BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

257K 43.4K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-15]

5.3K 1K 445
By embrassesmoi

Hatalla. 



"Soal KTT ASEAN gimana?"

Rendy menatap gue lama dalam diam sebelum dia mengotak-atik iPadnya, "Kemarin sudah ada meeting, sih, Pak. Sudah saya rangkum dan saya kirimkan di email," katanya sambil menaruh iPad ke atas meja gue. "Kemarin kita membahas soal infrastruktur telekomunikasi yang harus diperhatikan selama acara berlangsung, Pak."

Kepala gue mengangguk-angguk sambil memperhatikan rangkuman hasil meeting yang dibuat Rendy dari layar iPadnya. Kemarin gue harus ke Surabaya karena harus menghadiri rapat koordinasi bersama jajaran lain, karena itu gue nggak bisa menghadiri meeting untuk membahas soal soal peranan kami nanti di acara KTT ASEAN.

"Nanti ada meeting lagi?" tanya gue.

Di depan meja, Rendy kembali menerima iPadnya yang gue kembalikan sambil menggelengkan kepala. "Hari ini, jadwal Bapak cuma sampai siang saja, Pak," katanya menjawab pertanyaan gue dengan cepat. "Sudah saya koordinasikan dengan Reni pagi ini karena Bapak juga ada jadwal di ATU."

Gue mengangguk lagi, "Thanks," Rendy ikut mengangguk. "Dy, saya minta tolong pesenin makan siang sama cemilan buat anak-anak. Nanti tagihannya kirim ke Reni."

Well, diliat dari sumpeknya wajah Rendy sekarang, gue tau udah saatnya gue menunjukkan sedikit kepedulian gue—seperti apa yang sering diinstruksikan Reni. Seenggaknya hal-hal kecil semacam ini bisa membuat mereka senang, liat aja wajah cerah Rendy sekarang...

"Mau beli apa, Pak? Bapak ada request mungkin?"

"Nggak ada." Gue mengarahkan tatapan ke arah handphone, mengecek beberapa pesan yang belum sempat gue balas. "Kan, kalian yang makan? Jadi, kalian pilih sendiri aja. Nanti saya makan siang diluar soalnya," kata gue sebelum Rendy pamit dari ruangan gue dengan senyum super lebarnya yang cuma muncul waktu gajian atau dapat traktiran semacam ini.

Setelah ditinggal sendirian lagi, gue memutuskan untuk mengerjakan beberapa laporan yang perlu gue perbaiki setelah memeriksa semua pesan yang untungnya sudah gue balas sebelumnya.

Gue nggak tau benar berapa lama waktu yang gue habiskan sampai gue mendengar dering handphone gue berbunyi nyaring. Masih sambil menatap kertas laporan, gue mengambil asal handphone dan menempelkannya di telinga tanpa melihat dulu siapa orang yang menghubungi gue. "Selamat pagi," sapa gue begitu telepon mulai tersambung.

"Formal amat?"

Gue buru-buru menjauhkan handphone dari telinga gue supaya gue bisa melihat ke arah layar, "Tsk... ngapain lagi? Ada apa?" tanya gue begitu gue melihat nama Narendra di sana.

"Sopan dikit, La." Narendra balas berdecak. Kalau gini, dia baru kedengeran serem. "I've got good news for you. Have you heard from Deryl?"

Kepala gue menggeleng pelan, setelahnya gue baru melepas fokus gue dari kertas laporan dari atas meja. "If it isn't about Reni wanting to marry me, then everything you say is bad news," jawab gue asal sambil bersandar di kursi.

Di seberang sambungan, Narendra memaki gue beberapa kali sambil tertawa keras. "Yang itu, sih, bukan jadi urusan gue, ya. Gue angkat tangan," katanya ikut menimpali celotehan gue sebelumnya. "Tapi, yang satu ini serius, La. Ini soal Frederic Simons, he ate our bait and agreed to meet us in Singapore next week."

HAH?

