Is There a Second Chance for...

By BrinaBear88

1.4K 195 117

Satu per satu masalah datang beruntun menghantam hubungan Amyra dan Arya. Pernikahan yang dibangun di atas po... More

Salam dari Kami
1. Cinta Satu Malam
2. Biang Masalah
4. Nenek Sihir!
5. Seriously?
6. Harga Tetangga
7. Mimpi Manis, Sih, Ini!
8. Nikmati Saja Malam Ini
9. Mama!
10. Jauh Melenceng

3. Peran yang Tertukar

117 20 18
By BrinaBear88

Angin malam menghapus kepulan asap rokok yang baru kutiupkan ke udara. Entah sudah berapa batang yang kuhabiskan, aku enggan menghitung juga enggan memikirkan risiko yang kata para tenaga kesehatan tidak baik untuk paru-paru dan jantung. Otakku terlalu ruwet, bak gumpalan benang kusut. Aku butuh pelarian agar kewarasanku tidak bergeser apalagi sampai berlari ke mana-mana. Tali kekangnya lepas dari genggaman.

Pantat dan pinggangku mulai penat karena terlalu lama duduk. Kutengok jam di pergelangan tangan kiri. Ternyata sudah dua puluh menit meninggalkan pukul sembilan dan Amyra belum menjejakkan kakinya di rumah. Sampai larut malam begini ke mana perempuan itu pergi? Apa masih lembur seperti katanya tadi pagi? Namun, bukannya kemarin-kemarin kalau lembur dia pulang pukul delapan?

"Pa, Rio ngantuk." Jagoanku datang sambil mengucek-ngucek mata. Tatapannya sayu. Bocah berusia lima tahun yang sejak mandi sore tadi kupakaikan setelan Tayo itu mengangsurkan kedua tangan minta digendong.

"Mau tidur sekarang?" tanyaku sembari membuang lintingan nikotin yang tertinggal setengah ke rerumputan usai mendesakkan ujungnya di pinggiran kursi kayu yang kududuki.

Rio mengangguk dan langsung melompat memelukku. Tanpa menatapku lagi kepalanya lunglai di bahuku, persis bunga layu. Dia mungkin sangat lelah karena sepanjang sore hingga malam ini kujejalkan ponsel.

Dilarang menghujat! Pikiranku saja sudah kacau balau, mana aku punya stok kesabaran meladeni kerewelannya. Memikirkan nasibku yang akhir-akhir ini kian merana sudah sangat menguras emosi, aku tidak mau meledak jika dia tantrum karena kemauan yang tidak dituruti. Di zaman serba gadget seperti sekarang, ponsel menjadi jalan ninja untuk 'menenangkan' anak-anak.

"Baterai hapenya habis?" Aku mengayun langkah menuju rumah sementara Rio dalam gendongan. Dia menguap lebar sekali sebelum menggeleng.

"Capek. Ngantuk," sahutnya pelan. "Mata Rio sakit."

Mungkin yang dia maksud matanya perih dan panas. Wajar, sinar biru gadget memang semenyiksa itu dengan sederet dampak buruk bagi kesehatan tak hanya mata, tapi seluruh tubuh.

"Sepertinya mata Rio mau meledak."

Aku terkekeh.

"Kalau mata Rio meledak, di mana kita bisa beli mata baru?" tanyanya lugu.

"Nggak ada toko yang jual mata, Nak," sahutku jujur menanggapi pertanyaannya yang konyol.

Rio menegakkan tubuh. Dia menatapku lekat, tampak tak percaya. "Nggak ada di toko mainan?"

Aku menggeleng.

"Supermarket?"

Aku menggeleng lagi sambil mengunci pintu penghubung antara taman dengan ruang keluarga.

"Mal?"

Lagi-lagi aku menggeleng.

"Kalau di pasar yang nggak ada AC-nya?"

Gosh, ada-ada saja! Maksudnya pasti pasar tradisional. "Nggak ada, Sayang. Kecuali kalau kamu mau matanya diganti sama mata sapi, ayam atau ikan. Di sana ada banyak," jawabku menahan geli saat dia bergidik ngeri.

"Sebelum tidur, nggak mau sikat gigi dulu?"

Rio menggeleng. Dia kembali lemas di bahuku. "Mau langsung bobo," sahutnya. "Sekali aja nggak sikat gigi nggak bikin gigi aku hancur. Kecuali kalau kumannya punya ludar."

"Ludar?" Aku mengernyit. Diksi baru yang tidak kumengerti maknanya.

Rio menggumam.

"Apa itu?" tanyaku seraya menaiki tangga menuju kamar Rio di lantai dua.

"Itu, loh, yang bisa meledak kayak bom. Tapi ... bukan bom."

Sepersekian detik aku mencerna jawabannya. Tawaku langsung pecah dan membuat Rio berdecak kesal. "Kenapa ketawa? Apa yang lucu?" tanyanya terdengar tak suka.

Demi apa, anak zaman sekarang canggih sekali! Saat seusia Rio dulu aku masih asyik bermain gundu atau petak umpet, anak ini justru membicarakan rudal! Apalagi pelafalannya yang tidak tepat semakin terdengar aneh, sekaligus lucu.

