(1) Prank Personal Trainer (R...

By bocahtitipan

55.3K 1.7K 218

Ini cerita reupload dari cerita berjudul Membalur Minyak ke Tubuh Personal Trainer yang entah kenapa mendadak... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Sembilan
Sepuluh

Delapan

2.6K 109 41
By bocahtitipan


"Pertama," kata Edvan, "gue minta tolong elo cek ... si Romi ... ada di kamarnya, atau enggak."

"Why?"

Edvan mengangkat bahu. Tapi kemudian mengaduh, "Aduh, aduh, aduh, aw, aw, aw!" Kayaknya bahu Edvan dislokasi. Dia meringis kesakitan selama beberapa saat, matanya terpejam kuat, napasnya ngos-ngosan, kemudian dia kembali ke telepon. "Sorry."

"Buat apa gue ngecek Romi ada di kamarnya apa enggak?"

"Please ... just ... just do it," katanya, terengah-engah. "Pastikan dia selamat. Enggak ... enggak dalam bahaya."

Bukannya kalau Romi dalam bahaya lebih bagus, ya? Dunia lebih aman sejahtera?

Aku bangkit dan keluar dari kamar. Kusambar earphone di atas meja sambil berjalan, lalu kuganti suara video call itu supaya lebih private. Kukenakan sandal, kemudian aku berjalan lurus di lorong lantai dua yang sepi. Pintu kamar Romi tertutup. Jadi kuketuk, tok-tok-tok! "Rooommm ...?"

"Jangan dipanggil!" sahut Edvan tiba-tiba. Dengan panik dia menghindar dari kamera telepon.

"Kenapa?"

"Kan udah gue bilang, jangan sampai dia tahu!" bisik Edvan. "Cek aja kamarnya diam-diam."

Oh iya. Aku lupa ada satu quest soal merahasiakan semua ini dari Romi.

Aku berdiri membeku di depan kamar itu, tak mendapatkan jawaban apa pun dari dalam. Kutempelkan telingaku ke daun pintu, mencoba mendengar suara apa pun dari dalamnya. Suara Tiktok, suara Romi mandi, makan, bernyanyi, coli, nonton bokep, atau apa pun. Tapi aku enggak dengar apa-apa.

Aku buka pintu kamarnya, enggak terkunci.

Damn.

Dia sengaja enggak ngunci kamar biar gampang diperkosa orang, ya?

"Ada?" tanya Edvan, agak berbisik.

"Enggak tahu. Lampu kamarnya sih nyala." Aku melongokkan kepala ke dalam kamar. Pelan-pelan kupanggil, "Rom?"

Enggak ada jawaban. Kulongokkan kepala lebih dalam, sampai-sampai setengah badanku masuk. Enggak ada tanda-tanda Romi di dalam kamar itu. Bahkan pintu kamar mandi juga terbuka lebar, lampunya padam, tak ada aktivitas apa pun di sana.

Akhirnya aku memberanikan diri masuk ke dalam kamar Romi. Aku memeriksa setiap sudut kamar mencari keberadaan banci desperate itu. Aku menyebut dia desperate karena Romi betulan bisa ngewe dengan siapa pun, tanpa terkecuali. Aku aja pernah di-sepong sama dia di sini, padahal kami sama-sama boti. Gila enggak, tuh?

"Enggak ada," kataku, setelah memastikan tak ada manusia apa pun di kamar ini selain aku.

"Coba kamar gue," kata Edvan. "Mungkin dia ada di sana."

"Agak mencurigakan ya dia masuk kamar elo. Ngapain emangnya dia di sana?"

"Nyiumin sempak gue biasanya."

"Oh."

Kok enggak mengejutkan ya kalau alasannya itu? Aku bisa membayangkan Romi masuk kamar orang-orang dan mengendus-endus sempak yang sudah dipakai para penghuni kosan di sini.

Aku berjalan lagi keluar kamar Romi, pindah ke kamar Edvan. "Dikunci enggak?"

"Enggak," jawab Edvan.

Kubuka pintu kamar Edvan pelan-pelan, lalu kulongokkan kepala ke dalamnya. Lampu kamar menyala. AC juga menyala. Dan di atas kasur ....

... ada Romi sedang tertidur lelap.

Dia tidur telentang mengenakan hot pants dan kaus tipis yang pendek, yang sekarang tersingkap ke atas karena dia barusan garuk-garuk perutnya. Satu kaki lurus, satu kaki dilipat, satu tangan di perut, satu tangan memeluk guling, mulutnya mangap.

"Buronan sudah ditemukan," bisikku ke ponsel. Kuganti tampilan layar menjadi kamera belakang, lalu kusorot Romi di atas tempat tidur Edvan.

Edvan menghela napas lega. Dia menyugar rambut di kepalanya, tetapi itu melibatkan pergerakan bahu, sehingga dia mengaduh lagi. "Aw! Aw! Aw! Aw!" Bahunya yang dislokasi pasti terasa ngilu pas dia mengangkat tangan barusan.

"Oke, gue udah di dalam," kataku, pelan-pelan menutup pintu kamar. "Gue bekap dia pake bantal, atau gue siram pake air mendidih aja?"

Edvan terkekeh geli di seberang sana. "Jangan, dong," katanya, masih tergelak. "Entar dia mati."

Memang itu tujuannya, kan? Untuk apa lagi aku mengendap-endap masuk ke sini mencari Romi kalau bukan untuk membumihanguskannya?

