Punca Anomali | ZEROBASEONE...

Od xieshila

1.7K 952 381

Terbangun dengan sebuah fakta bahwa dirinya telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit selama 9 bulan la... Více

Prologue | Ilusi Kuasi
1 | Realitas Ganjil
2 | Satu Tahun Silam
3 | Reminisensi Lengkara
4 | Disonansi Paradoksal
5 | Ragawi Tak Kasatmata
6 | Marvella
7 | Ekspedisi Tak Bernyawa
8 | Enigma
9 | Asrar & Warita
10 | Potret Persona Juwita
11 | Elusif
12 | Dejavu
14 | Praduga Tak Berakar
15 | Aksioma
16 | Tinggal dan Menetap
17 | Momentum Garib
18 | Tabir Ilusi Gael
19 | Tabir Ilusi Gustav
20 | Tabir Ilusi Rojiv
21 | Tabir Ilusi Tristan
22 | Mahendra, Zavier, dan Harris
23 | Tabir Ilusi Jehan
Epilogue | Delapan

13 | Kompleksitas Satu Waktu

36 30 0
Od xieshila


👤
Room Chat
[Suteja]

19.55

[Suteja]
Pulang kerja otw.

[Marvel]
Kali ini beneran nggak?
Takutnya tipu-tipu kayak kemarin.
Pas ditungguin, malah nggak jadi.

[Suteja]
Yang bilang nggak jadi siapa njiir? Jadi.
Malahan kemarin udah otw. Cuman ada aja halangannya yang bikin aku gagal ke indekosmu, Kak!

[Marvel]
Pret.
Alasan.

[Suteja]
Beneran!
Apes pol aku kemarin njirr!

[Marvel]
Wkwkw. Masa iya?

[Suteja]
Demi Tuhan!
Yang tiba-tiba lembur sampai malem perkara saudara bos dari jauh mampir ke kafe, lah. Kalau ini nggak ada dapat duit tambahan.

[Suteja]
Yang ngeselin itu tiba-tiba bensin sekarat di tengah perjalanan! Padahal aku masih ingat betul sebelum pergi kerja, sempat mampir ke pom bensin buat isi.

[Suteja]
Mana ban motor butut kesayangan juga gembos tiba-tiba karena polisi tidur. Padahal polisi tidur di perumaham elit juga mulus, tiba-tiba gembos aja udah aneh!

[Suteja]
Mau nggak mau aku dorong motor buat balik ke rumah yang jauhnya bikin ngelus dada!

[Marvel]
Kok nggak bilang ke aku, Ja?
Tau gitu aku bantuin!

[Suteja]
Aku udah telepon situ sampai mampus kayaknya, tapi yang jawab malah mbak-mbak operator.

[Suteja] send you a voice note.

[Suteja]

🔊Maaf, nomor yang Anda hubungi, sedang berada di luar jangkaun. Silakan lakukan panggilan beberapa saat lagi. Tut ... tut ... tut ... .

[Marvel]
Hah? Masa, sih?
Perasaan ponsel gue kemarin-kemarin juga nyala.

[Marvel]
Kamu kali, Ja, yang nggak ada jaringan?

[Suteja]
Mohon maaf, walaupun pakai kartu perdana merakyat untuk orang miskin, jaringan mah yahud!

[Suteja]
Orang aku telepon si Hakim juga aman-aman aja. Kayaknya kartu perdana orang kaya, deh, yang gangguan.

[Marvel]
Wkwkwk. Tai.

[Suteja]
Pokonya hari ini aku mau mampir ke indekosmu, Kak. Btw, aku bawa temen boleh gak? Entah kenapa aku punya firasat hari ini kayaknya bakal ada kejadian-kejadian aneh menuju indekosmu!

[Marvel]
Wkwkw. Boleh.
Bilang aja bawa temen biar bisa diajak takut berjemaah, kan?

[Suteja]
Sialan, akal bulusku ketahuan!
Jangan sampai Hakim tau kalau nggak, dia fix nggak bakal mau nemenin aku. Wkwkw.

[Suteja]
Tapi beneran, deh, Kak.
Kenapa situ masih betah stay di sana?

[Marvel]
Emangnya kenapa?

[Suteja]
Berhantu.

[Suteja]
Perumahan elit tempat indekosmu berada, kan, dikasih julukan 'Kampung Keramat' sama warga Malang Raya.

[Suteja]
Masa nggak tau tentang perumahan elit Kaanan Mandar?

[Marvel]
Rumor doang kayaknya.

[Suteja]
Rumor gundulmu!
Orang yang jadi korban aja banyak, kok.

