DRUNK DIALING

By pramyths

126K 22.7K 2.3K

DRUNK DIAL verb past tense: drunk dialed; past participle: drunk dialed: make a phone call to (someone) while... More

Prolog
1. Yang Terjadi Sebelum Tragedi Sabtu Dini Hari
2. Satu Alasan Lagi untuk Membenci Hari Senin
3. Yang Tidak Biasa dari yang Biasanya Biasa
4. Fakta Memalukan yang Disimpan dalam Diam
5. Dilarang Main HP Saat Mabuk dan Makan Malam Bersama
7. Menjadi Kesayangan yang Nggak Selalu Disayang-sayang
8. Apakah di CV Tercantum Informasi tentang Makanan Kesukaan?
9. Minggu Pagi dan Adegan Drama Korea yang Gagal
10. Kunjungan Rumah Sakit dan Cute yang Tak Terduga
11. Sesi Curhat Dadakan dengan Tuan Penghancur Rencana
12. Perbedaan Pergi Bersama yang Kencan dan yang Bukan Kencan
13. Perkara Ingatan dan Inisiatif yang Berujung Salah
14. Makan Malam Keluarga Rasa Ujian Nasional
15. Tiga Pertanyaan yang Biasa Muncul dalam Acara Sidang Keluarga
16. Lihat Baris Chat Itu dan Teruskan Galaumu

6. Satu Orang Disapa Lainnya Bagian dari Udara

7.4K 1.3K 171
By pramyths

Jika diberi satu kesempatan pertanyaan yang pasti akan dijawab, apa yang ingin kamu tanyakan kepada semesta?

Untuk saat ini, Irish punya satu pertanyaan yang ingin sekali dia kemukakan: kapan jatah sialnya akan habis? Dengan semua hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupnya, fakta soal yang satu itu lumayan meresahkan.

Irish sudah sibuk menanyakan hal itu sejak dia terjaga dari tidurnya. Selimut masih membungkus tubuhnya sampai batas leher, Betmen masih meringkuk di bawah kakinya, dan kamar masih gelap karena tirai jendela belum dibuka. Seharusnya dia bergegas bangun dan segera bersiap-siap ke kantor. Namun, yang Irish lakukan cuma berbaring telentang, menatap langit-langit kamarnya yang penuh dengan sticker bintang menyala, sibuk dengan pikirannya sendiri yang terlalu berisik.

Pintu kamarnya diketuk.

"Bangun, Dek! Kamu nggak ke kantor?" Terdengar suara Bang Aras.

Irish diam saja, pura-pura masih asyik menyelam di pulau mimpi.

"Beneran belum bangun? Ini bocah kebo banget sih .... Dek, Abang masuk, ya!"

Pertanyaan itu cuma formalitas, karena nggak lama kemudian pintu kamar Irish terbuka, membuat cahaya terang dari jendela di ruang tengah membanjir masuk. Sontak Irish menutupi wajahnya dengan selimut. Sementara Betmen melesat keluar kamar.

"Adek, bangun! Udah jam setengah tujuh lewat itu!" Bang Aras menjulang di samping ranjang, mengguncang lengannya.

Pelan-pelan Irish membuka mata, membiasakan diri dengan cahaya. "Ini hari apa?" tanyanya dengan nada merana.

"Kamis."

Irish mengerang. "Haaaah ... kenapa, sih, weekend masih lama?!"

Bang Aras tertawa. "Kenapa sih kamu tuh? Buruan bangun, Dek! Emangnya nggak takut telat terus potong gaji?" tanya Bang Aras sambil berjalan keluar kamar.

Irish semakin sebal karena diingatkan soal kenyataan bahwa dia adalah budak korporat sejati. Haaah ... seandainya penghasilan Irish nggak bergantung pada gaji bulanan, sudah tentu kegalauan ini nggak perlu dia rasakan.

Bukannya segera mandi dan bersiap, Irish malah keluar kamar dengan wajah mengantuk dan duduk di kursi makan. Di meja makan sudah tersaji nasi goreng ayam kesukaan Irish, sementara papanya masih sibuk di depan kompor.