"Jadi gue mesti ngapain?" bisikku, hampir tanpa suara. Aku berjalan mendekat, merapat ke dinding, nyaris saja menendang panci bekas memasak mi yang enggak tahu kenapa ada di dekat pintu.

Setelah tawanya reda, Edvan menarik napas panjang. "Elo masih ingat baju yang gue pake kemarin, kan?" katanya. "Baju item, celana item, sepatu item, jaket item, semua yang item-item."

"Ya! Baju nudis elo, kan?"

Edvan sudah membuka mulutnya untuk merespons, diam sebentar menimang-nimang, lalu memilih untuk enggak mendebatnya. "Iya. Yang itu. Oke, gue butuh elo nyembunyiin itu semua."

"Sembunyiin ke mana?" bisikku.

"Ke mana pun. Asal jangan ada di kamar gue."

"Why?"

"Please, jangan banyak tanya dulu. Tolong sembunyiin aja, jangan sampai Romi nemuin semua baju gue itu!"

"Oh, oh! Elo takut baju-baju elo itu diendus-endus Romi, ya? Dia punya fetish ngendus-ngendus baju orang, ya?"

Lagi-lagi Edvan seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi dia pikir-pikir dulu, akhirnya dia mengikuti saja kata-kataku. "Ya .... Dia punya ... itu," katanya pasrah. Dia enggak suka basa-basi kayaknya. "Oke, baju gue ada di antara tumpukan di situ."

Aku menatap seisi kamar Edvan. Kamar ini boleh dibilang cocok sebagai simulasi kapal pecah. Seakan-akan sebuah gempa terjadi di Tasikmalaya sana, getarannya terasa sampai ke sini, tapi hanya di kamar ini saja. Bukan di kamarku, bukan kamar Tino, bukan kamar Romi, spesifik di kamar Edvan. Karena tampaknya semua barang enggak ada di lokasi seharusnya. Baju-baju di lantai, di kursi, di rak sepatu, piring kotor di atas CPU, di atas lampu, botol-botol minuman kosong di bawah kasur ..., satu-satunya yang menyelamatkan kamar ini adalah penghuninya ganteng. Jadi kalau Edvan ngajak aku ngewe di sini, aku masih mau melakukannya.

"Elo enggak perlu beresin itu semua," kata Edvan tiba-tiba. Mungkin dia melihat reaksi mukaku yang berjengit melihat situasi kamar ini. "Coba cek di bawah meja komputer. Biasanya gue nyimpen kostum gue di situ."

Aku berjalan jinjit-jinjit ke tengah kamar, sengaja tidak menginjak apa pun agar tidak menimbulkan suara. Jantungku berdegup kencang seolah-olah yang tidur di atas kasur sana adalah seekor singa, sehingga aku tak boleh membangunkannya tiba-tiba. Di bawah meja komputer, memang ada kaus, celana panjang, jaket, sepatu, topi, kacamata, bahkan helm warna hitam. Semuanya dijejalkan bersamaan sehingga tampak berantakan.

"Ketemu," kataku. Kuarahkan kamera ke semua pakaian serbahitam itu. "Gue bawa keluar, ya?"

"Thank you so much!" Edvan merapatkan kedua tangannya, lalu meletakkan rapatan tangan itu di dahinya, tapi dengan begitu bahunya terangkat lagi, sehingga dia, "Aw! Aw! AAAWW!" sambil memegang bahunya yang sakit.

"Jangan banyak gaya dulu! Udah tunggu aja gue ke situ!" kataku, sambil mengumpulkan semua baju hitam itu pelan-pelan. "Gue off dulu, ya! Susah bawanya."

"Ya, ya, ya .... Aw, aw, AW!"

Panggilan telepon pun dimatikan. Kusakui ponsel, lalu kukumpulkan segala perlengkapan hitam-hitam itu. Aku masih belum tahu mau nyembunyiin ini semua di mana. Pikiranku cuma bawa ini keluar dulu aja, mungkin simpan di kamarku, terus aku cabut ke RSUD. Aku lagi mikirin, mau ajak Tino atau enggak buat ke rumah sakit. Tahu-tahu kepalaku kejeduk meja komputer—

DUG!

Dan itu bikin Romi merespons.

"Eeeeeergh ...!" Romi menggeliat dan berbalik ke arahku. "Sayaaannnggg ...?"

Aku membelalak panik. Buru-buru membungkuk dan tiarap di bawah kursi sambil menutupi kepalaku dengan semua baju dan celana hitam Edvan. Yang setelah dipikir-pikir, aromanya enak. Aroma keringat Edvan dicampur parfumnya.

Damn. Cowok banget ini wanginya!

Aku mengangkat kepala sedikit. Mencoba mengintip Romi. Kulihat dia masih tertidur nyenyak. Hanya saja sekarang kepalanya menatap ke tengah ruangan, tepat ke arahku. Kalau dia buka mata sedikit saja, aku langsung ketahuan.

"Nyam ..., nyam ..., aaahhh ...," desah Romi. Dia menggaruk-garuk pipinya. "Sayaaannnggg .... Entot aku pleeeaaasseee ...."

What the fuck?!

Aku bergerak perlahan-lahan, keluar dari persembunyianku. Erat-erat kupeluk semua setelan serba hitam itu, lalu aku berdiri tegak tanpa suara. Romi masih dalam posisi yang sama. Kutarik napas panjang, kutenangkan diri. Aku baru akan membawa semua ini keluar, melaju satu langkah ke depan, lalu kakiku hampir menginjak sepotong sempak milik Edvan yang berwarna hitam.

Sempaknya kelihatan bersih. Tapi ada di lantai.

