INCOMPLETED LOVE [✓]

By redeuquinn

13.5K 1.2K 233

Meera Chopra. Putri satu-satunya Mukesh Chopra, seorang konglomerat India, kini berulah lagi. Ini tahun ke ti... More

Tugas Ringan
Dimana Meera?
Saksi Kunci
Penyergapan Anak Kucing
Gara-gara Annu
Dimana Cerita itu Bermula
Tak Semudah Itu
Selamat Hari Holi, Annand!
Sekarang
Terlalu Lelah
Ammar. Hanya Ammar
Undangan
Dress Shopping
Obrolan Ringan
Pengakuan Intensi
Permohonan Kecil
Melodi Kerinduan
Yang Tak Terlupakan
Perjalanan Yang Ditakutkan
Selamat Pagi, London
His Home
Yang Ditinggalkan
Long Time No See
Perasaan Aneh
Sebuah Keputusan
Dia Mendatangi
First Date
Yang Tak Tersampaikan
Yang Tak Terpenuhi
Penjelasan
Bantuan
Tak Terduga
Hingga Akhir
Epilog: Cinta Yang Terlengkapi

Aku Bersedia

384 35 19
By redeuquinn


***


Dupatta sang pengantin wanita menyelubungi kepala sampai leher, menyembunyikan wajah cantik itu. Kepala yang tertunduk, memandang setiap langkahnya sendiri yang seringan kapas melewati kelopak-kelopak bunga sepanjang jalan setapak menuju gazebo yang telah dihias menjadi pelaminan. Tepat dimana kini pengantin pria terduduk dengan turban dikepala dan sherwani senada gaun pengantin wanita. Siap melakukan ijab.

Meera dengan setia mengiring langkah Pia, menggandeng lengan sang sahabat menuju kursi berhadapan dengan Ibrahim. Dengan perlahan Meera melepas tangan Pia setelah mendudukan gadis itu di tempatnya. Sementara ia beringsut di kursi belakang, sambil terus memberi sentuhan kecil pada punggung temannya sebagai pemberi dukungan.


Dibalik dupatta yang sedikit transparan senyum mengembang Pia dapat terlihat oleh Ibrahim, yang ikut mengukir senyuman bahagia di wajah tampannya. Entah kenapa cuaca bersahabat dengan angin sepoi siang itu malah membuat dahi sang mempelai pria sedikit berkeringat, sampai tangannya pun terasa lengket dan membuat ia meremat keduanya pelan. Dipastikan kegugupan kini menyerang Ibrahim.


Seorang wali yang akan menikahkan pasangan di depan, meminta izin untuk memulai prosesi. Tangan kiri Pia menggenggam tangan Meera yang terulur sementara tangan kanannya bertautan dengan sang ibu, mentransfer kegelisahan yang dirasakan. Berharap dukungan dari orang terdekatnya membuat ia sedikit lebih tenang. Meera menggigit bibir, jantung pun berdebar cepat. Genggaman kuat Pia membuatnya ikut merasa tegang.

Tak sengaja tatapan gadis itu bertemu Ammar yang berada di seberang, duduk tepat di belakang Ibrahim. Tatapannya lekat, seolah dia sudah memandang Meera sejak tadi.

Meera memiringkan kepala dan bertanya maksud tatapan laki-laki itu tanpa bersuara. Ammar menggeleng kecil, menunjukan senyum miringnya lalu kembali mengalihkan tatapan. Membuat Meera jadi bertanya-tanya sendiri maksudnya. Kemudian ia memandang berkeliling, mencari keberadaan seseorang. Netra Meera akhirnya berpapasan dengan pria yang sedang bersandar di salah satu tiang gazebo. Di sanalah Rehan Meshta berdiri, tersenyum simpul pada Meera yang dibalas dengan senyuman manis gadis itu. Hingga prosesi pernikahan yang dimulai membuat semua perhatian kembali pada pasangan pengantin. 


"Qabul hai*.." terdengar suara lirih Pia setelah Ibrahim menyampaikan permintaannya mempersunting wanita di hadapan. Senyum kebahagiaan terpancar darinya, membuat seluruh orang yang hadir mengucap syukur.

