Apakah Kita Bisa Bertemu (Lag...

By JuwitaPurnamasari

47.4K 1.9K 115

Sebuah kisah sederhana tentang kisah cinta masa kecil, penantian, janji, rindu, juga... kebingungan. Semua r... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 11
Bagian 12
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15

Bagian 10

2.3K 106 6
By JuwitaPurnamasari

"Halo, Mbak Mawar." Aku menepuk lembut sosok wanita cantik yang sedang serius membaca majalah di kursi taman.

"Hai, Shinta.Oh, ada Nala juga." Dia menutup majalahnya.

"Halo Mbak,lama nggak ketemu ya. Dua belas tahun?"

"Ahaha... iya,dulu kalian suka main sama-sama waktu kecil. Yuk, masuk dulu. Shinta pasti cari Rama ya?"

Kami berjalan bersama memasuki ruangan. Di dalam tampak sepi mungkin karena hari sudah menunjukan pukul lima sore pasti murid-murid kelas musik juga sudah pada pulang. Mbak Mawar dengan gayanya yang ceria dan ramah membahas macam-macam hal. Kebanyakan mengenang masa kecil kami berdua. Mbak Mawar lebih akrab dengan Nala karena mereka seumuran. Sedangkan aku lebih sering bermain dengan Rama, meski Rama usianya lebih tua dariku tapi dia tidak pernah menolak diajak bermain denganku.

Setelah izin ke belakang sebentar. Mbak Mawar datang lagi membawa minuman dan camilan. Kini di meja kami ada tiga cangkir teh camomile dan sepiring biskuit.

"Kayaknya aku nggak bisa lama-lama deh," Nala melirik jam tangannya, dia ada janji dengan tunangannya jam tujuh malam nanti.

"Ah, padahal aku masih kangen pengin gosip-gosip sama kamu, La."

"Hehe...gampang Mbak, kita atur waktu buat gosip sampai pagi."

"Sip! Sip! Oh ya, Shinta masih di sini kan? Nunggu Rama. Duh, itu anak ke mana ya? Padahal Mbak sudah ingatin jam lima Shinta mau datang les musik. Dia malah ngilang."

"Iya Mbak, Shinta masih di sini nunggu Rama. Nggak apa kok Mbak, mungkin masih di jalan."

Mbak Mawar mengantar Nala sampai ke depan, aku menikmati teh camomile buatan Mbak Mawar. Harusnya teh ini bisa menenangkan pikiranku yang sedang bercabang ke sana kemari membayangkan di mana Rama sekarang. Apakah sedang bersama seorang perempuan? Gadis yang menelepon tempo hari dan membuat Rama meninggalkanku? Falia? Ah, siapa juga itu Falia, menyebalkan! Tehcamomile-nya gagal menenangkan perasaanku.

"Lama ya, Ta?" Mbak Mawar sudah duduk lagi di sebelahku.

"Kamu tunggu di ruang musik saja. Kebetulan Mbak mau pergi sebentar. Mau jemput bunda nih minta di antar ke rumah temannya ada arisan katanya. Sebentar kok, Mbak cuma ngantar aja. Nggak apa-apa Mbak tinggal dulu?"

"Nggak apa-apa Mbak, aku nanti tunggu di ruang musik aja. Salam buat Tante Lestariya, Mbak."

"Oke. Pintu dan gerbangnya Mbak kunci aja ya. Rama bawa kunci cadangan kok." Mbak Mawar mengambil tas tangannya dan berjalan ke luar. Aku menemaninya sampai depan pintu. Setelah mobilnya keluar gerbang, aku menutup semua pintu, dan naik ke lantai dua. Ruang musik khusus yang sering dipakai Rama dan Mbak Mawar secara pribadi. Ada piano, keyboard, biola, gitar dan drum. Ah, ada angklung juga.

Aku melirik jam tangan, sudah hampir sepuluh menit aku di sini sendirian. Rama mana sih? Apa jangan-jangan dia lupa? Aku sudah mengiriminya pesan singkat, hanya terkirim dan tidak ada balasan apa-apa. Bosan juga hanya duduk di sofa dan memandangi alat musik. Aku berjalan melihat-lihat alat musik lain. Ada beberapa alat musik tradisional, tapi kebanyakan aku tidak tahu namanya. Duh, malu-maluin saja padahal aku orang Indonesia. Aku cuma tahu angklung karena waktu sekolah pernah ada di pelajaran seni musik.

"Omong-omong gimana cara maininnya, ya?" Aku bergumam sendiri. Aku mengambil salah satu angklung yang digantung di dinding. Menggoyang-goyangkannya. Dulu memang pernah belajar saat masih sekolah dasar, tapi sekarang sudah tidak ingat lagi. Aku menggoyang-goyangkannya beberapa kali tapi rasanya nada yang keluar sama saja. Suara bambu yang beradu itu benar-benar terasa magis sekaligus merdu. Meski tidak bisa menciptakan nada apa pun, aku seolah ketagihan menggoyang-goyangkan angklung di tanganku ini.

"Cara memeganggnya salah, gimana bisa keluar nada?" Suara galak itu membuatku tersentak. Tapi belum sempat aku membalik badan untuk melihat ke sumber suara. Tangannya sudah mengunci tanganku dari belakang. Jantungku berdegup kencang seperti siap melompat dari rongganya.

"Tangan kirinya di sini, tangan kanannya di sini. Ya, begitu. Lalu digoyangkan begini, lalu begini. Nah, ada nadanya kan?" Dia berbicara tepat di telingaku, hingga aku tak hanya bisa mendengar suaranya tapi juga bisa merasakan embusan napasnya di daun telingaku.