Harusnya kuabaikan sih sempak itu. Tapi aku orangnya enggak bisa kalau enggak jail. Kuambil sempak itu dengan jempol kakiku. Kucapit. Lalu kuseret mendekati tempat tidur. Lalu kuangkat kakiku. Kuletakkan sempak itu di atas wajah Romi.

Ha! Rasakan!

Sempak hitam itu mendarat tepat di wajah Romi. Romi mengendusnya, lalu tiba-tiba memeluknya.

"Kontoool ... bau kontooolll ...! Aaaaaahhh ...!" Mendadak dia mendesah kegirangan dan guling-guling.

Aku yang masih mengangkat satu kakiku terkejut.

GUBRAK!

Aku terjatuh ke atas lantai ....

... semua yang kupegang melayang ke udara ....

... lalu jatuh menimpaku.

....

Termasuk helmnya.

JEDUG!

"FUCK!" umpatku.

"Siapa itu?! Siapa itu?!" Romi terbangun. Dia duduk di atas tempat tidur, kepalanya celingukan, tetapi matanya baru terbuka setengah. "Begal, ya?! Begal?! Udah kubilang, aku enggak punya duit lagi! Kamu sudah mencuri semuanya dariku!"

Ngomong apa, anjing?!

Tapi aku enggak bergerak maupun merespons. Aku terbaring dengan canggung dalam posisi jatuhku di atas lantai. Satu kakiku terlipat. Satu tanganku terjulur ke atas. Satu tanganku sedang meraih helm yang menggelinding. Seluruh tubuhku tertimbun pakaian serba hitam Edvan.

Aku membelalak dan membeku dalam panik. Jantungku berdegup-degup kencang. Ini lebih mendebarkan dibandingkan ujian masuk perguruan tinggi negeri.

(Saking mendebarkannya, aku skip SNMPTN dan memilih healing ke Bali.)

(That's why aku akhirnya kuliah di kampus swasta.)

Wajahku tertutup celana jeans Edvan, tetapi satu mataku bisa melihat sosok Romi di atas ranjang sana. Banci itu masih celingukan dan geleng-geleng kepala. Dia mengatur napasnya yang memburu, melihat ke sekitar, melihat ke tubuhku yang ditumpuk baju-baju hitam, lalu melihat lagi ke arah lain. Kemungkinan dia berpikir aku adalah bagian dari berantakannya kamar Edvan, sehingga dia enggak curiga bahwa ada seonggok manusia di balik celana, jaket, baju, topi, sepatu, dan semua yang serba hitam ini.

Romi melihat tangannya. Ada sempak hitam Edvan di situ. Dia menatapnya sambil membelalak, lalu napasnya jadi memburu. Kayak orang lagi girang. Bahkan, Romi buru-buru menempelkan sempak itu ke wajahnya, mengendus aromanya, lalu dengan mengharukan terisak-isak.

"Mamoruuu ...," katanya.

Mamoru?! Itu sempak, goblok!

Romi pun berbaring lagi, masih mengusapkan sempak hitam itu di wajahnya. Masih nangis juga, Cuy. Dia gosokkan sempak itu seakan-akan itu air wudu. Dia angkat sebentar untuk mengamatinya, lalu dia menggosoknya lagi ke wajahnya.

"Mamoru," katanya lagi ke sempak itu. "Kenapa tadi kamu enggak datang untuk menyelamatkanku ...? Aku ketakutan, tahuuu ...?

Romi pun berbalik ke arah lain, menghadap tembok. Dia menangis beberapa saat, kemudian berguling-guling tanpa tujuan. Akhirnya dia ngorok lagi, sih. Dalam kondisi nungging kayak kodok, siap disodomi dari belakang. Tapi dia molor. Sumpah. Mukanya nemplok ke bantal. Noleh ke kamar, tapi kedua matanya merem. Mulutnya kebuka dikit. Bibir atasnya menyon ke atas. Bibir bawahnya menyon ke bawah. Air liurnya sudah menetes lagi.

Di tengah dengkurannya, Romi pun mengigau.

"Mamoru ... ebol aku please ...."

Pelan-pelan aku bangkit tanpa mengeluarkan suara, lalu kukumpulkan semua yang harusnya kusembunyikan. Ini beneran enggak efektif, Bro. Dari tadi aku masih di sini padahal harusnya aku sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Kenapa urusan bawa ini keluar aja susah, sih?

Kupeluk lagi semua kostum serba hitam itu, termasuk helmnya, hingga tanganku penuh. Aku mungkin enggak akan bisa membuka pintu kalau bawaanku sebanyak ini. Tak apalah ..., yang penting aku bisa segera keluar dari sin—

TEEENNNGGG ...! NONG NEEENNNGGG ...! TENG NONG NENG NONG NENG NONG TENG NONG NONG NEEENNNGGG ...!!!

FUCK! HAPE SAMSUNG ANDROID-KU MENDADAK NYALA KARENA TELEPON MASUK!

Hape Samsung-ku tuh biasa ku-setting dengan ringtone khusus per kontaknya. Biasanya nomor tak dikenal enggak ada ringtone-nya, tetapi setelah kukenal dan kusimpan kontak, aku akan mengatur ringtone-nya seperti apa. Nomor baru Edvan tadi sudah kusimpan kontaknya, tapi aku belum mengatur ringtone-nya. Nah, ini tuh tiba-tiba si Edvan menelpon ke ponsel, bukan lewat Whatsapp kayak tadi! Otomatis ringtone-nya default Android Samsung yang tersohor itu, dengan FULL VOLUME!

