Boboiboy x Reader | Alternate...

By Goldilocks95

12.1K 2.1K 1K

Aku terjebak dalam putaran waktu melawan Nebula. Aku mengulagi dan mengulangi. Tapi aku tidak kunjung menang... More

Prolog
- 01
- 02
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 09
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
Epilog
Xtra

- 03

579 89 21
By Goldilocks95

Aku menjatuhkan ponselku lagi ke tanah.

Orang itu meraba-raba tanah, mengotori tangannya sendiri, mencari tongkat kayu kokoh dari ranting mentah yang dibicarakannya barusan. Tadinya ia mengenakan tudung di kepala, namun kini kain itu tersibak penuh. Matanya tidak reaktif dan konstan terhadap hal di sekelilingnya. Baiklah. Aku mendiagnosis, dia tidak bohong.

Tongkatnya ada di ujung heelsku. Tergeletak melintang di bawah sana. LoopBot berinisiasi mengamankan tongkatnya, dan menyerahkan tongkat itu pada di pria. Robot berbudi luhur.

"Biar aku bantu, ini tongkatnya." LoopBot berkata.

Si pria menggapai-gapai udara, mencari dimana tongkat yang ditawarkan LoopBot. Karena tidak kunjung ketemu, LoopBot menggamit tangan si pria, dan membawanya pada sebatang kayu kasar itu.

Si pria mengulum senyum, "M-makasih."

Aku memungut ponselku lagi dan mundur ketika si pria berusaha berdiri. Ia kelihatan ragu-ragu luar biasa. Aku menunggunya bertanya sebab aku tahu, orang ini kebingungan dan buta navigasi.

Aku tidak mengerti apa maksudnya si pria ketika ia mengatakan ia mengalami kebutaan belum lama ini. Kedengarannya naas, dan itu menjadikan aku menyesal telah mengatainya sebelumnya.

"Apakah benar, ini Teras Guruh? Permisi, maaf?" Tanyanya. Aku dan LoopBot bersitatap sejurus. Jelas, ya. Namun aku membendung jawabanku karena tidak mau meladeni si pria lebih jauh.

"Ya. K-kalau boleh tahu, siapa namamu? Dan kenapa kamu ada di sini?" LoopBot malah penasaran.

Aku menghela napas kasar dan membalikkan badan. Aku perlu bergegas pulang ke bumi. Aku tidak ingin menyia-nyialan waktuku lagi di Gur'latan tanpa tujuan karena misi ini nggak valid. Di sini baunya tidak enak karena adanya abu vulkan yang gembur dan mudah terurai. Itu sangat berpotensi mengotori pakaian mahalku dan Louboutin edisi terbatas di kedua kakiku. Aku tidak betah.

"Arumugam." Katanya, memperkenalkan diri.

Aku berusaha menghubungi stasiun TAPOPS lagi. Namun jaringannya masih tidak mendukung. Aku sampai berkali-kali mencoba dengan mengotak-atik jam tangan digital ini.

"Bisakah aku tahu, dimana rekuitmen TAPOPS dilaksanakan?" Arumugam, di belakangku, bertanya. "Aku berniat ikut serta."

Seketika, tenggorokanku tercekat. Aku kembali berhadap-hadapan dengannya. Aku perlu mendongak untuk mengidentifikasi wajahnya. Arumugam tidak berkapabilitas masuk ke tentara galaktik. Dia hanya akan mati ketika Nebula menyembur radiasi dan itu akan merusak sel-sel yang memproduksi darah di sumsum tulangnya.

"Wah. Kebetulan. Kami petugas TAPOPS." LoopBot sama linglungnya denganku, namun entah kenapa ia bertubi-tubi berjuang memperbaiki situasi. Seolah ini begitu penting baginya. Aku merotasikan mata malas sambil menyilang tangan di dada. Mengapa aku mengajak LoopBot kemari, ya? Semestinya aku meninggalkannya saja di charging station dan menolak mentah-mentah visinya mengenai probabilitas kedatangan Nebula dan kehadirannya yang akan selalu membantu.

