BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

314K 48.3K 19.5K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-03]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-08]

7.2K 1.2K 616
By embrassesmoi

Reni.





Everything feels weighty lately.

Entah karena ada beberapa hal yang nggak berjalan semestinya atau karena aku memang suntuk akhir-akhir ini, it all feels too overwhelming for me, and worse, I'm made to feel uneasy because of my own emotions.

"Gimana, Malaika bisa?"

Ini salah satu alasannya.

Aku sudah pernah bilang, 'kan, kalau Hatalla sudah melewati banyak momen-momen perjodohan yang dilakukan orang tuanya selama kami menjalin hubungan? Dan dari banyak perjodohan itu, aku melewatinya dengan santai karena tau Hatalla tidak akan pernah setuju dan orang tuanya juga nggak benar-benar serius dengan perjodohan-perjodohan yang sering mereka buat untuk Hatalla.

Tapi, sepertinya kali ini semua berbeda.

Aku nggak membicarakan soal Hatalla, ya. Tapi, ini semua tentang orang tuanya dan yang aku maksud di sini itu adalah kegigihan Ibu Ainur untuk terus mendekatkan Hatalla dengan Malaika.

Ya, masih Malaika yang sama.

Tadi pagi secara tiba-tiba—Ibu Ainur memang sering melakukannya—menghubungiku dan mengatakan kalau dia mengundangku untuk makan siang di kediamannya sendirian, tanpa mengajak Hatalla. What a strange thing indeed, tapi karena ini permintaan Ibu Ainur—yang tidak lain dan tidak bukan adalah orang tua dari atasanku—tentu aku nggak punya pilihan lain selain menurutinya, kan?

"Kalau bisa nanti coba Ibu atur—eh, maksudnya Reni dan Deryl atur," timpal Ibu Ainur waktu ia belum juga menerima jawaban dari Malaika yang masih terdiam duduk di sebelahnya, memasang wajah malu-malu tapi maunya itu.

Dengan keningnya yang berkerut, Malaika menatap Ibu Ainur. "Deryl?"

"Asisten Hatalla yang lain," jawab Ibu Ainur cepat sambil menatapku. "Reni sepertinya lagi libur ngurus Hatalla, jadi kalau kamu setuju buat makan malam sama Hatalla mungkin nanti bakal dibantu urus sama Deryl," terang Ibu Ainur yang mendadak membuat Malaika menolehkan kepalanya ke arahku.

"Ambil cuti?" tanyanya.

Apa bisa liburku ini dibilang cuti? Karena sebenarnya aku nggak pernah mengajukan cuti yang aku dapat ini ke Hatalla sebelum tahu dari Deryl yang menghubungiku pagi ini kalau pengajuan cutiku selama tiga hari ini sudah di acc.

Mungkin ini ada kaitannya dengan apa yang terjadi sebelumnya, soal Hatalla yang nggak sengaja keceplosan soal hubungan kami. Talking about it evokes a lot of disappointment and worry. I knew that no matter how skillfully we hid our relationship, it would eventually be revealed. Tapi, bukannya selama 5 tahun terakhir ini kami sudah melakukannya dengan baik?

Hanya karena capung, semuanya terbuka.

Isn't this hilarious? I still find it difficult to believe what happened.

Untungnya—tidak seperti biasanya—Hatalla memberikan jarak—space—dengan tidak mendatangiku secara langsung kemarin, meskipun pada akhirnya kami tetap bertemu juga semalam karena ajakan makan malam dari Pak Katon di rumah Pak Algis.

Kalau aku tebak, ini pasti ada ikut campur dari sahabat-sahabat Hatalla sampai bisa membuat pria itu tidak lagi 'menempel' kepadaku, seakan memberikanku space—sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukan Hatalla karena menurutnya sebuah masalah harus diselesaikan secepatnya yang sebenarnya nggak salah juga, tapi kadang aku merasa kalau aku memerlukan waktu untuk memikirkan baik-baik semuanya sebelum akhirnya bisa bicara dengan Hatalla.

