi. Pertama, selang waktunya lama sekali dan mustahil Caraka sekurang kerjaan itu. Kedua, pria itu sedang bersama orang lain—cewek berambut panjang dengan kaki jenjang yang begitu cantik tadi. Kenapa juga Caraka mau menunggunya?

Well ... mungkin Irish hanya perlu menyiapkan alasan jika Caraka bertanya tentang keanehannya hari ini, Senin besok.

"Udah, Rish, biarin aja. Nanti gue yang urus," kata Bagus tiba-tiba. Pria itu baru saja kembali dari membuang sampah. "Lo balik duluan nggak apa-apa. Itu lo udah ditungguin."

"Ditungguin?" Mata Irish melebar. Jangan bilang ....

"Lah, tadi yang cowok pake sweter putih? Yang bilang mau nungguin lo selesai kerja."

"Eh, demi apa lo dia masih nungguin?" Irish bertanya nggak percaya.

Bagus tergelak. "Masih, kok. Tuh, di depan. Tadi nanya gue masih lama atau nggak. Gue bilang aja udah kelar."

Mati gue!

"Ini gue tinggal beneran nggak apa-apa, Bang?" tanya Irish sambil melepas apron. Nggak enak juga dia membuat bosnya menunggu selama hampir tiga jam. Lagian, kok Caraka mau-maunya menunggu, sih? Memangnya pria itu nggak punya acara akhir pekan lain yang lebih bermanfaat?

"Nggak apa-apa. Bentar lagi Fathan ke sini, kok. Nanti payment kayak biasa, ya."

"Sip!"

Setelah melipat rapi apronnya, Irish segera mengambil jaket dan juga tas yang dia simpan di bawah meja. Buru-buru dia keluar dari stand. Irish nggak perlu bersusah payah mencari Caraka, karena pria itu duduk di sebuah bangku yang ada di pinggir jalan, berteduh di bawah pohon. Caraka pun langsung melihatnya. Pria itu berdiri dan berjalan mendekat. Di tangannya ada air mineral botolan yang hanya bersisa setengah.

"Ya ampun, Pak!" Irish pun buru-buru ikut mendekat. "Kok Pak Caraka masih di sini? Saya pikir sudah pulang dari tadi."

"Saya kan bilang mau nunggu," jawab Caraka. Ketika sudah berhadapan, pria itu berdiri santai, menumpukan botol air mineralnya ke paha, dan menatap Irish dengan ekspresi penasaran. "Apa yang mau kamu obrolkan?"

"Ah, itu soal ... anu ...."

Irish garuk-garuk kepala, bingung memilih kalimat yang paling tepat. Bagaimana cara mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan di benaknya tanpa menimbulkan hal-hal yang nggak perlu? Sial, ini rumit, pikir Irish. Rasanya ini nggak kalah sulit dengan membuat draft perjanjian kerja sama. Malahan lebih sulit, karena membuat draft perjanjian nggak perlu memikirkan soal perasaan.

Sebelum Irish menemukan kata-kata yang pas, ponselnya berbunyi. Irish merogoh-rogoh saku jaket dan mendapati telepon dari Bang Aras. Merasa bukan waktu yang tepat, Irish mengabaikannya dan mengantongi ponselnya lagi.

"Anu .... Jadi, begini, Pak." Irish menggaruk hidungnya, salah tingkah. "Itu lho ... soal .... yang waktu itu ...."

"Waktu itu?" ulang Caraka dengan kening berkerut.

"Iya, itu lho ... telepon ...."

"Telepon?"

"Waktu saya telepon itu—"

Ponsel Irish berbunyi lagi, dan lagi-lagi dari Bang Aras.

"Angkat aja, mungkin penting," saran Caraka.

Irish mengangguk, lalu menjawab telepon dari abangnya

"Dek, kamu di mana?" tanya Bang Aras langsung. "Masih di CFD?"

Tanpa sadar Irish mengangguk. "Masih. Kenapa, Bang?"

"Langsung ke rumah sakit Abang, ya."

Jantung Irish mencelus. "Kenapa, Bang?"

"Papa kecelakaan."

Tanah yang Irish pijak seolah oleng. Tanpa sadar Irish mencengkeram apa pun yang bisa dia jadikan pegangan agar nggak limbung—dan itu adalah lengan Caraka.

"Hah? Papa kecelakaan?" ulangnya. "Bentar-bentar, kecelakaan maksudnya ... kecelakaan gimana, sih?!" tanya Irish kaget.

"Papa ... nanti Abang ceritain kalau kamu udah di sini aja, Ris."

"Terus Papa gimana? Bang, Papa baik-baik aja, kan?"

"Masih dalam observasi dokter. Kamu buruan ke sini. Eros juga udah OTW. Tapi hati-hati, nggak usah ngebut."

Bang Aras memutuskan pembicaraan, dan kepanikan langsung menghantam Irish. Papanya .... kecelakaan bagaimana? Kondisinya bagaimana? Kecelakaan apa? Papanya sudah berusia 60 tahun lebih ... gangguan kesehatan ringan pun bisa berdampak lebih buruk .... kenapa? Kok bisa papanya kecelakaan? Ribuan pertanyaan memenuhi otak Irish.

"Maaf, Pak, saya harus pergi."

Irish pun celingukan berusaha mengingat di mana dia memarkir motornya. Namun, otaknya terasa ngelag. Sambil berjalan, Irish mengaduk isi tasnya dengan gusar, dan dia bahkan kesulitan menemukan kunci motornya.

"Airish," panggil Caraka menyusulnya, dan merentangkan sebelah tangannya untuk menghentikan Irish.

"Saya antar. Ayo, mobil saya di sebelah sana." Caraka menunjuk arah yang berlawanan. "Kamu nggak mungkin naik motor dalam kondisi panik begini. Ayo, maaf, tapi saya maksa."

Irish ingin menolak, tapi dia bahkan nggak punya tenaga berlebih untuk itu.

(*)

Segenap pramyths' universe mengucapkan selamat idul fitri, mohon maaf lahir dan batin ya 🙏 Selamat liburan dan semoga lebaran ini dipenuhi kebahagiaan untuk kita semua. Amiin ❤️❤️

Buat yang nggak bisa mudik, semoga bab baru Drunk Dialing bisa menjadi hiburan yaa~

Continue Reading

You'll Also Like

5.1K 467 20
END Seorang perempuan culun yang di rebutkan 3 orang sekaligus. Kim minji adalah perempuan culun, dia tampak lucu dengan sikap sikap random nya, hing...
92.3K 10.4K 36
'Tiba-tiba Punya Suami' Apakah kalian akan merasa kesal jika tidak menemukan pasangan hingga usia kalian telah menginjak 30 tahunan ke atas? Ya, itul...
White Zone By N

General Fiction

2.9K 398 31
"Ketika seseorang mengatakan kepada anda bahwa dia bisa menjadi kaya melalui kerja keras, tanya dia: Punya Siapa?" -Don Marquis * * * Orang-orang keb...
6.4K 187 2
Tentang musim dingin, luka, dan kesempatan kedua.