Fight for My Fate [TAMAT]

By Lulathana

725K 18.4K 1K

Sejak kecil Milka sudah bertunangan dengan Hema. Bisa dibilang seluruh hidup Milka hanya didedikasikan untuk... More

RE-POST
Prolog
2. Failure
3. Just a Doll
4. Different Lines
5. Threat
6. Are You Okay?
7. Chaotic
8. How?
9. Tears
10. Your Orders
11. Uncovered

1. Perfect Girl

36.5K 1.8K 93
By Lulathana

"Sempurna" jawaban yang akan orang-orang berikan seandainya mereka dipinta untuk mendeskripsikan Milka Sashikiran. Cerdas, cantik, kaya, berkelas. Paket lengkap yang didamba semua perempuan di mana pun.

Meskipun semua paham tak ada yang sempurna di dunia ini, mereka menyebut begitu karena Milka tak terkalahkan, dia lebih unggul dari siapa pun.
Apalagi dia juga merupakan tunangan dari Hema Lingga Danuarta. Ningrat yang tak perlu diragukan lagi eksistensinya.

Secara singkat, mereka menyebut Milka sangat beruntung.

Milka membereskan buku-buku yang selesai ia baca, menyusun kembali pada rak sesuai kategori dan abjadnya. Sebentar lagi bel akan berbunyi, ia pun memutuskan untuk pergi ke kelasnya. Memang salah satu hobinya adalah datang lebih pagi lalu menghabiskan waktu dulu di perpustakaan. Tentu, bukan tanpa usaha ia berada di peringkat satu selama ini. Milka sendiri adalah orang yang tidak percaya akan sesuatu yang disebut keberuntungan. Semua terjadi adalah hasil dari usaha. Tidak ada hal yang didapat secara cuma-cuma.

"Pagi Kak Milka," sapa seorang siswi yang tak sengaja berpapasan di koridor.
Milka tersenyum tipis lalu gadis yang barusan menyapanya itu terlihat menahan teriakkan penuh senang. Seperti penggemar yang mendapat timbal balik dari idolanya. Tak hanya menjadi idaman para pria, Milka ini juga menjadi idola para perempuan, khususnya siswi-siswi yang bersekolah di sini. Banyak yang menjadikan Milke sebagai role mode-nya.

"Milka, cantik banget hari ini."

Contoh ringan dari pujian-pujian yang ditujukan untuknya. Milka sudah tidak aneh lagi. Bahkan bisa dibilang terdengar tidak berarti lagi di telinganya. Karena hampir di setiap langkahnya, ia selalu mendapatkan itu.

"Eu ... Milka ...."

Milka menghentikan langkahnya, seorang gadis kini berdiri di hadapannya dengan wajah yang begitu ceria. Mata bulat dengan senyum menawan. Aura positifnya terlihat begitu memancar. Tipikal gadis yang menyenangkan.

"Melody buatin ini buat Milka." Gadis itu menyodorkan sebuah kotak yang dibawanya. "Makasih waktu itu Milka udah nolongin Melody dari Gladys. Berkat Milka sekarang Gladys nggak bully Melody lagi."

Milka tersenyum tipis. "Bukan masalah." Ia menerima kotak itu. Kotak berisi cookies sederhana buatan tangan. Bentuknya belum terlalu sempurna, tapi siapa pun bisa melihat jika itu dibuat penuh dengan perjuangan. Perlu diapresiasi meski rasanya belum seberapa

"Eu ... Melody boleh 'kan jadi salah satu fans Milka?" tanya gadis itu hati-hati. Alisnya sedikit turun dengan bibir yang digigit karena gugup.

"Fans?"

"Iya, soalnya Milka hebat. Melody jadi suka sama Milka," jelasnya dengan mata yang berubah berbinar secara instan. Dia berubah ekspresi dengan begitu mudahnya, kepribadian yang ... polos(?)

"Terserah kamu," jawab Milka tanpa berpikir panjang.

Iya,

"Terserah kamu."

Rasanya baru kemarin Milka mengatakan itu. Baru kemarin gadis sederhana dengan watak ceria itu berbicara padanya. Baru kemarin dia menatap kagum padanya.
Namun, kini dunia Milka seperti dijungkir balikan dengan begitu sempurna hingga di titik paling rendahnya.

Sepuluh langkah di depannya gadis miskin itu tengah tersenyum senang, tertawa hangat dengan tangan Hema yang mengusap puncak kepalanya.

