Boboiboy x Reader | Alternate...

By Goldilocks95

12.2K 2.1K 1K

Aku terjebak dalam putaran waktu melawan Nebula. Aku mengulagi dan mengulangi. Tapi aku tidak kunjung menang... More

Prolog
- 02
- 03
- 04
- 05
- 06
- 07
- 08
- 09
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
Epilog
Xtra

- 01

703 101 14
By Goldilocks95

Nebula masih mengejar di belakang. Entah bagaimana ini menjadi percobaan ke seratus tujuh setelah aku kalah melawannya di putaran pertama.

Tapi, kali ini, aku tidak mau kalah tanpa melawan. Di tiap percobaannya, aku memperoleh pengalaman baru. Aku melaju menuju tubuh Nebula lagi, dan memanjat melalui lengannya dengan menancapkan sebilah pendahan logam di tiap langkah merangkak ini, dan mencoba menyabet punggungnya dari atas ke bawah, menciptakan robekan besar.

Aku merosot jatuh sambil menusuk kedua pendahan di tanganku, terjun sekaligus menorehkan insisi. Di tiap jengkalnya, Nebula menghasilkan nitrous oxide berbau mirip bawang putih yang difermentasi. Itu sesungguhnya ialah luka. Aku berhasil setidaknya menorehkan inisiasi menyerang balik dan memicunya batuk nitrogen dingin. Kendati begitu, luka dariku disembuhkannya dengan regenerasi ultima. Kulit-kulitnya seakan menyatu kembali menjadi satu-padu melalui serangkaian aktivitas kinetik gas dan malah dari proses itu, ia menyebarkan semprotan senyawa kimia berupa atom oksigen bercampur atom karbon. Kebetulan, Mechabot dapat memverifikasinya sebagai karbon monoksida liar. Karbon monoksida mampu melekat erat pada hemoglobin, dan perlahan akan membunuhku, apabila aku terpapar terlalu banyak. Makanya aku berkali-kali menghindar. Begitu pun juga sekarang. Aku menjauh, aku berguling di atas blower kapal luar angkasaku kemudian membentuk perisai melalui mekanisme Mechabot—mentamengi diri dari semburan racun penyebab hipoksia jaringan itu.

"Sudah cukup, Laksamana." LoopBot muncul dari ventilasi atap kapal terbang ini.

Aku mengusir kesal yang dikandung oleh kepalaku. Aku sangat gengsi untuk mengakui, aku lelah, aku bisa gila karena ini kekalahanku yang ke seratus tujuh, dan aku tidak bisa mengungkapkan betapa bencinya aku pada makhluk awan antarbintang itu. Nebula. Astaga. Nebula. Bahkan jika aku mati pun, aku akan mengingat namanya. Dendam ini mustahil hilang.

Aku ngos-ngosan. Aku mengubah perisai di lenganku kembali menjadi pedang bermata dua yang cukup tajam untuk mengiris zat hidrogen dan helium padat itu. Aku sebetulnya tidak yakin Nebula terbuat dari apa. Seharfiahnya, makhluk itu tidak hidup. Ia hanya sekumpulan debu!

Aku merasakan irama jantungku menjadi lebih cepat.

Jam tanganku berkelip-kelip. Aku menengok mengapa Mechabot memperingatkan. Jam tangan itu membaca tanda-tanda vitalku. Menurut monitor mininya, nadiku melesak naik sampai ke batas tidak normal, dan tekanan darahku juga didiagnosis hipertensi.

Tiba-tiba, darah merosot turun dari hidungku.

"Kamu segera mati jika kamu tidak berhenti." Melalui jam tangan, Mechabot memperingatkan. "Kamu menghirup terlalu banyak polutan. Meskipun tidak mengiritasi, itu dapat mengakibatkan kematian instan."

Aku menyeka darahku. Melihatnya sebentar, dan menegakkan tubuh.

Hanya aku satu-satunya harapan galaksi. Jika bukan aku, tidak ada siapa-siapa lagi.

"Gila!" Mechabot mencibir. "Kamu gila, (Nama)? Makhluk itu hanya dapat dihancurkan dengan gamma!"

