Punca Anomali | ZEROBASEONE...

By xieshila

1.7K 952 381

Terbangun dengan sebuah fakta bahwa dirinya telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit selama 9 bulan la... More

Prologue | Ilusi Kuasi
1 | Realitas Ganjil
2 | Satu Tahun Silam
3 | Reminisensi Lengkara
4 | Disonansi Paradoksal
5 | Ragawi Tak Kasatmata
6 | Marvella
7 | Ekspedisi Tak Bernyawa
8 | Enigma
9 | Asrar & Warita
10 | Potret Persona Juwita
11 | Elusif
12 | Dejavu
13 | Kompleksitas Satu Waktu
15 | Aksioma
16 | Tinggal dan Menetap
17 | Momentum Garib
18 | Tabir Ilusi Gael
19 | Tabir Ilusi Gustav
20 | Tabir Ilusi Rojiv
21 | Tabir Ilusi Tristan
22 | Mahendra, Zavier, dan Harris
23 | Tabir Ilusi Jehan
Epilogue | Delapan

14 | Praduga Tak Berakar

40 31 0
By xieshila

Di bawah sinar wulan yang temaram, pintu gerbang perumahan elit Kaanan Mandar telah menjadi saksi bisu atas insiden kecelakaan yang menimpa dua temanku. Sayup-menyayup terdengar suara sirine ambulans dari kejauhan yang melaju begitu cepat ke arah hiruk-pikuk manusia. Sorot lampu darurat yang benderang berhasil menyingkirkan kerumunan yang sedang asyik berkasak-kusuk dan mengitari tempat kejadian tersebut refleks menepi seketika. Walaupun orang-orang sibuk berkutat dengan ponsel untuk membagikannya ke media sosial, setidaknya hati nurani mereka tergerak untuk memberi akses kendaraan mobil yang dilengkapi oleh peralatan medis agar bisa mendekat ke arah korban yang membutuhkan pertolongan. Namun, tetap saja, mengabadikan gambar atau video lalu menyebarkannya ke media sosial tanpa adanya izin dari korban atau keluarga adalah bentuk dari pelanggaran privasi yang dianggap tidak etis untuk dilakukan.

Dengan langkah terkatung-katung dan napas yang megap-megap, aku memberanikan diri untuk menyeruak masuk menembus keramaian. Melihat dua pemuda yang terkapar di atas jalanan beraspal dengan kondisi mengkhawatirkan, membuat detak jantungku berdegup kencang tidak karuan seolah-olah melintas ke luar dari garis konstan begitu saja. Dalam jarak dekat, bisa kulihat atensi Suteja menatap gelap malam tanpa bintang dengan tatapan kosong. Sedangkan Hakim, pemuda itu berusaha merangkak dan menyeret tubuhnya mendekat ke arah Suteja dengan tubuh yang menggigil, rintihan kecil juga lolos dari mulutnya secara bersamaan ketika pahanya yang sudah terluka dan mengucurkan darah segar malah menggores aspal di setiap gerakannya. Belum sempat menghampiri Suteja, tubuh Hakim dipindahkan secara perlahan menggunakan tandu ke dalam mobil ambulans oleh petugas penyelamat. Suteja juga mendapatkan perlakuan serupa dan dibawa ke mobil ambulans satunya lagi.

"Apa sudah ada yang menghubungi keluarga korban?" tanya salah satu petugas. "Atau mungkin ada dari kalian yang mengenal baik keluarga atau korban dari kecelakaan ini? Jika iya, mohon untuk menghubungi pihak keluarga yang terkait agar segera pergi ke RSUD Dr. Saiful Anwar."

"Sebelum korban tidak sadarkan diri beberapa waktu lalu, dia meminta saya untuk menghubungi salah satu temannya yang tinggalnya tidak jauh dari sini. Sepertinya, sebentar lagi akan sampai, Pak!"

