Punca Anomali | ZEROBASEONE...

xieshila

1.6K 952 381

Terbangun dengan sebuah fakta bahwa dirinya telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit selama 9 bulan la... Еще

Prologue | Ilusi Kuasi
1 | Realitas Ganjil
2 | Satu Tahun Silam
3 | Reminisensi Lengkara
4 | Disonansi Paradoksal
5 | Ragawi Tak Kasatmata
6 | Marvella
7 | Ekspedisi Tak Bernyawa
8 | Enigma
9 | Asrar & Warita
10 | Potret Persona Juwita
12 | Dejavu
13 | Kompleksitas Satu Waktu
14 | Praduga Tak Berakar
15 | Aksioma
16 | Tinggal dan Menetap
17 | Momentum Garib
18 | Tabir Ilusi Gael
19 | Tabir Ilusi Gustav
20 | Tabir Ilusi Rojiv
21 | Tabir Ilusi Tristan
22 | Mahendra, Zavier, dan Harris
23 | Tabir Ilusi Jehan
Epilogue | Delapan

11 | Elusif

60 34 18
xieshila

Dering ponsel yang menggetarkan meja belajar, diam-diam berhasil mencuri konsentrasiku untuk berpaling sejenak dari rentetan kata-kata yang tersusun rapi membentuk narasi ilmiah pada laman Microsoft Office. Rupanya, ada panggilan masuk dari adik tingkat yang berhasil menyeretku ke dalam siasat licik untuk mengikuti kegiatan UKM Palet Warna beberapa hari lalu, agar memperoleh sangon bertahan hidup bagi anak rantau. Siapa lagi kalau bukan Suteja?

"Wassup!" sapa Suteja di seberang sana begitu antusias.

Aku menghela napas panjang. "Langsung to the point aja, Ja. Aku lagi sibuk revisi skripsi."

"Prei sek¹⁶," ejek Suteja diselingi dengan tawanya yang menggelegar. "Perasaan sekarang lagi weekend, sek iyo ae skripsian! Jomblo, Bos?"

"Biar cepet lulus, Ja. Aku udah ketinggalan jauh gara-gara ambil cuti dua semester karena kecelakaan," sahutku yang diapresiasi Suteja dengan sebuah siulan. Menyadari bahwa pembicaraan mulai menyentuh ranah lain, aku pun menuntun Suteja untuk kembali ke topik. "Tumben banget telepon aku, Ja. Ada apa?"

"Mau bahas perihal lukisanmu, Kak," jawab Suteja yang ternyata sesuai dengan pradugaku. "Lukisanmu kemarin dilelang dan ada peminat karya seni yang memberikan tawaran uang sebesar 23 juta."

"Oh, terus?"

Mendengar responsku yang sekenanya, membuat Suteja berdecak kesal di telepon. "Kak Marvel setuju nggak kalau semisal lukisan kakak dijual dengan harga segitu? Kalau semisal nggak, lukisannya bakalan aku kirim ke alamat indekosmu."

Kalimat terakhir yang terucap dari mulut Suteja, seolah-olah mengingatkanku pada sebuah program radio beken pada masanya yang disiarkan oleh Radio Andalus FM, yaitu Kisah Seram Malam Jum'at atau dikenal akrab oleh pendengarnya dengan sebutan KERAMAT. Salah satu siaran radio Indonesia yang membuatku skeptis dan acapkali tertawa remeh karena cerita-cerita mistis yang tidak logis ketika didengarkan. Sayangnya, karmaku tiba begitu cepat. Tanpa aba-aba atau persiapan, aku diizinkan untuk melihat keberadaan entitas lain begitu saja dengan sepasang mataku tanpa perantara. Walaupun aku memiliki penglihatan tersebut hanya sekejap, tapi sensasi akan bulu kudukku yang gemar meremang karena kehadiran ragam makhluk tak kasatmata, sama sekali tidak bisa aku singkirkan dari memori kepalaku. Termasuk pertemuanku dengan Marvella, begitu singkat dan berlalu cepat.

"Halo halo, tes? Kak Marvel ora turu, kan?"

"Enggak," jawabku buru-buru. "Sorry, Ja, tadi aku sempat melamun sebentar buat mikir. Perihal lukisan yang aku buat, apa harganya nggak terlalu berlebihan? Aku cuman desainer biasa, bukan seorang maestro. Kamu tau itu, kan, Ja?"