"Aku tidak siap untuk gamma! Tidak ada bahan bakar matahari dan proyeksinya!" Aku membendung kesal. Aku berlari lagi dan melompat ke angkasa raya. Tidak ada gravitasi, jadi aku dapat melambung tingi. Aku menghadapi Nebula yang bertransformasi menjadi lebih konkrit dari waktu ke waktu. Aku menerkamnya di tepat di jantung. Aku mencoba mengincar jantung berkali-kali, tapi Nebula selalu menyeburkan sulfur-sulfur bau sabun. Aku mengelak lagi.

Aku tidak memiliki gamma. Tidak ada gamma yang dapat dikendalikan di alam semesta ini. Sebetulnya bisa. Tapi itu berarti aku akan membunuh diriku sendiri dengan Mechabot ikut ke dalam rencananya. Tapi, ayolah, itu jalan terakhir—sekarang aku mau berusaha.

Aku memproyeksikan mesin jet, sepeti yang aku lihat di film Marvel. Aku mengelak ke kanan, ke bagian punggungnya Nebula, dan berjuang keras menyayat-nyayatnya lagi.

"Cewek gila! Kenapa Amato mewariskan aku padamu!" Mechabot marah-marah.

Peringatan data baterai Mechabot berbunyi. Aku makin pusing. Power sphera ini memang sudah aku eksploitasi dari tiga jam lalu. Aku punya dua pilihan; mencoba lagi meskipun menanggung sengsara, atau pulang dengan kekalahan. Aku pilih opsi yang pertama. Meskipun aku wajib mengulangi dan mengulangi sampai pada kewarasanku hilang dari jiwa ini, pulang sebagai pecundang rasanya lebih mengerikan!

Aku membaca pergerakan yang mencurigakan dari Nebula. Ia tipikal makhluk lambat lemah otak. Tapi ia menjadi lebih tidak responsif dan dungu kali ini. Nebula malah loading di tengah-tengah pertarungan epik kami. Nebula memvakum partikel kehampaan di luar angkasa dan menghimpunnya di perut. Aku tidak tahu Nebula ingin berbuat apa. Tapi nampaknya, charging selalu berbahaya.

Aku menepi ke satu-satunya benda yang bisa aku pijak; pesawat luar angkasaku. Di percobaan lampauku, ia belum pernah meroketkan sepak terjang seaneh ini.

"Dia menjalani prosedur peledakkan diri." Kata LoopBot. "Bukankah tampak seperti itu?"

"Kalau begitu apakah dia akan mati setelahnya?!" Tanyaku antusias, sembari membiarkan darah tidak hentinya mengucur dari lubang hidungku.

"Tidak. Dia awan, debu, dan plasma." Aku memperbaiki ucapanku.

"Masuk ke pesawat! Dia akan meledak!" LoopBot mengingatkan.

LoopBot masuk duluan. Dan aku bergegas setelahnya. Aku menutup pintu ventilasi, kemudian memberangkatkan pesawat ini dengan menghidupkan lima puluh mesin piston dengan cara kerja serupa stirling untuk memicu turboprop besar demi mencapai kecepatan supersonik.

Pesawatnya melaju cukup cepat. Di tengah ajalku begini, aku ingin bilang, pesawat ini dibuat oleh jari-jemariku. Akulah teknisinya. Aku merakit piston, piston rod, crosshead bearing, connecting rod, crankshaft, sliding valve, dan governor sentrifugal untuk menciptakan mesin uap sederhanaku bahkan sejak usiaku menginjak enam belas. Dan ketika aku memutuskan akan masuk perkuliahan di bidan permesinan, aku merilis mahakarya pesawat luar angkasa ini dengan bantuan teknologi TAPOPS dan disupervisi papi. Wow. Aku ini memang sangat hebat. Aku bingung, adakah orang sehebat aku selain ... aku? Aku terlahir bersama talenta sampai aku pusing sendiri menghadapi betapa sempurnanya aku di cermin. Makanya aku tidak boleh mati sekarang oleh awan brengsek pengacau galaksi bernama Nebula. Aku sungguh ingin tetap menang melawannya sambil bersombong-sombong ria pada Kokoci.