[Marvel]
Itu, kan, pengalaman orang lain.
Buktinya di aku aman-aman aja, Ja.

[Suteja]
Jangan jangan ... situ setan juga, ya?

[Marvel]
Kalau iya, berarti aku setan gaul?
Asyik, dong!

[Suteja]
SETRES!

[Suteja]
15 menitan lagi otw dari tempat kerja paruh waktuku kemarin, Garten House.

[Marvel]
Ok.

[Marvel]
Hati-hati di jalan.
Kabarin kalau udah sampai di depan indekos.

[Suteja]
Oyi.

Setelah bertukar pesan singkat dengan Suteja, aku memutuskan untuk mencari udara segar di luar. Namun, baru saja beranjak dari meja belajar, kaki kananku tanpa sengaja membentur sebuah benda keras dan kokoh yang ada di kolong tempat tidur. Bibirku terkatup, berusaha menahan teriakan agar tidak meluncur bebas dari mulutku akibat rasa sakit yang menjalar di jempol kaki.

"Sial!" umpatku sambil berjingkat-jingkat di sekitar, berharap rasa sakit bisa mereda. Bibirku berdecak kesal, atensiku menatap lurus ke arah kolong tempat tidurku yang gelap. "Barusan benda apa yang aku tendang? Keras banget!"

Kelewat penasaran, kuposisikan tubuhku untuk membungkuk dengan sepasang lutut sebagai tumpuan agar tidak terjerembap. Pandanganku menelusuri setiap inci ruang hitam di bawah kolong tempat tidur, berusaha mencari keberadaan benda misterius-yang membuat jempolku bedenyut-denyut nyilu-dengan tangan kiri yang menjulur ke dalam kegelapan. Setelah merasakan sensasi alami dari dinginnya ubin marmer, lambat laun ujung-ujung jemari tangan yang penuh dengan antusias tinggi tersebut, menemukan tekstur permukaan benda yang lembut dan juga serat-serat kayu yang khas membentuk lintasan garis waktu.

Sepertinya ini adalah papan permainan berbahan kayu yang aku temukan di gudang bawah tanah indekos ini waktu itu, monologku singkat dalam hati.

Rasanya tidak mudah membebaskan papan permainan tersebut dari ruang gelap. Aku memang berhasil meraihnya, tapi tidak untuk menariknya ke luar, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya dari arah berlawanan. Saking kuatnya tarikan lawan, membuat tangan kananku meraih pinggiran dipan untuk bertahan.

"Hei!" ucapku refleks saat tubuhku mulai tersedot masuk ke dalam kolong tempat tidur.

Saat atensiku menerawang kegelapan, samar-samar bisa kulihat ada sesuatu yang menyerupai mata sedang berkedip dengan wujud yang lebih kecil dan jumlah yang tak terhingga. Posisinya yang terjajar rapi terlihat sedang berkoloni, membuat jiwa trypophobia¹⁸-ku bangkit seketika.

What the-yang barusan aku lihat ini apa?!

Dengan sekuat tenaga, aku melakukan perlawanan untuk meloloskan diri. Antusiasku rupanya berhasil membebaskan diri dari jerat yang menggelikan sekaligus menakutkan. Tentunya, papan permainan tersebut kini menjadi milikku seutuhnya. Bulu kudukku dibuat meremang beberapa sekon ke depan, ketika mendengar suara erangan yang bersahut-sahutan berasal dari kolong tempat tidur. Sebelum tubuhku diseret paksa kembali, aku memutuskan untuk mengambil ponselku lalu bergegas ke luar dari kamar dengan peluh yang membasahi tubuh. Saking parnonya, aku langsung mengunci pintu kamarku sendiri begitu kedua tungkaiku ke luar dari dalam sana. Bisa dibilang sebuah bentuk antisipasi untuk menyelamatkan diri.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, tapi tidak ada tanda-tanda adanya kehidupan selain semilir angin malam yang membelai pipiku barusan, sekaligus menyapu setiap sudut ruang santai dengan kelembutan dan sensasi dingin yang menyejukkan. Dilihat dari posisi jarum pendek yang menunjuk ke angka delapan dan jarum panjang yang berada di angka lima, bisa ditebak penghuni kos lainnya sedang sibuk mendekam di kamar mereka masing-masing, sibuk berkutat dengan laptop dan memeras otak untuk mengerjakan tugas akhir kuliah demi gelar sarjana atau mungkin menonton film jika kelewat santai atau malas. Jika dirasa sudah bosan, biasanya mereka akan berkumpul di bawah untuk bermain remi, UNO, jenga, atau sekedar berbagi info hingga larut malam.