"Tunggu, Neng, Papa lagi gorengin nugget ... lho? Kok kamu masih buluk begitu?" tanya papa Iris, terkejut dengan penampilan anak bungsunya yang masih berkotoran mata.

Alih-alih menjawab, Irish meraih sepotong timun dan mengunyahnya dengan suara berisik.

"Adek ini lagi kesambet setan mager kayaknya, Pa," jawab Bang Aras yang lewat di dekatnya membawa keranjang pakaian kotor.

Jam berapa Bang Aras pulang, Irish bertanya-tanya. Seingat Irish, semalam ketika dia telepon minta dijemput, Bang Aras bilang sedang dapat sif sore. Sebagai seorang perawat, Bang Aras memang punya tiga sif yang dilakukan bergiliran. Jika sedang dapat sif malam, mustahil Bang Aras sudah beredar di rumah sepagi ini.

Jika bukan Bang Aras, pastilah Bang Eros yang menjemputnya semalam. Sontak Irish menatap pintu abu-abu nomor dua dari depan yang tertutup rapat. Lubang udara di atasnya terlihat gelap. Sudah pasti penghuni kamar itu masih asyik molor, dan nggak berurusan dengan jam kerja seperti dirinya. Irish jadi iri kepada abangnya yang nomor dua itu. Bang Eros bisa bangun siang dan nggak ada yang akan memotong gajinya.

Jika Bang Aras bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta, Bang Eros merupakan IT Developer independen yang nggak terikat dengan perusahaan mana pun. Bang Eros mengambil pekerjaan yang dia mau, bekerja dengan ritmenya sendiri, nggak punya jam kerja saklek apalagi sistem absensi potong gaji, dan duitnya tetap banyak. Kadang-kadang Irish merasa dunia ini nggak adil. Bang Eros bahkan bisa bekerja hanya dengan celana kolor dan kaus kutang!

Irish adalah bungsu dari tiga bersaudara. Keluarganya tinggal di sebuah rumah satu lantai sederhana yang memiliki empat kamar—aslinya hanya tiga, tapi karena ada empat orang yang tinggal di sana, terpaksa ruang serbaguna diubah fungsi jadi kamar tidur. Papanya menjadi single parent sejak bertahun-tahun yang lalu, dan Irish nyaris nggak punya kenangan tentang ibunya. Sang Mama jatuh cinta pada pria lain dan kabur dari rumah meninggalkan suami dan ketiga anaknya yang masih kecil. Saat itu Irish baru berusia dua tahun, Eros empat tahun, sedangkan Aras tujuh tahun.

Meski tumbuh besar tanpa seorang ibu, Iris nggak pernah kekurangan kasih sayang. Papa dan kedua abangnya menghujaninya dengan kasih sayang dengan cara masing-masing. Papa yang selalu menganggap Irish masih anak TK, Bang Aras yang sepertinya berusaha keras untuk berperan sebagai ibu yang penuh perhatian sekaligus sahabat akrab, dan Bang Eros yang tipe-tipe cowok tsundere selalu galak dan hobi mengomel tapi aslinya sayang.

"Ayo, sarapan!" Papa Iris bergabung ke meja makan dengan sepiring nugget spicy goreng kesukaan Irish. "Ras? Aras! Ayo, sarapan dulu! Nanti keburu dingin."

Bang Aras menyahut dari ruang cuci.

"Bang Eros lagi kerja?" Irish bertanya.

"Sepertinya begitu. Semalam waktu Papa bangun jam tiga pagi, abangmu masih di depan laptop."

Irish ber-oh pendek, lalu menyendok nasi goreng.

