"Bisa-bisanya kalian ngelakuin hal kayak gini di belakang gue!"
Air mata Pearly tumpah ruah, pipinya memerah panas, amarahnya meledak-ledak bercampur dengan kecewa. Bisa-bisanya dua orang yang ia sayangi melakukan hal seperti itu! Tatapan nyalang Pearly berpindah pada Kalea yang kini justru membalas tatapannya tanpa ada raut bersalah sama sekali.
"Lea, gue salah apa sama lo?" Suara Pearly bergetar, jemarinya meremas kuat ujung bajunya sendiri.
"Lo nggak ada salah apa pun sih, sama gue." Kalea beranjak, lalu merangkul Gerald dengan raut wajah penuh kemenangan. Alih-alih risih, Gerald justru membalas rangkulan Kalea memang seolah ingin memanasi Pearly.
"Ly, kalo kata gue mending lo putus aja sama Gerald. Kami saling mencintai, dan ini salah lo yang terlalu naif sama Gerald. Hei Ly, Gerald butuh lebih dari sekedar pegangan tangan! Lo nggak tahu kebutuhan dia ...." Lea tersenyum licik lalu mengecup bibir Gerald singkat.
Pearly sudah tidak mengerti bagaimana jalan pikir Kalea. Sahabatnya itu menikung pacarnya sendiri?! Rasanya ia benar-benar malu di sini, apalagi kini seluruh perhatian tertuju padanya. Lemparan mata sinis dan juga iba menyorotnya. Ia rasa semua orang memang kini memihak pada Kalea. Jika dilihat perempuan itu memang tidak ada kurangnya dari segi apa pun. Ditambah, Kalea lebih populer darinya di sekolah maupun di luar.
Ingin menghilang saja rasanya, tetapi sekarang amarah yang mendominasi hingga rasa malu Pearly hilang. Tak kuasa menahan lagi, lantas Pearly maju dan berniat untuk menampar Kalea.
"Bangsat lo---akh!"
Belum saja tamparan Pearly mendarat di wajah Kalea, Gerald sudah lebih dulu mencekal tangan gadis itu lalu membuangnya ke sembarang arah.
"Yang salah di sini itu lo, Ly! Lo duluan yang gatel ke Liam, temen gue. Jadi nggak salah kalau gue lebih tertarik sama Kalea. Apalagi dia lebih cantik dan populer dari pada lo! Lagi pula gue juga udah nggak ada rasa sama lo, jadi mulai sekarang kita udahan!" sembur Gerald menjatuhkan harga diri Pearly di depan semua orang malam ini.
"Dasar playing victim, ya, lo!" jerit Pearly.
Liam yang sedari tadi diam lantas maju dan meninju wajah Gerald hingga berpaling ke samping. "Ngapain lo bawa-bawa gue?!"
Wajah Liam memerah, ia tidak terima jika dirinya dilibatkan dalam hubungan mereka. Enak saja! Harga diri yang sudah ia bentuk sedari lama tidak bisa dijatuhkan begitu saja! Amarahnya semakin melesak apalagi ketika melihat Gerald dan Kalea mempermalukan Pearly di depan semua orang seperti ini.
Tak terima menjadi samsak Liam, lantas Gerald melepas rangkulannya pada Kalea dan maju mendekati Liam. "Jelas aja lo ada hubungannya! Selama ini nyatanya lo dan Lily punya hubungan di belakang gue, 'kan? Ngaku!"
Liam meraih kerah baju Gerald, lalu menarik pemuda itu hingga jarak di antara keduanya semakin terkikis. "Jangan asal tuduh! Bukannya selama ini lo justru yang menjauh dari Lily? Gue cuma nemenin Lily kalau lo nggak ada buat dia! Sadar, Ge! Sadar kalau belakangan ini lo nggak pernah ada waktu buat Lily!
Liam meninju wajah Gerald hingga lelaki itu tersungkur---menjatuhkan seluruh gelas yang tersusun rapi di atas meja. Pertarungan antara Liam dan Gerald pun meledak malam ini. Bersamaan dengan itu musik DJ pun semakin keras menghidupkan suasana. Lampu dengan berbagai warna dinyalakan, para tamu pun semakin menikmati pertarungan sengit di antara mereka sembari minum.
