a calm love. (ErwinxReader)βœ”οΈ

Galing kay LiTiani4

523 74 19

Erwin merasa lelah dengan kehidupannya yang hanya berputar antara kerja dan tidur. Lalu, dia menemukan arti k... Higit pa

bab 1: Lembur
Bab 2: Tentang bakat dan Keberuntungan
bab 3: Salju dan Musik Jazz
Bab 4: Lebih Dekat Lagi
Bab 5: Denganmu atau tanpamu
Epilog

Bab 6: Jarak antara kita

57 9 4
Galing kay LiTiani4


"Sepertinya, aku ingat kau mau bercerita. "

(Y/n) duduk dilantai yang beralaskan karpet bulu tebal. Dia menyandarkan punggungnya disofa.

Buku sketsa berada di pangkuannya. Sorot mata (y/n) berubah, terlihat sedih karena sesuatu.

"Tidak. Kau sedang sakit. Aku tidak ingin membuatmu tambah sakit lagi. "

"Tidak apa-apa. Aku bukan lekaki muda yang lemah. "

(Y/n) tertawa kecil. "Benarkah?" dia merasa geli dengan pengakuan Erwin. "Lalu,siapa tadi yang tidak mau minum obat karena pahit? " tanyanya.

"Aku kalah. "

"Benar. Kau sudah kalah, Erwin-san. Kau tetap lelaki muda yang lemah karena obat. "

Malam itu apartemen erwin menjadi sangat hening. (Y/n) belum pernah berada ditempat seluas ini dan sehening ini.

Bagiamana erwin tinggal selama ini. Rumahnya kosong. Seakan tanpa kehidupan. Tanpa ada orang lain.

(Y/n) pernah bertanya-tanya, kenapa Erwin bisa begitu baik padanya. Karena kasihan atau karena dia tidak suka sendirian. Beberapa kali mereka saling mengirip pesan. Keramahtamahannya bahkan bisa tertulis dari kalimat yang dia kirim.

"Erwin-san? "

"Hm. "

"Sebenarnya, besok adalah hari penting bagiku. Aku sudah menunggunya hampir limat tahun sejak lulus dari universitas jurusan seni rupa. Setelah lukisanku ditolak oleh hotel bintang tiga di shibuya. Ada seorang koleg yang menawarkan padaku untuk melakukan pameran. "

"Di mana? "

Kepala (y/n) bersandar di tepi sofa. Busa empuknya membuatnya hampir terpejam.

"Sangat jauh. "

(Y/n) mengangkat tangannya dan erwin menyentuhnya. Jemari tangan mereka menyatu, menggenggam.

"Kau tidak akan bisa menemuiku lagi di kursi taman shibuya. "

Helaan nafas terdengar sangat panjang. Erwin beranjak dari tidurnya. Dia mengangkat setengah badannya untuk meraih sesuatu disamping sofa. Bunyi klik terdengar, bersamaan dengan senderan sofa yang bisa turun ketika erwin mendorongnya.

"Kemarilah. "

Erwin memberikan ruang untuk (y/n) tidur disampingnya.

(Y/n) hanya menatapnya.

"Kau tahu, aku bukan pria yang seperti itu. "

(Y/n) menjawab, "aku tahu. Cuman saja, aku terkejut melihat sofamu bisa berubah menjadi tempat tidur. "

"Sekarang kau sudah tahu. Dan, sebelahku masih ada tempat kosong. Semalaman duduk dilantai di musim dingin akan membuatmu sakit. "

(Y/n) melepaskan sepatunya. "Belum pernah aku mendengar rayuan sehalus itu. Aku terkesan. "

Erwin tersenyum.

"Terima kasih."

Kemudian dia naik ke sofa. Busa mengempis karena berat tubuhnya. Selimut hangat membalutnya.

(Y/n) membuat dirinya senyaman mungkin dalam pelukan yang diberikan oleh Erwin.

Kenyamanan ini membuat (y/n) ingin menangis. Dia merasa telah mengkhianati kebaikan yang erwin berikan padanya. Dia kebingungan memilih antara cita-cita yang telah dia pupuk lama atau cinta yang baru saja dia rasakan.