"Tidak." Aku menyela sebelum pria itu berterimakasih lagi. "Kamu tidak bisa."

Permintaan telponku tersambung. Tapi bukan pada TAPOPS. Ini tepon pribadi. Sai. Aku sempat mengharapkan alien itu dapat membantu.

"Sai!" Aku memekik.

Sai memunculkan hologramnya. Sai tidak cukup sibuk untuk mengabaikan aku. Aku jadi iri.

"Tidak ada sukarelawan di Gur'latan." Aku melaporkan.

Mendadak, LoopBot terbang di depan mukaku, "Bohong. Dia bohong, ada satu."

Aku menyingkirkan LoopBot dari pandanganku, aku mengatupkan tanganku ke benda bulat itu, dan mendorongnya ke samping. Aku lalu berteriak panik, "tidak!"

"Ya." LoopBot menimbulkan kebisingan. Aku meliriknya. Ada masalah apa LoopBot denganku? Kurasa semenit lalu, ia masih memihakku untuk segera pulang.

"Oh ayolah, Sai. Hanya ada satu. Itu pun—"

"Tidak ada 'hanya', Laksamana. Kita ini darurat sumber daya. Tolong, Laksamana, tolong. Cari sources sebanyak-banyaknya." Sai memohon. Aku mematikan sambungannya. Aku tidak mau mendengar lebih banyak dari itu. Sai itu kerasa kepala. Kepalanya terbuat dari batu. Aku sudah lelah beroposisi melawan gagasan-gagasan Sai, apalagi kalau soal pekerjaan. Aku bete banget kalau dipasangkan dengan Sai—dalam misi berdurasi satu bulanan, misalnya. Ia sering mengomentari mengapa aku tidak toleran terhadap lusinan masakan buatan Qually, dan ia selalu mempertanyakan kewarasanku tiap kali aku bilang aku ini terbiasa solo.

"Apa tidak boleh?" Arumugam bertanya. Aku melihatnya dari ekor mata. Pria ini tidak ada harapannya. Dengan dia bersikap seceroboh itu dalam radius enam puluh mil dari kawasan H-II saja, dia bisa terbunuh oleh radiasi atau percikan-percikan fusi nuklir.

Aku meninggalkannya menuju pesawat ruang angkasaku.

"Laksamana, tolong." LoopBot menarik lengan kemejaku. Aku menepisnya ogah-ogahan. Kenapa LoopBot mau menomorsatukan keprihatinannya di atas rasionalitas? Kukira bila aku melatihnya mati-matian sekalipun, Arumugam hanya akan mati.

"Dia tidak punya apapun untuk mengalahkan Nebula." Aku mendesis. Aku berderap pergi.

Arumugam tampaknya mengejar. Tapi ia masih ragu-ragu kemana ia akan melangkah. Mengingat ia buta belum lama, ia tidak mahir menentukan kemana lawan bicaranya pergi.

"Tunggu sebentar. Bisakah kamu—" Arumugam mencoba bernego.

"Tidak." Aku memotong.

Sebersit cahaya melesak seperti Cape York yang berada di orbit edar sistem biner. Aku tertegun. Seseorang di belakangku baru saja melepaskan energi yang setara dengan energi matahari, meruntuhkan sebagian besar material menara pencawang, meratakan benteng dan pondasi militer dalam sekejap mata, menciptakan gelombang kejut. Ledakannya dapat menghancurkan medium antarbintang.

Pola spektrum, dan besar luminositasnya mampu membutakan mata.

Ini belum berakhir. Cahaya yang menumpang lewat tadi hanya lajur terbukanya ledakan lain. Aku membanting diri ke samping untuk menghari cahayanya, dan menanti bencana berikutnya. Debu-debu kosmik bermunculan dimana-mana, mengawali terjangan ledakan bintang bermagnitudo absolut super-duper gila. Ledakannya dirilis seperti tembakan radiasi elektromagnetik hasil dari radioaktivitas. Warnanya kuning keemasan, dan diiringi berkas-berkas cahaya perak berupa pengion dan wujud piringan akresi.

