BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

314K 48.3K 19.5K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-10]

6.6K 1.2K 546
By embrassesmoi

Reni. 

"Loh, Bapakmu ke mana?"

Aku menoleh ke arah sekitar lalu menunjuk diriku sendiri sebelum Pak Katon mengangguk, "Tadi bilangnya mau ke toilet, Pak," jawabku menunjukkan ke mana absennya Hatalla setelah tadi dia menyuruhku dan sahabat-sahabatnya yang lain untuk menunggu di lobby hotel Marina Bay Sands.

"Dari tadi?" Pak Hestamma ikut menyahut, menatap jam tangannya lalu mengedarkan pandangan ke arah sekitar.

Bukannya Hatalla memang kelewat lama untuk seseorang yang pergi ke toilet, ya? "Sudah sekitar 30 menit yang lalu, Pak," jawabku, membuat kelima sahabatnya menatap ke arahku heran.

"Diare itu anak?" Meskipun Pak Algis menyelingi dengan candaan, tapi aku bisa melihat raut khawatir sahabat-sahabat Hatalla yang lainnya.

Hari ini, Hatalla memang punya jadwal pergi ke Singapore bersama sahabat-sahabatnya untuk menyaksikan Singapore Grand Prix di mana Subsonic ikut bergabung dalam race. Ya, salah satu tim F1 milik keluarga Pak Hestamma itu memang akhir-akhir ini menarik perhatian Hatalla dan sahabat-sahabatnya. What I heard was that they were interested in joining SubSonic if, for example, based on the results of today's match, Jaka could secure his place on the podium.

Obrolan mereka soal itu sepertinya serius, dilihat dari kelima sahabat Hatalla yang sibuknya bukan main yang meluangkan waktu mereka untuk datang ke Singapore hari ini dan bagaimana semalam mereka membicarakan mengenai saham blue chip yang akan diambil sahabat-sahabat Hatalla kalau SubSonic bisa meyakinkan mereka di Singapore Grand Prix race hari ini.

Pak Jatmika mengulurkan tangan, mencoba menarik perhatianku yang kini tengah menatap ke layar handphone. "Telepon, deh, Ren." Aku mengangguk, menunjukkan layar handphoneku ke arah Pak Jatmika. "Itu anak kurang ajar bener nyuruh kita nunggu di sini." Dari raut wajah Pak Jatmika, aku tahu kalau dia nggak benar-benar marah karena harus menunggu Hatalla.

Mungkin dia merasa sedikit terganggu karena Bu Samahita dan anak-anaknya yang ikut hari ini juga terpaksa harus ikut menunggu, sama dengan sahabat-sahabat Hatalla yang lain yang membawa keluarga mereka juga—tengah menunggu Hatalla yang selama 30 menit ini belum juga kembali ke lobby.

Hatalla ke mana, sih?

Dan kenapa dia nggak mau mengangkat telponku juga—

"Sorry... Sorry..." Hatalla mendadak muncul dengan napas berantakan, sepertinya dia berlari menuju ke sini. "I had some unexpected business that wasn't on my schedule," katanya, melirik gue sekilas.

Huh? Maksudnya?

Tentu saja, kedatangan Hatalla disambut lirikan tajam sahabat-sahabatnya. "Lain kali nggak usah pake boong, La. Kalau ke toilet, ya, ngomong aja ke sana. Ini kita nungguin di sini semuanya karena kita pikir lo cuma bentar aja. Kalau tau lama, 'kan, kita bisa tinggal duluan, La." Pak Hestamma berdecak, menggelengkan kepalanya sementara Ibu Laras ikut menatapnya tajam.

Aku melirik ke arah Hatalla, dan sudah sepantasnya dia merasa menyesal karena membuat yang lain menunggu lama. "Maaf, tadinya gue pikir juga cuma sebentar. Tapi..." Hatalla menghela napasnya berat, dia keliatan terganggu dan frustrasi.

"Kenapa?" Ternyata bukan cuma aku aja yang merasa Hatalla menunjukkan keganjalan, Pak Narendra tiba-tiba berjalan dan berhenti di samping tubuh Hatalla. "Ada masalah? Yang kemarin?" tanyanya, menaruh salah satu tangannya di bahu Hatalla.