Petugas penyelamat mengedarkan pandangannya ke sekitar. Refleks saja kedua tungkaiku bergerak begitu lambat menghampiri beliau yang sudah bertugas. Tanpa basa-basi, petugas penyelamat tersebut menanyakan identitasku. Setelah dikonfirmasi, aku pun diizinkan untuk ikut serta ke dalam ambulans yang menangani kondisi Hakim. Setelah itu, mesin ambulans bergetar lembut dan melaju meninggalkan tempat kejadian perkara.

"Ambulans segera menuju ke RSUD Saiful Anwar. Tolong persiapkan tenaga medis untuk kedatangan kami segera," ucap salah satu dari bagian petugas penyelamat yang duduk di sebelah pengemudi.

Di bawah penerangan ambulans yang redup, aku bisa melihat petugas penyelamat yang sempat berkomunikasi singkat denganku tadi, begitu cekatan menangani kondisi Hakim dengan gerakan terkoordinasi mempersiapkan alat-alat medis. Dalam penanganan intensif yang dikerahkan, bisa kulihat atensi Hakim yang melemah tersebut mengitari sekitar berusaha mencari kepastian. Aku pun mencondongkan tubuhku mendekat ke arah Hakim.

"Hakim," panggilku yang membuat atensinya menatapku secara lambat. Aku berusaha tersenyum agar Hakim merasa tenang sambil mengusap lembut lengannta "Jangan khawatir, kamu bakalan baik-baik aja, Kim. Jangan takut ok? Aku gak bakalan ke mana-mana."

"Su-Suteja ... gimana, Vel?"

"Suteja sudah mendapatkan penanganan intensif, kita berdoa semoga dia baik-baik aja."

Hakim manggut-manggut lalu atensinya kembali melihat ke sana kemari seperti orang kebingungan.

"Kim, ada apa? Kamu cari apa?" tanyaku berusaha memastikan apa yang membuat Hakim tampak linglung.

Belum sempat menjawab, ketegangan mulai menyelimuti atmosfer ketika dada Hakim mulai terlihat naik turun tidak beraturan seolah-olah kesulitan untuk bernapas.

"Hakim? Kamu dengar saya, kan? Tetap bernapas, Hakim!"

Tekanan mulai terasa seiring melajunya mobil ambulans yang makin cepat menerobos padatnya lalu lintas. Secara hati-hati masker oksigen dipasangkan pada Hakim. Suara detak jantung Hakim pada monitor terlihat begitu lemah.

"Hakim, apa dadamu terasa sakit?" Hakim mengangguk lemah, saking sakitnya bisa kulihat air mata merembes ke luar membasahi pipinya. "Tenangkan dirimu ... hiruplah oksigen ini secara perlahan, Hakim."

Hakim menuruti instruksi pertolongan dari petugas penyelamat dengan baik. Seiring berjalannya waktu, pernapasan Hakim terlihat mulai membaik.

"Bagaimana kondisi teman saya sekarang, Pak?" tanyaku.

"Saturasi oksigen mulai membaik, Mas. Namun, harus segera mendapatkan tindakan lebih lanjut di rumah sakit."

Kurasakan jemari tangan Hakim yang bergetar itu menyentuh lenganku, aku pun berpaling ke arahnya dan bertanya ada apa. Dengan napas yang masih tersenggal-senggal, Hakim berusaha menjelaskan kilas balik dari kejadian naas yang menimpanya beberapa waktu lalu.

"Marvel ... dengarkan aku ... ada yang aneh tadi ... sebelum kecelakaan."

Walaupun terdengar lirih, aku bisa mendengar suara Hakim begitu jelas. "Apa yang aneh, Kim?"

"Ada cahaya ... bayangan besar yang mengamati seolah-olah sedang ... mengawasi."

Kalimat yang terbata-bata itu menjadi kalimat terakhir yang dikatakan oleh Hakim sebelum pemuda itu kehilangan kesadarannya. Jika saja aku adalah Marveliano yang dulu dan selalu skeptis perihal keberadaan dunia lain, aku akan menganggap Hakim sedang halu. Namun, mengingat bahwasanya aku juga mengalami serangkaian hal mistis dan horror beberapa waktu lalu, aku dengan mudah mempercayai ucapan Hakim.