"Gue nggak akan biarin lo hancurin Lily!"
Pearly yang masih dibanjiri air mata memilih untuk keluar dari sana. Hatinya sakit terlebih melihat Kalea yang terus-menerus melemparkan senyum licik padanya.
Maka Pearly berlari keluar sembari mengangkat dress untuk memudahkannya melangkah. Isakannya belum berhenti, beruntung makeup-nya tidak luntur, jadinya ya nggak malu-malu amat.
"Aw!"
Karena tak fokus dan pandangannya mulai kabur, akhirnya Pearly pun menabrak seseorang. Tanpa menatap siapa orang tersebut, Pearly langsung menunduk untuk minta maaf agar tidak terjadi masalah baru nantinya.
"Maaf, sa---saya nggak sengaja ...."
"Pie?"
Tangis Pearly berhenti kala itu juga, ia mendongak untuk melihat siapa yang baru saja ia tabrak. Hal pertama yang Pearly temukan adalah sosok pria matang dengan ukiran tubuh tegap, dilengkapi dengan paras yang memikat kaum hawa. Auranya pun bertebaran, bau parfum khas pria mahal tercium dengan jelas.
"Om Garaa ...." Tangis Pearly kembali pecah dan semakin kencang, lantas ia peluk pria yang ada di hadapannya sekarang ini tanpa canggung.
Pearly mengenalinya, pria ini adalah orang tua dari Gerald. Ia sudah mengenal Gara sejak lama, sebab Gara merupakan teman dekat Rei saat kuliah. Beruntung mereka bertemu di sini, ini adalah kesempatan emas bagi Pearly untuk mengadukan kelakuan Gerald pada Gara. Pie atau Pipie adalah panggilannya yang diberikan oleh Gara sewaktu mereka bertemu pertama kali, yakni saat Gara mengunjungi Pearly yang baru saja lahir.
Gara mengusap pucuk kepala Pearly dengan lembut. Pasti ada hal yang tak beres antara Pearly dengan Gerald, begitu pikirnya. Lantas ia membawa Pearly menjauhi pesta, lalu mendudukkan Pearly di sebuah bangku taman. Tangannya setia mengusap punggung gadis itu agar lebih tenang.
"Pie kenapa nangis? Gerald mana?" tanya Gara dengan suara berat nan lembut, hati Pearly yang tadinya retak mendadak damai setelah mendengar suara tersebut.
"Gege di---huwaaa!" Alih-alih melanjutkan kalimatnya, tangis Pearly justru semakin kencang ketika mengingat betapa bahagianya Gerald saat berciuman bersama Kalea beberapa waktu lalu.
Gara semakin bingung, kepalanya celingukan ke sana-sini takut kalau ada orang yang mengira jika ia melakukan hal macam-macam pada anak di bawah umur.
"Pie, nangisnya sudah, ya? Kalau saya ajak beli makan gimana? Pie mau apa? Pasta mau? Atau es krim?"
Pearly melongokkan kepala begitu kata 'es krim' keluar dari mulut Gara. Wajahnya yang sembab menambah kesan imut pada Pearly, terlebih saat gadis itu tiba-tiba memasang senyum manis setelah menangis di depan wajah Gara.
"Om serius mau beliin Pie es krim?" Kedua mata Pearly berbinar cerah seolah bocah yang baru saja ngambek dan kembali ceria setelah permintaannya dituruti.
Gara mengangguk sembari mengusap wajah basah Pearly. "Ayo, kita beli!"
Lalu keduanya beranjak dari sana. Pearly berjalan sembari melompat kegirangan. Rasa sedihnya hilang begitu saja jika obatnya adalah es krim. Apa pun sedihnya, es krim obatnya!
"Pie mau rasa apa?" tanya Gara sembari membukakan pintu mobil untuk Pearly.
"Mau semuanya!" sorak Pearly senang sembari duduk di samping kemudi.
Gara tersenyum lalu mengacak rambut Pearly singkat sebelum menutup pintu mobil. Ia bersikap seperti ini karena sudah menganggap Pearly seperti anak perempuannya sendiri.
