BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

256K 43.2K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-26]

5.1K 995 389
By embrassesmoi

Reni.





Despite the fact that we had to start over, I believe things have returned to normal or even better.

Tapi, ternyata semuanya salah. Ternyata semuanya nggak berjalan sesuai dengan dugaanku.

Aku terdiam, menatap connecting door antara kamarku dan kamar yang ditempati Hatalla sejak 30 menit yang lalu. He stated that he had an urgent situation and wanted to call someone, dan tidak kembali ke sini meski aku sudah terang-terangan menyuruhnya datang lewat chat beberapa menit yang lalu.

Sahid.

Ini semua gara-gara dia.

Sebenarnya sudah dari beberapa bulan lalu, Sahid kerap mencoba menghubungiku—baik itu lewat chat seperti yang tadi dibaca Hatalla atau bahkan lewat missed call yang seringnya aku abaikan—menanyakan pertanyaan yang kurang lebih sama.

Apakah aku menerima lamarannya?

Aku memang pernah mendengar soal tawaran lamaran ini dari seseorang beberapa waktu lalu, tapi seingatku aku tidak pernah mengiakan lamaran itu—aku tidak memberikan jawaban apa pun, aku malah menolak dan mengabaikan dengan terang-terangan.

Aku pikir semuanya sudah diselesaikan meski Sahid masih sering mencoba menghubungiku, tapi kalau dilihat dari gigihnya pria itu—sepertinya semuanya belum berakhir. And it appears that the one who is responsible for all of these issues also has no clear answers for Sahid and his family.

Look how much trouble that woman got me into...

Oh, jelas, aku menyalahkannya meski aku juga salah karena nggak tegas ke Sahid yang juga sering menghubungiku. Pada dasarnya, masalah ini muncul karena keputusan wanita itu sendiri, 'kan?

Dengan dalih kalau aku harus punya pasangan yang setara, but look where she is now... Chasing something she should never have reached, something she should never have dreamed of—something that she reminded me every day that I should never do and feel—but what is she doing now?

Napasku terhela kasar, begitu juga dengan mataku yang langsung memejam.

Lupakan, Ren...

Nggak perlu diingat lagi...

Itu bukan hal penting lagi. Dia—mereka—sudah membuangmu—dan mereka nggak pantas untuk mendapatkan bahkan sedikit dari perhatianku sekarang.

Nah.

Mataku langsung refleks terbuka saat aku mendengar suara pintu terbuka, dan di sana—di depan connecting door—aku melihat Hatalla dengan wajah datarnya memasuki kamarku.

Jangan ketawa, Ren.

Aku sudah pernah bilang belum kalau aku suka sekali membuat Hatalla marah—tentu sebelum ada masalah kemarin muncul—karena aku bisa melihat sisi lain dari pria itu yang tidak pernah ditunjukkannya selain di hadapanku.

Kecemburuan Hatalla bukan cuma terasa dan terlihat panas dan membuatku kewalahan sendiri, but it is also incredibly cute.

Seperti sekarang ini.

"Dia Kepala Sekolah?" Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari bibir Hatalla. Nggak benar-benar mengejutkanku karena Hatalla memang bisa secepat itu tahu hal begitu dengan mudah, apalagi ini ada kaitannya denganku dan juga hubungan kami. "Umurnya hampir 40. Tua banget buat kamu yang masih 30," katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada dan bersandar di depan connecting door yang sudah ia tutup.

Lucu banget, kan?

Tapi, soal Sahid yang sempat disinggung Hatalla barusan... Kalau boleh jujur, aku lupa-lupa ingat soal pekerjaannya. "Mungkin?" jawabku sambil mengedikkan kedua bahu. "Tapi, umurnya baru 32 kalau nggak salah." Kedua mata Hatalla membelalak lebar, mungkin dia nggak menyangka karena aku bisa mengingat umur Sahid. "Kalau umurnya dia yang 32 aja kamu bilang hampir 40. Kamu yang 34 berarti hampir 50? Tua kamu dong?" tanyaku pura-pura memasang wajah polos meski perutku sudah hampir kaku karena menahan tawa.