Meski tangannya sudah tidak menyentuh tanganku lagi, rasa hangatnya seolah masih tersisa dan mengalir lewat pembuluh-pembuluh darahku.

"Apa kamu bisa memainkan semua alat musik di sini?" Setelah mengatur napas agar terlihat biasa saja aku memberanikan diri menatap dan bicara dengannya agar tidak terlihat gugup.

"Yang benar saja? Mana mungkin bisa memainkan semuanya? Aku hanya bisa piano, gitar dan drum. Kalau angklung hanya sedikit-sedikit." Dia berjalan menjauh dariku. "Maaf telat, tadi aku ada urusan di luar."

"Urusan apa? Telatnya sampai hampir satu jam." Untuk ke berapakalinya dia seolah tidak mendengar pertanyaanku. Aku hanya bisa mengembuskan napas menahan kesal.

Rama mengambil sebuah buku dari rak di pojok ruangan. "Buku ini bisa kamu pelajari, aku sengaja cari yang cara penyampaiannya mudah dimengerti." Dia memberikan bukunya padaku.

"Buku? Kenapa nggak langsung kamu aja yang kasih tahu aku, kenapa malah baca buku? Kalau gini sih, aku bisa beli aja bukunya terus baca di rumah."

"Ya kan, aku sudah bilang kamu memang nggak perlu guru musik."

Lagi-lagi aku cuma bisa mengembuskan napas, "Oke, oke, nanti saya baca, Pak Guru!"

"Di sana ada trik-trik yang berguna khususnya buat penyanyi. Seperti teknik mengolah pernapasan, trik menghapal nada, lalu...."

"Jadi sekarang jadwalnya hanya memberikanku buku ini saja?" Aku memotongkata-katanya. "Aku sudah menunggu sejam lebih. Setelah aku membolak-balik isi halamannya sekilas. Bukunya memang sepertinya berbobot, tapi aku kurang suka membaca buku pelajaran semacam ini. Kan lebih asyik kalau langsung ada yang mengajari."

"Oke. Sini kamu!" Dia menunjuk ke arah piano klasik di belakang kami. Dia duduk di kursinya, dan aku berdiri di sebelah kirinya. Jarinya tampak kokoh saat menempel di atas tuts piano. "Dengarkan melodinya, aku akan sengaja membuat beberapa nada yang salah, dan tebak di mana itu. Ini lagumu, jadi harusnya kamu hapal."

"Siap!" Aku mendekat ke sisi piano. Nada per nada mulai dimainkan. Ya, benar ini lagu terbaruku yang berjudul Rindu. Rama tahu nadanya? Apa dia suka mendengarkannya? Tanpa sadar mulutku mulai bernyanyi-nyanyi kecil. Rama terus membiarkan melodi dari tuts pianonya menari bersama jari-jarinya.

"Oke. Tebak!"

"Tebak? Apanya?"

"Lho, tadi aku suruh kamu tebak di mana nada yang salah."

"Ah, aku...." Sepertinya aku tidak memerhatikan jari-jarinya di atas tuts piano apalagi memerhatikan nada yang keluar dari sana. Aku terlalu asyik menikmati permainan pianonya sambil memandangi wajahnya.

Rama menepuk keningnya sendiri dengan gemas, "Kalau nada piano yang salah saja kamu tidak tahu, gimana mau menyanyi dengan bagus. Tadi kamu ngapain aja?"

"Aku? Aku lagi membayangkan ekspresi kamu saat memainkan lagu untukku yang diunggah di youtube itu. Hehe.... Seandainya gambarnya diambil dari depan pasti kamu terlihat lebih keren. Kenapa sih videonya harus diambil dari belakang? Sok misterius! Aku kan cuma bisa melihat punggungmu aja. Aku selalu penasaran bagaimana ekspersimu waktu memainkan lagu itu."

"Shinta!!!"

"Iya?" Aku nyengir, dia menggeleng-geleng kepalanya sambil menatap kesal ke arahku.

"Ayo mainkan satu lagu lagi, kali ini aku pasti bisa menebak di mana nada yang salahnya. Serius!"

Sungguh, aku sangat menyukai laki-laki di sebelahku ini. Bukan hanya karena dia cinta masa kecilku. Entah apa yang membuatku semakin hari semakin ingin memilikinya dan tidak ingin orang lain yang memilikinya. Aku tidak mengerti dengan kata-kata bahwa "cinta tak mesti bersama". Bagaimana mungkin seseorang yang mencintai rela untuk berjauhan dengan orang yang dicintai apalagi membiarkan orang tersebut dimiliki orang lain, tanpa melakukan apa pun? 

Ya,sejenak tadi aku sempat ragu untuk berhenti memperjuangkan cinta ini. Jika nama Falia, nama gadis misterius yang meneleponnya waktu itu terlintas, aku selalu merasa takut dan cemas. Tapi, aku pun tidak ingin begitu saja melepaskan Rama, setelah menunggunya 12 tahun. Jika pun harus berhenti mungkin itu hanya jika dia benar-benar sudah menikahi gadis lain!


-Bersambung -

Continue Reading

You'll Also Like

72.7K 1.8K 39
(COMPLETED) Hanya kisah sederhana sepasang sahabat berlawanan jenis yang berakhir dengan cinta. "Gue nggak tahu sejak kapan tapi yang jelas gue sayan...
4.2M 53.8K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
20.3K 1.3K 24
Aku sering bertengkar dengan asisten pribadiku sampai-sampai dia keluar dengan sendirinya. Sangat susah untuk mencari Asisten baru. Ini membuatku pus...