Punca Anomali | ZEROBASEONE...

By xieshila

2.4K 1K 381

Terbangun dengan sebuah fakta bahwa dirinya telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit selama 9 bulan la... More

Prologue | Ilusi Kuasi
1 | Realitas Ganjil
2 | Satu Tahun Silam
3 | Reminisensi Lengkara
4 | Disonansi Paradoksal
5 | Ragawi Tak Kasatmata
6 | Marvella
7 | Ekspedisi Tak Bernyawa
8 | Enigma
9 | Asrar & Warita
10 | Potret Persona Juwita
11 | Elusif
13 | Kompleksitas Satu Waktu
14 | Praduga Tak Berakar
15 | Aksioma
16 | Tinggal dan Menetap
17 | Momentum Garib
18 | Tabir Ilusi Gael
19 | Tabir Ilusi Gustav
20 | Tabir Ilusi Rojiv
21 | Tabir Ilusi Tristan
22 | Mahendra, Zavier, dan Harris
23 | Tabir Ilusi Jehan
Epilogue | Delapan

12 | Dejavu

65 35 0
By xieshila

Panorama bersahabat telah tiba. Terik mentari yang membuat orang-orang enggan untuk seliweran ke sana kemari di bawah cerahnya biru samudra, kini mulai tergantikan dengan pesona warna-warni mambang kuning yang membentang indah menghiasi dirgantara secara perlahan. Silir-semilir pawana mencumbu setiap inci raut wajahku begitu lembut, beberapa helai anak rambutku pun turut bergoyang ke sana kemari di udara karenanya. Hiruk pikuk pengunjung yang silih berganti datang berkunjung ke kafe minimalis dengan sentuhan alam hijau, lamat-lamat membuat indra penciumanku makin kental dimanjakan dengan aroma kopi yang berasal dari mesin otomatis barista yang tidak ada henti-hentinya membuat pesanan pelanggan sejak senja mampir. Senandung musik indie dari pengeras suara kafe, refleks membuat kedua tungkaiku berdansa kecil di lantai mengikuti irama lembut. Begitu juga dengan jemari tanganku yang makin lincah menekan tuts-tuts abjad dan angka di keyboard laptop.

"Pesanannya, Kak Marvel."

Perpaduan kopi hitam pekat dan putih susu terlihat bersenyawa begitu harmonis di dalam gelas kaca. Satu tenggak kopi tubruk susu yang membasahi kerongkongan, mampu membuat kantuk mata berat meninggalkanku begitu saja dalam sekejap. Sepasang donat dengan taburan gula halus yang disajikan di atas piring, refleks membuat perutku menyuarakan gemuruh lembut. Satu gigitan dari grizzled donut ternyata bisa mengembalikan semangatku yang meluruh akibat kencan buta selama 6 jam dengan revisi laporan skripsi yang tak kunjung berakhir hingga membuat kepalaku seperti berasap-asap. Kelewat lapar dan haus pun membuatku tidak menyadari adanya sosok pelayan kafe yang berdiri di hadapanku dengan nampan berada dalam dekapannya.

"Saben ari skripsian terus opo sek waras toh¹⁷, Kak?"

Tanpa berpaling, aku bisa mengenal siapa pemuda yang berdiri di hadapanku lewat vokal. Aku pun menghela napas panjang lalu bertanya, "Ja ... kamu nggak lagi alih profesi buat jadi stalker, kan? Setiap aku ke mana-mana, kenapa kita selalu papasan?"

Suteja berdecak kesal. "Kalau stalker bisa menghasilkan uang lebih banyak dari kerja sampinganku yang membeludak, kayaknya aku udah ambil profesi itu untuk bertahan hidup!"

Jawaban Suteja membuatku teringat akan sebuah fakta bahwa laki-laki satu ini adalah tulang punggung keluarga, ia rela memeras keringat demi keluarganya yang terlahir dari ekonomi serba dicukup-cukupkan. Bahkan Suteja acapkali menawarkan jasanya untuk bekerja di rumahku yang ada di Jakarta saat liburan semester tiba, tapi pria tua bangka yang menjadi bagian dari keluargaku tersebut tentu saja tidak meloloskannya.