Badan gue langsung duduk tegak di atas kursi, I didn't hear anything incorrect, did I?

Tawaran Frederic Simons kemarin—waktu kami bertemu di Singapore—itu gue anggap basa-basi. We came from the same circles, so I knew Frederic Simons well from the outside. Dan apa yang dikatakannya waktu itu adalah salah satu caranya untuk mencari tahu tentang gue yang kebetulan ada bersama Reni, bukan yang benar-benar tertarik untuk mengundang gue supaya dia bisa mengajak gue dan yang lain untuk bergabung bersamanya.

Oh, come on... We're talking about the fast-rising Wheel Wild. Sudah pasti banyak investor—tanpa susah mencari seperti cara Frederic Simons mendekati gue—yang datang dengan sukarela ke dia.

"Terus?" Nggak usah tanya seberapa bahagianya gue sekarang! Seenggaknya dengan ini, gue bisa sedikit tahu soal Frederic Simons.

"He ate our bait and agreed to meet us in Singapore next week." Anehnya, Narendra mengulang perkataannya sekali lagi. "Gue janji ke asistennya Frederic Simons kalau dia bakal ketemu kita semua." Maksudnya? "Ber-enam. Lo, gue, Algis, Jatmika, Hestamma, sama Katon. I sold our name, which led Frederic Simons to agree to meet."

Mampus gue...

"Nah, itu pr lo sekarang." Ada tawa yang terselip keluar dari bibir Narendra barusan. "You must encourage your best friends to free up their time next week for your personal business," sambungnya masih tertawa.

Gue refleks berdecak... Sialan, ketemu sama Frederic Simons, sih, tapi gimana caranya gue bisa ngumpulin Algis, Jatmika, Narendra, Hestamma, sama Mas Katon di tempat yang sama di saat mereka punya kesibukan masing-masing?

"Lo... bisa, kan?" tanya gue ragu.

Narendra sempat bergumam panjang, "Tergantung lo bisa ngasih gue apa, sih? Nanti urusan ngosongin jadwal tinggal bilang ke Ririn aja."

Si brengsek satu ini beneran nggak mau rugi. "Lo minta apa? Ntar gue kasih," jawab gue pada akhirnya.

Suara tawa Narendra terdengar keras di seberang sambungan. "Nah, gitu, 'kan, enak? Kita sama-sama untung. Okay, deh. Minggu depan gue ikut, tapi nggak tau yang lain," ucap Narendra mengejek, tepat sebelum gue memaki dia dan sambungan telepon kami terputus.

Beneran peer, sih, ini...

Tapi, nggak masalah karena gue bisa ketemu Frederic Simons nanti.

Liat, Ren, pacarmu ini, loh, sampai sebegininya... Kamu—kamu buat balas pesanku dari pagi sampai siang ini aja jarang-jarang—persis kayak rekap absen gue dulu waktu sekolah.

Kemarin Reni bilang kalau Ibunya bakal datang dari Malang ke Jakarta, katanya, sih, ada urusan datang ke sini. Gue sempat menawarkan untuk mengantar Reni sekaligus menjemput Ibunya, toh gue juga lagi ada di Surabaya, kan? Surya juga nggak kerja, nggak lagi nganter siapa-siapa. Tapi, Reni bilang nggak perlu, dia bisa naik taxi.

Selain hubungan kami, Reni juga menutup-nutupi soal Ibunya. She would never allow me to say anything or make even the slightest sound when she was on the phone with her mom and I was around. Kalau dulu, gue sih nggak paham banget dan menganggap semuanya biasa aja. Tapi kalau sekarang, gue sedikitnya paham kenapa Reni nggak mau menunjukkan keberadaan gue di depan Ibunya.

Semuanya bermuara di orang yang sama.

Frederic Simons.

"Selamat siang, Bapak."

Lah, jam berapa ini emang?

Gue mengangguk, membalas sapaan Deryl yang sekarang berjalan masuk ke dalam ruangan gue. Bentar, harusnya bukan dia yang ada di sini, kan?

