Punca Anomali | ZEROBASEONE...

By xieshila

1.6K 952 381

Terbangun dengan sebuah fakta bahwa dirinya telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit selama 9 bulan la... More

Prologue | Ilusi Kuasi
1 | Realitas Ganjil
2 | Satu Tahun Silam
3 | Reminisensi Lengkara
4 | Disonansi Paradoksal
5 | Ragawi Tak Kasatmata
6 | Marvella
7 | Ekspedisi Tak Bernyawa
8 | Enigma
9 | Asrar & Warita
10 | Potret Persona Juwita
11 | Elusif
12 | Dejavu
13 | Kompleksitas Satu Waktu
14 | Praduga Tak Berakar
15 | Aksioma
16 | Tinggal dan Menetap
17 | Momentum Garib
18 | Tabir Ilusi Gael
19 | Tabir Ilusi Gustav
21 | Tabir Ilusi Tristan
22 | Mahendra, Zavier, dan Harris
23 | Tabir Ilusi Jehan
Epilogue | Delapan

20 | Tabir Ilusi Rojiv

27 29 0
By xieshila

Sepeninggalnya Gael dan Gustav, aku merasa hampa. Terutama pada Gustav, aku masih merasa berutang budi padanya. Padahal aku sudah berjanji ingin memberitahu kebenaran di balik kematiannya, tapi apa daya, Gustav lebih dulu meninggalkanku dan teman-teman seperti Gael dalam waktu singkat. Pergi begitu saja, tanpa mengatakan sepenggal kalimat apa pun sebagai salam perpisahan.

Dalam posisi duduk bersila di atas lantai, aku memandangi dinding polos yang ada di hadapanku secara bergantian, Ke mana hilangnya pintu kamar kalian berdua, El, Gus?

Derit suara yang berasal dari pintu Rojiv yang terbuka sama sekali tidak berhasil menyadarkan lamunanku. Rojiv yang menyaksikan dukaku dari ambang pintu, hanya bisa geleng-geleng kepala sambil melangkah ke arahku dengan palet warna dan ember berisi cat yang ada di masing-masing tangannya.

"Vel," panggil Rojiv, tapi aku sama sekali tidak menggubrisnya dan malah asyik berdebat dengan batinku sendiri. Merasa kesal karena dihiraukan, Rojiv menjatuhkan benda berharga yang ada di tangannya tepat di hadapanku. Alhasil, aksinya untuk menyadarkan lamunanku berhasil. "Dipanggil malah bengong! Gak takut sore-sore melamun gini malah kesampukan dedemit?"

Terlintas sebuah ide dalam benakku untuk menjawab pertanyaan tersebut. "Hidupku di Malang udah dikelilingi sama para dedemit, jadi kenapa harus takut?"

Rojiv refleks menoyor kepalaku pelan dengan kuas. "Kurang ajar!"

Kami berdua pun akhirnya tertawa bersama untuk beberapa saat. Melihat adanya peralatan lukis yang dipakai Rojiv sehari-hari dibawa berbondong-bondong keluar dari kamar, membuatku penasaran isi dari kepala pemuda seniman satu ini yang lupa membawa kanvas sebagai media lukis. "Kanvas gak ada, mau lukis di mana?"

"Tuh!" Tunjuk Rojiv dengan santainya ke arah dinding—yang pernah ada dua pintu besar di sana—sambil mengaduk-aduk cat yang baru saja dituangkannya ke atas palet warna. "Daripada kosong dan bikin yang lain kepikiran sampai sedih, mending aku lukis aja. Bagus gak ideku, Vel?"

Aku manggut-manggut, pertanda setuju. "Siapa, sih, yang akan menolak dinding rumahnya dijadiin kanvas oleh seniman muda yang handal?"

"Ada," jawab Rojiv. "Ayahku."

Tutur kata Rojiv jelas membuatku tidak percaya. "Gak mungkin."