FUCK!

Aku berlari ke balik lemari Edvan, membuka pintunya, lalu bersembunyi di sana.

Romi tentu saja bangun gara-gara suara itu. Kami sama-sama terkejut. Tapi mungkin karena dia terbangun dari tidur nyenyak bermimpi indah di-ebol seseorang bernama Mamoru, dia enggak ngeh waktu aku berlari secepat kilat ke balik pintu. Dengan panik aku menyusupkan semua kostum hitam itu ke lemari Edvan, termasuk helm-helmnya, sembari aku mengeluarkan ponsel untuk mematikan panggilan masuk itu.

Aku berhasil melakukannya. Napasku ngos-ngosan. Keringat menbanjiri seluruh tubuhku. Suasana kamar langsung hening seketika saat kumatikan dering Android sialan itu. Dadaku kembang kempis. Aku membeku ketakutan seperti sedang dikejar hantu, lalu aku bersembunyi di balik lemari. Jempolku gemetaran sembari aku mematikan ponsel secara total, supaya tidak ada telepon-telepon mengejutkan dari Edvan.

"Halo ...? Halo?"

Aku mengintip lewat pintu lemari. Romi sedang meletakkan iPhone Bobanya di telinga, lalu mencoba berbicara.

"Halo? Kok, enggak ada suaranya? Halo?" Dia menatap iPhone-nya. "Eh, udah ditutup? Gaje banget."

Dia pikir bunyi ringtone tadi adalah panggilan di ponselnya.

Your phone is iPhone, BITCH! Yang barusan spesial Samsung!

NGELEDEK LU, YA?!

Romi meletakkan lagi ponselnya ke atas meja. Sempat dia bingung, ke mana gundukan hitam-hitam yang tadi ada di dekat ranjang. Tapi dia malah mengangkat bahu dan memilih untuk tidur lagi.

Aku udah enggak sanggup lagi melewati ini semua. Ujung-ujungnya aku menjejalkan saja semua kostum serba hitam itu di lemari Edvan, lalu kututupi seluruhnya dengan pakaian-pakaian Edvan yang lain. Kujejalkan acak saja. Tanpa kulipat atau kurapi-rapi. Toh kamar ini juga enggak ada rapi-rapinya. Buat apa aku menyusun dengan cantik, hm?! Yang penting seluruh kostum hitam itu sudah ada di pojokan lemari, tersembunyi dengan aman, di bawah tumpukan baju-baju yang lain.

Romi enggak bakal pernah menemukannya.

Kutarik napas panjang. Dan tanpa banyak drama lagi, aku berhasil keluar dari kamar itu.

[ ... ]

Ketika aku ngetuk pintu kamar Tino, lampunya padam. Kupikir dia sedang tidur, tapi kulihat secercah cahaya dari dalam. Seperti cahaya lilin. Api kecil itu berkobar-kobar di atas meja Tino, membuat kamarnya tampak remang-remang dari luar.

Tino membuka pintu kamarnya. Dia telanjang dada, cuma pakai celana pendek. "Kenapa?" sapanya lemas. Mulutnya seperti sedang mengunyah sesuatu.

"Bang, kalau mau ngepet, ajak orang lain juga, Bang. Buat jagain lilinnya."

Tino menoyor pipiku. "Gue bukan ngepet," katanya, sambil membuka pintu lebar-lebar untuk mempersilakanku masuk. "Belum aja. Belum tahu caranya."

"Lo lagi ngapain Bang?"

"Makan." Dia duduk di depan meja yang ada lilinnya. Lalu menyuap mi kuah ke dalam mulutnya. Dia juga mengangkat mangkuk itu ke arahku. "Mau?"

"Gue anak orang kaya. Gue enggak bisa relate sama anak kosan yang makan mi di akhir bulan." Kulongokkan kepala ke dalam, karena aku enggak mau buka sepatuku. "Lagian, gue mau ngajak Abang keluar."

"Ke mana?"

"Mas Edvan masuk rumah sakit. Dia minta gue buat datang ke sana. Gue mau ngajak Abang aja sekalian jenguk. Kalau perlu, kita makan bakmi roxy aja di luar, Bang. Jangan makan mi kuah kayak gitu. Enggak ada ayamnya, enggak ada protein!"

Tino menyelesaikan minya sambil berdiri lalu beranjak menarik kaus yang digantung di belakang pintu. Aroma tubuhnya kayak belum mandi. Enak sih aromanya, tapi jelas dia belum mandi setelah keringatan terjemur di PIK siang tadi.

"Kenapa dia?" tanya Tino, sembari mengenakan kaus itu dan mengambil celana panjang.

Aku mengangkat bahu. "Kecelakaan mungkin. Dia tiba-tiba nelepon gue pake nomor baru, terus bilang minta bantuan gue. Bahunya kayaknya sakit. Kalau angkat tangan dianya aw-aw-aw terus. By the way, ini kenapa lampunya mati, sih?"

Aku mengulurkan tangan untuk menekan saklar di samping pintu. CTREK! Lampu kamar Tino menyala terang. Enggak ada apa-apa di dalam kamar ini yang patut Tino sembunyikan dengan mematikan lampu. Agak panas karena AC-nya enggak menyala. Tapi kamar ini jauuuhhh ... lebih rapi dibandingkan kamarnya Edvan.

"Gue ... gue mau hemat listrik," kata Tino, sembari mengancingkan celananya, lalu mematikan lagi lampu itu. CTREK!

"What the fuck?!"

Listrik di kosan ini memang ditanggung sendiri oleh pemilik kamar. Pake token.