"Reni ijin datang langsung ke ATU, Pak." Tanpa gue tanya, Deryl ternyata lebih dulu menjelaskan, mungkin karena gue menatapnya sambil memicingkan mata seperti sekarang. "Kata Reni, dia sudah ada ijin langsung ke Bapak."

Nggak ada. Reni sama sekali nggak ada ijin ke gue.

Gini kali, ya, enaknya punya pacar atasannya sendiri? Bisa suka-suka dia aja gitu—-

—oh, Reni kirim WhatsApp ternyata...

Sayang 3.
aku ijin telat, ya?
nggak telat, sih. tapi nanti yang jemput kamu buat ke ATU si Deryl.
aku nyusulnya langsung ke ATU.

nemenin mama?

Sayang 3.
iya, mau nganter sebentar.
ini sudah selesai, kok.
otw ke ATU.

okay, hati-hati sayang.

"Sudah, Pak?" Suara Deryl terdengar di sela fokus gue yang mengarah ke layar handphone. "Mau berangkat sekarang, atau Bapak mau makan siang dulu?" tanyanya.

Gue mengangguk, "Makan dulu, aja, kali, ya? Kamu sudah makan siang belum?" tanya gue balik ke Deryl.

"Kebetulan hari ini di ATU ada bazar dadakan, Pak. Isinya makanan semua, ide dari Bapak Wijaya." Deryl bergerak dengan sigap membuka pintu ruangan gue. "Saya kebetulan udah sempat jajan dikit, Pak, sebelum ke sini tadi," ujar Deryl sambil tertawa kecil.

"Tumben amat?" Nggak biasanya, sih, Ayah bikin acara semacam bazar di kantor. "Ya, udah, kalau begitu kita ke kantor aja. Kita makan di sana," kata gue, berjalan pelan keluar dari ruangan.

Di sepanjang perjalanan ke ATU, gue memilih untuk tidur. Gue baru nyampe Jakarta tengah malam tadi, terus jam 6 gue udah dijemput Rendy buat ngantor. Badan gue rasanya mau rontok saking capeknya...

"Bapak ketiduran, sih, Ren."

"Oh. Ada kerjaan yang mepet jamnya nggak? Kalau nggak, biarin aja Bapak tidur di mobil."

"Nggak ada, sih." Samar, gue bisa mendengar obrolan antara Deryl dan Reni, tapi sayangnya mata gue terlalu berat untuk terbuka sekarang. "Tapi, apa nggak lebih baik dibangunin aja, Ren? Biar Bapak tidur di ruangannya aja, kalau di sini nggak nyaman."

"Jangan dibangunin, deh. Nanti makin susah—"

Ya, karena kalau gue dibangunin sekarang, Reni udah pasti jadi penampung keluhan gue yang nggak ada akhirnya.

Perlahan, gue membuka mata dan tepat mengarah ke arah Reni dan Deryl yang mengobrol di kursi depan dengan pintu mobil yang terbuka.

"Nggak usah berantem." Gue berdehem, mencoba menghilangkan suara serak gue. "Saya sudah bangun, dan saya nggak akan bikin kamu makin susah, Ren. Tenang." Tangan gue beralih mengusap wajah dengan cepat, sebelum keluar dari mobil disusul Deryl.

Gue cuma bisa menahan senyum waktu melihat Reni menundukkan kepalanya, menghindari tatapan gue.

Meskipun nggak banyak perubahan, hubungan gue dan Reni bisa dibilang mulai membaik dan ini jadi satu-satunya alasan yang bisa membuat gue semangat menjalani kesibukan gue. Gila, ya? Ini cuma perkara Reni yang mau terbuka soal hubungan kami di depan sahabat-sahabat gue aja efeknya sebesar ini? Gimana kalau dia sudah mau terbuka soal semua hal yang ada di dirinya, kan?

Bisa gila kali gue nanti?