DUAARRR!!

Bunyinya memekakkan telinga. Aku menutup kedua telingaku kencang-kencang. Suaranya merusak indera karena terdengar amat menyengat. Aku sampai sesak napas karena kelainan irama jantung. Rasanya seperti disembur nuklir oleh Nebula, tapi aku tidak ada dalam pengamanan zirah Mechabot.

Itu terjadi begitu cepat, secepat kedipan mata. Setelah cahayanya mulai reda dan luruh, menyatu pada udara, dan meninggalkan sesuatu seperti radioisotop, aku menoleh pada kerusakan yang ditimbulkan. Ini distrik dimana energi listrik dimuat dalam pencawang-pencawang ekstrakvator energi. Mereka disuplai dari awan-awan dengan petir. Seratus persen infrastruktur Gur'latan hilang dari permukaan tanah, bahkan tak menyisakan debu untuk dikenang. Mereka terbakar suhu gamma, menjadi abu, kemudian lenyap.

Namun ada satu pencawang paling tinggi yang tersisa. Kapasitasnya penuh listrik. Penuh energi.

Leherku pelan-pelan menoleh pada Arumugam. Pria buta itu berada dalam kuda-kuda menyerang. Kedua tangannya terangkat dan saling menumpu. Napasnya berat, dan tidak beraturan. Percikan-percikan cahaya yang berkerlap-kerlip menghiasi kedua ujung jari telunjuknya. Kadang ada, dan kadang tiada.

-

Pagi itu, aku bangun di atas ranjangku. Aku tidur di atas bantal-bantal kapuk beraroma cedarwood, tonka bean, olibanum & patchouli. Perfect match untuk bau-bauan yang enak dicium saat bangun tidur. Aku melenguh, dan membalikkan badan ke samping. Aku lupa ini hari apa. Aku tidak mendengar suara alarm atau tidak seorang pun membangunkan aku. Biasanya, kalau aku ada acara—misalnya kencan buta, refreshing ke Bali, ingin main ke H club, atau teman bisnisnya papi mengajakku ke pameran mobil di dekat Universitas Indonesia, atau teman papi mengundangku ke acara keluarganya, atau hanya sebatas ajakan main dari teman kampusku ke Plaza Singapura—aku akan berpesan ke salah satu pembantu di rumah ini untuk menyiapkan aku. Aku mengucek mata dan bengong.

Ranjang ini dibuat memiliki empat pilar dan atap kelambu. Bahan beludrunya melindungiku dari sengatan freon AC. Aku tidak punya minat bangun. Kelambunya terlalu hangat, dan ini bagaikan inkubator untukku.

Aku ingin bergelung di sini seharian, menonton ulang adegan keren Tony Spark sambil memesan penerbangan ke Inggris untuk weekend nanti.

"Permisi, (Nama)." Aku menoleh ke samping. Itu salah satu ART di rumah ini. Aku tidak begitu ingat siapa namanya, kenapa ia mengenakan bondu aneh, dan ini pelayan ke berapa setelah pelayan terakhir pensiun. Tidak penting. Karena tidak ada pembantu yang betah di sini. Mereka selalu datang dari agensi, bekerja selama seminggu saja, meminta seperempat gajinya di muka, lalu resign berasalan tidak kuat menghadapi anaknya Pak Pian. Aku nggak tahu aku salah apa.

Aku mendesis.

"Ayah kamu udah nunggu di ruang makan." Ia menginformasikan.

"Oke." Aku bangun pelan-pelan. Rambutku sekusut rumah tangga tetanggaku yang kerjanya ribut karena adanya pelakor.

Aku mengaggaruk kepala, mencari-cari alasan untuk berada di kasur lebih lama lagi.