"Hitungan apaan? Ngawur!" sergahnya cepat, mendengkus sambil membuang pandangannya ke arah lain.

Bukannya itu hitungannya sendiri? "The math of a jealous man."

Jawabanku barusan membuat Hatalla mengembalikan tatapannya ke arahku dengan cepat. "Nggak lucu, Ren," katanya mulai bersikap dramatis sambil menggelengkan kepala.

"Makanya sini." Aku menepuk sisi ranjang di sebelahku yang kosong.

"Gila, ya?" Mulai... "Kita belum ngobrol apa-apa dan kamu mau ngajakin aku tidur? Memang aku semudah itu buat dirayu soal hal-hal begituan?" Mata pria itu memicing tajam, menatapku lurus sebelum dia sendiri berjalan mendekat ke arahku.

Karena tidak tahan lagi, akhirnya aku tertawa sambil merentangkan kedua tanganku lebar. "Have you calmed down now? Are you ready to listen to my explanation?" tanyaku ketika aku merebahkan pipiku ke atas perut Hatalla yang kini juga memelukku.

"Dari tadi aku juga santai kali," balasnya ditambah dengkusan di akhir kalimatnya barusan. "Kaget aja, soalnya aku nggak tahu apa-apa dan mendadak liat chat alay dari si Wahid itu."

Aku percaya kalau Hatalla nggak benar-benar cemburu ke Sahid sekarang karena aku baru sadar juga kalau dalam hal cemburu, Hatalla rada pemilih.

"Sahid."

Hatalla terdengar berdecak, membuatku mengulas senyum geli dalam pelukannya. "Siapa yang peduli, sih, Rein? Mau apa namanya juga nggak penting buat aku inget," ucapnya dengan nada jutek yang sudah jarang aku dengar.

Aku lagi-lagi menahan tawa geli sampai akhirnya Hatalla mendorong bahuku, melepas pelukan kami dan mengangkat daguku. "Jadi, kamu mau jelasin sekarang atau gimana?"

Melihat kedua mata Hatalla yang berubah sayu, aku sebenarnya nggak tega membuatnya terjaga sekarang. Tapi, aku tahu kalau keterbukaan ini yang kami sepakati di awal ketika ingin memulai hubungan ini lagi.

"Duduk sini." Dan Hatalla menurut dengan mudah. "Kamu mau dengar soal apa dulu?" Aku menoleh ke arah Hatalla yang malah berbaring di sebelahku. "Soal namanya yang ternyata Sahid bukan Wahid, soal kenapa dia manggil aku Adek, soal lamarannya dia, soal gimana dia bisa tau nomorku—"

Aku refleks tertawa saat tangan Hatalla membelit leherku dan menarikku sampai berbaring di ranjang, sebelum kakinya ikut membelit kakiku. "Jangan main-main, Rein!" bisiknya dengan nada mengancam yang main-main.

Tanganku bergerak memukul lengan tangannya yang masih melingkar di leherku dengan tawa kencang, sementara Hatalla mengecupi puncak kepalaku beberapa kali. "All of this was her idea. I already mentioned the equality of relationships that she's attempting to implant in me as basic knowledge, right?" Aku menggulingkan tubuhku supaya aku bisa berhadapan dan menatap Hatalla dengan jelas. "Dia pikir aku hanya bisa bahagia dengan pria yang setara, pria pilihannya."

"Jadi, dari sana si Wahid muncul?" Suara Hatalla terdengar menimpali di sela ciuman yang dia buat di puncak kepalaku.

Aku mengangguk, mengabaikan bagaimana Hatalla masih salah menyebut nama Sahid. "I never replied from the start. If you want to look at it again, I never replied to his messages. Aku biarin gitu aja."