( *Aku bersedia )


Meera merasakan sudut matanya basah, merasa terharu dengan semua proses yang telah dilalui sang sahabat. Akhirnya Pia sah menjadi seorang Nyonya Khan. Ia terisak kecil sembari mengusap pelan matanya sehingga air mata itu tak jatuh.


Pia dibawa duduk bersebelahan dengan Ibrahim. Pengantin pria menyambut pengantin wanitanya dengan wajah berbinar. Begitu duduk, Pia menghadapkan diri pada sang suami. Lalu dengan perlahan, Ibrahim mengangkat dupatta yang masih menutupi wajah Pia. Tatapan lekat keduanya langsung bertemu. Dengan lembut Ibrahim memasangkan cicin pernikahan di jari manis Pia dan Pia pun melakukan hal yang sama pada Ibrahim. Wajah pasangan yang kini telah sah menjadi suami istri itu memancarkan kebahagiaan yang membuat haru semua yang memandang. Setelah keduanya menanda-tangani dokumen pernikahan, prosesi sakral itu pun selesai.


Selamat menempuh hidup baru sebagai sepasang suami istri, Ibrahim dan Pia Khan.




***

   

      

Perayaan pernikahan terasa kurang apabila belum ada acara pelemparan buket bunga dari pengantin hari ini untuk memprediksikan siapa yang akan menjadi pengantin selanjutnya.

Ibrahim dan Pia kini sedang membelakangi para wanita lajang yang tengah bersiap menangkap buket bunga yang akan mereka lempar. Saling berbisik dan melirik kerumunan.


Meera menatap dari kejauhan kerumunan tersebut. Sambil tertawa sendiri melihat hebohnya para gadis yang bersiap ingin mendapatkan buket.

"Kau tidak ikut serta, Nona?" seseorang menghampirinya. Membuat Meera menoleh dan tersenyum melihat sang dokter. 


"Just call me Meera, Doctor. Please.." ucap gadis itu. Yang membuat Naina terkekeh dan mengangguk. Tatapan Meera kembali ke kerumunan di belakang Pia dan Ibrahim. Ia menggeleng pelan, "Menurutku, siapa yang akan menikah selanjutnya tidak ditentukan dengan prosesi seperti itu. Ya walaupun semua orang juga tau, hal itu hanya untuk meramaikan acara. Jadi aku cukup dengan hanya menonton keseruan yang terjadi.." jelasnya. "Kau sendiri tidak tertarik untuk ikut serta, Dokter? Kau belum menikah juga, kan?"


"Yah.. seperti yang kau lihat, Meera. Aku masih sendiri." Naina terkekeh. "Alasanku tidak ikut disana juga tak berbeda jauh denganmu. Aku lebih suka menjadi penonton.." Ia menyunggingkan senyum. "Tapi kadang aku berpikir, apa karena aku membosankan seperti ini jadinya belum menikah juga?"


Meera berdecak. "Jangan berkata seperti itu.. Profesi seorang dokter adalah hal yang keren. Siapapun pasti mengagumimu."


Mendengar hal itu Naina tertawa kecil. "Tapi sayangnya orang yang aku kagumi, mengagumi orang lain." Ucap sang dokter yang tatapannya kini lurus pada seseorang di belakang Meera. Seseorang yang tengah melangkah mendekat. Membuat Meera ikut menoleh penasaran pada laki-laki yang ternyata sudah berada di sisi.


"Oy, M! Meera- Meera Chopra!" panggilan keras Arjun menggema di tempat itu, disusul suara dengung menjelengking dari speaker yang membuat semua menutup kuping dan mengalihkan perhatian mereka ke arah gazebo, dimana laki-laki yang menjadi Master Of Ceremony pemegang microphone berada.

Begitupun Meera. Menjadi pemilik nama, ia mengernyit pada sang pelaku pemanggilan. Tatapan Arjun padanya membuat semua ikut menoleh pada Meera, yang membuat gadis itu langsung menunduk, menutupi wajahnya dengan tangan. Merasa malu sendiri dengan tatapan yang diberikan orang-orang.


Astaga... Jangan-jangan mereka akan-


"Kami tak akan mulai jika kau masih berdiam diri di situ!" Suara Pia menggelegar di speaker karena tiba-tiba merebut microphone dari tangan Arjun.


