Fight for My Fate [TAMAT]

By Lulathana

811K 49.2K 2.5K

Sejak kecil Milka sudah bertunangan dengan Hema. Bisa dibilang seluruh hidup Milka hanya didedikasikan untuk... More

RE-POST
Prolog
1. Perfect Girl
2. Failure
3. Just a Doll
4. Different Lines
5. Threat
6. Are You Okay?
7. Chaotic
8. How?
9. Tears
10. Your Orders
11. Uncovered
12. Jealous?
13. Should I call you ...
14. Home
15. Revenge
16. Believe Me
17. Mine
18. Gift
19. Behind The Scenes
20. Strangers
21. Hema's Other Side
22. What's Your Favorite?
23. Cute
24. Their Secret
25. The Game
27. The Truth
28. Meet Again

26. Hopeless

23.6K 1.5K 33
By Lulathana

Milka berjalan dengan langkah yang lebar, tatapannya lurus ke depan dengan jejak-jejak air mata yang masih menggenang. Sayangnya tidak ada sorot kesedihan lagi, hanya amarah yang kini berkumpul di sana.

Milka memasukkan sandi pintu dengan cepat. Dia melangkah masuk tanpa membuang waktu.

"Serena kenapa kamu nggak bilang dulu mau ke sini?" tanya Hema yang buru-buru keluar dari kamarnya, dia masih mengenakan handuk di kepala untuk rambutnya yang basah.

Milka menatap Hema kuat.

"Ada apa?" Hema hendak meraih tangan Milka, tapi gadis itu menolaknya. Hema mengernyit.

Belum sempat dirinya menjawab, Milka membuka ritsleting jaketnya lalu membuat jaket itu terlepas dan teronggok di lantai. Hanya menyisakan pakaian minim di tubuhnya. Namun, bukan itu yang membuat mata Hema membelalak, melainkan memar-memar keunguan yang menghiasi seluruh tubuh Milka.

Milka tak menutupinya satu pun. Dia tidak akan menuruti perkataan Damian, sebaliknya, Milka akan membuat Hema benar-benar jijik terhadapnya.

"Damian nyuruh kamu nawarin diri?" tanya Hema yang membuat Milka merapatkan gigi karena tebakkan Hema sangat tepat.

"Damn," umpat Hema pelan. Dia pun lebih mendekat lalu merengkuh tubuh Milka ke dalam pelukannya.

"Maaf," ucapnya. "Aku pikir nggak seringan itu dia meledak. Kita ke rumah sakit sekarang ya."

"Batalin pertunangan," ucap Milka yang seketika membuat Hema terdiam.

"Aku nggak denger itu," ucap pria itu dengan raut yang berubah datar. Dia mengecup pelipis Milka dan mengusap-usap punggung gadis itu seolah menenangkan.

"Kamu bilang aku bisa minta. Batalin pertunangannya!"

Hema menggeleng, dia memeluk Milka lebih erat. "Aku nggak dengar itu," ucapnya lagi dengan keras kepala.

Milka mendorong tubuh Hema. "Aku bilang batalin!"

Hema menatap gadis itu. Tidak ada ekspresi khusus. Dia pun berjongkok mengambil jaket Milka kemudian mencoba memakaikannya pada gadis itu lagi.

Milka menepis saat Hema memasukkan tangannya. Tak keberatan, Hema pun langsung menutupkan pada bahu gadis itu, dia memegangi dengan kuat hingga Milka tidak bisa melepaskannya.

"BATALIN!"

"Kamu mau teh?"

Milka memandang Hema dengan tatapan yang nanar. Air matanya berjatuhan menumpahkan rasa sakit di dalam dadanya. Sebenarnya apa yang Hema inginkan? Dia bersikap tak acuh pada Milka, dia kemudian dekat dengan gadis lalu, lalu tiba-tiba mendekati Milka dengan wajah yang begitu asing, dia baik hingga Milka merasa dirinya bisa bernapas, lalu tiba-tiba dia menyatakan cinta pada Melody di depan publik. Membuat garis jika posisi Milka tidak ada artinya.

Sebenarnya Hema menganggap Milka apa? Milka tahu hidupnya hanya untuk dijadikan boneka, tapi dirinya benar-benar lelah untuk terus dimainkan ke sana-kemari. Milka lelah.

"BATALIN PERTUNANGANNYA!"

Hidupnya akan berakhir, setidaknya Milka tidak perlu kelelahan lagi.

Hema menghela napas. Dia mengambil handuk kecil yang dibawanya tadi. "Maaf," ucapnya sebelum membawa tangan Milka ke belakang lalu mengikatnya dengan handuk itu.

"Hema!"

