Menunggu

Von Ami_Shin

31K 4.6K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... Mehr

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog

Part 19

1K 161 23
Von Ami_Shin

Bangun dengan kepala berdenyut sakit serta tidak bisa membuka mata karena pandangannya seperti sedang berputar-putar, Alma butuh beberapa saat agar bisa duduk dengan normal.

                Dia memegangi kepala, melenguh pelan karena sakit kepala.

                Di tengah usahanya untuk membuka mata, Alma merasa ranjang sedikit bergoyang. Lalu samar-samar dia menemukan wajah Indra yang menyengir jail. "Good morning, sleepyhead."

                Alma masih memegangi kepala, ingin mengatakan sesuatu tapi suaranya seperti tertahan di tenggorokan.

                Indra terkekeh, kemudian menyerahkan segelas air yang Alma terima dan langsung dia teguk isinya hingga abis. "Thanks." Ucap Alma pelan. "Ngomong-ngomong, ngapain lo di kamar gue?"

                Indra mengulum senyum. "Ini bukan kamar lo."

                Alma mengernyit, kemudian menatap sekitarnya. Matanya sontak melotot sempurna. "Anjing! Gue di mana nih?!" pekik Alma hingga membuat kepalanya berdenyut sakit.

                Indra mendengus, dia seperti baru saja menemukan teman ONS yang saat bercinta dengannya setengah mabuk kemudian saat sadar berubah menjadi histeris.

                "Kita di hotel. Tadi malam lo mabuk, gue nggak tahu alamat rumah lo, makanya gue bawa ke sini."

                Alma menatap sangsi dan Indra ingin sekali mencekik gadis menyebalkan itu. "Sori, ya, Al, gue nggak suka ML sama cewek yang lagi patah hati."

                Tadinya Indra hanya mau bercanda, tapi melihat perubahan di wajah Alma, dia meringis pelan.

                Alma kembali teringat tentang kejadian tadi malam sebelum dia pergi ke kelab. Arka dan Elena. Dua nama itu kembali memenuhi kepala Alma dan membuat dia merasakan kesedihan itu lagi. "Gue nggak patah hati." Cetus Alma. Dia menyibak selimut, hendak pergi, tapi Indra menggumam kan sesuatu yang membuat Alma menatapnya marah.

                "Lo cinta sama Arka."

                "Nggak usah sok tahu!"

                Indra tersenyum miring. "Lo sendiri yang bilang tadi malam." Alma mendengus dan Indra terpaksa menyebut satu nama. "Lo cemburu sama Elena, kan."

                Tadinya Alma pikir Indra hanya membual. Tapi jika Indra bisa menyebut nama Elena, itu berarti tadi malam mulut sialan Alma sudah membongkar habis seluruh rahasianya.

                Alma berusaha mengabaikan, dia mencari di mana tasnya berada. Hendak segera pergi.

                "Jatuh cinta sama sahabat sendiri itu tolol namanya." Indra terus saja berkomentar. "Apa lagi sama sahabat lo yang udah punya pacar. Cari mata sih lo, Al."

                "Bisa diam nggak?!" teriak Alma. Bukan teriakan kesal, melainkan murka.

                Indra sama sekali tidak takut dengan teriakan itu. Masih tetap duduk di atas ranjang, dia menatap Alma dengan kilat asing di matanya. "Lupain Arka."

                Napas Alma tersengal menahan amarah. "Tutup mulut lo, sebelum  gue—"

                "Dia punya pacar, Al. Cewek yang dia suka bukan lo."

                Dengan tubuh gemetar, Alma mengepal kedua tangannya.

                "Dan jangan pernah menyalahkan Arka atas rasa patah hati lo."

                Alma melangkah cepat, menghampiri Indra lalu melayangkan sebuah tamparan di pipi lelaki itu. "Lo nggak tahu apa-apa. Jadi, tutup mulut lo!"

                Indra terkekeh parau, wajahnya sama sekali tidak terlihat bersalah. "Gue tahu semuanya. Semuanya, Al. Gue dengar apa yang lo bilang tadi malam."

                Alma ingin sekali memukul wajahnya sendiri karena sudah mengatakan hal yang tidak perlu di hadapan Indra.

                "Arka nggak salah. Dia cuma jatuh cinta sama seseorang, wajar kalau dia menyayangi cewek lain selain lo. Lagian, dari awal, Arka bukan milik siapa-siapa. Lo nggak lupa, kan, kalau kalian berdua cuma bersahabat?" suara Indra berubah tajam, membuat Alma kehilangan kata-kata dan keberanian.

                Tapi demi mengais sisa harga dirinya, Alma mendengus kasar. "Lo nggak tahu apa-apa, sialan!"