Mata Meera membulat. Dia menggeleng cepat. Sampai menempelkan kedua telapak tangannya, memohon pada Pia untuk melakukan kegiatan tersebut tanpa dirinya.

     

"Kau takut menikah Meera?" tanya Ammar, laki-laki yang berdiri di sisinya.


"Maksudmu?" tanya balik Meera.


Ammar menggeleng. "Aku hanya berpikir seperti itu karena kau tak mau ikut acara di sana."


"Aku tidak takut! Hanya saja-"


"Tak usah membuat banyak alasan, Meera. Kalau kau tidak takut, ya ikut saja. Apa salahnya?" ucap Ammar memamerkan senyum miringnya. Nama Meera pun terpanggil kembali dan kali ini semua orang ikut menggemakan. Yang membuat Meera akhirnya menghela napas lantang. "Fine!" ucapnya. "Ayo Dokter Naina.."


Yang diajak menggeleng cepat. "Have fun!" jawab Naina.


Meera akhirnya berjalan pasrah menuju gazebo. Tapi baru dua langkah, Meera kembali berbalik pada Ammar. "Aku mengatakan dengan jujur kalau aku tidak takut menikah. Tapi untuk sekarang, aku hanya tak mau lagi menaruh harapan terlalu tinggi pada seseorang yang nantinya akan meninggalkanku seperti sebelumnya.." ucapnya lirih, tapi terdengar dengan jelas di telinga Ammar. Meera kembali berjalan menuju kerumunan yang sudah menanti. Walaupun akhirnya dia hanya berdiri paling belakang dan menjaga jarak dengan semua gadis. Terlihat begitu enggan berada di situ.


Arjun yang akan memulai aba-abanya, menyuruh Pia dan Ibrahim kembali pada posisi membelakangi orang-orang. Bersiap melakukan lemparan buket bunga yang telah bekerja sama kearah mana mereka akan melempar.

"Tiga, dua.. SATU!" hitungan mundur Arjun diakhiri dengan lemparan buket bunga dari pasangan pengantin. Buket itupun meluncur kearah Meera seperti yang direncanakan Pia. Meera yang tidak menyangka buket bunga melesat padanya, jadi panik sendiri karena orang-orang jadi berlari ke arahnya.


Bukannya mencoba menangkap buket itu, Meera malah berusaha menyembunyikan diri dari serbuan orang-orang. Badannya membungkuk, tangannya menghalagi diri dari benturan tubuh yang akan diterima. Hingga akhirnya tabrakan-tabrakan itu terjadi, tapi tak membuat tubuh Meera limbung. Ia malah merasakan lengan kekar seseorang mendekapnya dan membuat dirinya begitu terlindungi. Meera yang menyadari apa yang sedang terjadi, langsung mendongak. Ia melihat wajah Ammar yang begitu dekat, dengan tangan kiri mengungkung dirinya. Sedangkan tangan kanan teracung memegang buket bunga yang tadi dilempar Pia dan Ibrahim.


Semua bersorak atas keberhasilan Ammar menangkap buket tersebut. Tapi suara-suara bising itu seperti tak mencapai telinga Meera. Dia hanya terpaku menatap Ammar yang juga menatap balik padanya lekat.

"Kau tau tentang rencanaku kembali ke Kashmir?" tanya Ammar tiba-tiba. Ternyata pernyataan Meera sebelumnya, disadari laki-laki itu bahwa tertuju padanya.


"Calon suami sahabatku adalah temanmu, Ammar. Berita itu mudah aku dapatkan. Sesulit itukah mengatakan langsung padaku?"


Selama beberapa detik Ammar terdiam, memilah kata yang ingin ia sampaikan. "Seberapa pentingnya berita itu untukmu? Selama setahun ini saja, kau baik-baik saja tak bertemu denganku.."


"Mengetahui kau masih berada di sekitarku, dengan kau yang akan berada beratus-ratus mil jauhnya, itu berbeda, Ammar." Meera menghela napas. "Memangnya aku tak pernah tau kau yang terkadang membuntutiku saat aku pergi sendirian dan menjagaku saat aku pulang larut? Atau bahkan, aku tak pernah menaruh curiga padamu akan kiriman makanan ke kantor saat aku melupakan jam makanku? Sesulit itu bertatap muka denganku langsung selama ini, Ammar? Sesulit itu untuk bicara? Mau sampai kapan kau terus berada dalam bayangan seperti itu?"