Benar, Hema Lingga Danuarta, orang yang merupakan tunangannya. Pria yang akan menjadi pasangannya di masa depan.
Mereka terlihat bercanda, melempar lelucon dan saling tertawa. Yang mana selama 10 tahun mengenalnya, Hema selalu berbicara dengan garis batas formal yang jelas terhadapnya.

Bohong jika Milka berkata harga dirinya tidak terlukai. Sebagai orang yang selalu dipandang bak tuan puteri, ini tentu sebuah penghinaan besar.

Namun, tentu ia tak akan menunjukkan itu. Dagunya tetap terangkat, langkahnya tetap terayun dengan anggun.

Satu langkah.

"Eh Hema deket ya sama si anak beasiswa itu, namanya Melody kalau nggak salah."

Dua langkah.

"Bukannya Hema itu tunangan Milka?"

Tiga Langkah.

"Bagi orang kaya, tunangan itu 'kan cuma soal bisnis. Hema mungkin sebenernya nggak suka sama Milka."

Empat langkah.

"Padahal Milka itu cantik banget. Bener ya, cantik itu nggak menjamin. Kalo dipikir-pikir selama ini mereka juga nggak keliatan deket."

Lima langkah.

"Tapi masa sih Hema nggak tertarik sama Milka? Atau sebenarnya Milka nggak sesempurna yang kita lihat?"

Enam langkah.

"Bener juga. Mungkin Milka terlalu kaku. Liat nggak sih selama ini dia bisanya cuma senyum tipis aja. Nggak banyak ngomong sama orang. Kayak manekin aja."

Tujuh langkah.

"Gue juga meskipun cantik, kalo manekin sih ogah haha...."

Delapan langkah.

"Setelah dipikir-pikir, Milka selama ini jatuhnya songong nggak sih? Irit banget bicara sama orang biasa. Kayak mempertegas kalau dia ada di kasta yang tinggi, beda sama kita."

Sembilan langkah.

"Gue setuju Hema sama Melody. Melody 'kan supel banget, ramah. Seenggaknya nanti penerus Danuarta ada warnanya. Btw dalam kisah Lady Diana, gue juga milih Camila-nya sih."

Sepuluh langkah.

"Hema ih, kamu jail banget sih...."

Sebelas langkah.

Milka hanya melewati dua manusia yang mengenalkan Milka pada hal yang disebut kegagalan.

oOo


Milka menatap jam tangannya kemudian beralih pada kelipan lampu di luar sana. Matanya berkelana bebas, karena sebelah dinding dari restoran ini merupakan kaca. Keberadaannya di lantai atas juga membuat jalanan yang dipadati kendaraan itu terlihat indah. Sedikit menenangkan.

Milka menopang dagunya. Jemarinya yang lain mengetuk-ngetuk meja menggerus rasa bosan yang melanda. Hampir 45 menit, Milka duduk dengan hanya ditemani setangkai mawar di tengah meja. Beberapa kali pelayan menghampiri apakah dia sudah mau memesan, beberapa kali juga ia menolak dengan halus karena kedatangannya bukan untuk makan seorang sendiri.

"Sorry, aku telat."

Milka melihat bayangan jangkung itu di pantulan samar dinding kaca. Ia pun melepas topangan dagunya, duduk tegak, lalu menatap Hema yang kini sudah beralih duduk di hadapannya.

Tidak seperti Milka yang memakai gaun bermotif tartan dengan rambut yang ditata cantik, Hema masih memakai seragam sekolahnya dengan keseluruhan kancing terbuka dan menampakkan kaus hitam yang dipakainya. Rambutnya juga terlihat berantakan, tapi dia tetap terlihat tak peduli padahal restoran yang mereka tempati mengantongi kelas estetika yang tinggi.

Milka terdiam. Ini memang makan malam yang diatur secara statis antara Milka dan Hema. Katakanlah sebuah formalitas karena statusnya yang bertunangan. Namun, ini pertama kalinya Hema hadir dengan pakaian yang tidak tepat. Tentu, Milka juga tak masalah Hema berpakaian casual, karena beberapa kali pria itu juga melakukannya. Tapi seragam sekolah? Malam-malam begini?
Itu menunjukkan bahwa Hema tidak berniat melakukan pertemuan yang hanya sebulan sekali ini.

Milka teralihkan sejenak ketika pelayan menghampirinya. Ia menyebutkan apa yang ia inginkan meski sebenarnya nafsu untuk memakannya sudah lenyap entah ke mana. Pelayan itu kembali pergi setelah menunduk sopan.

"Belum pulang?" tanya Milka memulai percakapan.