Masalah kemarin? Soal Pak Rasyid dan keluarga Adiwangsa? Bukannya semuanya sudah selesai? And, as far as I know, Deryl did not inform me of any of the other problems that arose when I should have been the first to know.

Sama seperti dugaanku, Hatalla menggelengkan kepalanya. "That one has been fixed, and I am sure there is nothing else. This is another, far more complicated issue," ungkapnya, berhasil menarik perhatian sahabat-sahabatnya yang langsung bergerak mendekat ke tempat Hatalla berdiri.

Aku buru-buru memundurkan langkah karena sempat melihat bagaimana Hatalla melihatku seakan memberitahu kalau ini adalah sesuatu yang nggak seharusnya aku ketahui, dan membiarkan Hatalla berbicara dengan sahabat-sahabatnya dalam waktu yang cukup lama sampai Ibu Nana dan Ibu Adelia memanggilku untuk bergabung dengan mereka.

"Di sini aja, Ren, sama kita." Ibu Nana menyahut, mengamit lenganku. "Kamu nggak mesti ke mana-mana ngikutin Hatalla juga," katanya memberitahuku.

Well, sebut saja itu sudah menjadi kebiasaan. Without realizing it, if I were in a strange place with unfamiliar people, I would find comfort in being close to Hatalla—as long as my eyes could still see him. Jadi, ini bukan sepenuhnya karena pekerjaan yang seperti Ibu Nana pikirkan, but it was because I wanted to be close to Hatalla. That is it.

Aku cuma tersenyum, "Anak-anak pada nggak diajak, Bu?" tanyaku, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Ibu Nana dan Ibu Adelia sama-sama menggelengkan kepalanya, "Kan, cuma dua hari, ya, Ren? Kasian anak-anak kalau pada diajak. Yang ada nanti mereka capek. Orang anak-anaknya Samahita aja nanti pada dijemput kakek-neneknya," balas Ibu Adelia sambil melihat ke arah Ibu Samahita yang terlihat kerepotan mengurus anak-anaknya dibantu Ibu Laras dan Ibu Kumala.

Pandanganku sempat bertemu dengan Radhika, tanganku melambai refleks membuat bocah itu bersembunyi di balik tubuh Samahita karena malu.

"Ini berarti anak-anak Ibu semuanya ada di rumah kakek-neneknya?" tanyaku, kembali menatap Ibu Nana dan Ibu Adelia.

Ibu Nana mengangguk, sementara Ibu Adelia menggelengkan kepala. "Sasmaka saya titipkan ke orang tuanya Kumala," ucapnya di sela tawa kecil. "Bu Siska waktu tahu kalau semua orang mau ke Singapore langsung mengajukan diri buat jagain Sasmaka dan ngeliat kalau keluarganya Kumala nggak keberatan... Ya, kenapa nggak?" jelas Ibu Adelia masih sambil tertawa.

Kepalaku ikut mengangguk-angguk, meski aku tahu kalau Ibu Adelia nggak sepenuhnya senang membagikan cerita barusan kepadaku.

"Kamu gimana, Ren? Abis balik cuti terus kerja—super sibuk—lagi?" Ibu Nana menyahut, kembali mengganti topik pembicaraan kami.

Huh? Wait a minute... How did they know I had taken a leave of absence?

Mungkin raut bingungku terlihat jelas sampai membuat Ibu Adelia tertawa lagi, "Mereka semua cerita kalau Hatalla sempat kewalahan waktu kamu tinggal cuti, Ren," ungkapnya menjelaskan.

Aku hanya mengulas senyum tipis setelahnya, nggak tahu harus merespons seperti apa sampai Ibu Adelia tiba-tiba mendekatkan tubuhnya ke arahku seperti ingin membisikan sesuatu. "Kamu lagi cari kerja di tempat yang lain, ya?" tanyanya dengan tatapan jail yang membuat Ibu Nana ikut tertawa kecil.