Dan sekarang pria itu memberikannya—keinginanku—sampai memutuskan kalau aku perlu mengambil waktu cuti agar bisa memikirkan baik-baik tentang apa yang terjadi beberapa saat lalu.

Kepalaku mengangguk pelan, "Saya ambil cuti kebetulan, Mbak."

Lalu, gantian Malaika yang menggelengkan kepalanya. "Bu," ucapnya membuatku menyipitkan mata. "Saya nggak terlalu nyaman dipanggil Mbak. Panggil Ibu saja," imbuh Malaika sambil memasang senyum yang ia paksa sebelum dia menatap ke arah Ibu Ainur dan bergerak memunggungiku.

Sebut saja itu kelancanganku. Aku yang salah memang.

Dari tempat dudukku sekarang, senyumku terulas tipis saat Ibu Ainur menatapku dengan tatapan sungkannya.

Ibu Ainur should not feel guilty since, even if she did not act politely, Malaika was the one who needed to apologize to me, not her.

Nada bicara Malaika terdengar bersemangat saat membahas rencana dinner yang akan dibuatnya bersama Hatalla ketika tahu kalau minggu depan Hatalla akan mampir ke Singapore. "Nanti Malaika tinggal nyusul aja, kan, Jakarta-Singapore nggak jauh-jauh banget. Te. Mas Hatalla-nya memang liburan di sana?" Tanpa melihat wajahnya secara langsung, aku bisa menebak se-cemerlang apa raut wajah Malaika sekarang.

Ibu Ainur menggelengkan kepalanya, wanita paruh baya itu malah menatap ke arahku. "Ada kerjaan, sih, dia. Iya, 'kan, Ren?"

Karena pertanyaan itu, Malaika memutar kepalanya—menatapku jauh dari kata ramah. "Kebetulan jadwal di Singapore minggu depan itu Pak Hatalla ada kerjaan yang berkaitan dengan ATU, Bu," balasku menatap ke arah Ibu Ainur, dan Malaika bergantian.

"Kamu ikut ke Singapore?" tanya Malaika.

Tanpa merujuk ke siapa pun, aku tahu benar siapa yang dimaksud lewat tatapannya yang mengarah memperhatikanku dari atas sampai bawah beberapa kali. "Benar, Bu. Saya mendampingi Bapak Hatalla dan Pak Wijaya."

Jawabanku barusan langsung ditanggapi Ibu Ainur cepat, "Reni ini ngurusin kerjaan Bapak juga." Ini yang dimaksud Ibu Ainur adalah suaminya, Pak Wijaya. "Jadi kalau ada kaitannya sama ATU, biasanya Pak Wijaya juga didampingi Reni," jelasnya yang hanya aku angguki di depan Malaika.

"Berarti yang urus Reni waktu Mas Hatalla di Singapore, ya, Te?" Malaika kembali mengabaikanku, dia malah bertanya ke Ibu Ainur.

I don't blame her for her decision; some individuals find it awkward to chat with me. Kalau kasusnya begitu, masa' aku harus marah-marah ke mereka, sih? Nggak juga, kan? Tapi, biasanya kalau begini, aku jadi penasaran tentang alasan ketidaknyamanan mereka di saat aku tahu kalau aku nggak pernah—atau sudah berusaha meminimalisir—membuat kesalahan di depan mereka.

Salah satunya, ya, Malaika ini.

How many times have I met her? Pertemuan kami bahkan bisa dihitung jari. Apalagi kalau membicarakan soal seberapa seringnya kami mengobrol... Nggak pernah sama sekali malah.

Jadi, sebenarnya aku cukup penasaran kenapa Malaika sampai sebegininya ketika berhadapan denganku.

Ibu Ainur kembali menatapku sambil menganggukan kepalanya, "Jadi, kalau misal kamu mau jalan atau lunch-dinner, bisa menghubungi langsung ke Reni. Nanti sisanya biar Reni yang urus." Anehnya, Ibu Ainur malah menatap ke arahku bukan ke arah Malaika—seseorang yang harusnya ia ajak bicara sekarang.