Setiap pagi, Irish selalu sarapan di rumah. Soalnya, sejak pensiun sebagai guru setahun yang lalu, papa Irish mengalihkan kegiatan paginya di dapur. Irish sih senang karena dia nggak harus ribet cari sarapan dalam perjalanan ke kantor. Dulu-dulu sebelum papanya pensiun, Bang Eros yang kadang-kadang memasak. Kadang-kadang di sini harus dipahami sebagaimana arti katanya, alias kalau sedang nggak ada deadline, kalau nggak ngantuk karena ngoding semalaman, kalau nggak mager karena nggak mood. Bang Aras? Jangan diharapkan. Merebus air saja bisa gosong.

"Kok Neng santai aja jam segini? Nggak takut telat ke kantor?"

Sontak Irish berdecak. "Boleh nggak, sih, Irish bolos kerja? Hari ini aja."

"Lho? Memangnya kenapa, Neng? Biasanya kamu semangat kerja, malah uring-uringan cari kegiatan kalau libur."

Irish nggak segera menjawab, lalu dia hanya menjawab pelan. "Capek."

"Ya ampun, Papa kira kenapa."

Lantas dimulailah ceramah sembilan belas SKS dengan topik "Yang namanya kerja ya pasti capek, tapi bla bla bla". Kuliah itu berlangsung nyaris selama Irish menghabiskan nasi gorengnya. Papanya sampai menyinggung-nyinggung soal ribuan pencari kerja di luar sana bingung harus cari kerja di mana lagi hari ini, masa iya Irish yang sudah beruntung punya pekerjaan malah malas-malasan. Semakin lama Irish semakin cemberut. Tentu saja alasan utama Irish enggan ke kantor hari ini bukan karena capek. Irish mencintai pekerjaannya, dan bekerja adalah hobinya. Alasan utama Irish adalah kata-kata bosnya semalam.

Meski sudah minum empat gelas, Irish masih cukup sadar dan memahami dengan jelas kata-kata Caraka.

"Jangan main HP kalau sudah mabuk. Kamu nggak tahu akan ngomong apa ke siapa pun yang kamu telepon."

Caraka jelas-jelas menyinggung soal drunk call itu, kan? Itu artinya, selama ini Caraka tahu dan ingat soal ketololan Irish hari itu. Caraka nggak kebetulan cuma menjawab teleponnya, dan membiarkan Irish mengoceh sementara dia tidur. Berarti Caraka hanya pura-pura nggak peduli saja kan selama ini?

Setiap kali ingat soal itu, Irish rasanya ingin menutupi wajah dengan tangan melulu. Malu. Padahal selama ini dia sudah berhasil mengatasi permasalahan itu dan mulai melupakannya. Padahal, tekanan mental yang Irish rasakan setiap kali melihat Caraka sudah hilang beberapa hari ini. Sayangnya, omongan Caraka semalam seperti membuka kembali luka itu dan membuat Irish lagi-lagi nggak punya muka untuk bertemu atasannya. Padahal kemungkinan mereka bertemu di kantor nyaris 90 persen. Bagaimana Irish bisa bekerja dengan baik, jika setiap kali mengingat itu, wajahnya terasa panas terbakar dan pikirannya blank?

Pintu abu-abu nomor dua terbuka dengan derit yang menyayat hati.

"Ros, itu pintu kamarmu diperbaiki, dong!" Papa langsung menggerutu. "Diminyaki atau dikasih oli atau diapakanlah."

Eros, si pemilik kamar yang hanya memakai celana kolor dan kaus hitam yang warnanya sudah jadi abu-abu dan lehernya melar, berdiri di depan pintu dan menguletkan tubuh. Rambutnya berantakan, dan wajahnya khas orang kurang tidur.

"Pagi-pagi udah pada berisik aja," gerutunya sambil berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Saat melewati Irish, si abang nomor dua iseng mendorong pelan kepala adiknya, membuat si adik berteriak murka.

"Ya salah sendiri hidup kok dibolak-balik. Orang normal itu kerja siang hari tidur malam hari. Kamu malah sebaliknya!"

"Omong-omong soal kerja ...." Tanpa tanda-tanda, Aras muncul di ruang makan membawa ember cucian yang dia taruh di lantai dan duduk di sebelah Irish. "Papa hari ini mau narik lagi?"

