INCOMPLETED LOVE [✓]

By redeuquinn

14.1K 1.2K 233

Meera Chopra. Putri satu-satunya Mukesh Chopra, seorang konglomerat India, kini berulah lagi. Ini tahun ke ti... More

Tugas Ringan
Dimana Meera?
Saksi Kunci
Penyergapan Anak Kucing
Gara-gara Annu
Dimana Cerita itu Bermula
Tak Semudah Itu
Selamat Hari Holi, Annand!
Sekarang
Terlalu Lelah
Ammar. Hanya Ammar
Undangan
Dress Shopping
Obrolan Ringan
Pengakuan Intensi
Permohonan Kecil
Melodi Kerinduan
Yang Tak Terlupakan
Perjalanan Yang Ditakutkan
Selamat Pagi, London
His Home
Yang Ditinggalkan
Long Time No See
Perasaan Aneh
Sebuah Keputusan
Aku Bersedia
Dia Mendatangi
Yang Tak Tersampaikan
Yang Tak Terpenuhi
Penjelasan
Bantuan
Tak Terduga
Hingga Akhir
Epilog: Cinta Yang Terlengkapi

First Date

329 36 10
By redeuquinn


***


Ketukan di pintu membuat dua orang di dalam ruangan menoleh. Seorang wanita berpakaian rapi dan modis terlihat diambang pintu begitu ia membukanya. Dia adalah sekretaris dari Mukesh Chopra. "Maaf Tuan Chopra, Nona Meera.. Seseorang sudah datang untuk menjemput anda, Nona." ucapnya.

Mendengar itu, senyum Meera langsung mengembang. Sang gadis melirik jam tangannya, Ammar sangatlah tepat waktu, untung saja pekerjaannya juga sudah selesai. "Terima kasih Ritu, katakan padanya untuk menunggu-"


"Jemput?" potong Mukesh, alisnya terangkat.


Meera membeku. Dia lupa mengatakan pada sang ayah tentang hubungannya dengan Ammar. "Ah.. Papa-"


"Ritu, bawa orang yang akan menjemput putriku itu kemari.." ucap tajam Mukesh yang membuat Meera sampai menggigit bibir.


"Ji, Sir.." sang Sekretaris pun mengangguk pergi.


Meera yang berada di meja kerja kecilnya bersebelahan dengan meja besar sang ayah, melirik takut-takut pemilik meja tersebut. Tapi ternyata Mukesh masih tak memalingkan wajahnya dari arah pintu masuk ruangan mereka.

Hingga ketukan di pintu pun terdengar kembali. Ritu datang dengan laki-laki yang akhirnya membuat Mukesh menoleh pada Meera dengan kerutan di dahi.


"Sir.." Ammar yang membuka kacamata hitamnya, membungkuk kecil pada pemilik ruangan. Dengan kaos loreng dan jaket kulit yang ia kenakan, laki-laki itu masuk ke ruangan. Sedangkan Ritu kembali ke mejanya tanpa menutup pintu.


"Ah, Mayor Raichand... What a surprise." Mukesh kembali memandang Ammar.


Ammar yang masih berdiri tak jauh dari pintu, terlihat canggung dengan perkataan tersebut. Ia melirik Meera yang sedang membuka dan mengatupkan bibirnya dengan cepat. Untungngnya Ammar dapat menangkap beberapa kata yang diucapkan gadis itu tanpa bersuara. Seperti maaf, Papa belum tau, dan lupa.

Ammar mengangguk mengerti pada kekasihnya, tapi saking kecilnya anggukan itu sampai tak terlihat oleh Mukesh Chopra. Sang Mayor menyunggingkan senyum sembari melangkah mendekat menuju meja kerja ayah Meera. "Sir.. Aku minta maaf jika kedatanganku kemari tidak anda ketahui. Tapi, aku dan putri anda sebenarnya sudah membuat janji."


Mukesh menyenderkan seluruh tubuhnya pada senderan kursi sambil melipat tangan di dada. Kursi kerjanya itu sampai berdecit karena perubahan massa topang yang terjadi. "Acha.. Dan janji seperti apa yang sampai membuatmu menjemput putriku, Mayor? Bukan hanya sekedar menjemputnya untuk pulang, kan?"