Gara segera melajukan mobil dari halaman rumah Kalea. Niat awalnya ke mari hanya untuk mengunjungi pesta Kalea yang berstatus sebagai anak dari teman kerjanya. Namun, sebuah adegan tak terduga membuat Gara lebih memilih untuk menenangkan Pearly. Dengan ini ia juga bisa menanyakan mengapa gadis itu menangis keluar dari pesta.
Sepanjang perjalanan Pearly fokus untuk mengusap air mata sembari menenangkan diri atas peristiwa menyakitkan tadi. Sesekali ia mencuri pandang ke arah kaca untuk melihat seperti apa penampilannya sekarang. Ini gue kayak gembel nggak, sih?
"Om ...." panggil Pearly yang disambut dehaman dengan nada terendah oleh Gara.
"Pie kayak gembel ya, kalau habis nangis? Pie malu, mana Pie nggak bawa makeup lagi," adunya sembari mencebikkan bibir. Benar-benar terlihat seperti ayah dan anak.
Gara mengalihkan pandangannya pada Pearly beberapa kali, lalu menyerahkan tisu pada gadis itu. "Hapus saja makeup Pie. Wajah Pie itu lebih lucu kalau nggak pakai makeup."
Pearly mengangguk seraya mengambil sekotak tisu pemberian Gara. Seolah peka, Gara mengarahkan kaca mobil pada Pearly agar gadis itu lebih mudah untuk bercermin.
_-00-_
"Lily? Ke sini sama siapa dia?"
Setelah pertarungan sengit dengan Gerald, Liam memutuskan untuk melupakan kejadian itu dengan mampir ke sebuah mall terdekat. Niatnya hanya untuk melihat-lihat barang atau sekedar makan, tetapi perhatiannya langsung tertuju pada Pearly yang berjalan bersama seorang pria asing memasuki mall.
"Jangan-jangan Lily diculik!"
Pikiran Liam mulai negatif. Pasalnya gadis itu sangat mudah untuk menerima ajakan orang asing, apalagi tadi sedang galau. Tidak mau hal buruk terjadi pada sahabatku, lantas Liam bergegas mengintili keduanya.
Lain halnya dengan Pearly, kini gadis itu benar-benar ceria setelah Gara sempat membelikannya sebatang gulali kapas di jalan tadi. Gadis itu berjalan dan sesekali melompat ketika melihat barang-barang lucu terpajang.
"Pie mau itu?" Gara menunjuk sebuah boneka beruang warna putih yang terus-menerus dipandangi oleh Pearly.
Pearly menggeleng. "Nggak Om, Pie cuma lihatin karena boneka itu mirip sama boneka pemberian daddy beberapa hari lalu. Kata daddy bonekanya limited edition, tapi nyatanya dijual banyak!"
Gara terkekeh pelan mendengar suara Pearly. Lantas ia mengacak singkat rambut gadis itu sebelum akhirnya mereka memasuki beberapa toko nantinya.
Sebelum masuk, Gara memberikan sebuah kartu berwarna hitam pada Pearly. "Belanja sepuas kamu sampai sedihnya hilang, okay?"
Kedua mata Pearly membelalak. Yang benar saja pria itu memberikannya black card!
"Om serius?" tanya Pearly ragu. Pasalnya, ayah kandungnya saja tidak pernah memberikannya black card, lantas mengapa ayah dari kekasihnya ini memberinya secara cuma-cuma?
Gara mengangguk, lalu menaruh kartu tersebut pada tangan Pearly. "Saya sudah sayang sama kamu. Kamu itu saya anggap seperti anak sendiri. So, jangan pernah sungkan sama saya, ya?"
Di samping itu, Liam yang masih memperhatikan mereka pun turut membelalak. Ia menutup mulutnya kala sadar apa yang diberikan oleh pria itu para Pearly.
"Oh my God, Lily dikasih black card?!"
Liam terus memperhatikan siapa sosok pria itu. Hingga akhirnya saat sosok itu memutar tubuh, Liam pun terkejut bukan main kala mengetahui siapa orang itu.
"Papanya Gerald?! Anjir!"
Ayo kenalan sama penulis Pie centil di akun Instagram bearlars_wp!