Hema tidak mendengarkannya ia berjalan ke arah pantry lalu bergerak cepat menyeduh teh. Milka berusaha melepas ikatannya. Milka mulai menangis panik saat ikatannya begitu susah untuk terlepas.

"Jangan mendekat!" pekik Milka saat Hema kembali dengan secangkir tehnya.

"Kamu bisa lukain diri kamu. Tenang ya?"

Milka hendak melarikan diri, tapi Hema membawa tubuhnya untuk duduk pada sofa. Milka menatap Hema dengan kebencian yang begitu besar.

"Lepasin aku," ucap Milka dengan suara yang bergetar.

"Aku nggak bisa lakuin itu," tolak Hema. Membuat air mata di pipi Milka kembali berjatuhan.

"Serena, kamu minum dulu ya?"

Milka merapatkan bibirnya sebagai bentuk penolakan.

"Serena?" Hema kembali memanggil dengan lembut.

Hema pun meneguk habis teh itu, dia mendekat pada wajah Milka, sebelah tangannya mendongakkan dagu gadis itu, sebelah yang lain menjepit hidungnya. Saat mulut Milka terbuka, Hema pun memasukan teh itu ke dalam mulut Milka.

Tubuh Milka bergerak meronta-ronta. Saat tehnya sudah masuk semua, Hema pun kembali menjauhkan wajahnya. Milka menatapnya begitu tajam, bercampur dengan sorot terluka.

"Maaf, Sayang."

Hema menarik Milka ke dalam pelukannya. Perlahan tubuh gadis itu melemah hingga benar-benar tidak sadarkan diri.

Hema melepas ikatannya. Dia melihat warna kemerahan di sana. Hema menunduk lalu mengecup bekas ikatan itu. "Maaf."

Hema pun mengangkat tubuh Milka, dia membawanya ke kamar. Membaringkannya pada ranjang kemudian menyelimuti sampai pinggang. Hema menarik laci lalu mengeluarkan obat.

Dengan hati-hati dia mengoleskan obat pada  lebam-lebam di tubuh Milka itu.

oOo

Melody melihat papan di atasnya untuk memastikan bahwa dirinya tidak keliru. Panti Asuhan Cinta Kasih. Melodi mengangguk-angguk sebelum berjalan memasuki gerbangnya.

Seorang anak tiba-tiba menghampiri. "Kakak ini buat kita?" tanyanya dengan penuh antusias.

Melody tersenyum dan mengangguk, ia pun mulai membagikan makanan yang dirinya bawa pada anak-anak itu.

"Kalian suka?" tanya Melody.

"Suka, Kak!"

Melody melihat sekeliling. "Kalian di sini dirawat sama siapa?"

"Ibu Retno, Ibu Diah, Ibu Sarah, sama Ibu Melati."

"Kakak boleh ketemu mereka? Ada yang mau Kakak sampein."

"Boleh, ayo ikut aku, Kak."

Tangan Melody diraih, lalu dirinya pun dibawa masuk ke dalam.

"Tapi Ibu Retno lagi keluar sama Ibu Melati. Kakak ketemu Ibu Diah sama Ibu Sarah dulu ya."

Melody mengangguk. "Iya, nggak papa."

Melody dibawa pada sebuah ruangan, tapi karena kosong, Melody pun dibawa berjalan lagi.

"Ra, kamu liat Bu Diah?" tanya anak yang membawa Melody pada temannya.

"Bu Diah lagi telepon di belakang."

"Oh iya." Anak itu menatap pada Melody. "Kakak sama Bu Sarah dulu ya, aku mau panggil Bu Diah." Anak itu membuka satu pintu.

"Ibu, aku bawa Kakak baik."

Melody melihat seorang wanita buta yang tengah melipat pakaian. Senyum Melody tersungging.

This is your Mom, Serena?

oOo

Milka mulai tersadar. Ia mengerjap-ngerjap dan melihat sekeliling. Ruangannya asing, tapi sudah jelas ini kamar Hema. Milka bangun, dia memegangi kepalanya, masih terasa berat.

Milka menatap ke arah sampingnya ada ponselnya juga kertas di sana.

Apa pun yang terjadi, kamu jangan pergi. Hubungi aku kalau ada apa-apa.

Milka meremas kertas itu lalu melemparnya ia mengusap rambutnya ke belakang, ia membuka ponselnya. Milka harus memesan taksi dan pergi dari sini.

Milka mengernyit begitu melihat sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal.

- Rumah kamu 'kan, Serena?

Leher Milka langsung tercekat begitu membaca namanya sendiri. Hanya Hema 'kan yang tahu, tapi ini jelas bukan Hema.