"Gue sekarang nganggur, Bro. Better to save money sejak dini, sebelum tabungan gue yang enggak banyak-banyak amat ini ludes."

"Enggak gitu juga caranya, ah! Dunia belum berakhir, Bang. Gue bisa bantu elo!" Aku mendengus. "Enggak mau tahu, pokoknya entar malam Abang nginep di kamar gue, pake AC, dan sekarang kita harus makan enak di luar. Ayo!"

"Iya, bentaaarrr ...." Tino menyeruput kuah minya yang masih banyak itu, along with noodle-lah. Aku bisa lihat jakunnya bergerak-gerak naik turun, meneguk kuah mi kayak lagi neguk air putih sehabis lari maraton. Sambil neguk sambil ngunyah minya, anjir. Dia simpan lagi mangkuknya ke atas, lalu menarik jaketnya. "Yuk!"

Beberapa potong mi menempel di bibirnya, enggak berhasil masuk. Aku mengeluarkan tisu dari dalam tas selempangku, lalu kubersihkan mi di bibir itu. Tino terdiam sejenak menungguku membersihkan bibirnya.

"Dah," kataku.

"Elo udah bisa jadi istri gue, ternyata," bisiknya.

"Enggak akan!" Kudorong dada Tino yang bidang dan keras itu. Tino agak termundur sedikit, padahal dia sedang mengunci pintu kamarnya. "Ngaceng dulu yang bener, baru jadi suami gue. Yuk, cepetan!"

Aku mendului Tino turun ke bawah. Aku berjalan dengan sangat cepat, seolah-olah aku sedang dikejar sesuatu. Padahal harusnya biasa aja. Somehow aku merasa beruntung tangga ini ada di samping kamar Tino, sehingga aku bisa melipir lebih dulu.

Why? Karena aku GR bukan main.

Mukaku merah. Hatiku malu. Aku senang waktu Tino mengatakan itu. Kepalaku langsung berfantasi dipersunting Tino dan hidup selamanya dengan personal trainer ganteng itu. Aw, aw, aw ....

Tapi aku enggak mau mengakuinya!

No baper-baper, yes!

[ ... ]

Perjalanan ke RSUD Tarakan dilalui dengan lancar. Hampir enggak ada lalu lintas berarti sepanjang mencapai tempat itu. Kecuali kami mesti memutar dulu ke Jl. Cideng karena rumah sakitnya enggak bisa diakses dari Jl. Tomang kalau kita datang dari arah barat.

Sepanjang perjalanan, aku yang menyetir. Aku lagi enggak mau membiarkan orang yang depresi kayak Tino memegang kemudi. Takutnya dia membelokkan mobilku ke Sungai Ciliwung dari atas Jembatan Tomang. Sesampainya di lokasi, kami langsung bergegas ke UGD. Edvan dapat kami temukan dengan mudah. Dia sedang duduk bersila di atas dipan pasien. Telanjang dada. Dan body-nya, wow, atletis.

Perutnya six pack kayak perut Tino.

Meski sekarang ada banyak bekas memar dan luka.

Dan mungkin bahunya sudah bisa dikondisikan karena waktu kami tiba, Edvan sedang memutar-mutar bahunya seperti sedang mengecek sesuatu.

"Hey! Gimana?" sapaku sambil menarik kursi dan duduk di sampingnya. Tino berdiri di ujung dipan, mengamati tanpa bertanya.

"I'm okay. I'm fine." Edvan menegakkan tubuhnya dan mengernyit nyeri pada beberapa bagian yang mungkin belum sembuh total. "Bawa baju buat gue?"

"Bawa."

Sewaktu Edvan mencoba meneleponku tadi, waktu ringtone khas Samsung itu berkumandang bagaikan proklamasi kemerdekaan, dia mau minta tolong bawakan baju ganti juga. Aku menerima pesan Whatsapp-nya setelah aku keluar dari kamar Edvan lalu bersiap-siap. Jadi, aku membawakannya baju-baju longgar yang jarang banget kupake selama tinggal di sini, gara-gara setelannya bukan aku banget.

Kugeser sports bag-ku ke dekat nakas. "Ada di situ semua. Gue juga bawain elo minum sama snack."

"Thanks." Edvan tersenyum kecil. "Terus ... itu ... udah elo ... you know ... sembunyiin?"

Aku mengangguk. "Sudah. Sudah aman."

"Di mana?"

Aku enggak bisa jawab bahwa semua setelan hitam itu masih ada di kamarnya. Padahal petunjuknya jelas: bawa kostum itu keluar kamar. Tapi aku enggak mau dianggap tolol, jadi aku berkilah, "Aman pokoknya. Enggak akan ditemukan siapa pun, bahkan arkeolog proefesional pun enggak pernah nemu baju-baju elo di mana."

Edvan menyipitkan matanya. "Elo kubur baju-baju gue?"

"Enggaaakkk .... Maksudnya ..., maksudnya, jangan dulu mikirin itu. Kita pikirin dulu soal elo. So ..., what happened? Kenapa elo bisa kayak begini?"

Aku berdiri dan melihat ke belakang. Ada satu luka panjang di sana, seperti goresan senjata tajam, yang tampaknya enggak ikhlas dilihat oleh Edvan.

Dia menghela napas, lalu mundur agar bisa bersandar ke dinding ruangan. Setelah mengamati kami satu per satu, dia pun mulai bercerita. "Gue berantem ama begal."

"Dope!" sahutku sambil membelalak. "Di mana, anjir?"

"Sekitaran ... Mangga Besar."