Kedua tungkaiku bergerak mendekat ke meja bundar yang berada di tengah ruangan. Tanganku pun menarik kursi kayu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi decit yang mengganggu. Tanpa berlama-lama, aku mendaratkan pantatku di atas kursi dan meletakkan papan permainan berbahan kayu yang masih ternodai oleh cat merah di atas meja. Sebuah kebetulan, aku melihat ada kain lap berbahan mikrofiber di salah satu sandaran kursi kayu yang mengitari meja bundar. Tanpa izin, aku mengambilnya untuk membersihkan papan permainan di hadapanku dengan hati-hati.

Seiring berjalannya waktu, papan permainan tersebut sudah bersih dari noda. Jika diperhatikan dengan saksama, bentuknya hampir menyerupai papan catur yang masih tertutup rapat. Teksturnya murni kayu jati yang dipernis agar mengilap dengan sebuah ukiran kasar dalam sembilan abjad yang terletak di tengah-tengah, tepat di bawah keyhook papan permainan.


H A N T U P O L I

Ceklek!

Begitu pengait keyhook digeser, bunyi halus tersebut seolah-olah memecahkan kesunyian malam dengan gemanya. Aku membentangkan papan permainan tersebut hingga menjadi dua bagian yang disatukan membentuk sebuah persegi berukuran 44 x 44 (cm). Begitu dilihat, rupanya papan permainan ini menyerupai permainan anak kecil, yaitu ular tangga. Aku bisa menyimpulkannya seperti itu karena ada kotak start-di ujung kiri bawah-dan kotak finish-di ujung kanan atas, serta kotak-kotak lain dengan instruksi atau tugas tertentu berbentuk segitiga tak beraturan yang harus dilakukan oleh pemain yang ditentukan oleh dua warna, yaitu merah dan hijau. Atensiku langsung tertuju pada tumpukan kertas lusuh berbentuk segitiga sama sisi yang terbagi menjadi dua sisi dengan warna yang berbeda, yaitu merah dan hijau.

"Apakah instruksi atau tugas tertentu bisa dilakukan setelah pemain memilih salah satu kartu berwarna merah atau biru?" tanyaku tanpa adanya jawaban. Namun, mengingatkanku pada permainan lain yang sering aku mainkan saat duduk di bangku sekolah menengah pertama bersama dengan pelayan di rumah. "Bukankah konsepnya hampir sama dengan permainan monopoli? Bedanya di permainan papan yang aku temukan di gudang ini, tidak ada uang kertas dan juga tidak ada nama-nama kota atau wilayah yang harus dibeli untuk dibangun rumah, hotel, atau apartemen. Namun, ada beberapa kotak instruksi yang hampir mirip dengan kotak 'kesempatan' pada permainan monopoli."

Ada kotak-kotak instruksi, ada ladder dan snake di antaranya. Selain itu, ada dua tumpukan kartu dengan warna berbeda. Sebenarnya, apakah konsep papan permainan ini adalah gabungan dari permainan ular tangga dan monopoli? Alih-alih diberikan nama singkatan dari keduanya, mengapa permainan papan ini malah diberi nama Hantupoli? Apakah permainan ini melibatkan hantu?

Ragam tanda tanya besar bersemayam dalam benakku. Pertanyaan-pertanyaan tersebut makin berkembang menjadi buas ketika aku berusaha mencari tahu lebih jauh tentang permainan Hantupoli ini. Jari telunjukku bergerak menghitung jumlah pion-berbentuk hampir menyerupai prisma segitiga-yang ada tersebar di atas-atas kotak instruksi papan permainan. Jumlahnya ada 9 buah dan setiap pion memiliki warna yang berbeda.

"Apakah maksudnya ada 9 pemain yang memainkan permainan Hantupoli ini?"

Anehnya, aku baru menyadari bahwa pion-pion dan juga tumpukan kartu dengan warna yang berbeda tersebut sudah tertata rapi di posisi masing-masing. Padahal aku masih bisa ingat betul beberapa waktu lalu, permainan Hantupoli ini sempat jatuh dari ketinggian yang otomatis membuat benda ini terguncang. Selain itu, aku sempat membuat benda ini terguncang karena tanpa sengaja aku menendangnya dan juga terjadi aksi tarik-menarik di bawah kolong tempat tidur. Harusnya, pion-pion ini tidak berdiri kokoh, kan? Harusnya, tumpukan kartu-kartu lusuh ini berserakan, kan?

Harusnya, tapi anehnya, hal itu tidak terjadi. Bagaimana bisa?