Setelahnya, Hatalla mensejajarkan tatapan kami. Tangannya bergerak memainkan rambut panjangku, "Soal lamarannya gimana? Cowok waras mana yang udah tau dia nggak digubris, tapi masih nekat ngelamar, kan?" tanyanya sambil menumpu kepalanya dengan salah satu tangan.

"Soal itu..." Aku menghela napas kasar karena harus mengingat lagi kalau semua ini ada kaitannya dengan seseorang yang nggak ingin lagi aku ingat. "... Dia sendiri yang memutuskan. Masih ingat yang aku ijin datang kantor terlambat karena dia datang, nggak?" Hatalla mengangguk. "On that day, she brought out Sahid's proposal in an attempt to persuade me to accept it in exchange for her not attending Pramana's family's invitation to Jakarta." Aku lalu bergerak memeluk Hatalla, menempelkan wajahku di bahunya.

"It was the first time I knew about Pramana's family plan, but I was still convinced that she would reject it. The agony she felt, even though it wasn't mine, remained in my chest. So I was pretty sure she wouldn't agree to Pramana's plan." Aku merasakan tangan Hatalla menyelip ke punggungku, mengusapnya perlahan. "So, while he was on his mission—whatever she called her present choice—she appeared to forget something she had done before related to Sahid.

"She continued to bring new troubles into my life," kataku yang aku barengi dengan helaan napas kasar.

Tapi, ternyata bukan cuma aku saja, Hatalla juga ikut menghela napasnya berat. "Deryl beneran punya pe-er banyak, sih," gumamnya sambil menghidu puncak kepalaku.

Maksudnya? "Sahid nggak salah apa-apa. Dia—" Sebentar...

"Dia kenal kamu sama Mama, 'kan?" Kepalaku mengangguk pelan, aku sedikit mendongak untuk menatap Hatalla yang keliatan tengah memikirkan sesuatu. "Kalau si Wahid itu masih ngotot buat ngajakin kamu nikah di saat kamu nggak ngasih respons, bukannya malah aneh? Apalagi dia sudah pasti tahu kalau Mama muncul di seluruh media, dan posisinya dia juga kepala sekolah di sana," sambung Hatalla menjelaskan.

Mendadak, semuanya terasa masuk akal.

Betul juga... Orang gila mana yang berani melamar dan ngotot meminang meskipun nggak mendapat respons apa pun dari pasangannya? Apalagi ini, hubunganku dan Sahid nggak bisa dibilang pasangan juga, kan?

Mataku mengarah ke kedua mata Hatalla yang menatapku juga, "Harus diberesin sampai ke si Sahid juga?" tanyaku yang sebenarnya nggak butuh jawaban.

Hatalla mengangguk, "We don't know if he'll have any more plans in the future, especially now that he knows you're not responding to what he's doing, right? If he releases information about you while Mama has a different explanation... Are you really prepared to face everything? Do you also want to do that?"

Aku memejamkan mata refleks ketika merasakan usapan lembut jemari Hatalla di keningku. "I'm sorry that I've had to trouble you again," bisikku pelan.

Kalau mau diingat-ingat lagi, masalah yang muncul akhir-akhir ini semuanya bermula dari aku. Masalah bagaimana aku sangat egois di hubungan kami, masalah Mama, sampai ke masalah Sahid ini.

"Kayaknya kita perlu ngomongin soal ini lagi, deh, Yang." Aku cuma bergumam sambil mengeratkan pelukanku ke tubuh Hatalla. "In our relationship, I value not just your openness but also your willingness to communicate your issues with me. I am the same way. If I can lighten your burden, I will do my best to help you, and I hope you do not see it as a burden. I am very willing to help you, the person I love, and I hope you will do and think the same way about me," katanya entah kenapa terdengar begitu lembut di telingaku.

Dari dulu, Hatalla memang sepengertian ini, cuma aku saja yang mengabaikannya—menutupi fakta ini karena ketakutanku sendiri.