Jemari tanganku beralih menggenggam tangan Hakim. Namun, aku menemukan adanya sesuatu yang licin, halus, dan bersisik dalam genggaman tangan Hakim. Kelewat penasaran, aku mengambil benda tersebut dari tangan hakim secara hati-hati. Seketika aku terlonjak kaget ketika menemukan satu buah sisik berukuran besar dan berkilau. Mengingat bahwa mendiang ayah dulu pernah memelihara hewan bersisik, aku pun mengenali dari hewan apa sisik yang ada di tanganku saat ini berasal.

Atensiku menyipit, Ini nggak mungkin sisik ular, kan?

●●●

"Perihal biaya rumah sakit Suteja, ibu tidak perlu khawatir. Semua biayanya sudah dibayar penuh. Lebih baik sekarang ibu fokus untuk mendampingi Suteja agar anak ibu cepat sembuh."

"Si-siapa yang sudah begitu dermawan membayarkan uang rumah sakit anak saya, Sus? Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya!"

Petugas wanita yang mengurusi perihal keuangan dan akuntasi pun hanya bisa tersenyum simpul. "Mohon maaf, Bu, tapi saya tidak bisa memberitahu siapa nama orang tersebut karena beliau meminta namanya untuk dirahasiakan. Beliau bilang, anggap saja ini bantuan dari Tuhan."

Wanita paruh baya dengan pakaian lusuh dan beralaskan kaki sandal japit tersebut manggut-manggut sambil menangis tersedu-sedu. "Terima kasih ... terima kasih, Tuhan! Semoga hamba-Mu akan senantiasa diberikan, kesehatan, rezeki yang berlimpah, keselamatan, dan dilindungi dari segala mara bahaya. Amin."

Seulas senyum membingkai bibirku kala atmosfer hangat mulai menyeruak masuk melewati koridor rumah sakit di pagi buta ini. Melihat raut wajah Ibu Suteja yang sumringah membuat perasaanku lega dan perlahan mulai menghampirinya.

"Ibu!" panggilku yang membuat Ibu Suteja datang untuk memelukku, helaan napas panjangnya terdengar begitu menyengarkan di runguku. "Ada apa, Bu?"

Ibu Suteja melepaskan pelukannya lalu menggeleng singkat sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Nggak apa, Nak Marvel. Ibu lagi bahagia saja. Terima kasih sudah menggantikan posisi ibu sejenak untuk menjaga Suteja, ya? Sekarang kamu boleh pulang untuk istirahat, besok boleh ke sini lagi buat jenguk Suteja."

Aku mengangguk mengerti. "Iya, Bu. Saya pasti akan main ke sini. Oh, ya, di meja saya siapkan makanan sama minuman buat ibu jaga Suteja. Dihabiskan, ya, Bu? Kalau kurang, nanti bisa hubungi saya lagi biar saya yang belikan dan ibu fokus jaga Suteja."

"Iya, Nak Marvel. Terima kasih, ya, sudah mau direpotkan?"

Aku menggeleng. "Saya nggak merasa direpotkan sama sekali, Bu. Suteja itu teman saya dan antara teman harus saling membantu dalam keadaan senang atau susah sekaligus."

Ibu Suteja memelukku singkat lalu mengusap kepalaku. "Terima kasih banyak, Nak Marvel."

Aku tersenyum lagi lalu berpamitan pada beliau. "Kalau begitu saya balik dulu, ya, Bu? Selamat malam."

"Selamat malam. Hati-hati di jalan, Nak Marvel!"