Dari semuanya tentang Hantupoli ini, aku baru menyadari ada sebuah komponen penting yang hilang. Sebuah benda yang menjadi penentu dari langkah acak, yaitu dadu. Permainan ini tidak memiliki benda tersebut.

"Dadu?" Aku pun teringat akan benda mini berbentuk prisma segitiga yang diberikan oleh perawat di hari pertama aku sadar dari koma. Dahiku mengernyit. "Apa mungkin dadu berbentuk prisma segitiga itu adalah dadu dari papan permainan ini?"

Rasa takut sudah tidak lagi menghalangi langkahku untuk masuk ke dalam kamar. Langsung saja kedua tungkaiku bergerak mendekat ke arah meja belajar dan membuka laci di bawahnya. Benda yang aku cari-cari tersimpan rapi di dalam sana. Tanpa tergesa-gesa aku mengambilnya dan kembali ke ruang santai.

Tanpa perlu diperhatikan secara detail, kedua benda dengan ukuran yang kontras, ternyata memiliki kemiripan dari segi warna dan tekstur yang sama-sama terbuat dari bahan kayu, serta hampir keseluruhan visual mengandung unsur segitiga.

Dengan keraguan yang begitu dominan, aku menggerakan jemari tanganku untuk melempar dadu tersebut di atas papan permainan. Namun, belum sempat aku melemparnya, tanganku digenggam begitu erat hingga terdengar bunyi keretek yang begitu nyaring.

"Apa kamu gila, hah?!"

Harusnya amukan itu lolos dari mulut pelaku yang membuatku meringis kesakitan saat ini, bisa kulihat atensinya yang tajam itu membola sempurna hingga terlihat nyaris ke luar dari persinggahannya. Laki-laki dengan rambut berwarna hitam legam yang dibiarkan memanjang hingga menyentuh bahu dan wajah tampan serta rahang tegas yang membuat kaum adam mendambakannya, aku mengenalnya. Pemuda itu adalah yang tertua di antara kami, Jehan.

"Bagaimana bisa kamu membawanya kemari, Vel?!"

Jehan terus menyerangku dengan berbagai pertanyaan yang tidak aku mengerti sama sekali. Rintihanku rupanya membuat hati pemuda berambut coklat tua dan berparas tenang tersebut, tergerak untuk mendekatiku dan Jehan.

"Han, lepasin dulu. Nggak liat kamu wajahnya Marvel memerah karena menahan rasa sakit, hm? Tenang, ok?"

"Bagaimana bisa kamu menyuruhku tenang setelah melihatnya berhasil menemukan lalu mengeluarkan papan permainan terkutuk ini dari tempat persembunyian, Harris?!" Jehan tak mampu meredam amarahnya, bahkan Harris pun menjadi korban kemarahannya.

"Sepertinya, salah satu dari kita telah melakukan tipu daya agar Marvel membawanya ke sini. Kelihatannya juga permintaan itu tidak dilakukan secara terang-terangan," ucap pemuda lain yang posisinya sedang bersandar pads pilar dan tidak jauh dari kami. Iris matanya yang berwarna coklat terang, menatap nyalang ke arah pemuda yang baru saja ke luar dari balik pintu sambil menenteng sapu dan cikrak dengan wajah ketakutan. "Apa aku benar, Mahendra?"

Sang tertuduh tak berkutik, diam mematung di tempatnya dengan helaan napas panjang. Tanpa dosa, Mahendra menatap ke arah laki-laki yang membuatnya terpojok. "Iya, memang aku pelakunya, tapi aku tidak salah, kan? Bukankah caranya agar kita bebas adalah tetap bermain, Zav?"

"Kak Zavier nggak pernah bilang kalau main lagi bisa membuat kita bebas," sahut Gael yang sudah menempati kursi kosong di sebelahku.

"Bagaimana jadinya jika permainan ini tetap dijalankan, tapi malah berakibat fatal?" Gustav yang berdiri di belakang Gael turut memberikan pendapatnya.

Terdengar suara langkah kaki menuruni anak tangga satu per satu secara perlahan. Rupanya ada laki-laki berambut pirang hingga nyaris putih sempurna dengan celemek yang terkena ragam warna tinta basah serta kedua tangan yang memegang palet warna dan kuas, tengah memperhatikan perseteruan penghuni indekos secara diam-diam. Dia adalah Rojiv.

"Menjadi pemenang sepertinya tidak mudah. Akan ada banyak variabel," ucap Rojiv dengan senyum getir membingkai bibirnya.

"Apa yang sebenarnya sedang kalian bicarakan?"