Lengannya basah. Erwin terpejam, mengusao punggung (y/n) yang bergetar karena isak tangis.

"Aku minta maaf. " suara (y/n) tersendat.

"Kau tidak perlu minta maaf. Tidak ada yang salah dengan keputusanmu. Aku tidak akan marah jika keputusan itu memang yang paling kau inginkan. "

Bahkan, disituasi seperti ini Erwin tidak mementingkan perasaannya sendiri. Jika itu orang lain, pasti dirinya sudah dimaki-maki karena dianggap tidak tahu terima kasih setelah banyak ditolong.

(Y/n) mengangguk.

"Demamu turun dengan sangat cepat, Erwin-san. "

"Aku sudah bilang. Kau sudah membuatku sembuh. "

"Benarkah?"

"Hm. "

"Sungguh, mengejutkan. "

"Aku juga terkejut. "

"Bagaimana kita bertemu dan berakhir seperti ini? "

"Tidak ada yang bisa menebak takdir. "

"Takdir kita untuk bertemu. Apakah nanti kita bisa bertemu lagi? "

"Pasti. "

"Jika, tidak? "

"Sstt, aku tidak mau mendengar pertanyaan itu. Demamku akan tinggi lagi. "

"Kau cuman takut minum obat. Bukan demamnya. "

(Y/n) tertawa geli. Dia mendongak dan erwin melihatnya.

"Kau terlihat berbeda dari sini. "

Erwin membiarkan (y/n) menyentuh wajahnya. Dari mata, hidung, dan bibirnya.

"Sebuah gambar atau lukisan tidak akan pernah selesai dengan baik tanpa si pelukis jatuh cinta pada objek yang dia mau abadikan. Mungkin, abadi bagi manusia suatu hal yang mustahil. Tapi, manusia suka memberikan istilah abadi pada makhluk hidup yang umurnya panjang. Meskipun, mereka juga akan mati setelahnya."

"Terdengar puitis sekaligus menyeramkan. "

"Kehidupan memang menyeramkan. Jika kau hanya sendirian. Saat ini aku tidak melihat lagi keseraman itu. Sekarang hanya terasa seperti..."

Detak jantung yang mendominasi suara dan ciuman yang menutup kalimat (y/n).

*
*
*
Kartu menempel. Mesin berbunyi. Gerbong terbuka. (Y/n) masuk disusul Erwin yang ikut mengantarkannya distasiun shibuya.

Dipagi haripun, stasiun tetap ramai.

"Kau tidak perlu ikut sampai tap kartu, erwin-san. "

"Kata mengantar menurutku, berarti menemanimu sampai kau masuk ke kereta."

Mereka duduk dikursi, menunggu kereta yang jadwal datang lima belas menit lagi.

"Bagaimana denganmu? " (y/n) bertanya.

"Aku sudah jauh lebih baik. "

"Aku rasa belum. "

"Kenapa? "

"Wajahmu terlihat pucat. Dan, bisakah tidak minum kopi dulu. "

Erwin hampir menyesap kopi kalengnya sebelum (y/n) merebutnya.

"Hanya satu kaleng. "

Mata (y/n) memincing, mengamati kaleng kopi ditangannya. Keterangan double shot yang artinya satu kaleng berisi 18 gram bubuk kopi.

(Y/n) menghela nafas.

Dia meminum kopi itu sampai setengah isinya habis. Wajahnya mengernyit tidak tahan akan pahitnya kopi yang dia minum.

"Pahit? " tanya Erwin dengan senyum jahil.

"Ya. "

(Y/n) mengecap. Rasa pahit dilidahnya seakan sulit hilang.

"Aku penasaran, dimana enaknya americano double shot yang selalu kau minum ini. "

Erwin melemaskan pundaknya. "Saat pekerjaan tidak ada habisnya. Lidahmu akan mati rasa. Terpenting hanya bisa kuat begadang. "

"Hm. "

Erwin menagih kopinya lagi.

"Kurangi kopimu. "

Tangannya hanya mengambang diudara.