"Mau, dong. Lumayan penghasilan kemarin."

Seminggu belakangan papanya bergabung dengan taksi online di salah satu aplikasi. Alasannya karena butuh kegiatan daripada hanya bengong di rumah dan mengurus Betmen. Yang kerjanya kelayapan. Awalnya, ketiga anaknya melarang. Sudah seumur hidup papanya bekerja untuk menghidupi mereka. Setelah masa pensiun, mereka ingin sang papa bersantai di rumah, biar gantian anak-anak yang mencukupi kebutuhannya. Namun, sang papa sudah bekerja selama 38 tahun merasa jenuh karena seharian di rumah. Karena itulah Papa memutuskan untuk jadi driver taksi online.

"Ngapain sih, Pa? Di rumah aja gitu, lho. Papa nggak capek udah kerja puluhan tahun, sekarang mau kerja lagi?" Kini gantian Irish yang mengomeli papanya. "Irish aja yang baru kerja beberapa tahun udah pengin pensiun!" Terutama hari ini, tambahnya dalam hati.

Namun, sekeras apa pun mereka berusaha membujuk, sang papa bergeming. Semua alasan dilontarkan. Mulai dari mengisi waktu, ketemu orang-orang biar ada teman ngobrol, sampai "lumayan hasilnya bisa buat nutupin cicilan mobil tiap bulan".

Aras pernah bilang kepada kedua adiknya, "Udah biarin aja. Kalau dilarang terus, takut Papa malah stres karena jenuh di rumah. Yang penting Papa hepi."

Alhasil, Irish dan abang-abangnya nggak bisa berbuat apa-apa lagi. Mereka hanya sering-sering berpesan agar papanya hanya ambil trip-trip pendek supaya nggak lelah.

"BTW, yang nganterin lo semalam siapa, Rish?"

Pertanyaan Eros sontak membungkam obrolan di meja makan. Irish langsung menatap abangnya dengan ekspresi panik. Siapa yang mengantarnya pulang?

"Adek pulang sama siapa?" tanya Aras penasaran.

"Iya, siapa, Bang?" tanya Irish buru-buru. Pikiran buruk melintas di kepalanya. "Bukannya lo yang jemput gue?"

Bang Eros mengerutkan dahi. "Ngigo nih anak. Enggak, lo pulang dianterin orang."

"Siapa?" Tanya Irish panik. Spidometer jantungnya langsung melesat ke kecepatan maksimal.

"Lah, kok lo malah balik nanya. Mana gue tahu. Mas-mas gitu, baju rapi, bawa Harrier item."

Sontak Irish menepuk dahinya. Tentu saja!

"Pacar kamu, Dek?"

"BUKAN!" jawab Irish, memelototi Aras, seolah abangnya itulah yang menyebabkan semua kesialan dalam hidup Irish.

Hanya satu orang yang memakai Toyota Harrier hitam di kantornya. Mungkin ada lagi—Irish nggak tahu—tapi yang mungkin bersinggungan dengannya hanya Caraka. Namun, Irish nggak bisa memikirkan bagaimana hal itu bisa terjadi. Kenapa jadi Caraka yang mengantarnya pulang? Irish yakin semalam dia menelepon Bang Eros untuk minta dijemput ... Irish benar-benar menelepon Bang Eros, kan?

"Semalam gue telepon lo minta dijemput, kan?" tanya Irish hati-hati.

Cowok gondrong itu menggeleng. "Nggak ada. Yang ada malah gue teleponin lo nggak diangkat-angkat."

Wajah Irish sontak pias. Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Apa setelah memperingatkannya tentang drunk dial itu, Caraka menyita ponselnya, sehingga Irish nggak sempat menelepon abangnya? Dan yang paling parah, bagaimana Irish malah lupa hal sepenting ini, padahal rasanya semalam dia nggak mabuk-mabuk amat? Irish jadi merasa sangat bodoh. Mungkin dia terlalu sibuk memikirkan kata-kata Caraka sampai luput memikirkan hal yang nggak kalah membagongkan ini.