"Akan sangat susah, tapi akan aku usahakan." Mataku terbuka, dan aku melihat Hatalla sudah siap membalas ketika aku meneruskan ucapanku, "What you have helped me with and how I have helped you are utterly uneven; they cannot be compared. You're clearly helping me, but me? I can only help you a little, and it pales in comparison to what you've done for me." Ini juga sesuatu yang sempat aku pikirkan dan membuatku pusing akhir-akhir ini. Dan, semuanya aku katakan di depan Hatalla sekarang.

Hatalla kelihatan menggelengkan kepalanya, "Kita nggak lagi ngomongin soal besar dan kecilnya, apalagi sampai perlu dibanding-bandingin segala, Yang." Ia berdecak, mencium singkat bibirku. "Caramu menolongku itu bukan sesuatu yang bisa diukur besar dan kecilnya, tapi dampaknya. Your presence by my side has had a huge impact in the midst of the problems I face. How you stay neutral—all of that I can only get from you."

Senyum yang diulas Hatalla membuatku ikut mengulas senyum, "How could I have ever imagined you'd hurt me? How could I possibly take you for granted?" gumamku pelan, ikut mengusap wajah Hatalla pelan dengan jemariku.

"Makanya, Yang..." Hatalla memejamkan matanya, senyumnya juga masih terulas lebar. "That is why we are learning together how to start this relationship correctly. I'm similarly frightened of losing you, and what happened before has made it clear that we both need to change in order for our relationship to work."

Bersamaan dengan terbukanya mata Hatalla, aku juga menganggukan kepala, membuatnya melakukan gestur yang sama.

"Oke, soal si Wahid udah clear, ya?" kataku membuat Hatalla langsung menggelengkan kepalanya. "Kamu butuh dengar dan tau apa lagi emang?" Bukannya semuanya sudah aku jelaskan, ya?

"Mau iseng nanya aja, sih."

Keningku mengerut, "Nanya apa?" tanyaku balik.

"Soal Mama."

Begitu Hatalla bicara, kepalaku refleks menggeleng. "Aku masih belum mau ngomongin soal itu dulu," kataku berharap Hatalla mau mengerti.

Karena jujur aja, sampai sekarang aku masih belum benar-benar bisa mencerna apa yang terjadi di antara aku dan dia, juga keluarga Pramana. Semuanya masih membingungkan, dan aku masih belum tahu bagaimana aku harus menanggapi masalah ini.

Untungnya Hatalla mengerti, dia menganggukan kepalanya. "Balik ke Wahid lagi." Oke, yang satu ini belum selesai juga? "Kamu pernah ketemu sama si Wahid ini?"

Kepalaku menggeleng cepat, "Nggak pernah. Kan, dia yang ngenalin dan aku belum sempet pulang ke Malang juga akhir-akhir ini."

"Jadi, kamu nggak tau orangnya kayak gimana?" tanyanya balik menatapku dengan keningnya yang berkerut dalam.

Aku menggeleng lagi, "Kenapa? Apa aku harus ketemu dia dulu?" tanyaku iseng.

"Jangan macem-macem." Hatalla berujar sambil kembali duduk dan juga menarik tanganku agar aku ikut duduk di sebelahnya. "Kerjaan kamu udah selesai belum? Mau dibantuin lagi nggak?" Ia menunjuk ke arah handphoneku yang juga ada di atas ranjang, merujuk soal apakah aku sudah selesai dan menemukan foto yang pas untuk aku posting nanti di instagram.

Sebenarnya, sih, malam ini aku mau melakukan banyak sesi foto karena aku membawa cukup banyak pakaian meski kami cuma semalam menginap di Sumbawa. Hitung-hitung untuk mengganti banyak slot postingan yang aku lewatkan sebelumnya, tapi karena aku melihat wajah kuyu Hatalla, kepalaku menggeleng pelan.

Bukan apa-apa, sudah pasti Hatalla akan memaksa untuk menemaniku kalau aku bilang aku masih perlu menyelesaikan beberapa foto lagi sementara dia sudah jelas-jelas sangat kelelahan hari ini.