"Papa-"


Ammar mengangkat tangannya rendah pada Meera, menahannya untuk bicara. Biar dia yang melakukannya. "Maaf, mungkin ini juga mendadak untuk anda. Tapi sejak kemarin lusa, aku dan Meera sudah menjalin hubungan lebih dari sekedar pertemanan. Meera sudah menerimaku untuk menjadi kekasihnya. Aku disini meminta ijin padamu untuk dapat menggenggam tangan putri anda sepenuhnya, Sir." ucapnya dengan penuh keyakinan. 


Meera rasanya ingin menangis, bisa-bisanya Ammar meminta ijin pada sang ayah seperti itu. Tapi Mukesh Chopra terlihat membeku atas pernyataan Ammar. Seseorang yang tadinya akan masuk ke ruangan direktur utamapun sampai terdiam di depan pintu saat ucapan itu sampai ke telinganya. Dan ia bisa melihat siapa yang mengatakan hal tersebut dari celah pintu yang masih terbuka.


"Kalian berdua yakin dengan hubungan ini? Bukankah Meera dan adikmu-"


"Sir.. Aku dan Meera sudah membicarakan hal ini. Masa lalu Meera dan Annand memang tak bisa dihapuskan begitu saja. Sejujurnya, aku malah tak ingin Meera melupakan kenangannya bersama adikku itu. Tapi anda juga tau, aku tak bisa memaksa Annand kembali ke dunia ini untuk membahagiakan putrimu. Karena itu, ijinkan aku yang kini melakukannya. Ijinkan aku melangkah bersama Meera untuk waktu sekarang dan di masa depan." Terangnya. Ammar kini menatap Meera, ia menarik napas sebelum akhirnya tersenyum dengan tatapan yang begitu lekat. "Aku sangat mencintai Meera, Sir.."


Tangan Meera saling meremat di bawah meja, matanya berkaca-kaca. Sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini di dadanya.


Keraguan begitu terpampang di wajah Mukesh, setelah Meera menceritakan semuanya, ia malah tak ingin Meera kembali berhubungan dengan keluarga Annand. Mukesh tak mau putrinya teringat dan bersedih lagi. Apalagi setelah tau bahwa Ammar adalah saudara kembar Annand yang sangat identik secara fisik. Terlebih, sebenarnya sudah ada yang lebih dulu meminta ijin padanya untuk bisa meminang Meera. Tapi begitu melihat wajah berbinar sang putri semata wayang yang sudah lama tak ia lihat, hati Mukesh langsung meleleh. Ia pun tersenyum. Mau tak mau, ia hanya bisa mempercayai Ammar dan memegang janji darinya. "Baiklah Mayor, aku percayakan Meera padamu. Bahagiakan putriku sesuai dengan janjimu itu padaku."


Senyum Ammar mengembang, "Of course, Sir.. Terima kasih."

Disaat bersamaan, Meera langsung melompat kegirangan dari kursinya dan memeluk sang ayah dengan erat, juga tak lupa mengecup pipinya. "Thank you, Papa! Thank you, thank youuu!"

Mukesh tertawa. Ia bisa merasakan kebahagiaan yang terpancar dari Meera. Ia menangkup dagu sang putri. "Jaa, Beta.. Jangan ada raut kesedihan lagi di wajah cantikmu ini. Aku tak akan sanggup lagi melihatnya."

Air mata Meera berlinang. Tapi Mukesh tau itu adalah air mata kebahagiaan. Ia pun membalas senyuman Ammar, sebelum akhirnya menangkap sosok seseorang di balik tubuh sang Mayor. Yang kini terlihat menunduk di depan pintu dengan memegang beberapa map dokumen ditangan. "Rehan? Sejak kapan kau disitu? Masuklah."


Semua menoleh ke arah pintu, sedikit terkejut akan keberadaan seseorang selain mereka.  Rehan akhirnya menegakkan wajah, mengukir senyum yang benar-benar terlihat dipaksakan. "Sir.. Aku perlu tanda-tanganmu pada dokumen-dokumen ini." Rehan Mehta melengos masuk, menatap lurus ke arah sang atasan seperti tak memperdulikan kehadiran Ammar, bahkan Meera. Dan juga seperti tak mendengar hal yang sudah dibicarakan di ruangan itu sebelumnya. Ammar yang merasa seisi ruangan jadi begitu canggung, memberi kode pada Meera untuk segera pergi dari tempat itu.



***




"Tau darimana kalau aku suka panipuri, Ammar?" tanya Meera yang menggigit besar bola roti goreng berisi kentang di tangannya. Ia mengunyah bahagia street food tersebut sambil menikmati suasana taman berlatar langit oranye yang kini sudah berubah gelap kebiruan.