Selama sisa waktu sarapan, Irish sibuk berdoa agar kesialan beruntun yang menimpanya belakangan menghabiskan jatah sialnya seumur hidup.

Dan semoga hari ini Caraka di luar kantor seharian, amiiiin.

(*)

Tentu saja Irish hanya bisa berharap. Selebihnya tinggal keputusan semesta.

"Ehm! Semalam oke?"

Pertanyaan Desi keluar begitu Irish muncul di kantor dengan tampang kusut, terlambat lima belas menit—Rasanya bulan ini Irish sering terlambat, sampai dia sudah malas menghitung jumlah potongan gajinya bulan ini. Bikin makin badmood, katanya.

"Apanya?" tanya Irish lemas, letih, dan lesu.

"Ituuuu ...." Desi mengedipkan mata. "Sampe bikin telat ya, Rish? Gilaaa. Padahal seorang Airish Filisita nggak pernah telat seumur hidup. Pastinya oke banget nggak, sih?"

"Lo ngomongin apa sih, Des? Nggak paham gue." Irish mengerutkan dahi. "Yang jelas atuh."

Desi berdecak, lalu mencondongkan tubuhnya untuk berbisik. "Pak Caraka, Beb."

"Pak Caraka kenapa?" tanya Irish bloon.

"Ck! Sok polos deh luuuu ... semalam lo nginep sama bapake, kan?"

Alih-alih menjawab, Irish hanya membatu. Selama beberapa saat, otaknya seperti berhenti bekerja. Dia nyaris lupa bernapas, dan terlalu terkejut untuk mengeluarkan ekspresi terkejut.

"Gila lo!" serunya, marah, beberapa detik kemudian setelah berhasil mencerna kata-kata Desi. "Kok lo ngomong gitu, sih? Nggak jelas banget!"

Desi tergelak. "Deuuu ... bercanda kali. Sensian amat, Mbak? Lagi mens?"

"Nggak lucu!" sentak Irish. Gemas sendiri, disentilnya dahi Desi dengan jarinya.

"Aduuuh! Sakit, Rish!" Desi menjerit kesakitan.

"Biarin! Dasar bocah! Bercanda nggak pake topik aneh kayak gitu!"

Dia nggak takut kualat, karena usia Desi jauh di bawahnya. Di tim legal, selain Caraka, hanya Yasinta yang lebih tua dari Irish. Prita dan David seumuran dengannya, sedang sisanya masih muda kinyis-kinyis. Ketiga orang di atas adalah senior legal officer, yang secara jabatan di atas Irish. Rendra yang lebih muda setahun dari Irish juga sudah menjadi senior legal officer. Sementara dengan Desi dan Kinan yang jabatannya sama, Irish menjadi yang paling tua. Meski demikian, sejak awal Irish ngamuk-ngamuk kalau dipanggil "mbak".

Irish mendengus keras dan menjatuhkan pantatnya ke kursi. Dia nggak habis pikir kenapa Desi bisa berpikir seperti itu. Sayangnya, Desi bukanlah satu-satunya. Siang itu, Irish makan di kantin bersama Desi, Kinan, dan David. Pertanyaan pertama muncul dari Kinan.

"Lo sama bapake ada apa sih, Rish?"

Irish baru saja hendak menyuap soto betawi yang dia pesan. "Hah? Apa?" tanyanya bingung.

"Lo ada uhuk-uhuk sama Pak Caraka?" Kinan memperjelas pertanyaannya.

Uhuk-uhuk? Ketularan batuk?

"Tadi pagi udah gue tanya," sahut Desi. "Terus jidat gue disentil," tambahnya dengan nada sedih yang dibuat-buat.

"Bentar." Frustrasi, Irish menaruh kembali sendoknya, lalu memijat-mijat keningnya, dan menatap kedua rekan kerjanya bergantian. "Gue bingung ...," keluhnya. "Kenapa lo berdua tiba-tiba nanyain hal random kayak gitu?"