"Urusanmu sudah selesai, Ren?" Gue melemparkan pertanyaan saat kami bertiga memasuki lift.

Reni mengangguk waktu gue menoleh ke belakang, "Sudah, Pak."

"Nanti ijin aja pulang cepat kalau memang urusanmu belum selesai," jawab gue, berjalan keluar dari lift diikuti Reni dan Deryl. "Hari ini biar Deryl yang nemenin saya."

Bukannya gue mau pilih kasih, tapi gue juga melakukan hal yang sama waktu Rendy dan Deryl punya urusan penting yang berkaitan dengan keluarga mereka.

"Semuanya sudah selesai, kok, Pak," sahut Reni cepat, berjalan lebih dulu untuk membuka pintu ruangan gue.

Tsk, Deryl kenapa nggak sat-set, sih? Kok bisa dia ngebiarin Reni yang ngebuka pintu ruangan gue?

"Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

Coba bantu gue cari kepekaan lo, deh, Ryl! Ampun, gue!

Gue cuma melirik Deryl tajam dan melangkah masuk ke dalam ruangan, "Ren, kamu di sini dulu. Deryl bisa ke balik ke ruangan," ucap gue setelah Reni menanyakan apakah gue memerlukan sesuatu.

"Sudah makan?" tanya gue dari belakang meja kerja gue.

Reni sempat diam sebelum dia mengangguk sekali, "Sudah. Deryl bilang Bapak belum makan. Mau dipesankan makan siang, Pak?"

"Aku butuh istirahat, butuh tidur. Kepalaku pusing, aku pengin muntah, dadaku juga sesak—"

"Mau saya Aminin atau?"

Ren... "Jadwal saya hari ini di sini sampai jam berapa?" tanya gue, mengalihkan topik pembicaraan kami.

Reni menatap gue dengan helaan napas panjangnya, "Sampai jam 4 sore, Pak. Bapak mau makan siang dulu? Di bawah ada bazar, bisa saya—"

"Yuk." Gue buru-buru berdiri dari kursi gue. "Temenin, ya," ucap gue sambil berjalan lebih dulu untuk keluar dari ruangan.

Gue bisa melihat keengganan Reni, sih. Gue juga tahu kalau dia takut gue macam-macam di depan orang-orang ATU. Ya, kali, 'kan, gue senekat itu?

Di sepanjang jalan menuju ke belakang gedung kantor—tempat di mana bazar yang dimaksud Deryl dan Reni, gue menyapa ramah beberapa staf yang sepertinya baru kembali dari bazar juga—dilihat dari banyaknya makanan yang dibawa mereka kembali ke ruangan.

"Pak Wijaya kesurupan apa, Ren?" tanya gue sembari menunggu di depan lift.

Gue nggak bilang kalau Ayah se-pelit itu, ya. Tapi, dia memang nggak pernah bikin acara beginian di kantor, ini mungkin untuk pertama kalinya setelah berpuluh-puluh tahun. Biasanya Ayah muncul dengan ide lunch dan dinner gitu, pokoknya yang formal. Makanya gue rada kaget waktu tau kalau Ayah sendiri yang punya ide soal acara bazar hari ini.

Sudah pasti ada sesuatu, kan?

Di sebelah gue, Reni sempat melirik gue tajam sebelum dia menggelengkan kepalanya. "Alasannya belum ditemukan, sih, Pak," jawabnya nggak kalah serius.

You can see how humorous my girl is, right?

"Setannya belum ketemu, sih, tepatnya," gumaman gue barusan dihadiahi pelototan Reni, bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.

Karena kebetulan kami menggunakan lift satu—lift yang khusus digunakan untuk atasan dan para direksi—yang jelas sepi, gue mencoba melirik genit ke arah Reni yang ternyata juga tengah melirik ke arah gue.

"Pak...," ucapnya penuh dengan nada peringatan.

Sumpah, wajah Reni yang kayak begini ini yang bikin gue gemes banget pengin ngerjain dia terus!