"Oh ya." Aku menatap pembantu itu dengan mata sayu, dan sembari sesekali menguap. "Carikan sepatuku yang pada lebaran tahun lalu, aku gunakan untuk mengunjungi Srilangka."

"T-tapi, aku baru tiga hari di sini." Ia menyentuh dadanya, dan memelas.

Aku menghela napas, "aku enggak peduli. Tanya dong, ke pembantu lama. Berdikari dikit."

Aku beranjak dari kasur masih dengan piyama menempel di tubuh. Kalau boleh jujur, ini piyama gratisan. Aku memperolehnya dari salah satu hotel di Al Ain. Bahannya dingin. Enak di kulit. Apalagi Indonesia sedang musim kemarau, jadi aku perlu meminimalisir penggunaan satin.

Sinar matahari menembus gorden rumahku.

Aku malas beraktivitas.

Jakarta keterlaluan panasnya. Aku tidak bisa berlama-lama diluar. Apalagi kali ini udara di sekitar rumahku diinfeksi polutan dari kemacetan distrik pusat hiburan. Ada terlalu banyak suara klakson, uap dari knalpot mobil, gerungan supercar di samping pantai buatan, dan suara musik yang tipis-tipis terdengar ke jalan raya dari wahana night music.

Aku melengos ke ruang makan, lalu duduk di salah satu kursinya. Sandaran kursinya jauh lebih tinggi dariku—karena memang begitulah temanya. Bantalan empuknya dibungkus kain beludru warna ungu, dan dijahit pula dengan kristal-kristal imitasi. Papi sudah ada di depanku, ia menyesap kopi sambil menunggu makanan lainnya datang.

Ruang makan selalu terasa sesak karena ada terlalu banyak benda berlanggam gothic. Sebentang meja kaca persegi panjang ini, dilapisi taplak meja berbordir emas. Dan ada lima vas bunga berisi rangkaian bunga plastik edelweis yang dipadupadankan dengan padma gading. Tiga trisula kuningan dudukan parafin-parafin aromaterapi ikut menyemaraki. Dan di tembok-temboknya, papi memajang banyak karya seni lukis dari cat minyak; papi membeli karyanya Affandi, judulnya Madurese Boat at Beach dari salah satu lelang di acara expo—aku tidak tahu berapa miliar harganya, papi juga memboyong tiruan lukisan Raden Saleh, dan lukisan-lukisan dari jalan Braga.

Lampu gantungnya juga menjulang ke bawah dari langit-langit sana.

Papi ingin meniru apartemen da Vinci, mengimitasikan kesan medievalnya, namun arsitek pribadi kami malah mengacaukan desain ruang makan dengan sangat buruk. Padahal ia sudah digaji sebanyak empat kali untuk mendekor lima rumah kami di sekitar Jabodetabek. Kami berlangganan menyewa jasanya selama lima tahun terakhir karena namanya terseret masuk ke majalah Fortune sebagai salah satu arsitek terbaik di Foster and Partners.

Kebetulan, hari ini hidangannya simpel. Bagian dapur diisi oleh jajaran chef lulusan Binus. Mereka memasak salmon yang dihancurkan, dicampur mayo dan segala rupa bumbu-bumbunya, lalu dijadikan isian dari roti. Intinya ini roti isi.

Aku melahapnya.

"Kapan kamu pulang tadi malam?" Tanya Papi.

Aku mengendikkan bahu. Aku tidak terlalu memperhatikan jam. Aku hanya pulang, melepas lelah, mandi dengan sabun busa di bathub lalu tidur.

"Sekitar tengah malam." Kataku.

"Apakah di sana banyak sekali relawan?" Tanya Papi lagi.

Aku tertawa. "Nggak, Papi. Cuma ada satu orang. Itu pun, enggak meyakinkan dia akan membantu banyak atau tidak."