"Kita nggak bakal bilang ke Hatalla, kok. Tenang aja." Ibu Nana mengibaskan tangannya.

Kepalaku menggeleng pelan, aku juga mencoba menahan senyumku sekarang karena mendengar dugaan-dugaan lucu yang dibuat Ibu Nana dan Ibu Adelia. "Saya cuma mau istirahat saja, kok, Bu. Nggak ada maksud lain," jawabku sejujur-jujurnya. "Meskipun berat, tapi saya betah kerja sama Pak Hatalla dan Adiwangsa Tambang Utama."

Nggak lama, tiba-tiba Ibu Laras ikut bergabung dengan kami dan berdiri tepat di sebelahku. Ia sempat bertanya topik semacam apa yang kami bicarakan dan Ibu Adelia menjawabnya dengan senang hati.

Ibu Laras lalu menatapku dari atas ke bawah, "Makanya aneh, 'kan, ya?" katanya setelah menatapku. "Wajahnya Reni, tuh, nggak bisa dibilang 'cantik banget' aja, loh? Meskipun blasteran, tapi kamu keliatan beda aja. Apalagi itu—" Telunjuk Ibu Laras lalu menunjuk ke arah ujung kepala sampai ke kakiku. "You have bodily proportions that are commonly known as the golden ratio. People claim that no one is flawless in this world, but I believe that you are perfect," ucap Ibu Laras, memberikan pujian berturut-turut untukku.

Ibu Adelia ikut mengangguk, "Jujur, waktu pertama kali ketemu kamu, saya kaget soalnya saya pikir kamu teman dekat Hatalla—"

"Dih, rugi abis, lah, buat Reni." Ibu Laras menanggapi, memotong perkataan Ibu Adelia.

"—eh, tahunya dari Pak Narendra yang bilang kalau kamu itu personal assistant-nya Hatalla," sambung Ibu Adelia, mengabaikan perkataan Ibu Laras sebelumnya.

"Kami awalnya ngobrol-ngobrol sendiri," sahut Ibu Nana. "Apalagi Samahita, tuh, sempet bilang kalau dia pernah liat kamu di salah satu majalah fashion gitu. Jadi, kami pikir kamu model—perempuan yang lagi deket sama Hatalla."

Kepalaku menggeleng, memasukkan sedikit kebohongan di sana. "Bukan, Bu. Tapi, saya memang sempat jadi model sebelumnya," terangku yang sepertinya sudah diketahui mereka semua.

"Waktu kamu viral, tuh, gara-gara interview-nya Hatalla, 'kan, banyak media yang akhirnya cari tahu soal background kamu yang sempat jadi model. Saya sama yang lain langsung mikir 'oh, pantes...'" Ibu Nana kembali menimpali sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Sayang sebenernya." Ibu Laras terdengar menggumam, tapi masih bisa aku dengar dengan jelas. "If your modeling career continues, you will undoubtedly make it big," imbuhnya yang membuatku tersenyum tipis.

Banyak sekali orang yang menyayangkan keputusanku untuk keluar dari dunia modelling dan lebih memilih bekerja sebagai personal assistant, but I told myself that I would regret continuing my career as a model, which I had never wanted and was not my passion.

Keputusanku untuk pindah dari Malang ke Jakarta setelah menamatkan kuliahku bukan untuk menjadi model, bisa dibilang itu sebuah keberuntungan dan batu loncatan sampai akhirnya aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai passionku saat ini.

Kedua alisku terangkat saat merasakan tepukan ringan di lenganku, aku melihat Ibu Adelia tersenyum menatapku. "Kadang, meski jalannya lebih terang, kalau bukan passion dan keinginan sendiri rasanya nggak bakal nyaman dijalani, 'kan, ya, Ren?"

Kepalaku mengangguk lagi, setelahnya kami melanjutkan obrolan yang banyaknya membicarakan tentangku. Tentang kehidupanku di Malang sebelum aku pindah ke Jakarta sampai ke kegiatan yang aku lakukan saat mengambil cuti kemarin.