"Iya," jawab Hema seraya membuka ponselnya. Ia terlihat mengetikkan sesuatu kemudian tersenyum.
Selain saat ada keluarga, Hema tak pernah melakukan hal itu di hadapan Milka. Terkhusus untuk dirinya secara langsung.

Milka memutuskan untuk kembali menoleh pada jendela kaca. Meski tujuannya bukan kelap-kelip lampu lagi.

"Habis jalan sama Melody?"

Milka bisa melihat bayangan Hema yang mendongak dengan gestur sedikit kaget. Di bawah sana tangan Milka sedikit meremas gaun yang ia pakai. Meskipun begitu ekspresinya tetap dia jaga. Tenang dan anggun, sebagaimana yang diajarkan di kelas character building yang ia ikuti sejak usia 5 tahun.

"Seenggaknya jangan bikin orang kamu kasih laporan ke aku."

Milka kembali menatap Hema. Netra karamelnya bertemu dengan netra hitam itu. Si kelam yang sampai sekarang tak pernah bisa berhasil Milka baca. Hema itu karakter yang kuat, dia seperti punya temboknya sendiri untuk orang lain bisa mengetahui apa yang ada dalam dirinya. Meski sudah bertahun-tahun mengenal, Hema tak mengizinkannya untuk mengetahui lebih, selain si cuek dan si jago memainkan formalitas.

"Bisa?" sambung Milka.

Hema hanya kembali beralih pada ponselnya. Hingga makanan tiba, mereka melakukan makan malam dengan makna seutuhnya. Tidak ada obrolan atau interaksi. Mereka sibuk dengan makanan masing-masing.

Melody. Padahal dulu Milka merasa baik-baik saja dengan posisi seperti ini. Padahal dulu Milka tak merasa masalah hanya duduk dan tanpa bicara seperti ini. Namun, setelah melihat interaksi gadis itu dengan Hema tadi, Milka sadar jika bukan watak Hema yang selama ini ia maklumi.

oOo

Mobil yang dikendarai Hema memasuki pekarangan rumah Milka. Cahaya lampunya meredup beriring mesinnya yang dimatikan. Milka datang dengan diantar sopir, namun tentu Hema bukan makhluk tanpa ajar yang membiarkan Milka pulang sendirian.
Milka terdiam menunggu, hingga begitu detik berganti kian banyak, Hema tetap duduk dengan tangan yang masih berada di atas kemudi. Sama sekali tak ada tanda dia mau turun dan membukakan pintu untuk Milka.

Bagian dalam hati Milka mencelos. Bibirnya tersenyum sinis. Biasanya Hema melakukan itu meski hanya untuk sekedar terlihat manis di depan keluarga.

Dengan ego yang lagi-lagi terlukai, Milka turun sendiri dari mobil lalu melangkah menuju rumahnya tanpa kata.
Di depan sana Papa dan Mama menunggu di ambang pintu. Milka menundukkan pandangannya, mengamati ujung kakinya yang bergerak semakin lesu.

Milka terkaget begitu seseorang menyentuh tangannya. Dengan refleks ia menarik tangannya hingga berkesan seolah menepis orang itu.
Hema, dia orang yang mengejutkan Milka itu.

"Tas kamu ketinggalan."

Milka menerima tas yang Hema sodorkan. "Makasih."

Hema menatapnya datar sebelum mendekat  ke sisi kiri wajah Milka. Hanya sekitar satu centi saja, Hema berhenti. Meskipun begitu siapa pun yang melihat akan mengira Hema mengecup pipi Milka. Milka diam-diam melirik ke arah pintu. Kedua orang tuanya pun terlihat masuk ke dalam.

Hema menarik lagi dirinya. "Good night."

Milka mengangguk kemudian berjalan ke arah pintu rumahnya.

Oh iya, yang barusan itu salah satu formalitas yang biasa mereka lakukan saat terlihat orang tua dari kedua belah pihak.

oOo

Continue Reading

You'll Also Like

54.3K 3.6K 69
Raja dan Kaisar itu saudara sekandung yang hanya terpaut satu tahun. Keduanya berparas tampan tapi memiliki sifat yang saling bertolak belakang. Tabi...
888K 66.3K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
1.4K 66 34
⚠️Harap Follow Sebelum Membaca Yaww. Kisah yang berawal dari dua anak kecil yang tidak saling mengenal, namun mampu menyatukan mereka. Ketika dihadap...
57K 6.2K 35
Pertama kali publish : 24 April 2020 [PRIVATE ACAK] . Masuk ke sekolah barunya di Igleas High School, salah satu sekolah terfavorit di New York, Amer...