                Alma hendak pergi, tapi Indra menahan pergelangan tangannya sembari berdiri. Saat Alma menatapnya lagi, dengan tatapan tajam Indra mendesis tajam. "Gue tahu, Al. Gue tahu gimana rasanya menyukai seseorang yang nggak boleh lo sukai." Indra mengeratkan cengkeraman. "Dia ada di dekat gue, bisa gue jangkau dengan mudah, tapi gue... nggak pernah bisa menyentuhnya. Nggak akan pernah bisa."

                "Itu bukan urusan gue." cibir Alma ketus.

                Indra tersenyum patah. Kemudian cengkeramannya terlepas dan dia membiarkan Alma beranjak pergi begitu saja.

                Selesai memakai sepatunya, saat hendak keluar dari kamar, Alma mendengar Indra menggumam.

                "Jangan merusak persahabatan yang lo miliki selama puluhan tahun ini dengan Arka cuma karena perasaan lo, Al. Kalau lo sayang, cukup jaga dia dan berusaha bahagia saat dia bahagia walaupun kenyataannya lo tersiksa. Kaya yang gue lakukan selama ini ke elo."

                Dahi Alma mengernyit hebat. Apa maksudnya? Mengapa Indra tiba-tiba berkata seperti itu? Apa mungkin...

                Alma meneguk ludahnya susah payah. Tapi dia tidak berani untuk menoleh. Dan pada akhirnya, Alma tetap melanjutkan langkahnya, meninggalkan Indra seorang diri dengan rasa hampa yang menyelimuti.

***

Kalau ada yang bertanya pada Alma, kapan hari tersial dalam hidupnya, maka Alma akan menyebut hari ini sebagai jawaban.

                Dia baru saja patah hati, terkejut luar biasa saat tahu kalau semalaman ini dia tidur di kamar hotel, lalu setelahnya bertengkar dengan Indra.

                Oh, tidak cuma itu. Alma lagi-lagi harus dipusingkan dengan rasa bingung setelah mendengar perkataan Indra sebelum dia pergi.

                Apa-apaan itu! Kenapa Indra bicara omong kosong seperti itu. Demi Tuhan, Alma sama sekali tidak percaya kalau Indra menyukainya.

                Alma tahu mereka dekat, tapi kedekatan mereka hanya sebatas teman. Bahkan Alma sering kali menganiaya Indra selama ini dengan sikap semena-mena yang dia miliki. Jadi, bagaimana bisa Indra menyukainya.

                "Udah sampai, Mbak."

                Teguran dari supir taksi yang mengantar Alma pulang menyentak dia dari lamunan. Alma membayar ongkos taksi, berterima kasih sebelum turun kemudian memandangi rumahnya dengan perasaan gelisah.

                Oke, mari lupakan Indra dan Arka, karena saat ini ada masalah yang lebih harus Alma hadapi.

                Alma mengendus-endus tubuhnya, berusaha meyakinkan diri kalau tidak ada bau alkohol yang tercium. Tapi percuma, bahkan Alma sendiri mengernyit risih menghirup aroma tubuhnya yang bercampur alkohol. Menarik napas panjang, Alma masuk ke dalam rumah dengan langkah teramat pelan, berusaha tidak mengeluarkan suara apa pun. Matanya menelisik ke setiap sudut rumah. Sepi, pikir Alma.

                Dia menghembuskan napas lega. Sepertinya tidak ada orang di rumah, dan itu bagus, karena Alma bisa menyembunyikan dirinya sejenak di dalam kamar sembari mencari alasan yang masuk akal dan bisa di terima oleh Mamanya.

                Alma kembali berjingkat-jingkat, hendak melarikan diri ke dalam kamar. Tapi sebuah suara menghentikan langkahnya.

                "Dari mana?"

                Itu suara Mamanya. Seketika Alma meneguk ludahnya susah payah.

                Menghela napas, Alma memutar tubuh untuk menghadapi Mamanya. Sorot mata tenang yang seolah tidak terjadi apa-apa di rumah itu membuat Alma semakin gelisah.

                Alma belum menjawab apa-apa, tapi suara lainnya terdengar. Dari arah yang berbeda, dia melihat Papanya datang menghampiri Mamanya.

                Seakan ingin melengkapi kesialan Alma, ada Arka yang berjalan di belakang Abi, menatapnya dingin. Kenapa lelaki sialan itu bisa ada di rumahnya pagi-pagi begini?

                "Udah pulang, Al." Abi menyapa, terlihat seperti biasa, meski dari sorot matanya Alma pun tahu kalau Papanya pasti sedang memikirkan sesuatu.

                Alma menghela napas samar. "Iya." jawabnya pelan.

                "Pertanyaan Mama belum kamu jawab." Sahut Gisa.