"Nah.. aku hanya tau kau pasti bosan berhadapan dengan fancy dinner. Jadi aku ingin saja membawamu kencan ke taman ini sambil makan panipuri. Bukankah semua orang menyukai panipuri?" jawab bohong Ammar. Padahal dia memang sudah tau apa yang disukai dan tidak disukai Meera, dari Pia.

Mendengar kata ajaib yang tiba-tiba keluar dari mulut Ammar, membuat Meera terbatuk-batuk.


"Hei.. slowdown, Baby." Ammar membuka sebuah botol air mineral yang telah dibelinya dan memberikan pada Meera. "Kenapa begitu bersemangat hanya karena panipuri?" kekehnya saat melihat Meera meneguk rakus air di botol. Laki-laki itu membersihkan remahan makanan yang menempel pada sudut bibir dan pipi Meera dengan lembut.


"Kata-katamu yang membuatku tersedak!" seru Meera setelah hampir setengah botol air mineral berukuran 500 ml ia habiskan.


"Kata-kataku? Yang mana?"


Meera yang sejak tadi duduk berdampingan dengan Ammar, kini sedikit memutar tubuhnya untuk menghadap sang kekasih. Ia langsung menyerahkan balik botol minuman ke dada bidang Ammar, yang kemudian diraih laki-laki itu.

"So.." Meera menarik napasnya perlahan. Ia sampai menggigit bibir saking gugupnya melanjutkan. "We are.. on-a-date?"


Ammar ikut menghadapkan tubuh pada Meera, memamerkan senyum miringnya sembari melipat tangan di dada. "Hmm! Nervous much?" ucapnya sambil merapihkan rambut Meera yang berterbangan karena hembusan angin.


"Ammar~" rengek Meera. Perasaan yang Ammar ciptakan begitu membuat Meera overwhelming. Dia tak tau harus menyalurkan seperti apa perasaan yang meletup-letupnya itu sekarang.

Ammar memajukan dirinya lebih dekat pada sang gadis, menggenggam kedua tangan lentik Meera dan mengecup punggung tangan itu. "Don't act too cute, Meera. I'm weak for cute stuff.."

Meera berdecak, melepaskan kedua tangannya dari genggaman laki-laki itu. Merasa kesal karena terus digoda Ammar. Dia pun berbalik, menghadapkan punggungnya pada sang kekasih.


"Maaf.. maaf." Ammar semakin mendekatkan tubuhnya pada Meera. Kini dadanya dan punggung gadis itu hampir bersentuhan. Sambil terkekeh, ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Meera, menggeser tubuh sang gadis untuk duduk diantara pahanya pada kursi taman. 

"Ammar!" pekik Meera saking terkejutnya akan tindakan tiba-tiba itu yang malah membuat Ammar tertawa. "Just relaxBaby." Ucapnya. Meera menghela napas, tapi akhirnya menurut juga. Ia menyenderkan punggungnya pada dada bidang Ammar dan menaruh belakang kepalanya di bahu laki-laki itu. Membiarkan Ammar semakin mendekap tubuhnya. "From now, every time it's just you and me, it's a date, Meera." Ammar mengecup sisi kepala Meera. Si gadis tersenyum, merasakan rasa kasih yang mengalir dari kecupan itu. Hingga ia menjalin jari-jarinya dengan jari-jari Ammar.

Dengan sang kekasih dalam pelukan, Ammar menyenderkan punggungnya sendiri pada senderan kursi panjang taman. Dalam beberapa saat, pasangan itu hanya menikmati kesunyian yang tercipta, menatap gerakan awan diantara langit biru yang makin menggelap.


"Ammar.." panggil Meera yang akhirnya menemukan suaranya kembali.


"Ammar on your service. Bolo na, Baby."


"Kau ingatkan kenapa aku mengajakmu bertemu hari ini?"


Ammar mengangguk. "Mimpimu? Mau memberitahuku sekarang?"


"Haan.." Meera mengangguk, mengeratkan genggamannya pada tangan Ammar.


"Seburuk apa mimpi itu sampai membuatmu menangis, Meera?" Pertanyaan Ammar kini membuat Meera menggeleng.


"Sebenarnya, itu mimpi yang terlalu indah sampai membuatku akan menangis jika mengingatnya lagi." Ucapnya lirih, tatapannya masih pada langit yang kini sudah gelap sepenuhnya. Lampu-lampu taman pun akhirnya menyala semua, memamerkan suasana tenang yang ada di tempat itu.