"Kelihatannya gak mungkin, kan?" sahut Rojiv. Tangannya yang memegang kuas mulai bergerak bebas menorehkan cat pada dinding. "Asal kamu tau saja, Vel, terlahir dari keluarga yang berbakat dalam melukis bukanlah anugerah terindah bagiku. Sebagai anak semata wayang yang harusnya bisa meneruskan talenta berharga tersebut, aku malah menghasilkan karya lukis yang biasa saja dan terkesan monoton. Untuk bertahan dikancah yang bisa diakui dalam dunia seni, bakat pas-pasanku gak akan pernah bisa bersaing dengan lainnya. Itu kenapa dari sekian banyaknya dinding rumah yang pernah aku lukis, hanya rumahku saja yang gak ada lukisanku karena keluargaku gak mengakuinya. Jadi aku memilih kabur ke Malang."

Melihat raut wajah Rojiv yang serius membuatku enggan untuk bertanya lebih lanjut. Aku selalu menghindari topik perbincangan dengan ranah keluarga karena merasa tidak nyaman akan hal tersebut. Aku memperhatikan Rojiv yang melukis bebas di dinding dengan senyum merekah di bibirnya. Entah mengapa setiap goresan cat dari tangan Rojiv, seolah-olah memiliki cerita sendiri yang bisa menyentuh perasaan pengamatnya.

Aku pun bertanya dalam hati, Bagaimana bisa bakat Rojiv dianggap sepele oleh keluarganya sendiri?

"Oh, ya, Vel." Tiba-tiba saja Rojiv memanggil namaku lalu memberikan selembar kartu warna merah yang mulai memudar. "Ini adalah kartu yang aku dapatkan setelah melempar dadu di atas papan permainan Hantupoli."

Buru-buru saja aku membalik kartu tersebut untuk mengetahui isi tulisan yang ada di baliknya. Membaca dua kata yang tercetak tebal pada kartu milik Rojiv membuat alisku bertaut. "Maestro palsu?"

Rojiv mengangguk. "Dua kata yang mampu membuatku meregang nyawa dengan cara konyol pada awal bulan Oktober. 1 Oktober 2022."

"Konyol dari mananya?" elakku tidak setuju.

"Kamu akan mengetuinya nanti, Vel. Aku gak bisa mengatakannya karena aku gak mau berakhir muntah darah dan belatung seperti yang terjadi padamu beberapa waktu lalu." Rojiv bergidik ngeri. Jangankan Rojiv, mengingat hal buruk tersebut pernah menimpaku membuat nafsu makanku turun. "Aku benar-benar gak bisa membayangkan dua hal menjijikkan itu keluar dari mulutku. Iyuh! Lagian apa yang terlintas dalam benakmu sehingga kamu berani untuk mengutarakan hal yang termasuk ke dalam ranah pelanggaran permainan Hantupoli?"

"Aku gak tau kalau apa yang akan aku ucapkan saat itu berpotensi ke arah pelanggaran. Jika aku mengetahuinya, mungkin aku akan memilih untuk tutup mulut dan menemukan cara yang tepat untuk mengungkap kebenaran."

"Melihat ekspresimu waktu itu, sepertinya yang ingin kamu ucapkan adalah hal serius, Vel."

Aku mengangguk pelan. "Ya, benar."

Tiba-tiba saja Rojiv mengulurkan sebuah kuas mini ke arahku. "Daripada banyak pikiran, mending temani aku melukis."

Langsung saja penawaran Rojiv kutolak mentah-mentah. "Jika aku ikut campur bisa berakibat fatal, loh, Jiv!"

"Ya, sefatal-fatalnya lukisanmu, kayaknya gak akan separah yang lain. Anak DKV pasti punya basic seni, jadi pasti ngertilah sama yang namanya estetika, unsur-unsur desain, dan prinsip-prinsip desain, Vel."

"Ini konsepnya barusan memuji atau mengejek?"

"Mengejek, tapi dengan cara halus," ledek Rojiv dengan santainya.