Serombongan pelayan menghantarkan hidangan-hidangan lain. Kutarik lagi ucapanku. Hari ini, pesta! Papi memenuhi meja makan super luas di depanku dengan berbagai macam jenis makanan hewani. Juga ada rak bertumpuk-tumpuk tingkat lima berisi aneka kue one bite size. Di antaranya, ada kesukaanku; apple palmsuiker pie, kaasstengels dengan keju kering dan phyllo jamur dalam cup yang menggemaskan.

"Kita enggak boleh meremehkan orang." Papi justru menggurui aku soal etika.

Aku mengulas senyum kecut. Tanganku meraih phyllo dan memasukkannya ke dalam mulut. Kue berpinggiran bergelombang ini gurihnya minta ampun. Aku menguyahnya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

"Iya, Pi. Sorry." Aku menarik piring kosong, dan menyendok ayam bumbu bagian paha atas di baki. Aku menusuknya dengan garpu, dan melahapnya pelan-pelan. Papi akan menyukainya juga. Meskipun ia berasal dari Malaysia, tapi semenjak Papi menikahi wanita lokal sini—Mamiku, Papi jadi menyenangi lusinan olahan Betawi dan masakan kedaerahan lainnya. Minang. Jawa. Begitulah.

"Siapa namanya?" Tanya Papi.

"Nggak tahu. Lupa, Pi." Aku sibuk melahap makanan lain. Siapa? Kevin? Anson? Alvin? Lawrence? Bobby? Bryan? Fadlan? Legolas? Sadam? Ali? Fathur? Angga? Oh. Bukan. Itu nama mantan-mantanku dari urutan satu sampai urutan dua belas secara berturut-turut.

"Dia punya power sphera?" Tanya Papi lagi.

"Kayaknya enggak." Aku menjawab alakadarnya. "Ai do mempertimbangkan untuk melatihnya karena ai melihat secercah harapan."

"Kalau itu, terserah." Papi tampak khawatir. "Pokoknya, jangan sampe kecapekkan. Nanti kamu sakit."

Papi berdiri, Papi merapikan barang-barangnya di meja; charger laptop, DVD, flashdisk satu terrabyte, handphone, dan dua buah buku ke dalam tas. Papi mau pergi? Papi belum makan. Padahal aku mau makan bareng Papi.

Aku cemberut ketika Papi mengitari meja makan dan mencium pucuk rambutku, "Aku mau pergi ke Kuala Lumpur dulu. Ada urusan di sana."

Aduh! Itulah enggak enaknya punya cabang di luar negri! Kalau ada apa-apa, owner harus ikut campur! Aku kan, tadinya mau minta ditemani membeli ponsel baru, sekaligus quality time. Karena kebetulan, di bioskop ada film baru dari Marvel. Aku juga mengajak Papi ke fashion week yang dilaksanakan di salah satu universitas seni Jakarta Timur karena aku mau berbelanja produk-produknya—aku bahkan sudah merencanakan trip ke Petersburg, karena di sana sedang ada festival White Nights; kami bisa nongki di Scarlet Sails untuk melihat pertunjukan pertempuran bajak laut dalam perairan Neva.

"Love you, Papi." Kataku.

"Love you too, Sayang. Nanti kamu ke Gur'latan lagi, ya? Hati-hati." Ujarnya. "Atau kalau cuma ada satu orang sukarelawan, kamu boleh mengajar dia di TAPOPS sekalian. Ruang latihan kan selalu kosong."

"Er, no. Bakal ribet. Si Aldino buta." Aku mengaku. "Eh, siapa ya? Nggak tahu. Aku lupa namanya."

-

Continue Reading

You'll Also Like

672K 32.4K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
755K 75.6K 53
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
91.4K 8K 82
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
2.2K 256 7
『 BoBoiBoy x Reader as Friend 』 ⊱ ────── {.⋅ ♫ ⋅.} ───── ⊰ ➢ Bagaimana jika sihir di buku dongeng yang kamu baca itu tiba-tiba menjadi kenyataan? Ber...