"Kalau langsung menghubungi ke Mas Hatalla-nya langsung gimana, ya, Te?" tanya Malaika, seakan dia nggak bisa menanyaiku secara langsung, atau lebih tepatnya karena dia yang nggak mau bicara denganku.

Nah...

Dari banyaknya wanita yang dikenalkan ke Hatalla selama ini, aku tahu mereka wanita dengan tipe semacam apa. Karena datang dari kalangan yang sama, kebanyakan dari mereka begitu memahami kesibukan Hatalla.

Mereka jarang ada yang bisa menghubungi Hatalla secara langsung, aku nggak tahu pasti apakah mereka—Hatalla dan mereka—punya kesepakatan sebelumnya dan cara satu-satunya yang bisa mereka lakukan agar bisa terhubung dengan Hatalla adalah melalui perantaraku.

Even so, they realized that contacting me would allow them to receive answers without disrupting Hatalla's busy schedule.

Tapi, Malaika tampaknya berbeda. This wealthy woman appears to have a unique perspective on Hatalla and his hectic life.

"Aduh... kalau yang itu, Tante nggak bisa jawab langsung, Malaika." Sekali lihat, aku tahu kalau Ibu Ainur merasa segan dan sedikit terganggu. "Karena, 'kan, selama ini apa pun yang ada sangkut pautnya sama Hatalla memang harus melalui Reni, Deryl, atau Rendi, sebagai asisten dan personal assistantnya Hatalla."

"Om dan Tante juga begitu?" tanya Malaika lagi.

Sebentar, ini maksudnya gimana, sih?

Is she that ignorant to understand what was already explained?

Meski bukan siapa-siapa, amarahku ikut memuncak melihat bagaimana Malaika memasang wajah polosnya saat menyinggung Ibu Ainur.

"Ibu Ainur dan Bapak Wijaya, 'kan, orang tua dari Bapak Hatalla." Astaga, aku sama sekali nggak pernah membayangkan kalau akan ada masanya aku harus menjelaskan pemahaman semudah ini ke salah satu wanita setara yang dijodohkan ke Hatalla. "Sudah semestinya mereka punya hak untuk menghubungi Bapak Hatalla secara langsung, tanpa melewati perantara," jelasku berusaha menjelaskan, tapi juga berusaha untuk bersikap sopan.

Salah satu alis Malaika bertaut saat menatapku, dan aku nggak buta untuk tahu kalau dia sedang merendahkanku sekarang.

Oh, believe me, I'm not offended at all karena tahu kalau meski setara, Malaika nggak memiliki sesuatu yang sudah seharusnya dimiliki semua manusia terlepas dari tingginya pendidikan yang mereka tempuh.

Kasian, ya, dia?

Tapi, tiba-tiba saja Malaika tersenyum. "Oh, kalau gitu nanti biar saya bilang ke Mas Hatalla aja. Mungkin saya bisa dapat nomor teleponnya supaya saya nggak perlu repot-repot menghubungi asisten-asistennya." Setelah mengatakan itu, Malaika kembali menghadap depan—menatap Ibu Ainur. "Soalnya, 'kan, buang-buang waktu sekali kalau saya bisa langsung menyampaikan semuanya sendiri ke Mas Hatalla, Te. Saya harap Tante nggak keberatan, ya?" katanya, mengambil salah satu tangan Ibu Ainur dan menggenggamnya.

Hatalla juga sama-sama buang waktunya kalau harus meladeni kamu, di saat dia bisa menggunakan waktunya untuk mengerjakan pekerjaan penting lainnya, loh, Malaika.

Duh, I feel like saying it directly, forgetting about etiquette and all sorts of rules dan ingin melihat bagaimana reaksi perempuan nggak tahu diri yang sekarang sedang mengobrol riang dengan Ibu Ainur.

Aku menghela napas panjang—secara jelas dan terang-terangan—tanpa memutus tatapanku dengan Ibu Ainur, menginstrukan wanita paruh baya yang masih tampak cantik itu untuk menirukan apa yang aku lakukan.