"Kalau dibilang berlebihan juga sebenarnya nggak juga, Kak. Lukisanmu memang bagus, bahkan sampai diakui oleh peminat karya seni dan karyamu mau dibeli. Berarti memang layak, kan, karyamu diberi harga segitu?"

Aku berdeham. "Masa, sih, Ja? Itu pujian pure tulus, kan? Bukan sarkas?"

Suteja berdecak kesal. "Sarkas gundulmu! Malahan yang ada sekarang harusnya aku tanya sama kamu, Kak. Sebenarnya kamu bilang gak bisa lukis waktu itu cuman sekedar alibi buat menolak secara harus biar nggak join UKM Palet Warna, kan?!"

"Demi Tuhan, aku beneran nggak terlalu bisa sama yang berbau gambar-gambar manual gitu. Ilustrasi bisa cuman basic aja, bukan yang aneh-aneh. Kamu, kan, juga tau sendiri kalau minatku lebih ke arah fotografi ketimbang jadi ilustrator."

"Iya, juga, ya?" Kini giliran Suteja yang merasa bingung. "Tapi kenapa lukisan manual dari tangan amatir bisa sebagus itu? Kamu bukannya lagi kesurupan dedemit atau apa, kan, Kak?"

Buru-buru saja aku menyela ucapannya. "Kalau ngoceh filter dulu, Ja! Suka banget sembarangan kalau ngomong!"

"Ya, habisnya pro banget. Kali aja gitu cari wangsit ke dukun mana, bisa bagi tau barangkali someday aku butuh."

"Nggak dulu, makasih. Walaupun ibadah suka bolong-bolong, tapi aku masih berpegang teguh sama sila pertama Pancasila."

"Yee, dasar!"

"Oh, iya, Ja ... perihal lukisan, bukannya aku jadi sukarelawan, ya? Jadi karya yang aku buat pasti bakal didonasikan, tapi kenapa masih tanya-tanya lagi ke aku?"

"Alasannya cuman satu, lukisanmu terlalu indah untuk diperjual-belikan biasa dan haram hukumnya menyamaratakan harga sama seperti karya-karya yang lain. Jadi berdasarkan kesepakatan bersama dari panitia UKM Palet Warna, harus memastikan dulu ke pengkarya, beneran karyanya mau diserahkan secara sukarelawan untuk didonasikan atau dikembalikan saja. Jadinya fix lepas 23 juta, kan?"

Aku menyetujuinya. "Ya."

"Atau mau bagi rata hasil? Kalau, iya, silakan karena memang itu hak pengkarya."

"Nggak usah, Ja. Donasikan aja semuanya untuk saudara-saudara setanah air yang membutuhkan uluran tangan kita."

"Ok, deal! Thank you so much, ya, Kak Marvel! Semoga rejekinya nanti digantikan jauh lebih berlimpah sama Tuhan. Amiiin!"

Aku mengamini doa tulus tersebut dalam hati lalu bercengkerama sejenak dengan Suteja membahas lelucon. Saat panggilan akan diakhiri, kudengar namaku dipanggil oleh Suteja.

"Kak."

"Masih ada yang mau diomongin lagi, Ja?" tanyaku berusaha mencerna keraguan yang tersirat dari nada bicaranya.

"Kak Marvel masih tinggal di indekos Kaanan Mandar, kan?"

"Iya. Kenapa, Ja?"

"Berarti masih satu indekos sama Gael?"

"Iya, masih, kok. Kenapa emangnya, Ja?" Jiwa penasaranku begitu bergejolak. "Tumben tanya-tanya perkara Gael? Lagi berantem kalian berdua?"

"Boro-boro berantem, orang si Gael tiba-tiba ngilang nggak ada kabar! Dikirim pesan nggak bales, di telepon juga nggak diangkat. Sumpah njir effort-ku buat kontakan sama Gael udah kayak korban ghosting!"

Kali ini, aku yang tertawa mendengar omelan Suteja mode tantrum. Dilihat dari ritme bicara Suteja yang menggebu-gebu hingga terdengar seperti dukun yang sedang komat-kamit membacakan mantra gaib, sepertinya ia dan Gael sudah tidak berinteraksi dalam jangka waktu panjang.

Pikirku hanya satu, Apa bisa dua makhluk yang doyan tantrum hampir setiap saat itu bisa nggak berkomunikasi hingga berbulan-bulan lamanya tanpa suatu alasan? Jika terjadi perselisihan perihal crush yang ditaksir, memang masuk akal. Mengingat baik Suteja atau Gael sama-sama menyukai satu orang yang sama dan rumornya yang mereka taksir, Suri, naksir berat sama Gael. Masa sedangkal itu pertemanan mereka pegat cuman perkara wanita?