"Haram, Ja," jawabku sambil geleng-geleng.

"Kalau kepepet yang haram juga bisa jadi halal!" sahut Suteja sambil cengengesan lalu menyebut nama Tuhan setelahnya. "Ya Tuhan, barusan cuman bercanda tolong jangan kutuk aku jadi batu!"

"Makin hari makin random aja kelakuanmu, Ja! Lagian juga yang posisinya mumet di sini karena skripsi itu aku, kenapa jadi situ yang gendeng?"

Suteja tergelak. "Memangnya yang boleh gila cuman yang lagi skripsian doang?"

Aku pun menyodorkan grizzled donut pada Suteja yang langsung saja lenyap dalam sekali lahap dan membuatnya terbatuk-batuk karena tersedak. Buru-buru saja kopi tubruk susu yang baru saja aku sesap sekali, langsung habis tak tersisa ditenggak oleh Suteja tanpa dosa. Perihal kesal, tentu saja jelas. Namun, aku tidak sanggup marah pada laki-laki yang nyaris menghabiskan waktunya hampir seharian selama bertahun-tahun lamanya untuk menghasilkan uang dari kerja paruh waktu yang tidak seberapa untuk menghidupi keluarganya yang terdiri dari ibu dan dua adik kandung yang masih duduk di bangku sekolah.

"Btw, Kak. Kemarin pas aku telepon lagi ngapain, sih? Kok, kayaknya berisik banget?"

Dahiku mengernyit. "Pas kapan?"

"Itu, loh, pas aku telepon buat bahas lukisan kakak yang dibeli seharga 23 juta. Inget, nggak?"

Aku mencoba mengingat kejadian tiga hari lalu sebelum menjawab pertanyaan Suteja. "Oh, itu! Si Gael tiba-tiba ketuk pintu kamar, terus diajak beres-beres indekos sama anak-anak lain. Jangan bilang kamu masih ada di dalam panggilan?" Bodohnya, Suteja mengangguk. Hal itu membuatku terkekeh kecil. "Ngapain nggak diakhiri aja panggilannya, Ja?"

"Ya, habisnya situ bilang suruh tunggu. Ya, mau nggak mau aku tunggu. Cuman pas dengar suara aneh, buru-buru panggilannya aku tutup."

"Hah? Suara aneh?" Suteja manggut-manggut, membuatku bertanya penasaran. "Suara aneh apa, Ja?"

Suteja terdiam sejenak, berusaha mendeskripsikan apa yang dia dengar waktu itu. "Gimana, ya, jelasinnya ... pokoknya setelah kamu bilang suruh tunggu bentar, aku manut. Eh, tiba-tiba ada suara gemeresik. Awalnya, suaranya itu lirih, tapi makin lama jadi berisik kayak ada suara gemeresik lain yang ikutan join. Kukira earphone-ku rusak, jadi aku coba buat lepas-pasang di perangkat elektronik lainnya. Eh, ternyata malah aman-aman aja. Lambat laun suara berisik itu makin gaduh dan alhasil aku tutup panggilan karena ... seram?"

"Hah?" Aku cengo sesat lalu memukul punggung Suteja hingga berbunyi nyaring setelah itu akibat kesal dengan ucapan-ucapan pemuda tersebut yang selalu menggantung. "Ja, kalau ngomong bisa nggak, sih, langsung full tanpa harus dijeda-jeda dan bikin orang penasaran?!"

Bukannya menjawab pertanyaanku, Suteja malah menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan galeri rekaman suara. Alisku bertaut, belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya padanya lebih lanjut, Suteja menyerahkan earphone-nya padaku.

"Nggak usah banyak tanya, mending dengerin sendiri, ok? Aku tinggal dulu, Kak. Sejam lagi shift-ku kelar. Jadi daripada pesen ojek online, mending nebeng aku aja. Sekalian aku mau nyamperin Gael. Sekali-kali anak orang kaya hemat dan buang gengsi naik motor Astrea bakalan aman-aman aja, kan?"