Kami mengobrol cukup lama karena setelah Hatalla dan sahabat-sahabatnya mengobrol, kami juga perlu menunggu sampai Ibu Asmara dan Bapak Aji datang dan menjemput anak-anak dari Ibu Samahita dan Pak Jatmika.

"Udah semua berarti, ya?" tanya Pak Jatmika sekembalinya dari mengantar kepergian anak-anaknya. "Mau berangkat sekarang, atau mau mampir dulu ke tempat lain?" tanyanya.

Ibu Nana mengangkat tangannya, dia lalu berjalan mendekati tempat di mana suami dan sahabat-sahabatnya berkumpul. Aku berjalan paling belakang, ikut menyusul berjalan ke tempat yang sama.

"Kalau kita—" Ibu Nana menunjuk ke arah para wanita—termasuk aku—sebelum kembali menatap ke arah Pak Algis. "—mau ke The Secret Garden dulu. Nanti di susulin ke City Hall gimana?" tanyanya.

Pak Algis langsung menggeleng, "Pergi bareng aja ke The Secret Gardennya, baru nanti ke City Hall," balas Pak Algis yang disetujui oleh sahabat-sahabatnya yang lain.

Sebelum ini, Ibu Nana bilang kalau dia dan yang lain memang mau mampir ke The Secret Garden untuk pergi menikmati makan siang mereka di sana sambil mengobrol santai, sementara mereka akan membiarkan suami-suami mereka untuk pergi dulu ke Singapore Grand Prix lebih dulu. Ibu Nana juga bilang kalau dia akan meminta izin langsung ke Hatalla kalau memang aku mau bergabung dengan mereka.

"Makanya, La. Buruan cari pasangan."

Langkahku hampir saja berhenti waktu mendengar suara Pak Jatmika terdengar ketika kami berjalan keluar dari lobby.

Aku sempat melihat ke arah Hatalla yang berjalan tidak jauh dariku karena dia nggak bisa bergabung dengan sahabat-sahabat lainnya yang berjalan bersisian dengan pasangan mereka masing-masing.

"Kalau jalan-jalan begini, tuh, yang diajak pacar, calon istri, atau istri. Ke mana-mana kok masih sama personal assistant. Ngerepotin aja lo, ah!" lanjut Pak Jatmika, menggoda Hatalla dengan menolehkan kepalanya ke belakang.

Perasaanku berubah nggak nyaman setelahnya, bahkan ketika nggak ada satu orangpun di sana—sebut saja Pak Algis, Pak Narendra, dan Pak Hestamma yang tahu mengenai hubunganku dan Hatalla—mengatakan hal yang macam-macam, tapi aku tetap merasa nggak nyaman setelah mendengar bahan bercandaan—yang seharusnya normal—yang sering aku dengar sebelumnya—yang dilontarkan sahabat-sahabat Hatalla.

Kami lalu berpisah, menaiki mobil masing-masing menuju The Secret Garden yang jaraknya bisa dibilang sangat dekat dengan Marina Bay Sands, tempat kami berada sekarang. Sampai sekitar 7-8 menit kemudian kami memasuki restoran berkat reservasi dadakan yang dilakukan Pak Algis dalam perjalanan.

Di sepanjang perjalanan tadi, meski aku cuma pergi semobil dengan Hatalla, kami tidak banyak bicara atau lebih tepatnya kami nggak mengobrol sama sekali.

Pria itu tampaknya marah, dan sepertinya amarahnya cukup serius mengingat dia selama ini nggak pernah mengabaikanku se lama ini.

Betul, ini masih ada kaitannya dengan kedatangan Hatalla ke kosanku sekitar satu minggu yang lalu. Our conversation proved pointless since I was still unable to open up to him. Sepertinya hal itu sulit untuk diterima Hatalla, if I were in his shoes in our current relationship, I would feel the same way—frustrated.

Aku sendiri juga bingung kenapa aku masih belum berani untuk 'terbuka' ke Hatalla di saat lima tahun ini aku melihat sendiri kesetiaannya, tapi pada akhirnya aku masih belum bisa menggunakan bukti kesetiaan Hatalla sebagai salah satu alasan kenapa aku harus terbuka di hubungan kami.