Sembari mengontrol kokpit dan memastikan Nebula berada di batas aman, aku memijat kening, "Orang sesempurna aku jarang-jarang lahir di antara populasi manusia. Aku ini langka. Aku terlalu pintar, cantik, jenius, berhati mulia dan bijaksana. Aku tak boleh mati."

"Terserah." Mechabot mencibir.

Radarku di pesawat ini medeteksi adanya benda mati tak jauh darisini. Dari diameter dan skala ukur berupa kondisi bidang orbit dan massa-nya, aku tahu jelas itu planet.

"Ada planet. Kita melipir ke situ dulu." Aku mengumumkan, bersiap membanting kemudi ke exoplanet terdekat.

LoopBot menyipitkan mata. Robot bermuka katak itu lalu menahan tanganku untuk memindahkan gigi pesawat.

"Tidak! Itu Rimbara." Kata LoopBot.

"Kenapa dengan Rimbara? Ada setan di sana?" Tanyaku.

"Tidak. Lebih buruk daripada itu!" LoopBot mencegahku lagi. "O-oksigen di sana beracun."

"Kita memiliki konservator oksigen di pesawat luar angkasa ini, LoopBot. Ada apa denganmu? Aku juga tidak mau mendarat di planet hutan sarangnya spesies brokoli-brokoli itu. Aku benci hutan. Aku sukanya super Solo Grand Mall, Grand Indonesia Pakuwon Mall Surabaya, Tunjungan Plaza, Hartono Mall, dan Paris Van Java. Tidak ada yang suka hutan. Minggir, Loopbot. Aku mau menyetir."

"Tidak." LoopBot menolak menyingkir. Ekspresi wajahnya was-was, "kumohon, Laksamana. Aku sangat berharap kamu mengerti."

"Aku tidak didesain untuk mengerti siapa-siapa!" Aku membentak, dan aku memaksa agar roda-roda gigi mengarah pada destinasi yang kuinginkan. Rimbara, katanya. Aku juga malas pergi ke sana.

"Ini sisa energiku." LoopBot menghantamkan telapak tangan logamnya ke pundakku. Ia memercik cahaya kuning keperakkan, menciptakan time quake untuk yang ke seratus delapan kalinya, dan memanipulasi waktu dalam himpunan ruas berupa arus vektor aneh.

Aku mengerjap. Dan seketika, terowongan waktu menelan tubuhku yang dilapisi zirah Mechabot. Aku dibawa entah kemana oleh pusaran momentum ini. Aku merasakan pusing lagi. Namun aku juga mengalami perubahan kondisi tubuh; aku kini sehat, dan berenergi penuh. Aku jatuh pada lorong TAPOPS, lokasi dimana aku bertemu LoopBot.

Ini putaran waktu ke seratus delapan kalinya.

Tubuhku sempurna terestorasi. Tapi kejiwaanku tidak. Aku memiliki mental yang mengalami seratus tujuh kali kekalahan melawan Nebula dan karena itu, aku berteriak nyaring.

"NEBULAAAAAAA!" Aku meninju lantai. Aku lalu menjatuhkan punggungku ke dinding TAPOPS. Dinding di lorong dibuat dengan kaca tembus pandang. Antariksa terlihat lebih bercahaya hari ini entah mengapa. Bekas adinaya terpampang di belakangku. Mereka seperti jerawat bercahaya. Proses katai putih yang mencuri gas panas dari bintang pendampingnya terlihat seperti benang merah pengirim berkas-berkas cahaya redup dan simultan. Bintang-bintang neuron di sekelilingnya juga kelihatan memesona.

Aku menghembuskan napas berat.

"Kamu lelah, Laksamana? Maaf aku memaksa kamu pulang." LoopBot mendekati aku, ia terbang rendah dan menyentuh punggung tanganku. "Aku punya alasan yang sulit sekali dijelaskan."

Aku menatapnya tanpa ekspresi, "kalau aku tak berbaik hati, akan aku gebuki kamu sampai mampus."

LoopBot bergidik ngeri.

"Tunggu aku bernapas dengan tenang selama lima belas menit. Lalu, antar aku ke sana." Aku mendeklarasikan. Jenius-jenius begini, aku punya satu sifat tidak terpuji yang sulit dilawan; aku sedikit pemalas karena aku dibesarkan oleh papi—papi selalu memanjakan aku, dan oleh karena itulah kadang-kadang aku malas.

Aku malas. Aku sangat malas bertemu Nebula lagi. Wajahnya menyebalkan. Mau kujontok rasanya. Bajingan itu juga selalu kentut, muntah, bersin, dan mengeluarkan gas-gas tolol tiap kali aku menyakitinya.

"Apa katamu, Laksamana? Kamu belum menyerah setelah lebih dari seratus kali di—"

Aku menyumpal mulutnya. Aku tidak akan mengizinkannya mengucapkan sepatah-kata pun mengenai kekalahanku. Itu terasa memalukan sampai aku pengen bunuh diri dengan minum cairan pembersih WC.

"Aku tidak bisa." Setelah lepas dari tanganku, Loopbot berkata demikian. "Bateraiku habis."

"Laksamana? Kamu ... kenapa kamu duduk di bawah?" Kapten Kaizo datang dari arah berlawanan dari kedatanganku.

"Jangan tanya!" Aku mencebik. "Urus kepentinganmu sendiri! Bangsat! Aku sangat pusing!"

Aku berdiri dan merenggangkan tubuhku. Efek psikologi dari ratusan kali melawan Nebula menjadikan aku pegal-pegal.

"Sialan. Aku sangat sial. Bedebah. Aku ingin mati saja andai aku bukan pewaris tunggal kerajaan bisnisnya papi!" Aku marah-marah lagi seraya membetulkan bandul kalungku—yang ialah Mechabot dalam mode fleksibel. Aku berlalu pergi meninggalkan Kaizo.

LoopBoy mengikutiku, "Bukannya, sebelumnya, kamu menyukai Kapten?"

Aku mendecakkan lidah, "Semua orang rasanya menyebalkan. Aku undur diri jadi manusia caper dulu karena lelah. Eh. Sebentar."

Aku memundurkan langkahku dan berbelok ke koridor menuju ruang meeting utama di TAPOPS. Aku melihat Kokoci, Laksamana Tarung, dan Ramenman tengah mengobrol, membicarakan Nebula.

Aku menghela napas, mempersiapkan diri untuk terjun ke jurang malu.

Aku mengetuk daun pintu elekroniknya, sebagai sign akan kedatanganku yang tiba-tiba.

"Laksamana? Kamu belum berangkat?" Tanya Ramenman.

Tolol. Aku ingin mengatainya begitu. Semua orang di ruangan itu kelihatan seperti manusia paling mendongkolkan di seantero galaksi.

Namun aku menekan sentimenku. Baiklah, (Nama)—kamu cewek pemberani. Daripada bertingkah tidak realistis dengan melawan Nebula bermodalkan kemarahan dan dendam seperti bajingan tolol tanpa otak, dan menghasilkan kekalahan lainnya di putaran ke seratus delapan, lebih baik aku bersikap bijaksana. Bukankah aku memang bijaksana? Benar. Tentu saja. Aku bijaksana, keputusanku selalu tepat, tidak ada orang yang dapat merevisi tindak-tandukku kalau bukan diriku sendiri.

"Aku menyerah." Kataku. Aku menggigit bibir. Ini rasanya sangat memalukan. "N-nebul-a. M-maksudku ... N-n-nebula ... terlalu k-kuat."

Mereka memandangku dengan tatapan sejuta makna.

Aku bingung. Kenapa tidak ada yang secara frontal mengejekku.

"Apa kamu sudah mencoba bertemu dengannya? Kamu terluka?" Laksamana Tarung menghampiriku. Aku mundur menjauh, dan menunduk malu sambil menautkan tangan di belakang punggung. Sialan sekali. Membendung malu dan menahan berak itu sakitnya beda tipis. Egoku tersiksa. Ini naas sekali. Rasanya tidak ada pelarian lain selain menjatuhkan diri dari lantai 99 gedung pencakar langit punyanya papi di Senopati.

"Aku belum." Aku berdusta.

Mau diletakkan dimana muka ini kalau orang-orang tahu aku sudah kalah sebanyak seratus tujuh kali? Tolol! Ada apa denganku? Aku sangat hancur. Ini bencana raya bagiku. Aku hanya akan membolak-balikkan badan dan meringkuk di kasur sepanjang malam ini dan seminggu ke depan, karena rasa malunya akan bertahan cukup lama.

Aku mau menangis.

Aku hanya punya satu jawaban; Gamma—atau, membunuh diri demi kesalamatan umat manusia.

Di luar dugaan, bukannya mencacimakiku, Laksamana Tarung justru mengelus rambutku.

Aku tersentak ketika tangan kekarnya berusaha menenangkan aku dari gejala orang gila.

Aku menatapnya teduh.

"Aku mengerti. Aku juga tidak bisa melawan Nebula meskipun dibekali tenaga tentara galaktik." Kata Laksamana Tarung. "Jangan dipikirkan. Aku punya misi baru."

"Misi baru." Aku menekankan. "Lalu bagaimana dengan Nebula? Siapa yang akan mengatasinya? Dia melintas dari kawasan H-II ke Andromeda."

"Misimu juga berhubungan dengan Nebula. Kami tetap akan melawannya. Tapi melalui invasi berskala besar. Makanya kami perlu menyiapkan perekrutan mentah setiap prajurit antariksa. Kamu, Kaizo, aku, Komander Kokoci, ditugaskan ke tiap planet yang berbeda. Bisakah kamu memimpin pelatihan di Gur'latan?"

Gur'latan?

Rumahnya si Kirana, eh? Wanita sok asik itu memiliki tentara mengerikan di kerajaannya, bukan?

"Bukankah sebaiknya aku stay tune di bengkel TAPOPS? Siapa tahu aku bisa memesinkan Gamma meskipun kedengarannya mustahil." Aku menawarkan diri. Itu rencanaku, sih.

"Gamma tidak bisa diciptakan." Komander Kokoci ikut campur ke perbincangan kami. "Kecuali oleh Boboiboy Gamma."

Aku menepis tangan Laksamana Tarung.

"Bajingan. Sebut nama itu lagi, Komander. Dan aku akan keluar dari TAPOPS. Hah! Orang-orang begitu menjengkelkan! Aku muak! Aku mau muntah! Baiklah, iya, aku akan pergi ke Gur'latan. Persetan gamma."

Aku membalikkan badan dan menarik LoopBot bersamaku.

"Kiciili Bibibiy Gimmi. Begitu katanya? Apa ada kata lain yang bisa lebih memualkan daripada itu?! Tidak! AH! Sial! Mayat kok disebut-sebut. Mayat ya mayat. Dia sudah di akhirat. Kenapa pake dibawa-bawa segala!" Aku memekik di lorong. Laksamana Tarung memerhatikan punggungku menjauh tanpa menghentikan aku sama sekali. "Padahal aku jelas-jelas melukiskan rekor credit score terbanyak di TAPOPS. Orang-orang tidak sadar, akulah harapan satu-satunya galaksi ini."

BAJINGAN! GUR'LATAN? OH! SIAL! PLANET TANPA MALL DAN SKY DINNING!

-

Continue Reading

You'll Also Like

24.5K 2.9K 7
Hanya cerita tentang dirimu dengan seorang pemuda jeruk superhero ini yang telah sah menjadi suamimu. BoBoiBoy x Reader Seperti biasa No copas. Udah...
937 115 7
Aku di titipkan oleh nenekku di Malaysia oleh kedua orang tuaku, alasan sederhana, mereka berdua berpikir kalau aku tidak mempunyai kemampuan yang lu...
3.3K 440 8
HuLotSun Project BoBoiBoy X Tsundere Fem!Reader. Bagaimana rasanya berkahwin dengan perempuan yang tsundere dan garang macam singa? Pasti menakutkan...
25.4K 3.3K 13
Ini cerita antara [name] bersama Kuroo Tetsurou yang bertemu dengan cara yang sedikit tidak terbayangkan namun cukup baik untuk dikenang. MHS Project...