Gue kembali menatap ke arah depan dengan senyum tertahan, "Galak banget, sih?" gumam gue balik.

Sayang sekali Reni nggak berniat membalas godaan gue kalau di tempat umum semacam ini, coba aja kami ada di rumah gue atau kosan gue... udah pasti...

"Pak!"

Reni menatap gue heran dari arah luar lift, tangannya menahan pintu lift untuk gue yang asik ngelamun—

"Pak! Bapak jadi ke bazar atau mau balik ke ruangan?" tanya Reni. Dari wajahnya gue tahu kalau dia sedang menyembunyikan perasaan kesalnya.

Gue buru-buru melangkahkan kaki keluar dari dalam lift, sementara itu di belakang Reni mengikuti sambil mengarahkan tempat di mana bazar diadakan.

"Wih... banyak juga? Rame banget?" Itu komentar gue begitu melihat ramainya area belakang gedung kantor yang sudah dipenuhi tenant berbagai makanan.

Reni mengangguk setuju, "Bapak mau makan apa? Di ujung ada sop kaki kambing kesukaan Bapak."

"Ke sana aja dulu kalau gitu" Eh. Gue refleks berhenti, membuat Reni juga berhenti melangkah. "Kamu pergi aja, Ren. Cari-cari makanan lain sana," kata gue sambil menunjuk ke arah lain.

Ya, kali, gue ngebiarin Reni ngikutin gue makan sementara gue tau dia nggak suka makan kambing, kan?

"Nggak usah, Pak—"

"Itu ada kwetiau goreng." Gue menunjuk ke arah kanan kami, ke arah tenant makanan kesukaan Reni. "Ke sana dulu aja. Yuk." Daripada ribet, 'kan, mending gue anter Reni sekalian?

Ya, yang barusan itu cuma alasan supaya gue bisa sama Reni, sih...

Reni menggeleng, tapi tatapannya mengarah ke tenant kwetiau yang gue tunjuk. "Saya sudah makan, Pak."

"Minta setengah porsi," kata gue, merasa geli karena melihat raut kebingungan yang dibuat Ren sekarang.

Gue lalu mengeluarkan handphone dari dalam saku celana, mengetikkan sesuatu di laman chatting kami sebelum menunjukkannya ke Reni.

kalau nggak habis nanti biar aku yang abisin di ruangan.


Itu yang gue tuliskan sampai akhirnya membuat Reni mengiyakan tawaran gue, dan akhirnya kami berjalan dengan Reni di depan gue ke tenant kwetiau yang lokasinya sebenarnya nggak terlalu jauh dengan tenant sop kaki kambing kesukaan gue.

Sumpah, gue nggak tahu kalau keadaan dan situasi di bazar ini bisa sebegini ramenya. Ini yakin cuma orang ATU aja yang boleh akses bazar ini? Kenapa gue ngerasa penduduk sekitar juga ikutan gabung, sih?

"Sudah, Pak." Reni berucap lumayan keras sambil menenteng kwetiau yang ada di tangannya. "Mau langsung ke sop kaki kambing?" tanyanya.

"Kamu mau makan itu aja? Atau mau ambil yang sekalian?"

"Ini aja." Meskipun Reni sudah menjawab, gue masih belum melangkah karena melihat ragu di wajah Reni sekarang. "Bapak minumnya mau apa? Ada es kelapa," ucapnya, menyebut salah satu minuman kesukaannya—yang hampir setiap hari Reni minum—yang bisa bikin gue ikutan eneg, meskipun gue nggak ikutan minum.

Gue menggeleng, tapi badan gue udah mengarah ke arah tenant es kelapa muda yang diinginkan Reni.

Sumpah, Ren, kalau bukan karena dia, gue udah pasti bakal balik ke ruangan daripada harus main senggol-senggolan di sini!

Tangan gue kembali merogoh ke saku celana, mengeluarkan handphone dan mengetik sesuatu di sana.

kamu ke sop kaki kambing dulu, pesenin 2 sama nasi. aku bakal bawain es kelapa mudanya.