"Lo nggak ingat kejadian semalam?" Desi bertanya.

Jantung Irish mencelus. "Semalam? Apa? Ada apa? Ingatan gue agak-agak kacau."

Desi dan Kinan saling pandang. Ekspresi jail muncul di wajah keduanya.

"Semalam kan lo udah tipsy tuh," sahut David ikutan nimbrung. "Udah mulai susah nyambung. Nah, terus si Bos bilang, Irish pulang sama saja saja. Saya tahu rumah Irish."

"O ... ke?" Irish mengerutkan dahi. Bukan hal aneh, Caraka memang tahu arah-arah rumahnya karena Irish pernah nebeng sebelumnya. Kemurahan hati Caraka itu memang berpotensi menimbulkan pertanyaan, tapi Irish rasa hal itu masih dalam batas toleransi logika. "Terus, apa anehnya? Dia emang tahu rumah gue karena beberapa kali gue nebeng."

"Kelakuan bos lo itu yang aneh." David tergelak.

"Bapake tuh sigap banget, Rish," bantu Desi. "Dia masukin HP lo ke tas, bawain tas lo, bahkan dia bantuin lo jalan lurus." Desi tertawa. "Udah kayak pacar perhatian belum, siiih?"

Hah?

"Eh, jangan lupa bagian paling epik!" seru Kinan penuh semangat. "Pas udah jalan tiga langkah sambil bawa lo yang sempoyongan itu, Bapake berhenti dan noleh ke kita-kita dengan wajah salah tingkah."

"Dia bilang, 'Irish ke arah Pasar Minggu. Kalau ada yang searah, bisa bareng sekalian, ya'." Desi benar-benar ngakak. "Ekspresi Bapake tuh kayak baru sadar kalau sikapnya ke lo aneh gitu. Menimbulkan tanda tanya soal yang enggak-enggak. Cute banget, deh!"

"Terus, ada yang bareng nggak?" tanya Irish penasaran, setengah mati berharap jawabannya 'ya'.

"Nggak adalah! Kita semua peka, kali!" seru Kinan. "Pak Caraka mah cuma mau nganterin lo. Fokus ke kalimatnya tadi dong. Irish ke arah pasar minggu. Artinya, tokoh utamanya ya elo. Yang boleh bareng cuma yang searah sama lo doang."

"Yeee ... apaan, sih?" Irish sewot. "Itu kebetulan emang rumah kami searah aja kali."

"Ke Pasming?" tanya David, lalu menggeleng sendiri. "Nope. Apartemen si bos kan di Cempaka Putih sini. Deket."

Ibarat komputer, otak Irish mendadak buffering. Dia baru tahu rumah Caraka di Cempaka Putih. Jadi, yang kemarin-kemarin dia bilang searah itu apa, dong?

"Jangan-jangan si bos nggak minum samsek karena mau nganterin Irish pulang?"

Irish berdecak. "Jangan ngaco, ah!"

"Tapi emang setelah gue pikir-pikir, sikap si bos emang agak aneh, sih," kata Desi. "Yang soal seafood itu juga lo kan, Rish, yang dimaksud?

"Hah? Eh ...."

"Tahu aja si bos kalau lo nggak bisa makan seafood."

"Terus soal kopi juga!" tambah Kinan. "Yang waktu itu lo bilang si bos beli satu gratis satu itu, Rish. Siangnya gue beli ke sana sama Prita, nggak ada tuh promo satu gratis satu."

Sial, padahal gue udah susah-susah mengarang cerita, keluh Irish dalam hati.

"Ciyeeee .... Pasti Pak Caraka sengaja beliin buat lo kan, Rish? Makanya ngasihnya juga di ruangan, nggak di depan kita-kita."

Irish mulai salah tingkah.

"So," Kinan memajukan tubuhnya dan mengedip-ngedipkan mata kepada Irish penuh arti. "Lo sama Bapake ada hubungan apaan?"

"Nggak ada! Sumpah!" jawab Irish cepat.