"Aku tidak ingin kejadian semalam trulang lagi. Itu mengerikan. "

(Y/n) menatapnya khawatir.

"Kau boleh mengabaikan omonganku. Tapi, jangan mengabaikan tubuhmu sendiri. Demam jadi salah satu tanda tubuhmu butuh istirahat. Asam lambungmu juga tidak menyukai kopi. Bagaimana jika kau pingsan dijalan? Siapa yang akan menolongmu?"

Erwin terdiam mendengarnya.

"Kau telah menolongku dari gejala hipotermia, erwin-san. Kau membawaku ke restoran. Jika saat itu kau tidak ada. Aku sudah mati kedinginan. Sekarang, kumohon, coba tolonglah dirimu sendiri. "

Telapak tangan (y/n) terasa hangat menyentuh wajahnya. Erwin memejamkan mata. Meresapi sentuhan itu. Sentuhan yang sebentar lagi tidak akan dia rasakn lagi. Suara yang tidak akan dia dengar lagi secara langsung.

Dia akan merindukan semuanya dari (y/n).

"Baiklah. " ucap Erwin kemudian.

"Terima kasih sudah mau mendengarkanku. "

Kereta menyentak, berderit, dan mendesis menumpahkan penumpangnya dari berbagai kalangan. Kebanyakan adalah orang kantoran yang ingin berangkat kerja.

"Keretaku sudah datang. "

Mereka berdiri bersamaan. Berjalan beriringan, bergandengan tangan.

Jurusan luar shibuya jauh lebih sedikit. Kereta lebih lama berhenti untuk mengeluarkan penumpang.

Erwin mengantar (y/n) sampai peron. Dia akhirnya berhenti dan berdiri ketika (y/n) masuk ke dalam kereta.

Kepala (y/n) menyembul dari jendela. Senyum lebarnya dan lambaian tangan itu. Membuat dada Erwin nyeri. Bukan karena kopi melainkan sesuatu yang dia sayangi akan susah untuk bertemu lagi.

Setelah kereta pergi. Erwin berjalan ke kursi tunggu karena merasa agak pusing. Keringat dingin mulai berkumpul di pelipisnya.

Setelah ini lalu apa?

Apa yang akan dia lakukan?

Dia pergi menuju mesin minuman. Matanya masih tertuju pada deretan kopi. Erwin memilih kaleng susu hangat. Dia benar-benar mendengarkan (y/n). Mungkin, besok lusa, takaran kafein yang dia konsumsi akan berkurang.

Gawainya bergetar. (Y/n) mengirimkan foto ekiben yang baru saja dia beli.

Jangan lupa sarapan, Erwin-san.

Membaca itu membuat senyum di wajah Erwin. Dia bergegas keluar dari stasiun.

Dikepalanya penuh dengan rencana masa depan yang besar. Sampai membuatnya bersemangat dan dadanya berdentum tidak karuan.

*
*
*

Kirim pesan setelah sampai sana.

(Y/n) menunduk sendu. Ekiben yang dia beli rasanya dingin meskipun tidak hambar.

Dia tidak pernah berjanji akan menemui erwin lagi. Begitu juga sebaliknya.

Bertemu dengan orang asing dijalanan lebih dari tiga kali. Terdengar tidak mungkin. Inikah takdir atau hanya kebetulan?

(Y/n) menutup ekibennya. Dia duduk menyandar, menatap keluar jendela. Memikirkan, apakah erwin juga akan memikirkannya.

*
*
*
Hubungan jarak jauh.

Terlalu sulit untuk bertahan.

Pesan singkat berubah jadi benar-benar singkat.

Telepon menjadi jarang saling mengangkat.

Obrolan semakin lama menjadi pendek dan kurang menarik.

Sesingkat itu hubungan mereka pudar. Padahal baru dua bulan berlalu dan di Shanghai baru merayakan hari Raya imlek.

(Y/n) mendongak melihat kembang api dan atraksi naga buatan yang meliuk-liuk dilangit malam yang gelap. Dia menggenggam erat gawainya. Berharap Erwin mau membalasnya. Berharap Erwin juga menatap langit yang sama dengannya.