Di sela-sela asyiknya pembicaraanku dengan Suteja, samar-samar runguku yang lain menangkap adanya suara langkah orang mondar-mandir di depan pintu kamarku layaknya orang yang sedang kebingungan. Atensiku langsung beralih dari layar laptop yang menghitam karena mode sleep, ke arah pintu. Sekon ke depan, suara langkah itu berhenti, disusul dengan suara ketukan pintu kamar yang berima sebanyak tiga kali. Lewat peep hole, aku melihat seorang laki-laki tengah yang menjadi topik panas dalam perbincanganku dengan bocah tantrum lewat telepon, berdiri di depan sana sambil melambaikan tangan.

"Bentar, ya, Ja," ucapku memotong pembicaraan Suteja yang lagi asyik-asyiknya membahas wanita idaman.

Tanpa menutup panggilan, aku meraih gagang pintu dan membukanya dengan tempo lambat. Seperti biasa, laki-laki yang berdiri di hadapanku dengan setelan santai berupa kaos oblong dan boxer komprang favoritnya, sedang cengar-cengir layaknya orang bodoh sambil mengayun-ayunkan plastik bening berisi kue kembang goyang.

"Tau aja situ kalau aku lagi ngidam kembang goyang. Thanks, buat oleh-olehnya, ya, Vel! Lain kali kalau balik dari pulang kampung lagi, bisa kali bawain kue sagon, kue akar kelapa, kue geplak bakar, atau nggak kue biji ketapang!" ucapnya sambil mengunyah kue kembang goyang begitu rakus.

Melihat tingkah lakunya yang konyol dan selalu antusias layaknya anak kecil, membuatku yakin bahwa laki-laki yang berdiri di hadapanku saat ini adalah teman sejawat yang aku kenal, Gavriel, atau biasa disapa akrab dengan Gael.

"Aduh!" Rintih Gael ketika kepala bagian belakangnya dipukul oleh pemuda lain yang tiba-tiba muncul dari balik badannya dan mengambil alih plastik berisi kue kering tersebut. "Pancen Gustav asu!"

Kata mutiara yang lolos dari mulut Gael malah membuat pemuda berbadan bongsor dengan setelan santai sepertinya tersebut bersiul merdu. Selanjutnya, perang dunia kedua perebutan kue kembang goyang antara Gael si bocah tantrum dan Gustav si tukang usil terjadi. Mereka berdua berlari ke sana kemari mengitari meja bundar.

"Lain kali, ya? Memangnya kalau udah kembali, ada kata lain kali?"

Gael yang setia dengan sumpah serapahnya menyebut nama hewan-hewan karena Gustav yang begitu lihai dalam meloloskan diri, lantas terdiam ketika mendengar celetuk seseorang di sela-sela aktivitasnya yang asyik menciptakan melodi ringan lewat dawai gitar yang dipetik satu per satu. Atensiku langsung tertuju pada laki-laki yang tengah duduk bersantai di anak tangga sambil mengamati kami bertiga secara bergantian. Gael buru-buru menyumpal mulut pria tersebut dengan kue kembang goyang dan membuatnya terbatuk-batuk seketika.

"Ya, begini ini kalau bangun kesiangan gara-gara amer semalam, suka ngoceh sembarangan!" gerutu Gael. "Mending mandi dulu, gih, Tris. Baumu pesing pol njiir! Jangan bilang situ ngompol, ya?!"

Pria bernama Tristan tersebut langsung mengecek bau tubuhnya sendiri. Namun, apa yang dikatakan Gael adalah sebuah kebohongan yang membuatnya melotot dan berakhir dengan mengejar tukang bual tersebut sambil mengayun-ayunkan gitar kesayangannya di udara. Melihat tiga laki-laki yang kadar kegilaannya satu frekuensi seperti ini, benar-benar membuatku yakin seratus persen bahwa mereka adalah teman sejawatku yang sudah kembali ke dalam mode normal.

Suara derit panjang yang berasal dari pintu utama yang dibuka, membuatku berpaling. Di ambang pintu, kulihat seorang pria dengan setelan ala-ala maid lengkap dengan sapu dan cikrak sedang melayangkan tatapan tajam.

"Bisa-bisanya kalian bertiga malah santai sedangkan yang lain pada gotong royong beres-beres indekos! Gael, Gustav, Tristan, ke luar atau sapu melayang?!"