Beberapa kalimat terngiang jelas di telinga dan benakku, membuat kakiku yang baru melangkah lantas urung—membuatku berdiri di tempat yang sama bersama Hatalla.



"Orang-orang macam begitu, nggak bakalan lama ada di sisi kita! They'll go once they've gotten what they desire, forgetting all their promises to stay together forever!"

"Kalau ingat apa yang membawa kita sampai ada di sini, I regret that I could believe all his sweet words if, in the end, he could abandon the people he said he loved and would take care of all his life. Aku menyesal..."

"Siapa yang menyangka, 'kan? Semua orang di sekitar kami juga nggak menyangka karena mereka tahu seberapa besar perasaan cinta kami... Tapi, dia berubah. Dia bilang, kami nggak setara—selama ini—setelah semua pengorbanan yang aku kasih—dia bilang kalau kita nggak akan pernah bisa mengerti kehidupannya..."






"Ren..."

Aku mengerjapkan mata cepat, menatap tangan Hatalla yang mengetuk permukaan meja tempat kami duduk beberapa kali. "Maaf, Pak." Aku berdehem sambil berusaha mengembalikan fokus. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku sudah lebih siap dari sebelumnya.

Di kunjungan Singapore kali ini, hanya aku—personal assistant—yang ikut dan karena itulah aku perlu berpikir cepat dan tanggap karena bukan cuma Hatalla, aku juga perlu mengurus dan membantu banyak orang hari ini.

Hatalla menggeleng, dia mengulurkan buku menu ke arahku. "Pilih starter, main, dessert, dan minuman yang kamu mau," katanya sambil menarik salah satu kursi yang ada di sebelahku.

Kami memutuskan untuk duduk di salah satu meja panjang, di mana kami semua bisa duduk di area meja yang sama di tengah ruangan.

Duduk di sebelahku, Ibu Kumala tampak menatapku dan Hatalla secara bergantian. Karena kembali merasa nggak nyaman dan takut kalau Ibu Kumala berpikir yang macam-macam, aku mencoba mengalihkan tatapan Ibu Kumala dengan menyodorkan buku menu ke arahnya. "Ibu pernah makan di sini?" tanyaku ke wanita yang tampak setengah terkejut itu.

Ibu Kumala mengangguk, "Dulu sering ke sini. Kenapa?" tanyanya balik.

"Saya harus pilih yang mana, ya, Bu? Ibu ada rekomendasi, nggak?"

Setelahnya, Ibu Kumala tampak bersemangat memberitahu beberapa menu rekomendasi darinya. Dia bahkan membawaku ke pastry counter untuk melihat langsung beberapa pilihan dessert, dan menunjukkan dessert mana saja yang menjadi kesukaannya sebelum kami kembali ke meja.

Tapi, sekembalinya ke meja, suasana di sana menjadi aneh. Apalagi, aku melihat Hatalla bergerak nggak nyaman di kursinya dan keliatan canggung.

Dan jawaban dari kecanggungan itu muncul tepat di hadapanku saat Malaika dan beberapa teman perempuannya melambaikan tangan ke arah Hatalla—sudah pasti—dan berjalan menghampiri ke meja kami.

Aku benar-benar lupa kalau Malaika juga berada di Singapore dan bilang dia ingin dijadwalkan makan siang bersama Hatalla—

Just a moment... She had already arrived without sending me a word, and Malaika's presence made Hatalla uncomfortable but not surprised.

Ibu Kumala menarik tanganku, menyuruhku untuk kembali duduk setelah aku menyapa Malaika dan diabaikan wanita itu karena dia lebih asyik mengobrol dengan Hatalla yang kini berbicara dengannya.

"Kenapa, Bu?" Sangat aneh menemukan tatapan Ibu Kumala sekarang, tapi wanita itu menggelengkan kepalanya masih sambil menepuk pelan tanganku beberapa kali.

"If you don't mind, I'd be delighted to join." Malaika menatap ke arah meja kami, dan tentu saja semua orang yang ada di sini merasa nggak keberatan kecuali aku... dan mungkin Hatalla yang sempat melirik ke arahku sekilas.