Aku noleh ke arah Tino. Somehow, aku lihat rahang Tino mengeras. Seakan-akan berantem ama begal men-trigger sesuatu dalam dirinya. Tino membungkuk dan menumpukan lengan depannya ke pagar dipan lalu mendengarkan cerita Edvan lebih saksama.

"Enggak jauh dari sini," gumamku.

"Makanya gue milih ke Tarakan," balas Edvan.

"Sekarang di mana begalnya?"

"Tahu! Mati kali?" jawab Edvan sambil mengangkat bahunya. Dia menarik lagi napas panjang sambil mengingat-ingat apa yang barusan terjadi kepadanya. "Gue tinggalin mereka di lokasi. Gue tadinya mau nyetir pulang, tapi gue pendarahan banyak. Jadi gue ke sini naik Gojek."

"Terus mobil elo di mana?" tanya Tino.

"Di Mercure Harmoni. Gue titip di sana. Argh." Edvan mengerang kecil sambil memegang lengannya yang penuh luka. Dia menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

Aku meringis ngeri melihatnya. Enggak tega, sumpah, lihat Edvan yang ganteng ini babak belur kayak korban pembunuhan. Dihajar begal, pula. Pasti pake sajam sih ini. Aku mengusap-usap paha Edvan yang ditutupi selimut, mencoba menenangkannya.

Edvan melihat ke arah tanganku di situ. "By the way, gue telanjang, Bro. Itu tangan elo ngelus-ngelus lokasinya deket banget ama perkakas gue—"

"Oh, sorry!" Kuangkat tanganku seketika. Bahkan aku mundur selangkah dan mengangkat kedua tanganku. "Sorry, sorry, sorry."

Edvan terkekeh. "Gapapa."

Yang enggak terkekeh adalah Tino. Mendadak dia mengulurkan tangannya, menarik bahuku, menarik tubuhku hingga menempel ke tubuhnya, lalu dia ..., dia memeluk pinggangku dari belakang. Tangannya meremas pinggangku kuat-kuat. Seolah-olah mau bilang ke Edvan, "Si Leo ini punya gue ya, Bro!"

Kan aku jadi berdebar-debar, anjing!

Di depanku ada cowok ganteng hobi nudis yang telanjang bulat di bawah selimut. Lalu tubuhku didekap personal trainer lebih ganteng lagi, yang badannya kekar, kontolnya uncut, dan dia memelukku seakan-akan ....

... seakan-akan aku miliknya dan enggak boleh pegang-pegang paha Edvan.

Baper enggak lu digituin? Hah?

HAH?!

"Berapa orang begalnya?" tanya Tino, dengan suara dalam, yang jarang kudengar. Suara laki kalau lagi "serius".

"Tiga."

"Elo ngadepin mereka sendirian?"

Edvan ngangguk. "Gue kalah jumlah."

"Tapi mereka mampus, kan?" sahut Tino, rahangnya makin mengeras.

Aku agak takut sih melihat Tino versi marah-marah begini. Kenapa jadi dia yang kesal, ya? Yang babak belur kan si Edvan. Apa dia mulai benci sama segala sesuatu yang berhubungan dengan ketidakadilan di dunia ini? Hidup Tino enggak adil karena ditipu bencong. Hidup Edvan enggak adil karena diserang begal.

"Itu yang mau gue cari tahu," kata Edvan. Dia noleh ke kami satu per satu, lalu melanjutkan sembari menatap ke arahku, "Sekalian gue mau minta tolong juga. Makanya gue minta tolong ke elo."

"Kenapa elo nelepon si Leo?" tanya Tino, kayak yang enggak terima. "Biasanya elo ngehubungin gue."

"Itu ..., karena ...." Edvan mulai salah tingkah. Dia garuk-garuk kepalanya seperti menghindari pertanyaan itu. Kemudian akhirnya dia berkelit, "Nama Leo lebih duluan muncul di kontak gue. Hehe. Sesuai alfabet. Nama elo kan dari huruf T, Bro. Agak-agak ... di bawah."

Aku dan Tino sama-sama menyipitkan mata dengan ekspresi bingung.

Goblok banget sih mau nyari alasan doang! Emangnya kalau mau nelepon orang harus nge-scroll nama kontaknya dari huruf A, HAH?!

"Gue sore tadi Whatsapp-an ama Mas Edvan," kataku langsung nimbrung. "Mungkin Mas Edvan ini lagi panik, lagi darurat, jadi anak kosan yang kontaknya paling atas dia telepon buat minta bantuan."

"Nah, iya, begitu!" sahut Edvan sambil mengangkat tangan ke arahku, untuk melakukan high five! Tos!

ENGGAK PERLU, ANJING! Ngapain tos, sih?!

Of course aku enggak membalas high five tersebut. Dasar ganteng-ganteng seringgila!

Dengan salah tingkah, Edvan menurunkan lagi tangannya, lalu pura-pura menggaruk kepala. Tapi kayaknya bahu Edvan masih belum sembuh total sehingga dia mengaduh lagi. "Aw! Aw! Aw! AAAWWW!" Edvan meringis sambil menyilangkan tangan untuk memijat bahu.

"Jadi elo mau minta bantuan apa?" tanya Tino.

"Oh ... iya ..., pertama, tolong bawa mobil gue ke sini," katanya. "Ada duit dalam amplop, yang tadinya mau diambil ama mereka, gue simpan di jok depan. Gue pengin duit itu aman."

"Berapa duit, Mas?" tanyaku.

"Kagak tahu. Enam juta? Tujuh juta? Cash semua."