"Ampuuun!" sahut Gael sambil berlalu ke luar dengan setengah lari. Di belakangnya, Gustav dan Tristan mengikuti Gael layaknya anak domba yang mengikuti induknya.

"Mahen," sapaku yang membuat pria berdiri di ambang pintu tersebut berpaling ke arahku. "Apa kabar?"

Pertanyaanku disambut hangat dengan senyum yang menghias bibirnya. "Ya, begitu-begitu aja, Vel. Nggak ada yang berubah."

Melihat kondisinya yang senantiasa mengomeli teman-teman lain, aku rasa Mahendra baik-baik saja. Mengetahui bahwa sekitar terasa sepi karena yang lain sibuk beraktivitas di luar sana, aku pun menawarkan diri. "Ada yang bisa aku bantu buat beres-beres nggak, Hen?"

Mahendra terdiam sesaat, raut wajahnya terlihat sedang berpikir lalu kembali menatapku. "Berhubung cat tembok indekos udah luntur, kayaknua perlu dicat ulang, Vel. Bisa minta tolong buat cek persediaan cat ke gudang? Waktu itu bu indekos bilang taruh kaleng-kaleng cat di sana."

Aku mengangguk mengerti. "Ok."

"Nggak keberatan, kan, Vel?"

Buru-buru saja aku menggeleng. "Nggak, kok! Kalau gitu aku ke gudang dulu."

Setelah itu, kedua tungkaiku bergerak menuju gudang yang ada di halaman belakang. Berhubung gudang indekos ini berada di basement, sirkulasi udara sekitar terasa lembap dan pengap. Bunyi gemeretak menyambut kala satu per satu kakiku menuruni anak tangga kayu yang terlihat mulai lapuk dimakan usia. Begitu saklar dinyalakan, sinar remang-remang lampu neon yang menyala itu menciptakan setiap sudut menjadi bayangan misterius. Bisa kulihat dinding sekitar yang terbuat dari semen mulai terlihat retak. Bahkan di sela-sela jendela yang terbuat dari kayu, mulai menciptakan melodi lirih dan mistis lewat sepoi-sepoi angin.

Merasa atmosfer sekitar tidak lagi bersahabat, buru-buru saja aku menghampiri tumpukan kaleng cat yang ada di sudut ruang bawah tanah. Kuperhatikan satu per satu warna apa yang tertera pada label. Saat memilahnya, tanpa sengaja tanganku menyenggol susunan kaleng yang berakhir membuat cat berwarna merah tumpah dan menyelimuti tanah dengan pekatnya yang merona. Melihat sepasang kaki yang hanya beralaskan sandal japit terendam di dalam cat merah, membuatku tidak nyaman dan bergegas pergi meninggalkan ruangan. Langkah yang terburu-buru membuat kakiku tersandung dan berakhir dengan tubuhku terjerambap ke dalam tumpahan cat yang mulai menggenang.

"Ah, sial!" umpatku kesal sambil mengusap wajah yang seluruhnya juga memerah karena cat.

Saat tanganku berusaha meraih sesuatu untuk menjadi pegangan, tanpa sengaja malah menarik sebuah benda yang terbuat dari kayu tersebut jatuh. Walaupun benda kayu tersebut tertutup oleh cat, tapi aku bisa mengetahui bentuknya menyerupai papan permainan. Tanganku mengusap ukiran kasar pada sisi pinggirnya.

"Hantupoli?"

Say hello to Gael!

Say hello to Gustav!

Say hello to Tristan!

Say hello to Mahendra!

Catatan Kaki:
¹⁶Libur dulu

Продолжить чтение

Вам также понравится

77.4K 17.2K 22
Keita menggantikan Gunho untuk bernapas menggunakan paru-parunya. Dia kemudian menyadari, tubuh itu--penuh dengan penyesalan.
THE BLOCKADE (TERBIT) Partikel__Atom

Детектив / Триллер

712K 62.6K 45
Diterbitkan oleh Penerbit LovRinz (Pemesanan di Shopee Penerbit.LovRinzOfficial) *** "Jangan percaya kepada siapa pun. Semua bisa membahayakan nyawam...
Behind The Story manggo_ONA

Подростковая литература

23.1K 2.8K 56
WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA "Setidaknya salah satu dari kita harus bahagia" Tidak ada manusia yang tidak menginginkan bahagia yang sempurna. Rumah...
48K 9.3K 30
❝Aku memiliki satu permintaan, hanya satu saja. Itu sederhana. Bahagia meski hanya sementara.❞ Kisah singkat tentang Sean Raka Putra. Laki-laki malan...