Dan perasaan nyaman yang sejak tadi aku rasakan kembali menumpuk ketika semua orang di sana menatap ke arahku, bersamaan dengan sebuah sentuhan halus yang singkat menyapa bahuku. "Permisi, saya bisa duduk di sini, 'kan, ya?"

Okay...

You have to be professional, Ren. This is all work-related, and you must be professional!

"Kita minta tambahan kursi aja." Suara Hatalla terdengar menengahi.

"Di sisi sebelah sini masih kosong, kok." Kali ini suara Ibu Samahita terdengar, dia juga menunjuk ke sisi Hatalla lainnya yang memang masih kosong.

Nggak bisa... Things suddenly turned unconducive like this, and I had to quickly organize everything so that everyone could calm down.

Aku buru-buru berdiri dari kursi, meminta Malaika menjauh sebentar karena aku perlu mendorong kursi yang aku duduki agar aku bisa keluar dari sana. "Silakan, Bu," kataku mempersilahkan Malaika untuk duduk.

Seperti biasa, nantinya aku akan mencari meja lain yang biasanya dekat dengan area Hatalla dan para sahabatnya berada, tapi sungguh aku nggak benar-benar ingin berada di dekat mereka sekarang.

Jadi setelah memastikan semuanya beres, aku pergi ke meja kasir dan meminta mereka untuk mengatakan kalau pesananku bisa dipindahkan ke meja ujung ruangan—jauh dari meja Hatalla dan sahabat-sahabatnya—dan menggantikannya dengan pesanan Malaika yang sekarang duduk di kursiku sebelumnya.

Jangan pikir aku akan marah dan mogok makan hanya karena masalah Malaika tadi. I'll keep eating here and won't trouble myself with Malaika's childish antics that she must be doing to embarrass me.

Sayangnya, aku nggak punya malu! Jadi, bisa dibilang usaha Malaika tadi sia-sia karena aku mulai menyadari apa yang melatarbelakangi sikap kekanak-kanakannya itu di depanku.

"Isn't that the kind of outfit I wore the last time I met her? Is she really that insecure?" gumamku di sela kegiatanku menikmati charred peach salad yang aku pesan.

Oh, ya, sebut saja aku memang se-narsis itu, tapi aku benar-benar melihat kemiripan style outfit yang digunakan Malaika dengan apa yang aku gunakan saat menemuinya lunch di kediaman Ibu Ainur.

Ini benar-benar menarik.

Ditambah lagi dengan fakta kalau sejak berpindah meja, Malaika tidak berhenti melirik ke arah mejaku beberapa kali—entah untuk memastikan apa. Tapi, sekarang aku tau satu alasan kenapa Malaika sebenci itu ketika berada di dekatku.

Dia menganggapku sebagai saingan.

Unfortunately, Malaika does not fit the qualifications for being my rival. Berbeda dengannya, aku sama sekali nggak merasa terancam dengan segala pendekatan yang dia buat ke Hatalla.

Ternyata, aku lebih dulu menyelesaikan kegiatan makan siangku karena meja di mana Hatalla dan sahabat-sahabatnya berkumpul tampak masih ramai dan mereka keliatannya sedang membicarakan sesuatu yang seru.

Aku lalu memutuskan untuk berdiri dari kursi, berjalan keluar dari restoran untuk menghirup udara segar karena apa yang terjadi seharian ini sedikit membuatku bingung.

"You are so gorgeous."

Kedua alisku terangkat saat sepasang suami-istri yang sudah berumur memujiku ketika mereka berjalan melewatiku yang sedang menatap ke arah sekitar.

"Thank you. You look lovely too," balasku membuat keduanya tertawa malu-malu.

Pasangan itu menghentikan langkahnya, membuatku berjalan menghampiri mereka berdua. Dan serunya, kami terlibat obrolan yang luar biasa menyenangkan. "Everything about you, including what you're wearing, looks fantastic. I like it a lot," puji si istri kepadaku untuk kesekian kalinya.