"Ganti baju dulu." Hatalla mendorong bahuku pelan. "Nggak ada protes. Lebih cepat, justru lebih baik biar kita bisa sama-sama istirahat," katanya yang sayangnya sangat masuk akal kali ini.

Tanpa banyak bicara lagi, aku segera masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil pakaian dari dalam lemari.

"Sudah?" Hatalla ternyata sudah berdiri di tempat sebelumnya dia mengambil foto untukku.

Aku cuma perlu mengganti blazerku saja, makanya aku nggak butuh waktu yang lama untuk mengganti pakaian. "Should I put my hair in a ponytail, or should I just leave it loose?" tanyaku sambil menguncir lalu membiarkannya terurai di depan Hatalla.

"Mending diurai aja," kata Hatalla, melepaskan fokusnya dari layar handphoneku. "I left lots of marks on your neck, so..." Hatalla meringis, membuatku sadar dan segera memutar tubuh untuk menghadap ke arah kaca yang ada di belakang tubuhku.

Sebenarnya aku sudah menggunakan foundation untuk menutupi bekas kissmark yang dibuat Hatalla, tapi sepertinya nggak bertahan lama karena apa yang aku lihat sekarang sungguh...

"Sorry, Rein." Aku cuma menghela napas panjang. Kalau aku tetap bersikeras menutupi bekas ini, sudah pasti akan ada banyak waktu yang terbuang. "Tadi aku kelepasan. Gemes abisnya," ucapnya yang membuatku refleks geleng-geleng kepala.

Kembali kuputar tubuhku menghadap Hatalla dengan raut datar yang menempel di wajahku, "Lain kali—"

"Jangan begitu lagi. Paham, Sayang. Paham," sambung Hatalla, memotong ucapanku sebelumnya. "Jadi lanjut nggak, nih? Or perhaps you'd like to organize a prior seminar on how to correctly put kiss marks on your body."

Ini ibaratnya dia yang salah, dia yang senewen.

Hatalla.

Well, kali ini aku akan mengalah karena semakin lama aku di sini, Hatalla juga nggak akan istirahat.

"She was the one who taught me, and she asked for it. Doesn't she recall that she was the one who had my first experience? Sekarang malah gue yang dimarah-marahin begini."

"Oke." Aku akhirnya bersuara lagi, padahal aku sudah bersiap berpose sebelum aku mendengar omelannya. "Mending kamu balik! Biar aku foto sendiri, kasih sini handphoneku!"

Hatalla langsung menggelengkan kepala, dia bahkan berjalan mundur—menghindariku yang hendak merebut handphoneku dari tangannya. "Jangan marah-marah kenapa, sih? Yang sabar! Biasanya kalau aku begini juga nggak pernah kamu dengerin. Kenapa akhir-akhir ini, kamu jadi sensitif banget, sih, Rein? Lagi PMS, ya?" candanya sambil mendorong tangan dan lenganku agar aku bisa kembali ke tempatku semula dan nggak merecokinya.

Tapi, apa yang dikatakan Hatalla mendadak membuatku terdiam.

Rasanya seperti ada batu besar yang baru saja menghantamku.

Hatalla sampai melambaikan tangannya tepat di depan wajahku karena melihatku berdiri kaku di depannya. "Kenapa, Rein?"

Aku langsung mengangkat pandanganku, menatap ke arah Hatalla.

Nggak mungkin, kan? 

Continue Reading

You'll Also Like

3K 502 5
Saat ada banyak cerita romansa dimana tokohnya terlibat dalam kisah cinta pura-pura atau drama rumah tangga kontrak, Zahn tak menyangka dia akan jadi...
670 86 3
Ario tahu ia menyukai Gia, dengan semua senyum kecil dan kalimat-kalimat singkat yang keluar dari mulut perempuan itu. Tapi, di peron stasiun hari it...
146K 17.9K 23
Gautama Farhandi adalah pengacara untuk organisasi bisnis pasar gelap bernama "Balwana". Suatu hari, dia menemukan wanita korban sex trafficking musu...
1.1M 55.5K 38
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...