"Papa jangan ketawa gitu! Kata Miss Adel, nggak sopan mentertawakan orang lain apalagi ketawanya di depan orangnya," tegurnya. Miss Adel adalah nama salah satu tenaga pengajar di sekolah.

"Oke, oke! Papa minta maaf. Habisnya kamu ngegemesin banget!"

"Bacain dongeng," pinta Rio saat kurebahkan tubuh mungilnya di ranjang.

"Yakin mau dibacain dongeng?" tanyaku sambil membelai puncak kepalanya. Kutatap sepasang matanya yang menyorot kian sendu. Terlihat sudah berat begitu, apa masih mendengar kalau dibacakan cerita? Aku tidak yakin.

"Bacain dongeng." Rio mengulang permintaannya setelah menguap lebar dua kali. Dia mencari posisi nyaman dengan memiringkan tubuh ke kanan sambil mendekap guling.

"Oke." Aku menyetujui seraya menggosok kedua tangan di paha. "Mau cerita apa?" tanyaku saat menggeser pandangan dari buah hatiku sedikit ke atas pada rak serbaguna berbahan kayu yang menggantung kokoh di dinding, tempat di mana buku cerita disusun rapi.

"Terserah Papa," sahutnya setengah menggumam. Matanya juga sudah mulai terpejam.

"Kancil dan Buaya atau Timun Mas?" Aku mengajukan tawaran. Kecil begini, dia sudah pandai menyuarakan keinginannya.

"Terserah Papa."

Tumben pasrah begitu. Karena tidak ada permintaan khusus, jadi kuputuskan membacakannya buku bertajuk Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Buku cerita anak yang baru kami beli bulan lalu itu sudah berada di pangkuan. Aku mengamati sampulnya yang terlihat apik dengan ilustrasi cantik dan warna-warni yang menarik. "Jadi ...." ucapku sebelum memulakan.

Dengkur halus Rio terdengar mendahului cerita yang bahkan belum sempat kubaca kalimat pembukanya. Halah, dasar bocah!

-***-

Aku melenguh panjang usai berhasil memuaskan hasrat yang terpendam walau tanpa lawan. Berat mengakui. Punya istri, tetapi berujung memuaskan diri sendiri. Mau bagaimana lagi?

"Menjijikkan!" Amyra yang tiba-tiba muncul memekik saat melihat kekacauan yang sudah kubuat. Damn! Mengapa dia harus datang di saat yang tidak tepat? Setelah ini entah dia akan tersenyum mengejek, mentertawakan atau malah menjadi penceramah dadakan. Aku sedang malas melihat senyum sinis ataupun mendengar ocehan nirfaedahnya.

"Kamu habis ngapain, sih, Mas?" tanyanya begitu melihat aku keluar dari kamar mandi. Kuabaikan pertanyaannya yang tidak bermutu dengan melenggang santai menuju lemari. Tanpa dijawab pun dia tahu persis apa yang terjadi. Dia bukan anak kecil yang pikirannya lugu dan mudah dimanipulasi. "Jawab, Mas!" Amyra berkeras meminta jawaban. Dia bersedekap dengan tatapan nyalang layaknya pisau tajam yang beberapa waktu lalu digunakannya untuk mencincang pisang. Entah mengapa keangkuhannya naik berkali-kali lipat padahal yang dia lakukan hanya duduk tegak di bibir ranjang dengan kaki yang menumpuk dalam posisi saling silang.

Masih bungkam, kuraih selembar kaos tanpa kerah berwarna hitam secara asal dari tumpukan pakaian di rak ke dua lantas meloloskannya ke leherku. Sementara itu, Amyra berulang kali menyerukan namaku menuntut penjelasan.

"Mas!" Tahu-tahu Amyra sudah berdiri tepat di belakangku. Kuku-kuku panjangnya menancap hingga menimbulkan sedikit rasa perih karena jari-jari lentiknya terlalu ketat melingkari lenganku.

"Apa, sih, Ra?" Aku berbalik dan balas menatapnya dengan sorot tajam. Kuharap dia mengerti aku tidak suka dipaksa bicara untuk sesuatu hal yang sudah jelas-jelas terekam indra penglihatannya. "Aku nggak mau bahas apa pun saat ini!" kecamku kala melepaskan cengkeramannya.

Amyra mendengkus sambil membuang muka. Dia kembali bersedekap saat mengempaskan bokongnya yang bulat di bibir ranjang. "Aku baru tau kamu semenyedihkan itu, Mas," ejeknya sinis yang lagi-lagi tidak ingin kuberi tanggapan apa pun.

Suka-suka dia sajalah! Aku malas berdebat. Andai Amyra menunaikan kewajibannya sebagai istri, aku tidak akan begini.

"Mau ke mana, Mas?" Kudengar dia bertanya saat langkahku sudah mencapai pintu kamar. "Nggak sopan banget asal main pergi begitu!"