"Kita bahas lagi nanti, ya?" Ibu Ainur mengucap pelan, melepaskan genggaman tangannya dari Malaika. "Kan, ke sininya mau makan siang? Kita makan siang sebentar—"

Ucapan Ibu Ainur tiba-tiba terhenti, membuatku mengerutkan kening sebelum menemukan mata Malaika yang tampak cerah ketika menolehkan kepalanya.

Ah...

Sebelum benar-benar melihat siapa sebenarnya yang datang dan membuat Ibu Ainur dan Malaika terdiam, aku lebih dulu berdiri dari sofa. "Selamat siang, Pak," sapaku dengan kepala tertunduk.

Sebenarnya, aku masih belum mau melihat Hatalla sekarang, tapi dengan kehadiranku di kediaman orang tuanya bukankah aku juga harus mempersiapkan diri untuk bertemu Hatalla yang kemungkinan juga diundang Ibu Ainur ke sini?

"Loh." Dari lirikan singkatku, aku bisa melihat Hatalla terkejut sampai menunjuk ke arahku. "Kamu bukannya cuti, Ren? Kenapa ada di sini?" tanyanya dengan konteks yang sebenarnya—bukan kode atau semacamnya—waktu melihat aku ada di kediaman orang tuanya.

Aku menurunkan pandangan, menatap tangan Ibu Ainur yang kini menggandeng lenganku. "Ibu yang ngajak Reni ke sini, mau ngajakin lunch bareng," jawabnya, mencoba menerangkan mengenai keberadaanku di sini. "Kamu juga kenapa ke sini? Bukannya tadi bilang ada meeting, ya?" tanya Ibu Ainur balik.

Loh, jadi kedatangan Hatalla ke sini bukan karena Ibu Ainur yang menyuruhnya untuk menemui Malaika yang kebetulan juga ada di sini, ya?

Karena Hatalla nggak mungkin datang ke sini karena aku ada di sini, aku nggak memberitahu kedatanganku ke sini ke siapapun—nggak juga dengan Hatalla. Kami berdua nggak saling menghubungi dan mengirim pesan sejak kemarin.

"Reni, 'kan, lagi ambil cuti, Bu."

"Saya nggak bilang, Pak." Kalau Hatalla nggak diberhentikan sekarang, sudah pasti semuanya akan berakhir panjang. "Ibu Ainur baru tahu saya cuti waktu saya datang ke sini," tambahku, berusaha untuk menjelaskan dan agar Hatalla paham kalau Ibunya tidak harus ditegur.

Aku bisa merasakan tangan Ibu Ainur mengencang di lenganku, beliau bahkan sempat tersenyum kecil.

Di hadapanku, Hatalla hanya menghela napas sebelum dia tampak terkejut karena sepertinya baru menyadari sosok Malaika yang berjalan menghampirinya.

"Hai, Mas?" Raut wajah Malaika benar-benar keliatan cerah sekarang, berbeda sekali dengan caranya menyapaku tadi yang terkesan malas-malasan dan seadanya. "Kok nggak ngabarin datang ke sini? Aku pikir, aku cuma lunch sama Tante aja," ujarnya sambil mengulurkan tangan yang dibalas jabatan singkat oleh Hatalla.

Hatalla memasukan kedua tangannya ke saku celana, kedua bahunya mengedik bersamaan. "I need to get something from here, and then I'll be leaving again since I have another urgent work matter. I hope I didn't interrupt your lunch time," jawab Hatalla yang lucunya malah menatap ke arahku dan Ibu Ainur.

"Buruan diambil kalau begitu," sahut Ibu Ainur, mengusap lengan Hatalla sekilas sebelum kembali mengaitkan tangannya di lenganku.

Aku baru menyadari kalau di belakang tubuh Hatalla yang menjulang tinggi ternyata ada Deryl yang menyapa Ibu Ainur sebelum dia beranjak menaiki lantai 2, tepatnya ke ruang kerja milik Pak Wijaya.

Malaika yang melihat sosok Deryl menghilang di atas tangga kembali mengarahkan tatapannya ke Hatalla, "Loh, berarti mau langsung pergi, Mas? Nggak mau lunch dulu, mumpung aku ada di sini juga."