"Anak seni musik kira-kira boleh jojoba, gak?"

Disela-sela percakapanku dan Rojiv, tiba-tiba muncul Tristan dari balik pintu kamar indekosnya yang tertarik dengan aktivitas kami. Tanpa persyaratan khusus untuk lolos, Rojiv langsung mengayun-ayunkan kuas lainnya ke udara sebagai pertanda bahwa Tristan boleh jojoba—join-join bareng—bersama kami berdua. Tristan buru-buru bergegas ke luar untuk mengambil alih kuas dari tanga Rojiv dan duduk bersila di sampingku.

"Ini kita boleh coret-coret pakai warna cat apa aja, Jiv?"

"Terserah," jawab Rojiv. "Pakai aja warna yang kalian suka. Bebas, Tris."

"Yeay!"

Bisa kulihat Tristan begitu semangat mencocoli berbagai macam warna cat untuk menciptakan warna baru sebelum dioleskan pada dinding, Sedangkan aku, memilih untuk memakai warna cat yang sudah ada pada palet warna Rojiv. Melihat Rojiv menggoreskan kuasnya dengan warna merah, aku pun mencocol ujung kuasku yang bersih pada cat warna merah dan menorehkannya di dinding dengan hati-hati. Takut jika goresan catku bisa merusak lukisan sang pelukis.


●●●


Baru saja aku menarik garis lurus dengan ujung kuas yang ditorehkan pada warna merah, bisa kurasakan atmosfer sekitar mendadak berubah menjadi dingin. Rojiv dan Tristan yang berada di sisi kanan dan kiriku, tiba-tiba menghilang begitu saja, meninggalkanku sendiri dengan kuas yang kupegang erat dalam genggamanku. Tanpa aba-aba, kegelapan kembali membungkam pneglihatanku.

Aku menghela napas panjang, Apakah ini udah waktunya untukku melihat kilas baik dari kehidupan Rojiv sebelum meregang nyawa?

"Apa? Lukisanku ditolak? Kenapa?"

Aku mengernyit, Bukankah ini suara Rojiv?

Aku beranjak dari posisiku dan mendekat ke arah pintu kamar Rojiv yang terbuka sedikit. Melalui celah pintu, aku bisa mengamati dan menguping secara diam-diam bahwa Rojiv sedang melakukan panggilan video call dengan pria paruh baya.

"Kamu masih berani bertanya apa alasan lukisanmu ditolak oleh pameran seni internasional yang bergengsi di China, Jiv? Sebagai salah satu komite seleksi yang bertugas untuk meninjau dan memilih karya seni yang akan dipamerkan, bagaimana bisa aku meloloskan karya seni yang bukan dilukis oleh pelukis itu sendiri? Apa kamu sadar bahwa tindakanmu ini merupakan pelanggaran hak cipta yang sangat serius?"

Rojiv berdecak kesal. "Ya, aku tau tentang pelanggaran hak cipta pada karya seni, tapi apakah Anda gak bisa melihat bahwasanya saya terinpirasi dari karya orang lain? Jadi saya mengadopsi gaya lukisan tersebut dan membuatnya dengan versi saya yang jauh lebih menarik dan modern."

"Sebagai anggota yang bergerak di komite seleksi, aku memiliki tanggung jawab penuh untuk melindungi kekreatifan serta hak milik intelektual para seniman di luar sana yang mengikuti seleksi pada pameran karya seni kali ini. Keputusanku, bersama dengan orang-orang lainnya yang berada di dalam tim komite seleksi, menyatakan bahwa lukisan yang kamu buat adalah menyalin dan sangat dekat dengan lukisan lain yang sudah ada sebelumnya. Jadi lukisan yang kamu kirim sangat diragukan perihal orisinalitas. Sebagai anak semata wayang dari penulis tersohor di Indonesia, pasti kamu tau, kan, pelanggaran apa ini?"

Rojiv meneguk salivanya sendiri dan dengan berat hati menjawab pertanyaan tersebut. "Pelanggaran etika dalam dunia seni."