Mungkin karena Reni juga sadar seberapa ramainya keadaan sekitar, dia akhirnya mengangguk dan berjalan menuju ke tenant sop kaki kambing yang nggak terlalu ramai.

Astaga, pengorbanan gue, Ren...

Nggak mau sebenernya gue ungkit-ungkit juga, tapi kalau kayak gini suka keinget sendiri, loh, Ren...

Apa kamu nggak kasihan—

"Tumben banget minum es begituan?"

Begitu gue menerima satu gelas es kelapa muda, gue menemukan Ayah yang ternyata berdiri di sebelah gue—nggak tau sejak kapan.

Mengikuti arah pandang Ayah, gue langsung menggeleng. "Buat Nyonya," kata gue, menyebutkan soal Reni secara nggak langsung.

Ayah bergumam panjang sambil menganggukan kepalanya, "Nyonya mana sekarang?" tanya Ayah, menoleh ke kanan dan kiri.

"Di tenant sop kaki kambing," jawab gue sambil menunjuk ke arah Reni yang tampak berdiri di depan tenant sambil memperhatikan ke arah sekitar. "Ayah sudah makan belum?"

"Ini." Ayah menunjukkan satu box nasi goreng ke depan gue. "Mau cari teman makan tadinya, nggak ketemu dan baru mau balik ke dalam—ke ruangan—liat kamu di sini," jelasnya sambil sesekali menyapa beberapa staf yang menyapa kami.

Telunjuk gue mengarah ke Reni, "Ya, udah, makan bareng aja, Yah."

Ayah langsung setuju, tapi nggak semudah itu kami bisa menghampiri Reni dan mulai makan siang karena ada beberapa direksi dan manager yang mengajak gue dan Ayah mengobrol beberapa kali sampai akhirnya kami bisa beralasan meninggalkan mereka untuk makan siang.

"Ren..."

"Siang, Bapak." Reni menyapa dengan senyum lebarnya, dia meletakkan kwetiaunya di meja kecil di samping tenant. "Bapak mau dipesankan sesuatu, Pak?" tanyanya tanggap, udah kebiasaannya juga, sih.

Ayah menggeleng, dia menunjuk box nasi goreng yang gue bawa. "Itu sudah pesan nasi goreng. Kamu sendiri sudah pesan belum, Ren? Jangan ngikutin Bapakmu aja," katanya yang refleks membuat gue mendengkus.

Reni lalu menunjuk ke arah kwetiaunya, "Saya sudah pesan duluan malah, Pak."

"Terus, kamu pesan apa, La?" Setelah bertanya, Ayah memundurkan langkahnya untuk melihat nama tenant yang kami tempati sebelum dia berdecak sambil memicingkan matanya ke arah gue. "Kolesterolmu, La... Astaga. Sadar kamu, tuh, udah tua!" Kan... "Tadi, Bapakmu pesan berapa, Ren?" Ayah langsung beralih menatap ke arah Reni.

"Satu, kok, Pak," jawabnya yang membuat gue bernapas lega. "Tadi mau saya pesankan setengah porsi, tapi baru inget Bapak belum makan siang."

"Awalnya pesan berapa?"

Reni sempat menatap gue dengan senyum gelinya. CANTIK BANGET, HEI!

"Satu, kok, Pak," jawab Reni lagi, tapi keliatannya Ayah nggak semudah itu untuk bisa percaya.

"Ini mau sesi tanya-jawab sampai kapan? Keburu makanannya pada dingin semua," kata gue menyela, membuat Ayah dan Reni sama-sama diam.

Baru aja kami mulai makan, ada beberapa staf yang dengan baik hati mengambilkan kursi untuk kami. Gue dan Reni bertukar tatapan karena cuma ada dua kursi di sana, dan salah satunya sudah ditempati Ayah.