Aku harus mengakui kalau skill Hatalla untuk terlihat baik dan ramah di depan orang lain memang di atas level manusia pada umumnya, he's very great, and perhaps that's why many people easily approach him, lowering their guards because of his friendly figure, without knowing that he's a dangerous person too, just like the rest of the Adiwangsa family.

Seperti sekarang. Aku bisa menilai dalam sekali lihat—lewat gestur tubuh—kalau Hatalla merasa terganggu dengan Malaika, tapi apa yang diperlihatkannya di depan wanita itu jauh dari apa yang aku tangkap.

Hatalla terlihat sangat ramah saat menyunggingkan senyumnya di depan Malaika. "Lain kali mungkin?" ucapnya terdengar merasa bersalah karena harus menolak permintaan Malaika. "My business is too crucial to cancel for a lunch invitation that we can do next time," katanya membuat Ibu Ainur refleks memejamkan matanya.

Kalau ini bukan Malaika, mungkin aku akan menengahi dan menegur Hatalla habis-habisan karena sikap tidak sopannya itu. Tapi karena ini Malaika, dan aku pikir wanita itu perlu diberi pelajaran, aku membiarkan Hatalla mengeluarkan sedikit kekesalannya lewat sindiran tajamnya.

Aku dan Ibu Ainur sama-sama melirik ke arah Malaika yang mencoba tetap memasang senyumnya, meski terlihat sangat canggung ketika dia menatap kembali Hatalla. "Aku juga sibuk, loh?" Oh... Malaika sepertinya berniat menghabiskan stok kesabaran Hatalla hari ini. "Nggak setiap kali aku diundang, aku bisa datang dan mengiyakan undangan, loh? Apa kamu nggak bisa meluangkan sedikit waktu—"

"Sudah, Ryl?" Hatalla mendongakkan kepala, menatap Deryl yang sekarang menuruni anak tangga dengan beberapa dokumen di tangannya.

Setelahnya, aku kembali melarikan pandanganku ke arah Malaika yang tampak sulit percaya kalau dia baru saja diabaikan oleh Hatalla.

Well, I like Malaika's boldness and confidence, but it's unfortunate that she wasn't showing it in front of the right people, and her timing was off.

"Hatalla berangkat lagi, ya, Bu." Hatalla berjalan mendekat ke arah Ibu Ainur, menyalami tangan sebelum dia menatapku lumayan lama. "Setelah dari sini, pulang langsung, Ren! Use your time off wisely," katanya kepadaku, dia juga menambahkan usapan lembut di bahuku sebelum ia berjalan menjauhi ruang tengah.

Ah, Hatalla pergi tanpa pamit ke Malaika.

Ibu Ainur sempat melirikku sebagai satu sinyal agar aku bisa membantunya memecahkan suasana canggung kami bertiga sekarang.

Aku sempat berdehem pelan sebelum bicara, "Lunch nya sepertinya sudah siap. Ibu Malaika, silakan," kataku memecah lamunan Malaika yang masih berdiri di posisinya meski Hatalla sudah meninggalkan rumah sejak beberapa menit lalu.

Malaika nggak langsung menjawab, dia sempat memutar tubuhnya menatap ke arah pintu depan yang terbuka sebelum kembali meluruskan tubuhnya menghadapku dan Ibu Ainur. "Saya sepertinya harus pulang sekarang," katanya buru-buru mengambil sling bag dari atas sofa. "Ada janji lain yang harus saya datangi, mungkin lunch-nya bisa kita sambung lain kali, ya, Te?" Malaika lalu ber cipika-cipiki dengan Ibu Ainur dan meninggalkan kediaman Ibu Ainur dan Pak Wijaya dengan terburu-buru.

Aku sempat mengantarkan Malaika sampai ke teras sebelum kembali masuk ke dalam rumah setelah memastikan wanita itu sudah masuk ke dalam mobil jemputannya yang memang menunggunya sejak tadi di depan rumah.