"Asal kamu tau, Rojiv, lukisan yang kamu buat adalah identitas dirimu sebagai pelukis dikancah seni. Jika kamu tidak memilikinya, lantas bagaimana bisa kamu meneruskan anugerah yang diberikan Tuhan pada keluargamu?"

"Aku mengerti."

"Jika kamu bukan anak dari salah satu pelukis tersohor di Indonesia, sudah pasti namamu akan di-blacklist dari pameran seni ini. Namun, Ayahmu sudah memberikan uang cuci tangan dengan nominal yang cukup besar untuk menutupi keteledoranmu. Jadi, kamu masih bisa berpartisipasi dalam pameran seni ini dan mengirimkan karyanya dalam waktu tiga hari. Tolong kali ini kerjakan dengan serius, Rojiv. Besar harapan om sebagai kerabatmu untuk membanggakan kamu dikancah internasional. Jika kamu tidak serius, sepertinya aku tidak akan pernah bisa menghalangi amukan Ayahmu. Kamu mengerti, kan, Rojiv?"

Rojiv mengela napas panjang lalu mengangguk lesu. "Ya, aku mengerti. Akan kubuat lukisan orisinal versiku yang akan membuat kalian bangga."

Begitu panggilan video call berakhir, Rojiv langsung membanting layar laptopnya begitu keras hingga terdengar bunyi nyaring yang memilukan. Rojiv langsung bergegas mengambil kanvas kosong berukuran besar untuk diletakkan pada easel—penyangga berupa bingkai khusus yang terbuat dari logam untuk menopang kanvas. Dengan gerak terburu-buru, Rojiv menorehkan ragam warna cat pada palet warna dan langsung melukis bebas pada kanvas putih yang ada di hadapannya. Lukisan tanpa arah tersebut membuat tubuh Rojiv memanas karena perasaannya begitu campur aduk saat ini.

"Bagaimana bisa aku berpikiran dangkal dengan mengirimkan karya lukisan orang lain yang aku akui sebagai lukisanku sendiri?"

Harusnya, Rojiv memanfaatkan kesempatan ini dengan baik agar bisa lolos memamerkan lukisannya pada pameran internasional dan membuktikan kepada ayahnya bahwa ia layak untuk diakui sebagai anak yang berbakat dari salah satu pelukis maestro di Indonesia. Entah mengapa untuk mendapatkan sebuah pengakuan rasanya benar-benar mencekik Rojiv. Bisa kulihat sepasang mata Rojiv yang nyalang itu memerah, napasnya begitu berat ketika berulang kali Rojiv mengambil kanvas baru untuk melukis dan menghancurkan kanvas sebelumnya yang masih basah itu hingga tak berbentuk lagi.

Ketakutan dan frustasi berhasil menelan pikiran Rojiv seutuhnya hingga tubuh pemuda berambut pirang tersebut gemetar hebat. Menyaksikan seluruh jiwa dan raga Rojiv yang tercurahkan lewat kanvas, bear-benar membuatku ikut merasakan sesak. Untuk kesekian kalinya, aku bisa melihat Rojiv menghancurkan kanvas yang belum selesai dilukisnya itu dihancurkan lagi. Tatapan Rojiv terlihat kosong, terlihat jelas bahwa Rojiv berada pada titik nadir hidupnya, yaitu kegagalan kreatif.

"Sialan!"

Rojiv menghempaskan kuasnya hingga jatuh berserakan di lantai. Ssaking kesalnya, Rojiv menginjak kuas tersebut hingga rusak. Menyadari bahwa aksinya tidak akan membuahkan hasil, Rojiv mendaratkan pantatnya kembali di atas kursi dan mengambil kanvas terakhir yang tersisa.

Darahnya mendidih, pandangannya memudar menjadi kabut merah karena amarah yang tak terbendung lagi dan berakhir dengan bulir-bulir air mata yang berlomba membasahi pipi Rojiv. Dalam penderitaannya, Rojiv hanya bisa membisu, berteriak tanpa suara kepada langit malam yang makin jauh menenggelamkannya dalam keputusasaan tak berujung.