"Kyu?" Tanya Ammar, ia menatap Meera yang tampak sedang memilah apa yang akan dikatakan.


"Ammar.. Aku bermimpi bertemu Annand."

Meera dapat merasakan pundak Ammar yang menegang setelah ia mengatakannya. Gadis itu kemudian menegakkan posisi duduk, ia berbalik menatap Ammar yang tersenyum tapi air mukanya terlihat sedikit tak nyaman dengan topik yang sedang mereka bicarakan. "Apa dia kesal karena aku mengambilmu darinya?" tanya Ammar sambil terkekeh yang mencoba membuat lelucon.

Tapi saat tak ada tawa yang muncul di bibi Meera, Ammar pun menghentikan tawa itu. "Bercanda.." lanjut Ammar. "Aku bersungguh-sungguh dengan apa yang aku katakan pada Papamu tadi, Meera. Aku tak mau kau melupakan kenanganmu bersama Annand. Aku mau saat kau sedang mengenangnya, kau membaginya juga denganku. Agar aku lebih mengenal dunia Annand dari hal-hal yang belum pernah aku ketahui."


Meera tersenyum tipis, menangkup pipi Ammar di tangan lalu menggeleng pelan. "Seperti yang kau tau, hati Annand terlalu lembut untuk kesal pada seseorang, apalagi kakaknya sendiri. Annand bilang, dia mempercayaimu melebihi nyawanya sendiri, Ammar. Dia percaya kau bisa menjagaku dan juga membuatku tak menangis lagi." Ucap gadis itu. "Kata-kata indah Annand tentang dirimu itu yang membuatku terharu. Walaupun mimpi hanyalah sebuah bunga tidur, tapi aku yakin pandangan Annand terhadapmu tak pernah berubah. Dia akan selalu melihatmu sebagai kakak yang bisa diandalkan. Seperti apa yang selalu ia rasakan.." Meera mengusap pelan air mata Ammar yang tiba-tiba mengalir, yang membuat dirinya pun tak mampu menahan air matanya sendiri.


Ammar meraih tangan Meera yang masih di pipinya, lalu mengecup punggung tangan itu. "Hanya itu yang membuatmu menangis tadi pagi?"


Meera tersenyum dan mengangguk. Biarlah kalimat terakhir Annand dia simpan sendiri. Tak ada yang pernah tau misteri kehidupan selanjutnya. Jadi Meera akan menyimpan kalimat itu hanya sebagai bunga tidurnya.


"Tapi sekarang, aku ingin kau menemaniku, Ammar.." ucap Meera sambil menghapus air matanya. "Dan aku harap, tak ada lagi air mata kita yang mengalir setelah urusanku dan Annand ini selesai.."


Ammar mengerutkan dahi, menatap bingung Meera. "Temani? Kemana? Urusan apa?"


Bukannya menjawab, Meera malah meraih tasnya yang ia simpan di sebelah tubuh Ammar sejak tadi. Tas berukuran sedang berwarna putih, dengan ukiran nama sebuah luxury brand pada bagian luarnya.

Setelah merogoh isi dalam tas itu, Meera menarik keluar benda yang ia cari.


Lima amplop kecil berisi surat Annand untuk Meera. "Sampai saat ini, aku belum berani membaca isi surat-surat Annand untukku ini, Ammar. Mau menemaniku untuk mengetahui isinya?"


Ammar menyunggingkan senyum, ia mengangguk dan mengecup kening Meera. "Aku akan menemanimu sampai kau bisa menyelesaikan semuanya."

          

             

                 

             


***

           

            

          

            

< A/N  >


HAIIIIIIIII HAIII! How are you, guys?? FINALY I CAN UPDATE THIS STORY!

Already read it?? THANK YOOOUUUU❤️❤️  How's the chapter? How? How? How?

Don't forget to Vote and Comment! I really love to read some feedbacks from you guys!

 

   

Soooo until next chapter, BYE! 

With Love,



        

-Reinn❤️







Continue Reading

You'll Also Like

564K 19.2K 144
Read and find out...
11.7K 507 13
(One Piece X Vampire!Reader) What if Luffy, Zoro, Usopp and Nami had gone to a different island instead of meeting Gaimon? Come along as we learn abo...
992K 30.7K 61
Dans un monde où le chaos et la violence étaient maitre, ne laissant place à ne serrait ce qu'un soupçon d'humanité. Plume était l'exception. Elle...
44.7K 8.1K 17
"kalo dudanya kayak om theo mah saya siap dinikahin sekarang juga." taeyong ft jennie