Langkahku sempat terhenti waktu melihat Ibu Ainur duduk bersandar di atas sofa sambil memijat pelipis kepalanya. Aku yang tadinya mau menghampiri Ibu Ainur berjalan menuju dapur, meminta asisten rumah tangga untuk membuat air hangat dengan perasan lemon untuk diberikan ke Ibu Ainur.

Nggak butuh waktu lama sampai aku bisa mengantar minuman kesukaan Ibu Ainur dan Bapak Wijaya—yang mereka bilang bisa menenangkan pikiran—itu ke ruang tengah, meletakkannya di atas meja sebelum aku duduk di sebelah Ibu Ainur sambil ikut memijat pelan lengannya.

Napas berat Ibu Ainur terdengar jelas, dia menjatuhkan kedua tangannya di sisi tubuh sambil menatap langit-langit ruang tengah. "Yang salah bukan saya, 'kan, ya, Ren? Ini dianya aja yang lancang, kan?" tanya Ibu Ainur, menolehkan kepalanya ke arahku.

Aku nggak bisa menyalahkan Ibu Ainur karena aku juga turut andil di dalamnya, aku yang menyarankan Ibu Ainur untuk mencoba dekat dengan Malaika, because judging someone based on their first meeting is never a smart idea, right?

Senyumku terulas paksa, "Ibu Malaika sepertinya mencoba untuk bisa mengenal dekat—"

Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Ibu Ainur berdecak duluan. "Kamu nggak usah coba ngebaik-baikin dia lagi, deh, Ren." Tatapannya mengarah tajam. "Mau kamu bela—gimana pun caranya—saya udah kesel duluan sama dia! Apa coba yang katanya orang kalau dia itu calon menantu idaman banyak orang tua? Baik? Pengertian? Lemah lembut? Kok, bisa orang percaya begitu aja?" ocehnya panjang lebar.

Well, Ibu juga sempat percaya, 'kan? Is it not because of that opinion that you want to introduce her to Hatalla?

"Setara, sih, setara! Tapi, kalau tingkah lakunya macam itu yang ada Ibu sama Bapak bisa makan ati tiap hari!" Ibu Ainur sampai mengusap dada sambil menggelengkan kepala, dia mungkin sudah berpikir yang macam-macam sekarang. "Kalau udah begini, sih, urusannya bakalan repot karena ada sangkut pautnya sama keluarganya dia juga," ucap Ibu Ainur dengan suara yang terdengar lebih pelan dari sebelumnya.

"Ibu, 'kan, nanti bisa ajak omong keluarganya Ibu Malaika baik-baik?" kataku, ikut menyahut saja.

Sejujurnya, aku mengerti kerumitan yang dimaksud Ibu Ainur kalau saja hubungannya dan Malaika nggak berakhir dengan baik. Bagi keluarga Adiwangsa, keluarga Santoso merupakan salah satu rekanan baik mereka sejak dulu. Jadi, mempertahankan hubungan baik di antara dua keluarga konglomerat ini bisa dibilang menjadi salah satu hal penting.

Mataku mengerjap cepat saat Ibu Ainur tiba-tiba berteriak nyaring sambil menutup wajah dengan kedua tangannya, "Ini, tuh, gara-gara Hatalla semuanya!"

Ya, untuk sekarang, demi kebaikan Ibu Ainur, Hatalla memang bisa jadi mangsa empuk untuk disalahkan.

Aku menggeser tubuhku sedikit menjauh waktu Ibu Ainur duduk tegak di atas sofa dengan napasnya yang berantakan, "Kalau aja dia, tuh, nggak ngebiarin Ibunya mikir macam-macam, semuanya nggak akan begini!" katanya yang berhasil mengundang kernyitan penuh di keningku.

Apa yang sebenarnya Ibu Ainur coba katakan sekarang?

"Kamu dekat, 'kan, sama Hatalla? Kamu kerja sama dia sudah berapa tahun ini, pasti kamu tahu kedekatan Hatalla sama Deryl, kan?"

HAH?

Siapa tadi yang dimaksud Ibu Ainur?