Seiring waktu yang berlalu, tidak ada pergerakan dari tangan Rojiv. Pemuda itu hanya bisa menatap kosong sembari menggigiti bibir bawahnya sendiri hingga berdarah. Merasakan sensasi rasa dari cairan kental berwarna merah tersebut membuat sebuah ide gila terlintas dalam benak Rojiv.

Rojiv mengusap darah yang ada di bibirnya lalu menyapukannya dengan hati-hati di atas kanvas putih. Melihat rona merahnya yang menyatu dengan baik pada kanvas, membuat jiwa Rojiv yang sempat mati, kini kembali bersemangat.

Dahiku mengernyit, Apa yang akan kamu lakukan, Jiv?

Atensi Rojiv yang menyalang, bergerak bebas menyisiri setiap elemen yang ada di atas meja belajarnya. Jantungku sempat berhenti sejenak ketika melihat Rojiv mengambil sebilah pisau lipat dan tanpa pikir panjang langsung menarik garis panjang di sepanjang telapak tangan kirinya. Nyeri yang menyilaukan, sama sekali tidak menghalangi Rojiv untuk berkreasi dengan darah yang mengucur deras dari lukanya. Saat kuas yang menyentuh cairan kental berwarna merah di lengannya itu ditorehkan pada kanvas, Rojiv merasakan kelegaan luar biasa. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat Rojiv melukis dengan darahnya sendiri.

Garis-garis kemerahan yang menggores tak beraturan perlahan-lahan mulai menciptakan wujud seorang wanita. Rojiv kembali mengiris lengannya sendiri ketika luka lain yang meneteskan darah mulai mengering. Namun, aksi gilanya perlahan mulai melambat. Aksinya yang terus-terusan mengiris luka baru pada tubuhnya benar-benar tidak dapat dikendalikan dan berakhir dengan kehilangan banyak darah. Wajah Rojiv yang sempat berseri-seri mulai memucat dan terlihat kelelahan. Seiring berjalannya waktu, lukisan Rojiv akhirnya selesai tepat di malam pergantian hari. Di balik kegelapan, seorang wanita dari masa lampau muncul di hadapan Rojiv dengan gemerincing perhiasan emas di kakinya. Melihat wujud wanita dalam lukisannya menjadi nyata, membuat Rojiv tersenyum simpul.

"Selesai," ucap Rojiv dengan mata yang terpejam secara perlahan dan tubuhnya ambruk di atas lantai.

Aku menghampiri Rojiv dengan langkah gemetar, tanganku bergerak meraih tubuhnya. Sayangnya, ketika jemari tanganku berusaha mencari tanda-tanda kehidupan, aku tidak menemukan denyut kehidupan yang mengalir pada tubuh Rojiv. Dalam dekap, aku menangisi Rojiv. Kamar atelir yang semula ramai dan penuh dengan ide-ide kreatif dari sang seniman muda, kini beralih fungsi menjadi saksi bisu atas kepergian Rojiv yang meregang nyawa karena ambisinya yang tak terkendali.

Seperti yang dikatakan Rojiv waktu itu, ia mati dengan cara konyol.

Continue Reading

You'll Also Like

13.1K 2.7K 41
❝Aku hanya seorang anak yang bersama dalam kesepian dan kesendirian.❞ [Han's First Book] Start writing: 200920 Published: 101220 End: 270221 ©️ HanSa...
23K 2.8K 56
WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA "Setidaknya salah satu dari kita harus bahagia" Tidak ada manusia yang tidak menginginkan bahagia yang sempurna. Rumah...
6.2M 483K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
4.3K 725 21
[HIATUS] Belum pernah ada sejarahnya seorang guardian yang dibawa ke kerajaan utama Nigreluna kembali dalam keadaan selamat dan pulang ke pulau Eltri...