                Alma berdecak, "Mama pasti tahu lah di mana aku tadi malam." Papanya adalah pemilik perusahaan IT terbesar di negara ini, mustahil kalau mereka tidak bisa melacak di mana keberadaan Alma.

                "Di mana?" suara Gisa berubah tegas.

                Alma harus memberi jawaban, atau sesuatu yang tidak dia harapkan terjadi detik ini juga. "Hotel." Lalu dia buru-buru menambahkan. "Aku mabuk, nggak dibolehin pulang sendirian sama temen, jadi dia bawa aku ke sana."

                "Cowok atau cewek?"

                "Hah?"

                "Teman kamu."

                Oh, Alma tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dan sekarang mata Alma melirik ke arah Arka yang terlihat sangat panik selagi menunggu jawaban Alma.

                Ini mungkin sangat kekanakan, tapi Alma sedang ingin balas dendam.

                "Cowok."

                Alma melihat mata Arka yang terbelalak penuh amarah, membuatnya menyeringai puas dan lupa kalau selain Arka, ada dua orang lainnya juga di sana.

                "Oke..." Abi berusaha menenangkan diri dari perasaan terguncang yang seumur hidup baru kali ini dia rasakan. Ayo lah, Abi adalah mantan playboy sialan. Sejak tadi malam pun, saat berhasil melacak di mana keberadaan Alma, tebakan Abi tidak melenceng jauh dari putrinya yang sedang menghabiskan malam panjang bersama seorang lelaki.

                Itu hal biasa bukan? Alma sudah dewasa. Dulu, Abi dan Gisa juga melakukannya. Bahkan saat tahu Raja mulai mengenal seks, Abi hanya mengingatkan Raja jangan sampai melupakan pengaman.

                Tapi saat hal ini terjadi pada putrinya, Abi merasa... marah. Ya, benar. Ada rasa tak terima yang sedang berkecamuk di dalam hatinya, dan dia yakin, istrinya pun juga merasakan hal yang sama.

                Hanya saja, sebagai manusia yang sama sekali tidak suci, Abi tidak bisa, bahkan tidak pantas untuk marah pada Alma.

                "Al," Abi berusaha memilah milih kalimat halus apa yang harus di ucapkan di tengah kemarahannya saat ini. "apa tadi malam kamu—"

                "Nggak," sela Alma. "aku mabuk, nggak sadar sama sekali dan cuma tidur sampai pagi."

                Rasa-rasanya Abi ingin bersujud dan mengucap syukur mendengar jawaban Alma. Katakan saja Abi memang berengsek. Di saat perbuatannya di masa lalu sangat mengerikan, dia masih berharap putrinya akan tetap menjadi gadis baik-baik sampai bertemu dengan jodohnya nanti.

                "Kamu yakin cuma tidur?" Gisa mencibir dengan gaya yang menyebalkan. Kemarahannya belum mereda. "Perempuan dan laki-laki berada di kamar hotel cuma untuk tidur? Siapa yang berusaha kamu bohongi, Al? Mama?"

                Bibir Alma menipis tajam. Dia benci masih saja dicurigai ketika sudah berkata jujur. Maka dengan senyuman sinis, Alma berujar lantang. "Mama berharap apa? Aku having sex sama cowok itu di sana? Oh, please, Ma, nggak semua hal yang Papa sama Mama lakukan di masa lalu harus aku lakukan di hidupku."

                Wajah Gisa berubah gelap, kakinya sudah hendak melangkah menghampiri Alma. Abi tahu apa yang akan dilakukan Gisa ketika Alma sudah di luar batas seperti ini, maka itu dia cepat-cepat menghalangi.

                "Udah, Gis!"

                "Kamu nggak dengar anak kamu ngomong apa barusan?!"

                "Biarin dia istirahat dulu."

                "Semalaman dia ada di luar, di kamar hotel dengan laki-laki, bagian mana dari semua itu yang harus buat kita menunggu sampai dia selesai istirahat?!"

                Sebagai orangtua, Gisa memang sangat santai mendidik anak-anaknya. Dia juga tidak terlalu ingin dihormati dengan cara yang kuno. Akan tetapi, ketika anak-anak sudah bersikap di luar batas bahkan kurang ajar, Gisa tidak akan segan-segan memberi hukuman seperti orangtua kuno lakukan di masa lalu.

                Alma tahu itu, bahkan sekarang kakinya terasa gemetar mendengar suara Mamanya yang kuat.

                "Al," Abi menoleh pada Alma. "masuk ke kamar, tapi nanti kita harus bicara."

                Alma mengangguk. Saat melirik Mamanya, sorot mata tajam penuh amarah itu masih terpatri di kedua mata Mamanya. Membuat Alma merasa semakin takut hingga berlari masuk ke dalam kamar.