Ammar menutup mata, menarik napasnya lantang sebelum kembali bersuara. "Aku.... tak mau egois, Meera." ucapnya lirih. "Kau- Annand-"


Meera menggeleng. Ia mengerti apa yang membuat Ammar menahan segalanya. "Kalau aku yang egois bagaimana?"


"Maksudm-"


Belum sempat Ammar melanjutkan, bibirnya merasakan sentuhan lembut labium Meera. Dengan mata yang terpejam, bibir mereka bergerak intens ditengah keramaian yang ada dan menjadi tontonan semua orang. Sorakan demi sorakanpun tertuju pada pasangan tersebut.

Pia dan Ibrahim membelalakan mata. Tak percaya akan apa yang sedang mereka lihat, bahkan akan terjadi seperti itu. 


"Finally..?" tanya Ibrahim.


"Finally!" Sorak Pia. Merasa bahagia akan kemajuan yang terjadi pada hubungan Meera dan Ammar.

       

          

Tapi diantara tatapan bahagia yang terlihat, tentunya ada tatapan yang dipalingkan juga.

Terlalu perih untuk melihat, terlalu sakit hatinya merasakan.

Naina tertunduk. Tak ingin melihat lama-lama adegan yang sedang terjadi. Tangannya pun meremat kuat, seolah menekan rasa sakit yang sedang dirasa.


"Apa menurutmu mereka pasangan yang serasi, Dokter?"

Naina menoleh pada asal suara. Rehan Mehta menghampirinya dengan menyodorkan sebuah gelas minuman. Naina menggeleng, entah menolak minumannya atau menjawab pertanyaan laki-laki itu.

Rehan mengangkat bahu, menghabiskan dengan sekali tegukan gelas miliknya dan juga gelas yang tadinya ingin ia berikan pada Naina. 

"Menurutku juga begitu," ungkap laki-laki tersebut.


"Aku kira kau kekasih Meera, Tuan Mehta." ucap naina.


"I hope so.." Rehan berdecak. "Aku pikir, aku yang akan bersanding dengan Meera sampai pelaminan. Asal kau tau saja, ayah Meera telah memberiku lampu hijau. Tapi nyatanya, aku terlalu denial akan perasaan yang terlihat dari mereka berdua. Dan rasanya cukup sakit." Jelas Rehan yang masih melihat adegan heboh di tengah taman yang juga belum berhenti.


"Sementara aku, yang tau apa yang dirasakan Ammar... Terlalu berharap perasaan itu akan berpaling padaku..." Naina ikut bersuara, kembali memberanikan netranya menatap apa yang dilakukan Ammar dan Meera. Tapi ia bersyukur, keduanya tak lagi mengunci bibir. Tapi keduanya yang saling mendekap juga tak menghentikan perih di hatinya.

            

           

         

***

        

         

          

< A/N >

YEEEYYYY FINALY HERE'S THE UPDATE!!

I'm sorry to make you wait! Hope you all happy with this chapter!


Thank you for waiting and reading this story so far.

Don't forget to vote and Comment! Tell me how's the chapter!


SEE YOU ON THE NEXT CHAPTER!


With Love,

     

           

-Reinn❤️



Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 299K 108
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
2M 113K 96
Daksh singh chauhan - the crowned prince and future king of Jodhpur is a multi billionaire and the CEO of Ratore group. He is highly honored and resp...
1.7M 127K 45
"Why the fuck you let him touch you!!!"he growled while punching the wall behind me 'I am so scared right now what if he hit me like my father did to...
1.6M 138K 46
✫ 𝐁𝐨𝐨𝐤 𝐎𝐧𝐞 𝐈𝐧 𝐑𝐚𝐭𝐡𝐨𝐫𝐞 𝐆𝐞𝐧'𝐬 𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐒𝐚𝐠𝐚 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 ⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎⁎ She is shy He is outspoken She is clumsy He is graceful...