BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

314K 48.3K 19.5K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-25]

6.1K 1.1K 498
By embrassesmoi

Hatalla. 



"Maaf sekali, ya, Pak." Gue membalas jabatan tangan Pak Syamsir, berusaha bersikap se-profesional mungkin meski gue merasa segan nggak karuan.

Sebelum gue sampai ke Sumbawa, staf dari Pak Syamsir sebenarnya udah menghubungi gue untuk menanyakan jadwal gue selama ada di Sumbawa. Begitu tau kalau gue ada waktu luang setelah acara webinar—satu-satunya yang membawa gue dari Jakarta ke sini—mereka langsung mengatur jadwal pertemuan gue dan Pak Syamsir—Bupati di sini.

"Saya seharusnya yang minta maaf." Pak Syamsir keliatan ramah menyambut kedatangan gue yang bisa dibilang sangat terlambat ini. "Saya jadi merepotkan di sela kesibukan Mas Hatalla, padahal saya juga tahu kalau Mas Hatalla ada kerjaan di sini," katanya yang sepertinya setengah menyindir gue.

Soal keterlambatan gue sendiri...

Sepertinya nggak perlu dibahas, ya? Yang penting, hati gue udah tenang waktu meninggalkan Reni yang ketiduran tadi.

Everything we need to talk about we've discussed, and let's call me unprofessional because I think that's the most important thing right now—my and Reni's problems.

Karena sejujurnya undangan makan malam dari Pak Syamsir hari ini agak mengejutkan gue karena gue nggak merasa punya kepentingan dan hal lain yang bersangkutan dengan sosok Bupati Sumbawa itu, gue bahkan sampai menanyakan soal Pak Syamsir ke Ayah—takut kalau gue melewatkan sesuatu tentang ATU atau yang lainnya yang mungkin bisa menghubungkan niat Pak Syamsir untuk bertemu dengan gue.

Tapi, hasilnya nihil.

Ayah pun nggak tahu, bahkan dia bilang kalau belum pernah bertemu atau punya kerja sama dan lainnya dengan sosok Pak Syamsir.

"Mungkin dia mau menawarkan sesuatu, La. Datang aja, ditemui. Tapi, Deryl sama Rendi suruh cari informasi dulu. Jangan sampai ada apa-apa nantinya, apalagi kita tahu kalau ada yang harus kita jaga dari media dan banyak orang luar."


Itu yang dikatakan Ayah, dia juga mengingatkan gue soal segala kemungkinan termasuk tentang masalah yang dihadapi Reni.

Kalau dulu, orang lain mendekati Reni karena ingin tahu soal gue dan keluarga gue, sekarang orang lain mencoba mendekati gue untuk tahu soal Reni.

Dan Pak Syamsir bisa aja punya tujuan itu.

Gue tersenyum tipis waktu Pak Syamsir mempersilakan gue untuk duduk, "Saya justru jadi nggak enak, Pak."

Pak Syamsir duduk di seberang gue, dia tertawa keras sambil menyesap kopinya. "Santai aja, Mas Hatalla. Ayo, pesan makan dan minum dulu," katanya menawari gue dan Deryl yang duduk di meja lain yang tepat ada di belakang kursi gue.

Sebenarnya, gue nggak terlalu lapar karena gue sudah makan duluan—maksudnya, menghabiskan makanan Reni sebelum berangkat ke sini. Jadi, gue cuma berbasa-basi menanyakan manakah makanan dan minuman yang bisa direkomendasikan Pak Syamsir untuk gue, menyerahkan semuanya ke beliau.

Setelah memesan makanan dan minuman, Pak Syamsir kembali menatap gue. "Gimana? Betah nggak di sini?"

"Betah, Pak." Gue menjawab sambil menganggukan kepala. "Makanannya enak-enak," lanjut gue, mengingat jawaban yang diberikan Reni mengenai alasan kenapa dia mau ikut ke Sumbawa.

Suara tawa Pak Syamsir terdengar keras memenuhi meja kami, "Lain kali main ke sini lagi, Mas Hatalla. Jangan sambil kerja, waktu liburan maksud saya."

Gue mengangguk, meski merasa aneh. Well, I should have acted that way because I had no idea what the aim of this arranged meeting was.