Sebelum aku mendaratkan pukulan lagi, Suteja sudah lari terbirit-birit meninggalkanku seorang diri. Sepeninggal Suteja, kukaitkan earphone di runguku, ibu jariku pun bergerak menekan tombol play pada rekaman suara teratas. Seperti yang dikatakan Suteja, suara gemeresik itu ada. Seiring berjalannya waktu, gemeresik berubah menjadi berisik yang riuh lalu berakhir dengan dengungan panjang yang memekakkan telinga hingga membuatku meringis. Dalam waktu bersamaan, lampu penerangan di dalam kafe satu per satu mulai bergerak fluktuaktif. Namun, para pengunjung sama sekali tidak terganggu akan hal itu dan malah asyik bercengkerama seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Gemerisik kembali hadir, diikuti dengan penerangan sekitar yang meredup secara bergantian. Remang-remang cahaya di bawah senja, menimbulkan rona merah, bayangan pelanggan yang tercetak di lantai pun terlihat seperti melayang di lautan merah. Entah sebuah kebetulan, aku merasa deja vu. Deja vu akan kejadian yang terjadi saat aku mendapatkan perawatan intensif di Jakarta beberapa waktu lalu. Sekon-sekon sebelum rekaman suara berakhir, dengung panjang tersebut kembali terdengar. Namun, kali ini diikuti dengan suara rintihan yang saling bersahut-sahutan begitu mengerikan. Tidak mau terjebak dalam ketakutan yang makin mengakar, buru-buru saja kulepaskan earphone lalu mendorong benda tersebut menjauh bersamaan dengan ponsel milik Suteja yang jatuh ke lantai. Bak silap mata, atmosfer sekitar yang singgah untuk menggentarkan dalam beberapa sekon lalu, tidak lagi terasa. Rasa hangat kembali menyelimuti atmosfer kafe dengan senda gurau pelanggan.

Kulirik arloji yang melingkar manis di lengan kiri, jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Segera kuurungkan niat hati untuk menghabiskan waktu sampai kafe selesai beroperasi hari ini. Tanganku bergerak untuk membereskan barang pribadi di atas meja lalu memasukkannya ke dalam ransel. Kedua tungkaiku bergegas menghampiri Suteja yang keheranan lalu menyerahkan ponsel dan earphone miliknya sebelum pergi.

"Loh, Kak Marvel! Jadinya mau balik sekarang?" Aku manggut-manggut, ekspresi Suteja terlihat sedih. "Yah, padahal mau nganterin sekaligus mampir ke indekosmu, Kak."

"Kalau mau mampir, mampir aja, Ja. Nggak ada yang ngelarang. Cuman kabarin aja kalau udah di depan, biar aku samperin. Kutunggu di indekos, ya!"

"Shareloc, ya! Aku agak lupa karena udah nggak main ke sana lama, ada kali hampir sembilan bulan?"

Tanpa berpaling, aku mengacungkan kedua jempolku ke arah Suteja sambil berjalan ke luar. Begitu melihat ojek online yang kupesan sudah datang, aku bergegas mendaratkan pantatku di kursi mobil belakang dengan debaran dada yang tidak bisa disembunyikan. Saat mobil melaju meninggalkan kafe, secara bersamaan bisa kulihat seluruh atensi penghuni kafe secara serempak mengekoriku. Bulu kudukku meremang kala menyaksikan beberapa kepala orang-orang yang duduk membelakangiku berputar 180° seolah-olah leher mereka elastis. Dari semua orang yang ada di sana, hanya Suteja yang keheranan sambil melambaikan tangan ke arahku itu terlihat normal di mataku.

Catatan Kaki:
¹⁷Setiap hari skripsian terus apa masih waras

Continue Reading

You'll Also Like

29.1M 921K 49
[BOOK ONE] [Completed] [Voted #1 Best Action Story in the 2019 Fiction Awards] Liam Luciano is one of the most feared men in all the world. At the yo...
26M 779K 76
"You are mine!" He roars. "I will do whatever it takes to make you know that. Whether it means I lock you up in a prison and throw away the key." Foo...
10.1M 506K 199
In the future, everyone who's bitten by a zombie turns into one... until Diane doesn't. Seven days later, she's facing consequences she never imagine...
8.4M 503K 64
The fiery sequel to Death Is My BFF Rewritten and 2016 WATTY AWARDS winner... The book you should read before this one is "Death is My BFF Rewritten...