Kepala Reni sempat menggeleng samar, dia sepertinya tau kalau gue menyuruhnya untuk duduk di sebelah Ayah dari tatapan yang gue berikan kepadanya.

Tapi, untungnya kekeraskepalaan Reni luntur di bawah kalimat perintah Ayah. "Duduk, Ren. Biar Bapakmu berdiri aja," katanya membuat Reni nggak berkutik dan duduk di satu-satunya kursi yang ada.

Meskipun sop kaki kambingnya nggak seenak langganan gue, tapi gue tetap lahap juga makannya. Mungkin karena gue belum sempat sarapan dan baru makan siang sekarang kali, ya?

Di sela kegiatan makan gue, gue juga membagi fokus gue untuk memperhatikan Reni dan Ayah yang asyik mengobrol.

"Sabtu malam nanti kamu ada acara nggak, Ren?"

"Nggak ada, Pak. Ada apa, ya, Pak?"

Ayah lalu menatap gue, "Kamu belum kasih tahu Reni?" Gue menggeleng sambil menyendokkan nasi ke dalam mulut. "Ibu mau jalan-jalan sekalian makan malam diluar, cuma satu keluarga aja. Kamu kalau nggak ada kerjaan, gabung, ya? Datang ke Menteng sorean."

Hah, jalan-jalan apaan, sih, maksudnya?

"Jalan-jalan, Pak? Satu keluarga?" Reni mengulang, dan gue diam-diam memperhatikan untuk mengingat acara jalan-jalan mana yang dimaksud Ayah barusan. "Apa saya boleh ikut, Pak? Saya nggak enak karena, 'kan, saya bukan—"

"Yang penting, 'kan, kamu saya undang?" Ayah menyahut cepat. "Datang, ya? Nanti biar dijemput Bapakmu."

Reni sempat menatap gue ragu yang gue balas sama ragunya. "Jalan-jalan apaan, sih, Yah? Yang mana?" tanya gue balik. Sumpah, gue clueless banget sekarang!

Ayah sempat berdecak, lalu setelahnya Reni mendadak pamit ingin mengambil minuman lain dan meninggalkan kami berdua di depan tenant sop kaki kambing.

"Gregetan Ayah ngeliat kamu, tuh!" Ayah menggerutu sambil melirik gue tajam. "Kamu tinggal datang, jemput Reni ke Menteng hari Sabtu ini. Jangan lupa," katanya sambil beranjak berdiri dari kursinya.

Hah? Ini maksudnya...

Astaga...

"Ayah balik dulu." Gue mengangguk waktu Ayah menepuk bahu gue keras selama beberapa kali. "Titip salam sama Nyonyamu," kata Ayah sebelum dia berjalan menjauhi tenant tempat kami makan sebelumnya.

Senyum gue terulas lebar, tiba-tiba aja gue merasa enteng sekarang.

Pandangan gue secara nggak sengaja terpaku dan terkunci ke arah Reni yang tampak kesusahan membawa dua gelas air kelapa, membelah kerumunan dengan senyum yang terulas di bibirnya.

Ren, kamu dicintai sebesar ini, loh...

Ren, the love you receive from those around you is greater than your fear...

Please come to me... and trust in yourself.

Continue Reading

You'll Also Like

14.7K 2.4K 7
Terra Nea Evans terjebak dalam persahabatan dengan dua bujang meresahkan kaum Hawa, Amu dan Ace. Orang lain menjulukinya sebagai 'Perempuan Beriman'...
47.4K 8K 18
Berteman sejak kuliah, membuat aku memahami teman-temanku. Fauzan yang tidak pernah puas dengan satu perempuan, Aldi yang tidak pernah siap berkomitm...
3.7K 774 10
Yayan Tanuwijaya yakin selama ini semua perempuan dengan mudah naksir padanya. Satu ketika, Yayan bertemu dengan Fralita Angkasa yang terang-terangan...
380K 52.7K 41
Oh, hi! Were you here because you were curious, or were you just passing through and taking a look? How about starting with the first chapter, where...