"Ajak pacar gitu, loh, Mas Hatalla." Kedua alis gue menukik, merasa luar biasa aneh dengan ucapan yang keluar dari bibir Pak Syamsir barusan. "Ya, supaya liburannya lebih seru. Kalau liburannya sendiri, 'kan, bosan? Bukan begitu?" tanyanya disambung tawa lain yang malah terdengar dipaksakan di telinga gue.

"Pacar saya kerja, Pak." Seharusnya gue nggak perlu memperdulikan topik pembicaraan ini, tapi nggak tau kenapa gue malah tertarik karena ingin tahu tujuan Pak Syamsir melempar pertanyaan barusan. "Rada susah kalau mau liburan bareng, kecuali nanti kalau sudah menikah, ya," sambung gue, memperhatikan lekat-lekat raut terkejut yang dibuat Pak Syamsir.

Kaget banget kayaknya, kan?

"Loh, Mas Hatalla sudah punya pacar?" tanyanya. "Kok, nggak ada beritanya? Nggak ramai orang tahu?"

Sekarang gantian gue yang ketawa, "Ya, saya siapa, sih, Pak, sampai saya pacaran harus ada beritanya segala?" tanya gue balik, mencoba memancing Pak Syamsir lagi.

"Saya cuma kaget, sih. Soalnya yang saya dengar Mas Hatalla belum ada pasangan," katanya, nggak benar-benar menjawab pertanyaan gue.

Obrolan kami sempat terhenti karena minuman dan makanan kami dihidangkan di atas meja, Pak Syamsir pun mempersilakan gue untuk menikmati makanan dan minuman yang sudah dia pesankan lebih dulu.

"Waduh, Malaika bisa patah hati ini kalau dengar kabar ini," ujar Pak Syamsir membuat tangan gue yang memegang cangkir kopi berhenti di udara. "Tadinya, saya niatnya mau melancarkan taktik dan niat supaya bisa mendekatkan kalian berdua, loh."

Sebentar? Malaika?

Ini Malaika yang itu? Malaika anaknya Pak Santoso? Malaika itu yang dimaksud Pak Syamsir barusan, kan?

Pak Syamsir menatap gue dengan keningnya yang berkerut dalam, "Kenapa? Kamu kenal Malaika, 'kan? Oh! Jangan-jangan kalian sudah pacaran?" tebaknya dengan mata yang membelalak lebar.

Kenapa tebakannya makin ke sini, makin nggak jelas begini?

"Ini Malaika anaknya Pak Santoso itu, ya, Pak?" tanya gue dan Pak Syamsir menganggukan kepalanya keliatan antusias.

"Kamu pacaran sama dia? Pantes aja, Santoso terakhir kali ngomong di pertemuan keluarga kami kalau tinggal tunggu kabar baiknya aja dari kalian berdua. Ternyata kalian berdua sudah pacaran?"

Wah...

Kejauhan...

Baru juga masalah gue sama Reni selesai, sekarang ada tambahan lagi dari Pak Santoso dan Malaika yang keliatan biasa-biasa aja dan nggak ada pergerakan aneh di depan gue dan keluarga gue?

Nggak langsung menjawab, gue menoleh ke arah Deryl. Tanpa perlu mengatakan apa-apa—karena gue tahu Deryl sejak tadi memasang telinganya—Deryl menganggukan kepala dan beranjak dari mejanya.

Sebut aja gue kecolongan karena nggak tahu dan nggak mencoba mencari tahu sosok Pak Syamsir yang kemungkinan ada ikatan kekeluargaan dengan Pak Santoso. Yeah, I don't blame myself because it wasn't really crucial for me to think about and find other than the fact that Santoso's family deliberately misunderstood the situation.

Melihat Deryl berjalan keluar restoran, gue kembali menghadapkan tubuh gue lurus. "Saya nggak ada hubungan apa pun dengan Malaika, Pak." Tanpa berbasa-basi, gue memutuskan untuk menjelaskan dengan cepat. "Awalnya memang Ibu saya berniat mengenalkan saya dan Malaika, tapi kami berdua nggak menemukan kecocokan. Saya pikir Pak Santoso dan Malaika sudah tahu karena setahu saya Ibu dan Ayah saya sudah membicarakan soal ini sebelumnya."