Aku tidak menyangka bahwa sepatah kalimat yang terucap dari bibirku, malah menjadi bumerang untukku. Bisa kurasakan seluruh atensi hanya fokus pada satu titik, yaitu aku. Aku hanya bisa memperhatikan mereka satu per satu secara bergantian lalu fokusku terhenti pada pion-pion berjumlah sembilan yang berdiri kokoh di atas papan permainan.

Jangan bilang sembilan pion yang ada di atas papan permainan ini melambangkan kami satu per satu?

Aku tersentak kaget ketika Mahendra tiba-tiba saja mendekat dan menggebrak meja bundar. Papan permainan di hadapanku bergeser, tapi tidak dengan pion-pion dan tumpukan kartu yang masih berdiri kokoh di posisi mereka masing-masing. Aneh.

"Kamu nggak lagi sandiwara, kan, Vel?" tanya Mahendra tidak percaya. "Apa perlu aku harus membuatmu ingat lagi? Gara-gara kamu-uhuk!"

Belum selesai Mahendra berucap, tiba-tiba saja ia terbatuk-batuk dan muntah darah begitu banyak di hadapanku. Semua orang yang ada di sekitar, refleks mendekat ke arah Mahendra-kecuali Rojiv, Zavier, dan Jehan yang memilih tinggal di posisinya.

"Aku kira tanpa sebuah dadu, permainan ini nggak akan berjalan. Rupanya aku salah sangka. Tanpa dadu, permainan ini tetap berjalan sebagaimana mestinya," ucap Rojiv pelan, tapi aku bisa membacanya dengan jelas lewat gerakan bibirnya.

Kepalang penat, tiba-tiba saja ponselku yang ada di saku berdering. Tanpa basa-basi aku langsung menerima panggilan dari nomor asing.

"Selamat malam, Mas. Apa benar ini saya berbicara dengan Mas Marveliano?"

"Ya, benar, ini dengan saya sendiri. Ada apa, ya, Pak?"

"Mohon maaf sebelumnya, Mas. Saya bingung mau menghubungi siapa karena korban yang meminta saya untuk menghubungi sampeyan sebelum pingsan."

Alisku bertaut. "Korban?"

"Iya, Mas. Saya mau kasih kabar buruk. Teman sampeyan yang namanya Suteja dan Hakim mengalami kecelakaan di jalan raya depan gerbang pintu masuk perumahan Kaanan Mandar. Ini ponselnya temen sampeyan ada di saya, Mas."

Saking syoknya, aku hanya bisa berteriak dalam hati lalu memijit pelipisku yang nyut-nyutan. "Bapak ada di mana? Biar saya samperin ke sana."

Aku terpaksa mengesampingkan rasa penasaranku perihal keributan yang terjadi di ruang santai. Tanpa berpamitan, aku bergegas ke luar meninggalkan indekos dengan perasaan yang campur aduk. Helaan napas panjang juga lolos dari mulutku, menciptakan kepulan asap di bawah remang-remang lampu jalanan malam ini. Pikiranku kacau, Bagaimana bisa ada banyak hal yang tidak kumengerti terjadi dalam satu waktu secara bersamaan?

Say hello to Jehan!

Say hello to Harris!

Say hello to Zavier!

Say hello to Rojiv!

Say hello to Suteja!

Say hello to Hakim!


Catatan Kaki:
¹⁸Salah satu jenis anxiety disorder berupa rasa takut berlebihan atau fobia terhadap lubang-lubang

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.3K 230 36
Short story [END] Mau lihat gimana Leader Han Seungwoo dan Lee Jinhyuk mengatur anak anaknya dan menahan sambatan di saat berpuasa? cuma di sini. X...
78.2K 9.8K 32
Ⓔ ⓝ ⓓ 𝐇𝐨𝐰 𝐭𝐡𝐞 𝐩𝐞𝐫𝐟𝐞𝐜𝐭 𝐥𝐢𝐟𝐞 𝐟𝐞𝐞𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐥𝐢𝐤𝐞 ¿ "𝙴𝚟𝚎𝚗 𝚠𝚎 𝚕𝚘𝚜𝚝 𝚊𝚗𝚢𝚝𝚑𝚒𝚗𝚐 𝚓𝚞𝚜𝚝 𝚏𝚘𝚛 𝚒𝚝?" ✧.⋆ ⚠️ Indonesi...
7.8K 1.6K 26
Ditendang dari dunia asalmu yang penuh keajaiban ke dunia fana seperti bumi ini adalah sebuah kutukan. Untungnya bumi punya manusia yang enak, ups. S...
894K 133K 34
Nagita ingin mengakhiri hidupnya ketika Avodyie hadir di depan pintu rumah dalam keranjang merah dan secarik pesan dari Sang Ibu untuk menjaga bayin...