Aku memutuskan untuk menjadi orang terakhir yang pergi setelah mengucapkan perpisahan. Begitu Ibu Suteja masuk ke dalam kamar inap anaknya, kedua tungkaiku bergerak menuju di mana kamar Hakim berada. Di kejauhan, bisa kulihat petugas di bagian keuangan dan akuntasi tersenyum dan menundukkan tubuhnya sedikit sebagai bentuk penghormatan. Aku pun mengangguk dan melakukan hal serupa sebagai bentuk apresiasi karena sudah bekerja sama untuk menutupi identitasku di depan Ibu Suteja.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk mengunjungi kamar inap Hakim karena letaknya yang berada satu lantai di atas kamar Suteja. Seperti menempuh perjalanan singkat, pintu lift terbuka begitu saja di tujuan. Namun, langkahku terhenti ketika melihat seorang pria berusia matang dengan kulit sawo matang, menghalangi langkahku untuk ke luar dari dalam lift. Kudapati kilatan tajam yang membuat suasana sekitar lambat laun menegang. Dari sorot matanya yang terasa tidak asing, aku menemukan adanya sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan pria tersebut layaknya sebuah misteri.

"Maaf, apa sebelumnya kita pernah bertemu, Pak?" tanyaku, berinisiatif untuk menjadi orang pertama yang membuka percakapan dan melelehkan atmosfer canggung.

Tanpa keraguan pria tersebut mengangguk. "Ya."

Aku mengamati wajah pria tersebut dengan hati-hati. "Sepertinya saya pernah melihat Anda di Jakarta ... ah! Iya! Di atap rumah sakit bukan?"

"Yang kamu temui saat itu adalah diri saya yang lain, yaitu kembaran saya, Ajun Inspektur Dewa. Kita dulu pernah bertemu, tapi sepertinya kamu tidak mengingat saya karena kecelakaan tunggal yang kamu alami tahun lalu." Tanpa berlama-lama, pria tersebut menunjukkan kartu identitasnya sebagai petugas kepolisian. "Ajun Inspektur Dwiangga. Apakah kamu punya waktu luang untuk berbicara dengan saya, Marveliano?"

Drrrt ... drrrt ...

Kurogoh ponsel yang ada di sakuku, ada sebuah panggilan masuk dengan nama 'Gael' terpampang jelas pada layar ponselku.

"Gael? Gavriel?" ucap Ajun Inspektur Dwiangga yang dengan lancangnya melihat ke layar ponselku.

Hal itu refleks membuatku memilih untuk memasukkan ponselku kembali ke dalam saku. Dahiku mengernyit, atensiku pun bertaut ketika menyadari ada yang tidak beres di sini.

"Sepertinya pertemuan kita di sini bukanlah sebuah kebetulan," ucapku lalu menelisik lebih jauh arti dari sorot mata pria di hadapanku. "Apakah ada hal yang ingin Anda ketahui dari saya, Ajun Inspektur Dwiangga?"

"Tentu saja ada banyak hal yang ingin saya ketahui dari seorang tersangka atas hilangnya beberapa tubuh mahasiswa secara misterius," jawabnya dengan santai, tapi membuat bulu kudukku meremang dan tubuhku kaku di tempat. "Apa kamu punya waktu untuk minum kopi bersama saya, Marveliano?"

Say hello to Ajun Inspektur Dwiangga and Ajun Inspektur Dewa!

Continue Reading

You'll Also Like

24.2K 4K 10
[Ft. Tomorrow by Together] Selamat datang di Magic Island. Kami menyebutnya sebagai 'Tempat pelarian terbaik yang pernah ada.' CHLEOVER, 2020.
70.9K 11.4K 93
"Sicheng, bisa nggak, sih, lo ngapa-ngapain sendiri aja?" "Nggak. Kan maunya sama Hara." "Nanti kalo gue pergi, lo gimana?" "Kalo Hara pergi, Sicheng...
829 143 6
𝐑𝐢𝐜𝐤𝐲 𝐝𝐚𝐧 𝐐𝐮𝐚𝐧𝐫𝐮𝐢 itu kembar, namun mengapa dunia mereka sangat bertolak belakang? mengapa ricky beruntung dan quanrui tidak? mengapa...
19.9K 2.6K 30
"Bang, kalau harus di suruh milih buat pulang abang mau pulang kemana ?" "Kemanapun asal abang bisa ngeliat kamu." _________________________ Kata Eva...