Raut terkejut terlihat di wajah Pak Syamsir lagi, "Loh?" Matanya berkedip cepat, menatap gue. "Oh, ternyata kalian nggak pacaran?" ucapnya tampak canggung. "Tapi, kalian pernah dekat? Maksudnya, kamu dan Malaika?"

"Dekatnya maksudnya ini yang seperti apa, Pak?" tanya gue balik sambil tertawa. "Dibilang dekat sebagai teman juga kayaknya kami nggak sedekat itu." Gue kembali menarik cangkir kopi gue dan meminumnya perlahan.

I have no incentive to make small talk or lie about the Malaika situation, right? In fact, I'm the one who needs an explanation for their nonsense, which I believe has gotten out of hand.

Di kursinya, Pak Syamsir keliatan bergerak nggak nyaman. Dia meminum kopinya terburu-buru. "Sepertinya kemarin-kemarin saya salah dengar, sih, Mas Hatalla," katanya, berusaha mengoreksi ucapannya sebelumnya.

"Saya juga sepertinya harus ngomong lagi sama Pak Santoso dan Malaika soal ini." Gue lagi nggak mau mengurusi munculnya masalah-masalah baru yang nggak seberapa penting untuk gue urusi. "Takutnya nanti malah melebar ke mana-mana dan menimbulkan rumor yang nggak benar, 'kan, ya? Kerjaan saya dan Pak Santoso sama-sama banyak, nggak enak juga kalau ada masalah-masalah kecil yang sebenarnya bisa kita selesaikan sebelumnya," kata gue, berusaha terlihat baik-baik karena gue masih belum menemukan tujuan asli dari pertemuan kami malam ini.

Pak Syamsir kelihatan meringis, "Ya, sebaiknya diselesaikan baik-baik supaya nggak ada salah paham lagi, ya."

"Jadi, undangan makan malam ini itu untuk mengenalkan saya ke Malaika begitu, Pak? Atau untuk mengkonfirmasi hubungan kami?" lanjut gue, melemparkan pertanyaan yang sebenarnya sudah ingin gue tanyakan sejak tadi.

Setelah menyesap kopinya, Pak Syamsir meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja sambil menggelengkan kepala. "Itu cuma basa-basi aja, kok." Ia lalu melipat kedua tangannya juga di atas meja. "Saya mau tanya-tanya soal ATU sebenarnya, tapi sepertinya timingnya nggak pas." Bibir Pak Syamsir langsung menipis.

"ATU?" tanya gue. "Ada apa, Pak? Mungkin ada yang bisa saya bantu?"

Pak Syamsir tertawa kecil, "Mau tanya aja, sih. Soalnya saya dan keluarga tertarik soal usaha itu juga," imbuhnya cepat.

Sebentar...

Gue lupa, gue pernah dengar dari siapa tapi gue ingat soal omongan yang bilang kalau Pak Santoso yang mulai berisik soal usahanya dan usaha keluarga gue kalau gue dan Malaika memang berjodoh.

Nggak ada yang salah dengan pemikiran semacam itu karena gue pun sadar gue besar di lingkungan semacam apa, tapi masalahnya di sini adalah ketika Pak Santoso mengatakannya secara sembarangan dan tanpa melihat bagaimana hubungan gue dan Malaika yang sebenarnya.

"Masih rencana, loh, Mas Hatalla. Dan sudah pasti nggak langsung bisa besar, jadi Mas dan keluarga nggak perlu khawatir," katanya diimbuhi tawa keras yang kedengaran berisik. "Kecuali kalau Mas Hatalla mau kerja sama." Pak Syamsir tersenyum ke arah gue, menghentikan tawanya dengan cepat. "Eh, sayang aja. Coba Mas Hatalla sama Malaika berjodoh, 'kan, semuanya bisa lancar-lancar aja."

Maksudnya?

Pak Syamsir pikir ATU butuh dia? Gue nggak salah dengar, 'kan, barusan?

"Oh, soal pasangan Mas Hatalla—" Karena gue nggak menanggapi perkataannya barusan, Pak Syamsir kembali melemparkan pertanyaan lain. "—kalau saya boleh tahu siapa orangnya? Datang dari keluarga mana? Harusnya, sih, berpengaruh besar, ya, melihat Malaika aja nggak diterima, loh," ujarnya sambil menjauhkan tubuhnya dari meja dan menyandarkannya ke kursi.

Gue menahan diri untuk nggak mendengkus waktu menyadari kalau Pak Syamsir berlagak santai di depan gue, sikapnya berubah dengan cepat setelah gue mengakui kalau gue nggak punya hubungan apa pun dengan Malaika.

Oh, and let's not forget that I dislike how he has been steering our conversation with meaningless issues that she tries to use to gather information from me.

"Malaika bukannya nggak diterima, Pak." Gue nggak suka juga dengan caranya menekankan soal ketidakcocokan hubungan gue dan Malaika yang sudah gue jelaskan sebelumnya. "Kami nggak menemukan kecocokan. Daripada diteruskan dan menimbulkan masalah lain, kan?" Asli, gue menahan diri buat nggak menunjukkan kekesalan gue di depan Pak Syamsir sekarang.

Entah benar-benar paham atau memang nggak ingin memperpanjang, Pak Syamsir menganggukan kepalanya. "Serius, deh. Saya jadi makin penasaran sama pasanganmu kalau begini."

Oke, ini sudah termasuk ke sesuatu yang harus gue waspadai. Bukan cuma Pak Syamsir, tapi juga soal Pak Santoso dan Malaika kayaknya perlu gue perhatikan kedepannya.

Deryl jelas punya banyak pe-er.

"Kami cocok. Itu aja, sih, Pak yang bisa saya jawab," jawab gue nyeleneh, sekaligus ingin menekankan ke Pak Syamsir kalau gue nggak ingin membahas soal hal itu lagi.

Kami sempat mengobrol lama—membahas soal pekerjaan gue selama di sini—sampai Pak Syamsir meminta waktunya sebentar untuk mengangkat handphonenya yang berdering keras di sela obrolan kami.

"Oh, langsung masuk aja. Nanti juga keliatan, kok." Kenapa firasat gue mengatakan ada yang nggak beres sekarang? "Itu Malaika kebetulan sudah selesai urusannya dan saya ngajakin makan malam di sini sekalian," kata Pak Syamsir sambil melambaikan tangannya, membuat gue menolehkan kepala ke belakang.

Gue melihat Malaika berjalan mendekat ke arah meja gue dan Pak Syamsir, sementara itu Deryl sempat melirik ke arah gue sekilas.

"Malam, Pakde!" Gue memundurkan kursi, menjaga jarak dari Malaika yang ingin bersalaman dengan Pak Syamsir tapi dia berhenti tepat di samping gue. "Malam, Mas Hatalla," sapanya ke gue.

Kepala gue tertunduk sebentar, gue juga mempersilakannya duduk dan mengarahkannya ke kursi di sebelah Pak Syamsir yang kosong. "Sorry ganggu waktu makan malamnya, ya. Malaika tadi, tuh, niatnya mau langsung balik ke hotel—"

"Masih muda juga, kok, ya, sukanya diam di hotel. Jalan-jalan, dong! Ini mumpung Mas Hatalla ada di sini. Kita ngobrol-ngobrol malam ini," potong Pak Syamsir, menyuruh Malaika untuk duduk di sebelahnya.

Apa gue boleh menduga kalau ini semua sebenarnya sudah mereka atur? I have already stated that I do not believe in coincidences, particularly when it comes to Malaika. I don't see any difference between what she did in Singapore and here, other than that she tried to get support from those close to her to meet me and make it an unintentional coincidence.

"Mas Hatalla nggak ada acara emangnya?" Malaika menatap gue dengan kerutan penuh di keningnya.

Gue menggeleng, "Acara saya sudah selesai. Besok mau langsung balik ke Jakarta," jawab gue cepat.

"Nggak mau nambah liburan gitu di sini?" tanyanya lagi.

Gue menggeleng lagi, "Do I look that jobless?" Ya, gue memang bermaksud menyindir Malika. "Kalau memang bisa, sih, nggak usah disuruh, sudah pasti saya akan ambil waktu buat istirahat," sambung gue ketika melihat raut terkejut Malaika dan Pak Syamsir.

Dan seperti apa yang sudah gue duga, Pak Syamsir tanpa aba-aba mengatakan kalau dia harus meninggalkan restoran lebih dulu karena ada urusan mendadak yang harus diselesaikannya segera dan menitipkan Malaika ke gue.

"Kamu nginep di hotel mana?" tanya gue, nggak lama setelah Pak Syamsir berjalan keluar dari restoran bersama ajudan-ajudannya. "Nanti kamu diantar sama asisten saya, Deryl." Gue memutuskan untuk menghabiskan lebih dulu kopi yang dipesankan Pak Syamsir sebelumnya. Sayang juga, kan?

"Ini... mau langsung pulang?" tanyanya balik. "Mas Hatalla nggak mau ngobrol dulu?" Malaika meletakkan tasnya di kursi yang sebelumnya diduduki Pak Syamsir dan memesan minuman. "Aku sudah bicara sama Papa soal rencana usaha advertising agency yang rencananya keluarga kita—"

"Rencana itu nggak ada sangkut pautnya dengan Adiwangsa," potong gue cepat ketika Malaika menyinggung soal rencana usaha yang memang Pak Santoso tawarkan ke gue.

Senyum Malaika terulas paksa, tapi kepalanya tetap mengangguk-angguk beberapa kali. "We also talked about that. Don't you take advantage of the potential of this business, which might be even bigger if we include Adiwangsa? I mean, your name is already well-known, but wouldn't it be much better if we included Adiwangsa too?"

Sebenarnya pembicaraan ini merupakan pengulangan dan kelanjutan obrolan kami sebelumnya di kantor, di saat gue mengabaikan Reni beberapa hari lalu itu.

Harusnya, semuanya jelas karena gue sudah mengatakan semuanya ke Malaika yang saat itu menjadi perwakilan dari Pak Santoso yang nggak bisa menemui gue dan juga seharusnya dia yang gue ajak berdiskusi soal rencana project kami ini.

Tapi, kenapa obrolan kami masih terus berputar di tempat yang sama?

"We've talked about it before, right?" Gue menjawab, menatap Malaika dengan sebuah senyum ramah yang berusaha gue ulas.

Terlihat pasrah, Malaika menganggukan kepalanya. "Tahu, Mas. Tapi, apa nggak mau dicoba dulu? Soal tawaranku sebelumnya juga gimana?" tanyanya, masih belum menyerah juga.

"Tawaran sebelumnya yang mana?" Kerjaan gue banyak, begitu juga masalah yang satu per satu muncul akhir-akhir ini, apa Malaika berharap gue masih bisa ingat semuanya?

"Soal menerima perjodohan—"

Nggak lagi... "Dari awal, perjodohan yang kamu singgung itu nggak pernah ada, loh. Even if the offer was made by you and your family, I disagree and will not take it."

Gue nggak tahu kenapa Malaika bisa berubah seperti ini, I don't know her well, but what she's been doing lately has me even more disgusted.

"Alasannya apa?" Malaika menyahut cepat, dia mendekatkan tubuhnya ke meja. "Padahal kalau dipikir-pikir, perjodohan ini bisa jadi menguntungkan untuk kita berdua dan keluarga kita," katanya dengan wajah serius.

Ini dia ngelindur apa gimana, sih?

"If I did see marriage with that kind of purpose, I would definitely never consider you." Cukup. Gue udah muak. "I think our conversation has reached this point first. I don't want to talk carelessly and hurt you. I emphasize once again: stop doing something that is pointless. Whatever it is that you are planning and related to me, stop now."

Sepertinya gue terlalu baik dan membiarkan Malaika menyalahpahami sikap gue, dan gue pikir gue perlu menghentikan semuanya sekarang,

"Jadi, saya antar balik ke hotel sekarang atau..." Gue berdiri dari kursi, memperhatikan Malaika yang masih diam di kursinya.

"Nggak perlu." Malaika menggelengkan kepala. "Saya nanti bisa balik sendiri," jawabnya tanpa menatap ke arah gue.

Gue mengangguk, mendorong kursi yang gue duduki dan beranjak dari meja gue dan Malaika.

Di belakang gue, Deryl mengikuti. "Pak Syamsir memang ada hubungan keluarga—jauh—dengan Pak Santoso, Pak. Mereka dekat karena keduanya pikir posisi mereka bisa sama-sama menguntungkan untuk satu sama lain," jelasnya di sela langkah kami menuju ke luar restoran.

"Detailnya kirim by wa, ya, Ryl." Deryl mengangguk. "Kamu tunggu di sini aja. Nanti minta tolong antarkan Malaika balik ke hotelnya, saya bisa naik taxi online." Gue langsung mengeluarkan handphone dan mulai memesan taxi online di depan restoran.

"Baik, Pak."

"Nanti kalau kamu sudah sampai hotel, kita bicarakan yang lain." Gue melepaskan pandangan dari layar handphone setelah gue berhasil memesan taxi online. "Kita punya banyak pe-er pulang dari Sumbawa, tapi kamu nanti tinggal follow up sama ikut ngawasin aja."

Deryl mengangguk-anggukan kepalanya, tampak menerima seperti biasanya. "Baik, Pak. Kalau boleh saya tahu, siapa penanggung jawabnya?" tanyanya diselingi candaan kami kalau ada masalah yang perlu kami selesaikan seperti biasanya.

Tanpa banyak bicara, gue menunjukkan layar handphone gue ke Deryl agar dia bisa tahu langsung tanpa perlu gue jelaskan.

Narendra.
mainan baru hahaha
boleh, lah.
gampang sih, her family doesn't have much influence here.
nanti gue beresin, deryl suruh bikin grup chat sama jeremy. ntar tinggal follow up aja.


Mata Deryl sempat memicing sebelum senyumnya muncul dengan anggukan kepala, "Nanti akan saya bicarakan dengan Jeremy selagi menunggu Ibu Malaika kembali ke hotel."

Setelah itu, taxi online gue sampai dan gue meninggalkan Deryl lebih dulu kembali ke hotel. Di sepanjang perjalanan, gue nggak berhasil menghubungi Reni—sesuatu yang membuat gue sempat ketar-ketir. Tapi, mengingat kalau dia mengaku kelelahan tadi—sebelum gue meninggalkannya untuk bertemu dengan Pak Syamsir—gue mengira kalau Reni sudah pasti masih tertidur.

Sesampainya di hotel, gue lebih dulu masuk ke kamar gue untuk mandi dan mengganti pakaian. Setelahnya gue baru berani ke kamar Reni, masuk lewat connecting door yang menghubungkan kamar kami.

Gue pikir kamar Reni akan gelap karena gue menduga dia sudah tidur, 'kan, tapi gue menemukan kamar Reni masih terlihat terang.

"Sudah balik?" Reni menolehkan kepalanya ke belakang—menatap gue—sementara tangannya masih bertahan di pinggang, membuat pose di depan tripod yang menahan handphonenya. "Jangan di situ, aku mau foto," katanya menunjuk ke arah ranjang, seakan menyuruh gue untuk duduk di sana.

Ini perempuan yang sama yang tadi nangis-nangis di pelukan gue, 'kan? Perempuan manja yang nggak mau gue tinggal itu, 'kan? Perempuan yang mendadak nggak mau ditinggal waktu gue mau pergi ketemu sama Pak Syamsir?

Kenapa Reni mendadak memasang make up dan juga memakai blazer super rapi dan keliatan super cantik di malam hari begini?

"Rein... Kamu nggak tidur, 'kan, ya?" Gue melambai, mencoba menarik perhatiannya yang tampak fokus membuat pose di depan handphonenya.

Reni sempat menatap gue datar, membuat gue yakin kalau Reni nggak lagi tidur—kalau dia benar-benar sadar sekarang.

"Kemarin aku sempat off sosial media, engagement rate instagramku kayaknya menurun kalau aku nggak posting apa-apa," katanya, membuat pose dengan wajah centil.

Ini mungkin udah jadi kebiasaan gue setiap kali mengamati sisi Reni dan pekerjaannya sebagai fashion influencer, apalagi kebanyakan foto yang di posting di instagram Reni itu adalah hasil dari jepretan gue—gue jadi ikut menirukan ekspresi Reni ketika sedang berpose di depan kamera.

Contohnya, seperti sekarang ketika Reni memasang senyum dan mengedipkan salah satu matanya, gue pun akan mengikuti gayanya di belakang kamera.

Cantik.

I'm not sure how many times I whispered that word to myself, but Reni's beauty stunned me virtually daily.

"Mau aku fotoin?" Gue menawarkan seperti biasa karena merasa kalau tangkapan layar dari handphone Reni hasilnya sudah pasti sama semua.

Reni mengangguk, "Boleh. Tolong, ya."

Gue beranjak dari atas ranjang dan mengambil handphone dari tripod, lalu mencari tempat yang pas untuk mengambil foto Reni yang mulai memasang pose di hadapan gue. "Gayanya coba ganti, deh. Jangan gitu mulu," kata gue sambil memeriksa hasil foto Reni sebelumnya yang kebanyakan menunjukkan pose yang sama. "Kalau begini, semalaman kamu nggak akan dapat foto yang bagus, Rein."

Reni sempat terdiam sebelum dia menarik salah satu kursi dan mendudukinya. "Kalau begini?" katanya sambil menumpuk kaki ke kakinya yang lain, terlihat anggun.

Gue mengangguk, "Tahan, Rein. Try not to look here, and then lift your chin," ujar gue memberikan instruksi, dan hasilnya memang memuaskan.

Yang tadinya tatapan gue mengarah ke handphone langsung teralih saat gue melihat notifikasi dari sederet nomor yang nggak disimpan Reni terlihat muncul beberapa kali, ganggu banget sih!

Karena penasaran dan memang sikap gue yang lancang, gue menarik laman notifikasi supaya gue bisa melihat dengan jelas pesan-pesan apa yang dikirimkan orang ini. Spam, mungkin?

Tapi...

Dek?

Pesannya Mas kok nggak dijawab?

"Dek? Pesannya Mas kok nggak dijawab? Bagaimana kira-kira jawaban Adek soal pinangan Mas?"

Ini gue nggak salah baca, kan?

Apa jangan-jangan, bukannya Reni, justru gue yang lagi ketiduran sekarang?

Gue mengerjapkan mata waktu Reni berdiri pas di depan gue, dia ikut melongokkan kepala agar bisa melihat ke arah handphonenya yang ada di tangan gue. "Siapa, sih? Oh... Mas Sahid."

"Mas Sahid?" ulang gue dengan mata yang membelalak lebar. "Mas Sahid? Pinangan? Dek?" kata gue mengulang setiap kata janggal yang gue baca dari pesan yang dikirim Wahid ke Reni.

Sumpah, jantung gue rasanya melorot turun ke kaki sekarang!

"Ini kamu yang dipanggil Dek? Atau nomor salah sambung?" tanya gue, memastikan ke arah Reni yang masih menatap layar handphonenya.

Mata gue semakin melotot waktu Reni mengangguk, "Iya. Aku yang dipanggil Adek," katanya seakan apa yang dia bilang itu sesuatu yang nggak akan bikin gue marah.

"Kamu sadar nggak, sih, Rein? Kamu nggak ketiduran beneran, kan?" tanya gue, mencoba memastikan kalau Reni benar-benar sadar dengan apa yang dikatakannya. "Ini Wahid siapa? Kenapa dia ngomongin soal pinangan? Apa banget, sih? Kenapa kamu nggak cerita ke aku?"

"Namanya Sahid." Bodo amat, Ren! "Kok, ngomong ke kamu. Aku sendiri juga nggak tahu soal apa yang dia omongin," katanya sama-sama heran.

Oke, gue bisa sedikit lega sekarang. "Berarti si Fahid ini salah sambung?"

"Sahid." Emang gue pikirin, Ren? "Enggak. Nggak salah sambung," jawabnya yang sekarang membuat gue kebingungan.

"Jadi, ini pesannya beneran? Kamu kenal si Tahid itu? Kamu beneran dipinang sama dia?" Gue menurunkan handphone Reni, gantian menahan lengan Reni dan mendekatkan tubuhnya ke gue.

Setelah satu masalah selesai, yang lain mendadak ikutan muncul. Ini, sih, sama aja kayak mati satu, tumbuh seribu.

Continue Reading

You'll Also Like

6.2M 225K 55
When Emily applies for a position as a caregiver for Daniel, a boy with a permanent spinal cord injury, she never thought she'd also be dealing with...
361K 21K 70
[ FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH ] Note : Karakter di cerita ini beragama Nasrani ya 🙏 Salam Toleransi 🙏 CERITA INI BELUM DIREVIS...