"(Y/n). " seseorang memanggilnya. Seorang pria berambut pirang yang pernah satu kelas dengannya waktu masih kuliah.

Pria yang menawarkan pamerean untuk lukisan-lukisannya.

"Ya. "

"Kau akan kedinginan. Aku tahu tempat yang hangat. Mau ikut denganku? "

(Y/n) memeluk lengannya sendiri. Dia menggeleng.

"Aku masih ingin melihat atraksi selanjutnya. "

Pria itu tersenyum canggung. "Baiklah. Jika butuh apa-apa, kirimkan aku pesan. "

Dua kalinya pria itu membuatnya teringat pada Erwin.

(Y/n) membuka gawainya lagi. Membaca pesan lama, mencari-cari kesalahan apa yang dia lakukan sampai hubungannya dengan Erwin menjadi renggang.

Semakin lama. Matanya mendadak panas. Air mata jatuh. (Y/n) menunduk dalam sampai wajahnya menempel pada gawai.

Drrt... Drrttt.

Erwin menelpon.

Jantungnya seakan jatuh sampai keperut. Buru-buru (y/n) mengangkat panggilan itu.

"Hai. " sapa erwin.

"Halo. " suara (y/n) bergetar.

"Aku minta maaf jarang memberi kabar. Aku ada beberapa urusan dengan perusahaan rintisan yang akan membuatku, "

"Aku merindukanmu. "

Erwin berhenti bicara. Dia mendengarkan dan menunggu dengan sabar sampai isak tangis (y/n) mereda dan berbicara lagi padanya.

Panggilan suara beralih menjadi panggilan vidio. Bukan saatnya dia membicarakan alasan jarang menghubungi dengan urusan pekerjaan.

(Y/n) menunjukan padanya kembang api dan tarian pesta tahun baru imlek.

"Disini sangat ramai. Aku harap kau bisa datang. Meskipun ramai, aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Sehingga, aku merasa kesepian. "

"Aku akan menemanimu. "

"Aku senang kau menelponku. Aku tidak berani menelpon duluan karena takut akan mengganggu pekerjaanmu. "

"Kalau begitu, tunjukan padaku bagaimana perayaan imlek di Shanghai. "

(Y/n) berkeliling. Menunjukan semua yanh dia lihat pada Erwin. Senyum yang menghilang kembali muncul. Obrolan menjadi panjang. Banyak hal yang mereka ceritakan satu sama lain.

Tentang Erwin keluar dari pekerjaan yang membuatnya hampir mati. Lalu, tentang (y/n) yang sudah mendapatkan pekerjaan sebuah komunitas pelukis realisme.

(Y/n) duduk dikursi taman dengan gawai ditangannya. Dan Erwin di meja kerja rumahnya. Rumah yang ksong itu sudah dia isi. Untuk persiapan suatu hari nanti dia tidak tinggal sendirian lagi.

Lukisan yang pernah (y/n) berikan padanya. Erwin simpan kedalam bingkai dan dia pajang di dinding ruang kerja.

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

6.4K 618 18
SINOPSIS: (Y/n) seorang kru baru di Heart Pirates yang mencoba untuk membuat Captainnya tersenyum, tapi Captainnya malah?! Genre: Fantasy, Comedy, Ro...
40.5K 5.2K 14
β—ˆ π»π‘–π‘Ÿπ‘Žπ‘’π‘‘β„Ž β—ˆ π‘†π‘’π‘π‘’π‘Žβ„Ž πΎπ‘Žπ‘‘π‘Ž π‘ˆπ‘›π‘‘π‘’π‘˜ π‘ƒπ‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘ π‘Žπ‘Žπ‘›. 𝙅π™ͺπ™Ÿπ™ͺ𝙩𝙨π™ͺ π™†π™–π™žπ™¨π™šπ™£ β’Έ π™‚π™šπ™œπ™š π˜Όπ™ π™ͺπ™©π™–π™’π™ž π˜Όπ™§π™©π™¨ π™—π™šπ™‘π™€π™£π™œ 𝙩𝙀...
820K 39.5K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
208K 31.7K 57
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...