Aku geleng-geleng kepala. "Damn. Zaman udah canggih pake Kyu-RIS, Mas masih pegang uang cash berjuta-juta?"

"Duit di dalam rekening bisa dibobol begal juga, anjir. Mereka bawa sajam, nodong elo ke ATM, terus duitnya ditarik semua di ATM!"

"Masa sih?"

Edvan sudah membuka mulutnya untuk merespons, tapi dia memikirkannya baik-baik, kemudian dia menggelengkan kepala. "Enggak, barusan cuma kemungkinan aja." Dia menelan ludah. "Iya, harusnya gue enggak bawa cash."

Ada yang Edvan sembunyikan dari kami. Dari tadi banyak hal yang dia "enggak jadi" katakan atas alasan enggak mau ribet.

"Oke, kuncinya di mana?" tanya Tino, tanpa basa-basi.

"Noh, di situ." Edvan menunjuk nakas di samping dipannya dengan dagu.

Tino melepas rangkulannya untuk mengambil kunci. Aku enggak dibiarkannya mendekati Edvan lagi. Setelah mengambil kunci, dia menyakuinya ke jaket, "Ada lagi?"

"Ada. Gue ... gue pengin kalian ngecek si begalnya. Masih hidup, atau jadi mayat, atau gimana. Terlebih soal CCTV sekitar situ, sih. Takutnya gue kerekam lagi mau bunuh orang."

"Misal kerekam pun, kan pasti kelihatan mereka mau begal elo," kata Tino. Dia kembali ke sisiku, dan kembali merangkul pinggangku. "Elo bakal dianggap membela diri. Posisi elo kuat. Mereka mati pun, mereka tetap penjahatnya. Sans. Kalau ada apa-apa, entar kita telepon si Kevin buat bantu elo meski dia udah pindah ke Surabaya. Si Kevin kan pengacara."

Kevin itu cowok yang ditaksir sama sobatku di kosan ini. Sobatku namanya Enzo, dia tinggal di gedung bagian depan, di lantai satu. Dia tetanggaan sama cowok bernama Kevin, profesi pengacara, yang sekarang sudah pindah ke Surabaya, menikahi kakaknya Enzo. Jadi secara teknis Enzo enggak ditinggalin cinta matinya, sih. Tapi posisi Enzo berubah dari secret admirer menjadi adik ipar.

Enzo tuh orangnya agak ... lebai. Dia cinta Kevin kayak gue cinta sama Tino. Tapi Enzo tuh gimana, ya ...? Agak drama gitu. Bisa nangis berjam-jam cuma gara-gara Kevin belum pulang ke kosan, atau Kevin belum balas Whatsapp-nya dia.

Dan by the way, Kevin tuh ganteng. Tipe lelaki yang mengayomi. Enak dipeluk semalaman. Badannya sama kekar, tapi basah. Jenis orang yang paling cocok dijadikan suami sehidup semati. Sampai akhirat pun, dibandingkan dihadiahi 72 bidadara, aku yakin kamu bakal lebih milih dikasih satu Kevin aja untuk hidup di surga selamanya. Saking adem dan damainya berinteraksi sama Kevin. Jadi sometimes aku paham kenapa Enzo bisa hiperbola dalam urusan naksir pengacara ganteng itu.

Edvan memberi jeda sejenak pada kata-kata Tino. Lagi-lagi, dia seperti ingin membantah sesuatu, mulutnya udah kebuka nih, tapi dia tutup rapat lagi. Ujung-ujungnya dia balas, "Ya, elo bener, Bro."

"Kita doain aja mereka mati," kata Tino. Satu tangannya memegang pagar ranjang dengan keras. Kerasa sampai ke remasan tangan dia di pinggangku. "Kita doain semua penjahat di dunia ini mati. Orang-orang yang nipu, yang ngancurin hidup orang lain, mereka busuk di dunia dan busuk di neraka!"

Damn, Bro.

You are fucking wounded, Bro.

Kerasa bangat energi-energi pengin nyekik bencong bernama Lidya sampai lehernya putus. Wow. Aku berempati banget sama apa yang dialami Tino. Rasanya pengin meluk dia sekarang juga buat nenangin hatinya.

"O ... oke ...." Edvan menelan ludah. Mulai ngeri dengan perubahan sikap Tino yang terlalu agresif. "Nanti ... nanti kalau kalian udah pegang mobilnya, tolong cuci mobilnya, tapi jangan di carwash. Please ...."

"Kenapa?"

"Banyak darahnya, anjir. Darah gue di joknya. Kalau ke carwash, entar carwash-nya malah nelepon pulisi!"

Tino menatapku sejenak lalu melihat lagi Edvan. Dia mengangguk sepakat. "Oke. Gue coba cuci entar malam."

"Gue bayar," kata Edvan kemudian.

Tino menggeleng. "Enggak usah. Elo lagi kena musibah gini, kagak usah mikirin duit lagi."

"No! I insist!" sahut Edvan bersikukuh. "Gue lagi mau ngerepotin kalian berdua nih. Seenggaknya gue bisa bayar elo buat effort elo nolongin gue. Please. Entar gue tambahin roti, deh. Gue punya banyak roti."

"Dih! Sari Boti yang kemarin? Enggak mau!" Aku mendengus.

"But please accept the money," kata Edvan, menoleh ke arahku dan memohon.

Lalu tiba-tiba, aku teringat bahwa Tino pengangguran sekarang. Barusan saja dia makan mi kuah sambil mematikan AC dan lampu, lalu duduk ditemani lilin untuk pemadaman bergilir. Jadi aku menyenggol Tino. "Bang, terima aja."