Persetan! Aku tetap meninggalkannya. Perutku sudah berbunyi meminta diisi sejak tadi. Aktivitas solo-ku tadi di kamar mandi ternyata cukup menguras energi. Ditambah kedatangan Amyra dan ejekannya membuatku lelah meredam emosi. Aku memerlukan asupan bergizi.

-***-

"Kamu nggak gantiin bajunya Rio." Amyra lagi-lagi mengusik ketenanganku. Dia duduk santai di seberangku usai mengeluarkan apel dari kulkas. Tanpa dikupas, dia melahap buah itu dengan menggerogotinya perlahan. Menghindari pertengkaran akibat keluhannya, aku menanggapi dengan menggumam.

"Sikat gigi, nggak, tadi?"

Aku masih diam, mengabaikannya dengan memfokuskan diri pada kegiatanku di depan kompor, menyiapkan makan malam ala kadarnya. Yang penting aku bisa tidur nyenyak tanpa kelaparan.

"Mas!" pekiknya sebagai protes.

"Nggak, Ra. Dia nggak mau," sahutku malas seraya mematikan kompor. Telur mata sapiku sudah matang. Sialnya, aku baru sadar belum menyiapkan piring. Terpaksa aku berbalik menuju lemari kaca tempat Amyra menyimpan perabotan memasak dan peralatan makan.

"Rio makan apa tadi?"

Sudah sama sekali tidak memenuhi kebutuhan batinku, akhir-akhir ini dia semakin lupa daratan dengan melalaikan kewajibannya sebagai seorang ibu lantas melimpahkan tugasnya mengurus Rio padaku.

Aku kembali melewati Amyra dengan menenteng piring di tangan kananku. "Nggak makan," sahutku acuh tak acuh sembari memindahkan mata sapiku di penggorengan ke piring. Jangankan mengisi perutnya, perutku saja baru kusadari kosong sejak tadi siang.

Amyra memelotot hingga kurasa bola matanya nyaris melompat dari rongganya. "Kamu nggak kasih makan Rio?" Telunjuknya mengarah ke wajahku. Meski ada meja makan menjadi penghalang, aku merasa jarinya itu memanjang hingga menyentuh hidungku dengan lancang. "Apa aja yang kamu kerjain di rumah, sih, Mas? Bisa-bisanya-"

Piring berisi telur mata sapi kuempaskan hingga peralatan makan berbahan kaca itu terburai di lantai. Hancur berkeping-keping. Akibat bercampur dengan pecahan beling, satu-satunya santapan yang malam ini ingin kunikmati dengan nasi panas dari magic com pun jadi tak layak makan. Aku muak!

"Kamu mau bilang aku nggak becus mengurus anak?"

Amyra yang tadinya sempat bengong akan tindakanku menjerit, "Ya, kamu nggak becus, Mas! Buat hal sepele aja-"

Gelas di meja yang berada dalam jangkauan pun berakhir sama dengan piring dan menu makan malamku. Air hangat yang tadi memenuhinya kini membanjir di lantai.

"Kamu jangan keterlaluan, Ra!"

"Siapa yang keterlaluan, Mas? Bukannya kamu?" Api di mata Amyra menyala-nyala seolah ingin melahapku dalam panasnya amarah. "Kamu di rumah selama 24 jam dan nggak melakukan apa pun! Sedangkan aku-"

"Jadi, maksud kamu aku cuma numpang hidup sama kamu, begitu?" Aku berdecak, memijat pelipis yang berdenyut. Adu mulut kami berjalan terlalu jauh. Aku benci diingatkan dengan cara begini. "Jangan lupa, aku masih punya tabungan yang-"

Amyra terkekeh sinis. "Seberapa banyak tabungan yang kamu punya, Mas? Yakin sanggup menyokong kehidupan kita selama-lamanya?" Dia kembali duduk, tetapi matanya tak berhenti menatapku. Sorotnya membuatku kian tersudut. Dia semakin pongah semenjak naik jabatan sementara aku beralih posisi dari site supervisor ke pengangguran.

"Ma, Pa ...." Rio berdiri dengan mata basah di ambang pintu dapur. "Jangan ribut-ribut. Aku takut," ucapnya dengan suara bergetar.

Shit!
.
.
.
Kasihan, kan, Arya? Kan, kan, kan? Amyra kejam banget, gak, sih?
Btw, jangan lupa mampir ke lapak AhyaBee_ buat membaca "Is There a Second Chance for Us?" POV Amyra, update setiap Senin, ya...
Thanks for reading dan pastikan kalian meninggalkan jejak yang banyaaaak..
Selamat menikmati hari libur kalian...
Samarinda, 14 Februari 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Continue Reading

You'll Also Like

984K 146K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
819 87 6
Warning: Adult Story 18+ Tolong, bijak memilih bacaan ๐Ÿ’œ ----- Gendhis tak bisa masak dan tak suka gudeg, tetapi terpaksa menjaga Depot Gudeg Pakunce...
7.2K 1.4K 13
Hidup sebagai bungsu dari lima bersaudara dan menjadi satu-satunya perempuan tidak selalu menjadi hal yang menyenangkan. Apalagi jika mempunyai orang...