"Ah, yang beneer? Terus yang tadi kita-kita sebutin itu artinya apa dong?"

"Mana gue tahu!"

Irish semakin blank. Dia bingung harus jawab apa. Memang benar, kan, nggak ada hubungan apa-apa di antara dirinya dengan Caraka? Namun, argumen-argumen rekan kerjanya itu juga nggak bisa diabaikan begitu saja. Jika orang lain saja menyadari sikap Caraka yang aneh itu, berarti kecurigaan Irish selama ini memang benar, kan?

Untung saja dua cewek dari divisi lain bergabung dengan mereka. Beruntung juga, karena rekan-rekan sedivisinya itu nggak sejahat itu membahas hal-hal semacam ini di hadapan orang luar.

Namun, keberuntungan itu nggak bertahan lama. Pukul satu kurang sepuluh menit, beramai-ramai mereka kembali ke atas. Di lobi gedung yang luas, mereka berpapasan dengan rombongan Harris William—CEO RedBuzz—yang baru keluar dari lift. Dalam rombongan itu ada pula Joe Wirawan yang merupakan COO Redbuzz, David Hutabarat rekan legal manager Caraka, dan banyak pejabat perusahaan lainnya yang namanya Irish hafal di luar kepala. Caraka juga ada di sana. Malahan, Caraka-lah yang pertama kali tertangkap mata Irish sejak jarak mereka masih jauh—dan pria itu sedang menatapnya. Ketika rombongan mereka berpapasan, Caraka tersenyum pada Irish dan melambaikan tangannya. Irish menelan ludah lalu balas tersenyum canggung demi kesopanan.

Jantung Irish seperti sedang parkour. Untung saja, nggak ada yang membahas hal itu selama perjalanan dengan lift sampai ke lantai 6.

"Pada ngeh nggak tadi?" seru Desi begitu mereka tiba di ruangan tim legal 2. "Gilee! Yang kelihatan di mata si bos cuma Irish doang!"

Kinan tergelak. "Iya, bener! Sakit hati banget gue. Dunia cuma ada Irish, yang lainnya cuma bagian dari udara!"

"Nggak percaya ah kalau lo sama dia nggak ada apa-apa," tambah Desi sambil tersenyum penuh arti.

"Beneran nggak ada apa-apa—"

"Naksir lo kali, Rish," celetuk David.

Kali ini, Irish hanya menelan ludah. Kalimat konyol anak zaman now yang lagi hit di medsos itu muncul di pikirannya. Affh iyh?

Yang lebih parah, seharian itu Irish jadi bahan ceng-cengan rekan satu timnya.

(*)

TBH, aku menulis Drunk Dialing ini dengan perasaan super duper enjoy. Banyakan ketawanya ketimbang spaneng-nya. Wkwk. Karakter Irish ini sungguh menyenangkan untum ditulis.

Oh ya, kukasih bocoran di awal, cerita ini adalah cerita haha-hehe yang ringan. Jadi enggak usah ngarep konflik ruwet, ya. Sesekalu kita bawa selow aja hidup ini dengan plot yang sederhana dan banyakan ketawanya 🤣

Baca lebih cepat di Karyakarsa, udah sampe bab 26. Kurang 2 bab lagi lalu tamat~

Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Semoga ramadan kali ini membawa berkah. Amiin ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

580K 55.5K 124
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
464K 53.7K 42
Friendzoned kelamaan oleh tetangga masa kecilnya, Ken, sejak mulai remaja sampai jadi pekerja, akhirnya Madda memutuskan untuk move on dan punya paca...
47.3K 8K 18
Berteman sejak kuliah, membuat aku memahami teman-temanku. Fauzan yang tidak pernah puas dengan satu perempuan, Aldi yang tidak pernah siap berkomitm...
98.2K 22.3K 19
Setelah menjalani perceraian yang pahit, Misha bertekad membesarkan anaknya seorang diri. Dia tidak ingin terlibat dengan laki-laki lagi. Satu kali p...