"Tapi—"

Kucubit perut Tino. "Terima aja!"

"Aw! AAAWWW ...!" Tino membungkuk untuk melepaskan tanganku di perutnya. "Iya, iya, iya. Gue terima duitnya."

"Anggap aja biaya cuci mobil," kataku. Aku mendengus bangga dan bertanya, "Ada lagi?"

"Ada." Edvan mengulurkan tangan untuk mengambil beberapa lembar kertas yang tergeletak sedari tadi di sana. Bentuknya seperti formulir. "Ini udah gue isi. Gue mau minta tolong sama elo, Tin, buat ke depan, ke bagian administrasi, buat ngasihin ini. Bilang gue biaya mandiri. Enggak pake BPJS atau asuransi."

"Kasih ke si Leo," kata Tino.

Aku enggak masalah sih melakukan itu. Tapi Edvan yang tiba-tiba menolak. "Enggak. Gue pengin elo aja yang ke sana. Please."

"Kenapa harus gue?"

"Karena ... karena ...." Edvan enggak tahu mau berkelit gimana lagi. "Ada informasi penting yang gue enggak pengin si Leo tahu."

Bangsat emang cowok ganteng satu ini! Beberapa saat lalu aku mainin sempak kamu, anjeng! Informasi macam apa yang mesti disembunyikan lagi dariku, hah?! Bahwa kamu enggak tahu caranya melipat baju?!

Aku agak kesal, tapi aku paham Edvan enggak begitu lihai dalam ngibulin orang. Jadi aku support dia saja. "Udah sih, Abang aja yang ke sana. Aku enggak apa-apa di sini."

Tino menatapku dan Edvan secara bergantian. Ada rasa-rasa enggak ikhlas dalam hatinya ninggalin aku berduaan aja sama Edvan. Tapi akhirnya dia menyerah. Dia terima berkas itu, lalu pergi ninggalin UGD.

Setelah Tino enggak ada di situ, Edvan langsung menyerbuku. Dia membungkuk lebih dekat ke arahku. "Aman kan baju-baju gue yang item?"

"Iya, aman. Kan tadi gue udah jawab—"

"Si Romi aman, kan?"

"Banget." Aku memutar bola mata. "Dia lagi mimpi di-ebol Mamoru. Entah siapa itu Mamoru."

"Oh." Edvan manggut-manggut. Tapi dia enggak menghabiskan waktu banyak untuk mengutarakan tujuannya. "Gue udah lihat video Tino. Gue sering lihat video kayak gitu—"

"Elo sering lihat video kayak gitu?!" potongku tak percaya. "Elo ... elo gay?"

"Bukan anjir!" Edvan mencoba menggeplak kepalaku. Tapi itu melibatkan bahunya terangkat, sehingga dia pun mengaduh, "Aw, aw, aaawww!"

"But how do you know soal video Tino?!" tanyaku. "Paling yang tahu, harusnya, komunitas homo-homo Twitter aja. Misal boti-boti yang enggak bisa dapat top, jadi mereka coli setiap malam sambil nge-scroll video straight di-prank!"

"Kan kamar sebelah gue penghuninya boti," balas Edvan. "Dia berlangganan video macam gitu setiap bulan. Gue sering dikasih lihat."

Oh iya, benar. Romi kan penyuka video-video macam begitu. Dan mereka berdua kayaknya sering berinteraksi di luar dugaanku.

"Gue bisa bantuin elo," kata Edvan kemudian. "Gue bisa track siapa yang bikin, lalu kita temuin siapa yang nge-prank Tino. Kalau elo mau balas dendam, gue bisa bantu. Tapi kita enggak bisa libatin Tino di sini."

"Why?"

"Why?" ulang Edvan sambil ngerutin alisnya. "Elo masih nanyain why?"

"Iya. Why? Tino berhak tahu siapa yang udah ngancurin hidupnya!"

Edvan geleng-geleng kepala. "You don't know Tino, then," katanya sambil menarik napas panjang, lalu melongokkan kepala ke balik bahuku, memastikan Tino belum kembali dari bagian administrasi. "Tino orang baik. Orang paling baiiikkk ... yang pernah gue temuin di hidup gue. Seantero kosan kagak ada yang bisa ngalahin kebaikan Tino. Disuruh apa pun mau. Dimintain bantuan ini itu kagak bakal banyak protes. Orang yang paling ikhlas dan sabar ngadepin segala masalah.

"Orang yang baik macam Tino, kalau kita macam-macam sama dia ... can kill somebody," lanjut Edvan, dengan wajah serius. Benar-benar serius. "Dan gue enggak mau sobat gue itu masuk penjara atas pembunuhan berencana, cuma gara-gara balas dendam ke bencong mana pun yang kemaren ngejahatin dia."

[ ... ]


Bersambung ...


Aku mau ngeluarin seri Quick One Shot baru lagi yang temanya sama, yaitu HUBUNGAN TERLARANG. Cerita-cerita pendek, berbayar, tapi murah di bawah 10 ribu, dengan jumlah kata di bawah 7.000. Semuanya bercerita tentang hubungan terlarang yang dilakukan dua orang. 

Detailnya besok, ya. Masih diedit. Tapi ini cover-nya.

Ini tentang seorang guru dan muridnya.

Ini tentang mertua dan menantu.

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 49.8K 44
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...
492K 2.1K 8
Kocok terus sampe muncrat!!..
80.8K 6.5K 77
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

62.2K 637 11
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra