HER LIFE - END (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.9M 263K 16.8K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 43

43.3K 2.8K 172
By ay_ayinnn

Pagi ini Vanya bangun dibangunkan oleh tangisan Elen. Entah mengapa tiba-tiba anak itu menangis. Padahal semalam dia tertidur sangat nyenyak.

"Elen, kenapa nangis? Sini Sayang," Vanya membawa Elen ke dalam dekapan.

"Ssttt, ada Mama disini. Mimpi buruk, hm?" Lanjutnya bertanya.

Dulu waktu masih di desa, Elen sering seperti ini. Nangis tiba-tiba ketika bangun di pagi hari.  Kala itu, saat ditanya oleh Vanya jawaban Elen hanya singkat. Dia ingin dipeluk oleh Papanya. Dari situlah Vanya memberi pengertian kalau Papa itu adalah Ayumi.

Bodoh memang, Elen juga pasti tahu apa itu Papa dari El. Tapi Vanya tetap saja menjelaskan kalau Papa itu adalah Ayumi, neneknya.

"M-mau Pa-papa, Ma, hiks," Isak Elen dalam pelukan Vanya. "Papa ning-ga-lin k-kita la-lagi."

"Eh? Kali aja Papa lagi kerja," Jelas Vanya. Sekarang dia tidak bisa mengelak lagi, Elen udah tahu Gavin.

"Hiks t-tapi ke-ke-napa gak ba-balik la-gi ke sini?"

"Sebentar," Vanya menaruh Elen disampingnya duduk. Badan wanita itu berbalik, ia mengambil sebuah barang di atas nakas.

Sebuah benda pipih berada digenggaman Vanya. Enam tahun tidak memegang benda itu membuatnya sedikit bingung. Tapi tak apa, Vanya masih mengerti bagaimana cara menggunakannya.

Di dalam hp itu hanya ada room chat Charles dan Gavin. Lalu aplikasi lainnya diisi game anak-anak oleh Charles. Contohnya salon-salonan, puzzle, owner kedai semacam owner cafe, kedai kopi, pecel lele, tahu bulat, dan lain-lain.

Waktu ditanya kenapa banyak sekali game anak kecil, Jawaban Charles, "Biar kamu gak bosen. Itu seru tahu, Papa main yang jadi owner kedai kopi." Ya udah Vanya iyain aja.

"Elen mau telepon Papa?" Tanya Vanya yang sudah membuka room chat Gavin.

Mendengar kata Papa, Elen langsung berbinar, "B-bisa?" Vanya mengangguk.

Dipencet lah gambar telepon yang berada di pojok kanan atas. Berdering, teleponnya sudah sampai ke ponsel Gavin.

•••••

Sedangkan di lain tempat.

"Vin, gue laper," Ucap Alex mengelus-elus perutnya yang sudah keroncongan. Kasihan, gagal sudah program pembentukan perut kotak-kotak Alex. Tapi katanya sih gak apa, semua ini demi menebus kesalahannya sama Vanya.

"Masak lah," Ucap Gavin menghirup udara pagi ini. Sejuk, kayak di desa Vanya waktu itu.

Posisi mereka berdua sekarang tengah duduk di tangga kayu depan rumah. Awalnya cuma Gavin, laki-laki itu kembali meratapi kesalahannya kepada Vanya. Eh malah si ribet Alex kembaran Marvel ini bangun. Jadilah mereka berdua sama-sama meratapi kesalahan di depan rumah.

"Semalem gue room tour, gak ada kompor," Ucapnya menatap depan dengan pandangan mata yang kosong. Alex udah lapar banget kayaknya.

"Ada tungku. Lo masaknya pake tungku. Ditiup noh bawahnya biar apinya nyala," Jelas Gavin masih sabar.

"Tungku apaan Jir? Ini serius lima tahun Vanya hidup kayak gini?" Gumam Alex bete. Dia juga gak percaya kalau Vanya pernah ada di fase kehidupan kayak gini. Walaupun waktu SMA mereka semua mengira Vanya anak miskin.