Sebenarnya, hari ini aku dibuat kerepotan untuk memilih pakaian semacam apa yang cocok untuk menonton race di Singapore Grand Prix karena ini menjadi pengalaman pertamaku pergi ke sana. Aku bahkan mencari beberapa referensi, dan pilihanku jatuh ke polo top dari Rossignol berwarna navy—hadiah dari Ibu Ainur—dan balutan basic maxi skirt berwarna hitam di bawah lutut dengan belahan pendek di area depannya, juga white sneakers low ankle. Aku juga menambahkan scarf yang sengaja aku ikat di bagian leher. Sementara untuk rambut, aku memilih ponytail untuk hair style ku hari ini.

"Thank you," jawabku lagi sambil menunjukkan senyum lebar.

Setelahnya pasangan itu berpamitan, aku masih berada di luar—melihat mereka sambil melambaikan tangan ke arah mereka dengan pikiran bercabang ke mana-mana.

Gilanya, aku malah membayangkan apakah masa itu akan datang untukku? Ya, sudah pasti waktuku akan datang, tapi bisakah dan bolehkah aku membayangkannya bersama Hatalla?

"Ren..."

Mendengar suara yang familiar, aku langsung memutar tubuh. "Kenapa, Pak?" tanyaku ke Hatalla yang ternyata menyusulku keluar.

"Kenapa di sini?" tanyanya, berjalan mendekatiku setelah dia memastikan masker yang dipakainya terpasang dengan benar. "Kamu sudah selesai makan? Habis?" katanya, menarik tanganku lalu merangkul pinggangku.

Kalau di kesempatan lainnya, sudah pasti aku akan buru-buru menghempaskan tangan Hatalla dan memarahinya, tapi kali ini aku dengan sangat sadar mendiamkan segala perilaku yang dibuat Hatalla.

Ini bisa jadi satu-satunya kesempatan bagiku untuk meluluhkan hati Hatalla karena aku sebenarnya juga sedikit panik karena ini pertama kalinya dia mendiamiku se lama ini, jadi setelah memastikan kalau kami ada di tempat yang cukup tersembunyi di sebelah restoran, aku ikut membalas rangkulan Hatalla—memeluknya.

"Kamu sendiri kenapa ke sini?" tanyaku balik.

"Nyari kamu," katanya singkat, menandakan kalau Hatalla masih marah. "Kamu ngapain di sini?" Ia kembali mengulang pertanyaan sebelumnya.

Tanganku bergerak mengusap dada Hatalla sambil mendongakkan kepala, "I am just seeking some fresh air." Meski tertutup masker, aku masih bisa melihat kening Hatalla mengernyit. "Kamu sudah selesai makan? Gimana? Perlu pesan lagi?"

"Nanti aku bisa pesan sendiri." Lagi, jawaban singkat lainnya yang menandakan Hatalla masih marah.

Kepalaku mengangguk, untuk yang satu itu aku nggak akan mencoba membujuknya.

Setelahnya, kami cuma berpelukan dan aku bisa merasakan Hatalla menghela napasnya panjang dan dari sana aku tahu kalau amarah Hatalla sebentar lagi akan menguap habis.

Rasanya senyumku baru terulas saat aku menangkap sosok-sosok familiar lain yang mendadak berdiri tepat di depan kami, beberapa di antara mereka terkejut dan sisanya tampak tenang.

"Kalau udah begini..."

Aku buru-buru melepaskan pelukanku dari Hatalla, menatap canggung ke arah sekitar untuk menghindari tatapan Pak Algis, Pak Hestamma, Pak Narendra, Pak Jatmika, dan Pak Katon.

"... Kenapa harus disembunyiin lagi, sih, Ren, La?"

Mati aku...

Continue Reading

You'll Also Like

4.4M 285K 61
[PRIVAT ACAK! FOLLOW DULU SEBELUM BACA! ] 18+ (MENGANDUNG KATA KASAR, UMPATAN, KEUWUAN, SCENE KISS, SCENE HUG) - Mungkin sebagian manusia akan senan...
109K 380 1
Rayhan alaska xabiru pria toxic leader VANDALAS, dan tak tersentuh, merasa tak suka saat seorang gadis berani melawanya. Dia mencari tau semua tentan...