"Saya sebenarnya nggak mau mikir macam-macam, tapi Hatalla yang ngebuat Ibu mikir begini!" terangnya tampak frustrasi.

Kepalaku menggeleng pelan, mencoba menyadarkan diriku sendiri sebelum akhirnya bisa bertanya, "Maksudnya gimana, Bu?"

"Saya tahu, saya mikirnya aneh. Ini aneh, saya sadar," katanya berulang-ulang, Ibu Ainur juga tampak panik. "Tapi, apa kamu nggak menaruh curiga ke Hatalla dan Deryl? Mereka berdua dekat, tapi dekat yang aneh... Deryl juga tinggal satu rumah sama Hatalla." Beberapa kali Ibu Ainur berhenti berucap, sepertinya dia butuh mengambil dan membuang napas perlahan.

Oke, jadi Ibu Ainur berpikir kalau Hatalla punya hubungan dengan Deryl sementara yang punya hubungan dengan anaknya adalah aku?

What kind of funny situation is this?

"Saya sebenarnya nggak mau mikir begitu, tapi kalau dilihat lagi baik-baik... Mereka berdua itu cocok juga."

HAH?

ASTAGA, Hatalla harus dengar semuanya!

Ibu Ainur langsung menggelengkan kepalanya, "Bapak bilang kalau Ibu suka ngaco, tapi namanya insting, ya... Memang insting saya suka salah, tapi, 'kan, tetep aja Ibu takut kalau misal—"

"Nggak, Bu." Aku buru-buru menggenggam kedua tangan Ibu Ainur sambil menggelengkan kepala. "Saya bisa pastikan 100% kalau apa yang Ibu pikirkan salah." Ada kelegaan besar yang tampak di wajah paruh baya Ibu Ainur.

Lagian, dari mana Ibu Ainur punya ide semacam Hatalla dan Deryl menjalin hubungan rahasia, sih?

Tapi kalau dari alasan yang dibilang Ibu Ainur, mungkin aku bisa memahami kekhawatirannya karena anak laki satu-satunya memutuskan untuk menyuruh asistennya—yang seorang pria—tinggal serumah bersamanya.

Aku awalnya juga terkejut dengan keputusan dari Hatalla itu, tapi ketika tahu alasan dibalik keputusan yang dibuatnya—I think he made the right decision.

"Deryl dulu nggak punya tempat tinggal, Bu. Dia juga kesusahan cari tempat tinggal yang sesuai dengan budgetnya, dan waktu itu kasusnya Bapak Katon lagi ramai juga. Satu-satunya orang yang bisa membantu dan cekatan soal itu cuma Deryl, jadi Pak Hatalla memutuskan untuk menawari Deryl tinggal di rumah beliau," jelasku mengulang kembali cerita yang sempat Hatalla ceritakan dulu kepadaku.

Ibu Ainur mengangguk-angguk sambil mengusap dadanya, merasa lega sekaligus senang karena apa yang dipikirkan dan ia simpan sendirian selama ini terbukti tidak benar.

Setelahnya, kami menghabiskan waktu makan siang dengan membicarakan banyak hal. Mulai dari keseharian Hatalla, pekerjaan, sampai ke keluargaku. Aku cukup terkejut ketika menemukan waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, dengan cepat aku berpamitan ke Ibu Ainur sebelum taxiku datang.

Begitu sampai di kosan, aku bergegas mandi dan berganti pakaian sebelum duduk di atas ranjang dengan iPad di atas pangkuan. Aku harus mengirim jadwal Hatalla—selama aku cuti—ke Rendy dan Deryl, dan setelahnya aku juga harus memeriksa beberapa laporan dari ATU yang dikirimkan langsung oleh Pak Wijaya via email.

Di tengah kegiatanku memeriksa email, satu pop up notifikasi dari laman portal berita yang aku ikuti muncul—menarik seluruh perhatianku sampai membuatku memilih untuk membuka link berita itu daripada melanjutkan tugasku memeriksa email yang dikirimkan Bapak Wijaya.




'The rise of Frederic Simons and Sanders behind the wheel of Wheel Wild in this week's F1 race.'