"Sama tahun ini jadi udah enam tahun," Ucap Gavin membenarkan. "Vanya malah lebih susah dari ini, Lex, makannya gue masih bersyukur kalian nggak disuruh cari uang kayak Vanya dulu. Kalo iya gue jamin belum apa-apa kalian udah nangis."

"Emang nyari uang gimana?"

"Dia mulung. Ngambil botol-botol plastik dari sampah."

"Gak mungkin," Kekeh Alex menggeleng tidak percaya.

"Terserah mau percaya atau enggak."

"Vin, Vanya itu anaknya Om Charles. Lo sendiri tahu Om Charles bukan orang yang menye-menye."

"Lah kenyataannya gitu. Tanya Marvel. Dia yang sampai masuk ke rumah Vanya waktu itu."

"Hoamm," Marvel menggeliat di ambang pintu. Dia sempat mendengarkan sedikit perbincangan antara Gavin dan Alex barusan. "Pagi amat kalian bangun."

Drttt, drtt, drrtt.

Mendengar dering ponsel tiba-tiba membuat Marvel melonjak kaget. Sungguh, hp Gavin lagi di cas dan letak cas-nya itu berada di dekat Marvel berdiri, getar-getar lah lantai kayu yang ia pijak itu. Baru juga mengumpulkan nyawa, udah dikagetin aja.

"Cok!! Ngecas kok di deket pintu sih?!" Pekik Marvel setelahnya.

"Ya mau cas dimana? Colokan cuma disitu. Bisa emang kalau gue cas di lubang hidung lo?" Dengan santainya Gavin menjawab sambil beranjak mengambil hp dan melihat siapa yang meneleponnya sepagi ini.

"Vanya?" Gumam Gavin dapat didengar oleh Marvel dan Alex.

"Hah? Lo kontakan sama Vanya? Dari kapan? Kok gak ngasih tahu? Apa gue doang yang gak tahu?" Pertanyaan beruntun dari Alex membuat Gavin memilih untuk mengabaikannya dan mengangkat telepon Vanya.

"Halo? Kenapa, Van?"

Dari seberang sana, Vanya mendengar suara Gavin agak putus-putus. Dia sempat menjeda sebentar karena siapa tahu nanti udah bener. Setelah tiga detik barulah dia membalas Gavin.

"Halo Gavin? Suara kamu putus-putus," Ucap Vanya sebelum memberikan hpnya kepada Elen.

"E—ma—ng iya?"

"Nah udah nggak tapi masih."

"Kalo sekara—ng?"

"Udah enggak. Tapi masih."

"Oke, kamu kenapa telepon aku? Semua baik-baik aja kan?"

"Udah enggak!" Pekik Vanya masih membenarkan suara Gavin yang putus-putus, sedangkan Gavin sendiri menjauhkan hp dari telinga mendengar pekikan tiba-tiba dari Vanya.

"Iya, iyaa, Kenapa? Tumben telepon pagi-pagi."

"Gavin, ini Elen nangis terus cariin kamu," Lanjut Vanya lalu memberikan hpnya kepada Elen. Dia juga memencet loud speaker agar bisa mendengar percakapan antara Gavin dan Elen.

"Papa," Ucap Elen pelan.

"Halo princess-nya Papa, kenapa nangis terus, hm?"

"Papaaa hiks, P-papa ke-kemana? Ke-kena-pa gak su-su-lin aku sa-sama Mama?" Ucapnya terisak-isak.

"Jangan sambil nangis, Elen. Nanti sesek loh," Vanya menghapus air mata Elen dengan lembut.

Di seberang sana Gavin tersenyum mendengar suara Vanya yang begitu peduli kepada Elen, "Papa lagi ada acara. Nanti kalau udah selesai Elen sama Mama, Papa susulin deh."

"Ja-janji?"

"Iya, Janji."

"Aku Sa-sa-sayang Papa."

"Papa juga Sayang sama princess cantik satu ini."

"A-acara-nya ja-jang-an lama-lama," Ujar Elen sedih.

"Siap, gak lama."

"Udah, Ma," Samar, Gavin masih bisa mendengar percakapan Vanya dan Elen dari telepon.

"Udah?" Tanya Vanya mengambil hp yang tanpa sadar masih menyambung dalam telepon.

"Van?" Panggilan Gavin menyadarkan Vanya lalu menonaktifkan loud speaker-nya.

"Iya?"

"Kalo nanti Elen cariin aku lagi, kasih aja boneka yang ada di Adara. Kemarin aku sempat nitip boneka ke dia."

"Kamu kenal Adara?"

"Dia sahabat kamu kan?" Vanya mengangguk walaupun Gavin tak bisa melihat anggukannya.

"Ya udah, aku mau mandiin Elen dulu. Kamu kapan kesini lagi?"

"Besok ya, Van, kalo aku udah senggang nanti kita jalan-jalan bareng."

"Iya."

Setelah mereka selesai berbincang, Gavin mematikan teleponnya. Tanpa sadar dia masih tersenyum-senyum bak orang gila menatap hp yang masih tergenggam.

"Ciee," Goda Marvel tengil.

"Mau jalan-jalan ya, Vin?" Sahut Alex ikutan tengilnya Marvel.

"Apaan sih."

"Ngomong-ngomong kita belum pernah  ketemu Vanya setelah 6 tahun," Celetuk Alex.

"Lo aja kali," Jawab Marvel. "Gue mah udah sampai tahu tentang tetangga-tetangga Vanya yang bacot disana."

"Hm, gue pengen minta maaf secara langsung sama Vanya," Ucap Alex kecil.

"Lah iya, gue belum minta maaf yak ke Vanya?" Gumam Marvel berpikir. Dia lupa udah mengucapkan kalimat maaf atau belum. Tapi kayaknya sih belum.

"Udah, dipikir ntaran dulu. Sekarang lo semua mau pada sarapan gak? Kalo mau ayo masak," Ajak Gavin semangat.

"Ck, tadi gue suruh masak sendiri. Giliran abis ditelepon Vanya semangat bener mau masak," Cibir Alex menatap sinis Gavin sebagai candaan.

•••••

Di rumah Charles, semua tengah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hari sangat terik namun para pekerja alias art yang bekerja di sana tetap semangat melakukan pekerjaan mereka masing-masing

"Mbak, mental non Vanya tu katanya lagi nggak sehat ya?" Tanya seorang asisten yang sedang membuat susu anak-anak.

Barusan Vanya turun dan minta dibuatkan susu untuk Elen. Entahlah, tiba-tiba saja Elen minta minum susu. Padahal Vanya ingat dengan jelas Elen jarang sekali meminta susu saat berada di desa.

Mana tadi waktu Vanya tolak, Elen nangis lagi. Kan Vanya jadi bingung.

"Katanya iya. Tapi kamu lihat kan, non Vanya kayak normal-normal aja," Sahut asisten yang lain.

"Gak juga sih mbak, sebelum ada non Elen, non Vanya kayak suka melamun gitu. Aku sering lihat waktu nganter sarapan, makan siang, makan malam."

"Non Vanya itu seorang ibu. Sebagai seorang ibu kalau belum lihat anaknya sehari aja, pasti pikirannya kemana-mana."

"Ya maaf mbak, saya janda tanpa anak. Jadi gak tahu gimana rasanya punya anak."

"Malah ngerumpi. Tadi Vanya minta apa? Udah dibuatin belum?" Clara datang dengan gaya sosialitanya seperti biasa.

Dua asisten yang kepergok lagi ngomongin majikannya itu pun hanya cengar-cengir tidak jelas. Salah satu dari mereka ada yang menggaruk tengkuk padahal tak terasa gatal sama sekali.

"Maaf nyonya. Ini susunya udah selesai. K-kalau gitu saya antar ke kamar non Vanya dulu," Asisten yang tadi memancing topik itu pergi.

Clara menghela nafas sabar, "Kalian udah lama kerja disini. Saya harap diantara kita tidak ada yang menjelek-jelekkan nama antara satu sama lain."

"Maaf sepertinya nyonya salah dengar. Tadi kami hanya berpikir mengenai kondisi nona Vanya sekarang." Dia menunduk, takut akan kemarahan Clara.

"Hm, Adara udah kesini lagi?" Tanya Clara setelah itu.

"B-belum, tapi non Adara sempat telepon ke rumah. Katanya ada boneka non Elen di kamar yang sempat non Adara pakai."

"Baiklah, saya itu pusing sama orang-orangan disini. Terima kasih ya, biar saya yang memberikan bonekanya kepada Elen."

"Siap nyonya."

Clara pergi ke ruang keluarga terlebih dulu. Ia duduk dengan satu kaki menumpuk kaki lainnya dan badan yang tersandar ke sandaran sofa. Baru saja bersantai satu menitan, Acel masuk.

"Mau ketemu Vanya lagi?" Masih dengan posisinya ditambah mata terpejam, Clara bertanya.

"Iya, boleh kan?"

"Boleh, Vanya ada di kamar. Kamu juga kalo belum makan siang makan dulu sana. Tanya ke bibi kalau lauknya habis."

"Gak usah, Tan. Aku izin ke kamar Vanya ya," Acel lalu berjalan menuju kamar Vanya setelah melihat anggukan dari Clara.

Menikmati sejuk dan segarnya rumah Vanya, tak terasa dia telah sampai di depan kamar Vanya. Ac disini tuh baunya kayak di mall-mall gitu loh, sedap.

Tok.

Tok.

Tok.

Tangan Acel bergerak mengetuk pintu kamar itu. Ada balasan sedikit berteriak dari dalam. Vanya menyuruh siapapun orang yang mengetuk pintu langsung masuk. Maka baik, Acel membuka pintunya secara perlahan.

"Van," Panggilnya sembari masuk ke dalam.

"Acel? Kamu kesini lagi?" Tanya Vanya senang, Acel mengangguk.

"T-tan-te kan ya-yang a-da di ru-rumah Papa wak-tu i-itu," Ucap Elen dengan susah payah.

"Kamu kenal sama Tante Acel?"

"Ke-kenal. T-temen-nya Papa," Lanjutnya menjawab pertanyaan Vanya.

Kening Vanya berkerut, Acel dekat dengan Gavin? Sejak kapan?

Mengetahui Vanya bingung, Acel berdehem. Ia mendudukkan diri di sofa yang berada di seberang kasur.

Elen sedang makan di meja yang sengaja Vanya letakkan di atas kasur. Vanya pula berada di sebelah Elen, menemani putrinya makan.

"Van, aku ke rumah Gavin waktu itu karena kita lagi berusaha cari kamu," Jelas Acel.

"Kita?" Tanya Vanya lagi. Siapa Kita yang Acel maksud itu?

"Gavin sama temen-temennya," Jujur saja, Acel tak mau menyembunyikan sesuatu dari Vanya.

"Kamu, deket sama mereka?" Acel mengangguk.

"Lumayan."

"Jangan deket-deket mereka lagi, Cel."

"Maaf, Van," Lirih Acel.

"Ma, u-udah, aku ke-ken-nyang," Sahut Elen menjauhkan piring dari hadapannya.

"Awas tumpah," Untung Vanya sigap menangkap piringnya. Kalau tidak, mungkin nasi dan sisaan daging sapi dimasak bacem itu sudah berjatuhan di atas kasur. "Diminum dulu susunya. Siapa tadi yang minta susu?"

"I-ya, Ma," Elen mengambil gelas susunya lalu meneguk susu itu sampai habis.

"Udah kenyang?" Tanya Vanya memastikan lagi.

"U-udah," Vanya menaruh kembali piring serta gelas ke nampan yang berada di atas nakas. Meja makan mininya juga Vanya lipat dan ditaruh ke bawah.

"Acel, kamu baik-baik aja kan?" Tanya Vanya kepada Acel. Dia merasa ada sesuatu diantara Acel dan Gavin serta teman-teman laki-laki itu. "Kamu... Nggak dibul--"

"Mereka udah jadi laki-laki dewasa yang baik, Van," Potong Acel tak ingin Vanya mengingat masa menyedihkan itu.

"Aku percaya Gavin udah berubah. Tapi buat yang lain, aku takut."

"Mama ja-jangan ta-kut," Elen reflek memeluk Mamanya yang tiba-tiba merasa ketakutan.

"Gak apa, Van. Kamu bebas menilai mereka kayak gimana. Kemarin mereka mau ketemu kamu, minta maaf ke kamu, tapi Adara larang mereka buat ketemu sama kamu. Dia juga yang ngusir mereka."

Hening, Vanya bingung mau menjawab apa. Mendengar mereka yang dimaksud Acel, fokus Vanya jadi sedikit buyar.

Ceklek.

"Van!" Adara masuk dengan nafas ngos-ngosan.

"Adara, kemarin mereka kesini?" tanya Vanya tiba-tiba.

Mendengar pertanyaan itu membuat Adara menatap Acel dengan tidak bersahabat. Sudah Adara duga pasti Acel sedang bercerita tentang lima laki-laki brengsek itu.

"ADARA JAWAB!" Jerit Vanya. Elen yang kaget langsung beranjak dari kasur dan berlari keluar melewati Adara yang masih berdiri diambang pintu.

"Emang cewek gila!" Lirih Adara sengit terhadap Acel.

"Vanya, hei," Dia berjalan mendekati Vanya. Pelan-pelan perempuan itu duduk di atas kasur lalu membawa Vanya kedalam dekapannya.

"Ssttt, kemarin gak ada yang kesini."

"BOHONG! ACEL BILANG MEREKA KESINI," Rontanya dalam dekapan.

"Van, bukan gitu maksudku," Ucap Acel khawatir. Niatnya jujur agar Vanya mengetahui kalau orang yang pernah membully-nya itu sudah berubah.

"Maksud Acel bukan temen-temennya Gavin. Maksudnya tuh, Gavin sama Elen kesini terus karena Gavin ada acara, dia buru-buru pergi."

"Nggak, Dara. Aku gak mau mereka kesini. Aku takut! Aku gak mau lihat mereka!" Vanya menggeleng-geleng.

Bayangan teman-teman Gavin datang lalu memperlakukannya seperti enam tahun lalu terlintas dibenak Vanya. Rasa sakit itu membuat Vanya gelisah, takut, dan panik.

"Goblok lo, Cel, sialan." Batin Adara terus-terusan mengatai Acel.

Merasa Vanya tidak bisa tenang melalui kata-kata, Salah satu tangan Adara yang menganggur meraba laci nakas. Ia mencari obat yang harus Vanya minum agar memori buruk itu menghilang. Itu salah satu obat dari psikiater yang memantau kondisi Vanya.

"Minum, udah waktunya kamu minum obat," Adara memasukkan obat kapsul itu ke dalam mulut Vanya. Tak lupa dengan air putih agar obatnya tertelan.

"Van--"

"Stop! Lo diem dulu," Larang Adara melihat Vanya sudah semakin tenang. Kantuk, ya selain membuat Vanya lupa dengan memori buruknya, obat itu juga memberikan efek ngantuk.

Pelan-pelan Adara rebahkan badan Vanya ke kasur yang mereka duduki. Adara juga menaikkan selimut agar saat bangun badan Vanya tidak kedinginan sebab AC selalu kurang dari 18°.

"Ikut gue," Beres membenarkan posisi tidur Vanya, Adara menarik kasar tangan Acel keluar kamar.










Bersambung.

Gavin mana lagi yg harus di percaya? Apa semua nama Gavin kek gt? Wkwk

Ramaikan ya beb🤍✨

20 2 24

Continue Reading

You'll Also Like

8.3M 806K 62
Hidup Alana berubah ketika ia harus menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang cukup muda. 17 tahun. Bayangkan saja, di usianya yang masih b...
2.5M 135K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
2.1K 229 21
Cinta. Satu kata yang sederhana, namun sangat menjadi beban bagi seorang Erik Arlando Frey untuk sekedar mengatakannya. Lain di mulut, lain pula di h...
771K 52.3K 42
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...