Pesannya dikirim satu jam yang lalu. Ada sebuah foto juga yang bisa dilihat satu kali. Dengan perasaan yang tidak enak, Milka membuka foto itu. Dirinya tertegun begitu melihat tangan yang memegang foto panti asuhannya dengan satu bagian fotonya yang sudah terbakar.

- Semoga nggak terlambat ya :)

Milka langsung bangkit berdiri, dirinya berlari ke arah pintu. Perasaannya sudah sangat berantakan

"Bunda..., " gumamnya dengan bibir yang bergetar. Pesannya sudah satu jam yang lalu, Milka bahkan begitu takut dengan bayangan yang ada dalam kepalanya kini.

Milka turun ke jalan, dia melihat ke sana-kemari mencari taksi, ia menggigit bibirnya karena tak melihat satu pun taksi yang melintas.

"Bunda ...."

Milka memukuli kepalanya. Ketakutan dan rasa cemas menggulung habis dirinya.

"Pak tolong!" Milka langsung berlari ke tengah mencegat sebuah taksi hingga sopirnya harus mengerem dengan mendadak.

"Maaf Neng, ada penumpangnya."

"Tolong saya, Pak," ucap Milka dengan tidak mau menepi dari saya.

"Bunda saya dalam bahaya, Pak." Milka menatap dengan penuh memohon.

"Yaudah, bawa aja, Pak. Anterin dulu dia," ucap penumpang taksi itu yang seorang wanita paruh baya.

"Makasih, Tante."

Milka pun bergegas naik ke dalam taksi itu. Di sepanjang jalan dirinya terus menggigiti kuku dengan cemas.

"Maaf Neng, cuma bisa sampe sini, di depan macet. Kayaknya ada kebakaran."

Milka langsung tercekat. "Saya nggak bawa cash boleh--"

"Nggak papa Neng, biar Ibu yang bayar," ujar penumpang taksi itu.

"Makasih ya, Bu."

Milka pun segera turun, dirinya berlari sekuat tenaga. Cahaya kemerahan diiringin asap hitam terlihat di atas sana ketakutan Milka semakin membesar.

Milka semakin tidak bisa membendung air matanya begitu melihat nyala api dari bangunan panti asuhan.

"Pak, semuanya udah dievakuasi 'kan?" tanya Milka pada salah satu warga yang mencoba memadamkan dengan ember, pemadam kebakaran belum terlihat datang.

"Nggak tau Mbak, ini ketahuannya pas api udah gede, saya belum liat ada yang keluar."

"BUNDA!" Milka langsung menjerit histeris. Api di sana sudah benar-benar besar nyaris tidak ada bagian yang belum terbakar.

Milka berlari ke arah sana, tapi bapak-bapak yang barusan ditanya dengan cepat menahan tubuhnya. "Neng bahaya!"

"BUNDA ...!" Milka semakin histeris sekuat tenaga dia berontak agar bisa berlari ke arah  panti itu. Hingga harus warga yang lain ikut memegangi tubuhnya.

Milka menjerit keras begitu sebuah ledakan terjadi. Atap-atapnya terlihat ambruk membuat kemungkinan selamat hanya sebatas keajaiban.

Air mata semakin membanjiri dengan dada yang begitu sesak. Milka belum bilang pada Sarah bahwa dia anaknya. Milka selama ini bertahan dengan keadaan sulit demi ibunya. Sekarang apa artinya lagi hidupnya jika tidak bisa melihat wanita itu.

Milka menepis sekuat tenaga, ia berhasil lepas, dirinya berlari dengan mata yang tertuju pada kobaran api itu.

Seseorang memeluknya dari belakang. Menusukkan sesuatu pada leher Milka. Milka mencoba berontak, tapi perlahan kekuatannya hilang.

"Bunda ...."

Pandangan Milka perlahan memburam, tubuhnya diseret menjauh dari sana.

"Bun ... da ...."

oOo


*Baca duluan di Karyakarsa

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 192K 51
Ditunjuk sebagai penerus untuk mengabdikan dirinya pada pesantren merupakan sebuah tanggung jawab besar bagi seorang Kafka Rafan El-Fatih. Di tengah...
604K 16.9K 49
Cerita sudh end ya guys, buru baca sebelum BEBERAPA PART DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBIT. Kata orang jadi anak bungsu itu enak, jadi anak bungsu...
Protect By Rose

Teen Fiction

7.7M 742K 46
[Selesai] [Tolong jangan plagiat] "Kenapa lo terus-terusan nyusahin sih?" Perempuan berponi dengan rambut dicepol itu menyengir. "Kita kan tetangga...
543K 67.3K 108
SELESAI ✔️ Lusi menghapus air matanya segera dan menyesali keasyikannya yang larut dalam tangis, lupa dengan siapa dia berada di ruangan yang tengah...