This week, Frederic Simons celebrated Wheel Wild's return to F1 action as Sanders secured P2 at last week's Monaco event. Frederic Simons, the billionaire behind the big name Wheel Wild, revealed that Sanders and Wheel Wild's success was due to their endless struggle to join the F1 race in Monaco this season.










Aku berdecak, menutup laman artikel dengan cepat dengan perasaan menyesal yang luar biasa besar.

Melihat nama Frederic Simons bertebaran di beberapa artikel seharian ini entah kenapa membawa perasaan sesak luar biasa di dadaku, belum lagi perasaan marah yang berusaha aku pendam ketika menyadari bahwa hidup berjalan se tidak adil ini bagiku dan Mama.

Meski mencoba menenangkan dengan berbagai cara, perasaan sesak dan sedihku—yang terpancing hanya karena satu artikel bodoh yang sengaja aku baca tadi—tidak mau hilang juga sampai aku melihat notifikasi lain muncul di layar iPadku.

Notifikasi siaran langsung di Instagram dari akun Putra, salah satu sahabat Hatalla.

Aku menekan notifikasi yang muncul di layar dengan cepat, berusaha menyingkirkan perasaan nggak nyaman yang aku rasakan sekarang.

Tapi, ketika aku bergabung, siaran langsung Putra juga ikut berakhir.

Napasku terhela kasar, aku baru saja akan menutup laman instagram waktu aku menemukan postingan terbaru Werni di layar iPadku sekarang.

Di foto itu ada Putra, Werni, Yuwa, dan beberapa sahabat Hatalla lainnya termasuk Hatalla berpose sambil berjajar dengan outfit rapi mereka—mengangkat flute champagne—dan tersenyum lebar menatap kamera.

Kalau aku nggak lupa, sore ini memang ada acara soiree yang diadakan keluarga Yuwa di Jakarta dan sudah pasti Hatalla tidak akan melewatkan kesempatan itu untuk bertemu dengan relasi dari keluarga lain di sana.

Mungkin karena perasaanku yang nggak stabil, aku mengambil handphone untuk menghubungi Hatalla.

Untuk sejenak aku melupakan fakta kalau aku dan Hatalla butuh waktu sendiri-sendiri setelah apa yang terjadi pada kami sebelum ini. I needed him now; that's all I knew until I tried to contact him, knowing he was busy just now.

Pikiran logisku entah hilang ke mana sekarang.

"Halo?" Suara di seberang sambungan terdengar ragu, mungkin Hatalla nggak menyangka aku menelponnya sekarang.

Mendadak pandanganku memburam, cengkramanku di handphone juga ikut mengerat. "Kamu di mana?" tanyaku di saat aku tahu benar dia ada di mana sekarang.

"Aku lagi di luar. Soiree di rumah keluarga Yuwa," jawab Hatalla cepat.

Entah aku merasa lega untuk apa... Mungkin salah satunya karena Hatalla nggak mencoba membohongiku, and why would he lie to me anyway? He's not—

Aku mencoba menahan napas dengan harapan supaya isakanku nggak keluar sekarang, "Kamu nggak bisa ke sini? Mampir ke kosan sebentar sekarang?" Oh, jelas aku sedang mencari mati karena aku tahu jawaban semacam apa yang akan keluar dari mulut Hatalla nanti.

"Nanti, ya?" Jelas, itu jawabannya. "Sebentar lagi, aku perlu ngobrol sama—"

I shouldn't be acting this way right now...

Ren, you're pretty pathetic...

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 10.9K 6
THIS BOOK IS NOW A PREVIEW It wasn't the color of his eyes, or how they were hooded and look almost half asleep, everything took on life as long as s...
12.8K 2K 12
"Finding happiness within because that's where true joy lies." Damilola Amarachi Oyelowo is an independent doctor forging a new life for herself in t...
360K 21K 70
[ FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH ] Note : Karakter di cerita ini beragama Nasrani ya 🙏 Salam Toleransi 🙏 CERITA INI BELUM DIREVIS...