                Suara Gisa samar-samar masih terdengar, dan Alma yakin Abi hanya bisa berusaha menenangkan. Alma terduduk lemas di tepi ranjang, menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi di rumah ini.

                Harusnya tadi Alma tidak mengatakan sesuatu yang membuat Mamanya marah.

                Alma mengacak rambutnya gusar ketika pintu kamar terbuka. Arka masuk, sorot matanya terlihat dingin memandang Alma.

                "Jangan sekarang," ketus Alma ketika Arka mendekat. "gue lagi nggak mau—"

                "Sama siapa lo tadi malam?"

                Tadi malam...

                Alma ingin mendengus kasar.

                "Bukan urusan lo!"

                "Urusan gue!" bentak Arka. "Lo nggak pulang, Al. Nggak ada kasih kabar sama siapa pun. Nyokap sama bokap lo panik banget karena mikir lo kenapa-napa." Tadi malam, setelah mengantar Elena pulang, Arka sudah bersiap-siap untuk tidur ketika Abi menelepon dan menanyakan keberadaan Alma.

                Abi pikir Alma ada bersama Arka, tapi dari Ashila Abi mengetahui kalau sebelum acara selesai, Alma sudah tidak ada di rumah keluarga Hamizan. Abi berusaha menghubungi tapi tidak bisa.

                Mendengar itu Arka merasa panik. Dia mencoba menghubungi kantor Alma tapi tidak ada jawaban. Arka bahkan memutuskan mencari Alma di beberapa tempat, tapi sayangnya Alma tetap tidak di temukan.

                Maka tadi, Arka datang ke rumah Alma pagi-pagi sekali.

                Alma membuang muka, tidak mau menanggapi Arka.

                "Bilang sama gue, sama siapa lo tadi malam." desak Arka. Tetapi Alma masih saja diam. "Al!" pada akhirnya Arka tidak bisa menahan emosinya.

                Alma berdiri tegak, menatap Arka dengan wajah menantang. "Sama siapa pun gue pergi, lo nggak perlu tahu, Ka!" Alma balas berteriak.

                "Lo bisa mikir nggak, huh?! Kalau lo sampai kenapa-napa, gue sama yang lain harus tahu dengan siapa kami harus minta pertanggung jawaban!"

                Tangan Alma mengepal hebat. Berani sekali Arka menuduhnya seperti itu.

                "Gue benar-benar nggak ngerti sama jalan pikiran lo, Al! Nggak masalah kalau lo mau minum. Bahkan silahkan kalau lo mau mabuk. Tapi apa lo harus tidur sama cowok itu?!"

                Selama ini Alma selalu mempercayai Arka. Apa pun yang Arka lakukan, Alma selalu percaya bahkan tanpa Arka minta. Tapi hari ini... di saat Alma sudah berusaha menjelaskan apa yang mereka curigai padanya, Arka... orang yang paling dia percaya di dunia malah menyerangnya habis-habisan.

                "Gue..." napas Alma memburu kencang. "kalau pun gue mau tidur dengan siapa pun, lo nggak punya hak larang gue."

                "Apa? Lo bilang—"

                "Lo bukan siapa-siapa..."

                Arka terhenyak. "Gue sahabat lo."

                Sahabat... Alma merasa muak saat Arka menyebutnya sebagai sahabat. "Mulai sekarang... lo udah bukan sahabat gue lagi." Alma tahu apa yang baru saja dia ucapkan adalah sesuatu yang salah, tapi dia tidak bisa mencegah. Amarah sudah menguasainya, mengambil alih pikiran Alma hingga dia tidak bisa mengontrol segalanya.

                Disepanjang persahabatan mereka, pertengkaran kerap kali terjadi. Entah Alma yang memulai lebih dulu, atau pun Arka. Tapi selama ini mereka hanya saling diam, berhenti menemui satu sama lain semampu yang mereka bisa.

                Tapi mereka tidak pernah sampai berani menyebut kalimat mengerikan itu. Apa lagi di saat mereka sedang marah.

                Maka ketika Arka mendengarnya, dia benar-benar terkejut. Alma sedang tidak bercanda, itu sebabnya Arka mulai ketakutan. "Lo sadar apa yang baru aja lo bilang."

                Alma mengangguk tegas. "Gue udah muak sama lo, Ka. Pergi dari hidup gue." ucapnya dingin.

                Dengan napas memburu, Arka mencengkeram kedua bahu Alma, meremas kuat. "Jangan sembarangan bicara, Al. Gue nggak suka cara lo yang kaya gini."

                Tapi Alma menepis cengkeraman Arka kuat hingga terlepas. Alma melangkah mundur, sorot matanya penuh kebencian. "Lo pikir gue suka? Lo pikir gue suka sama cara lo memperlakukan gue selama ini?!"

                Arka mengernyit tak mengerti.

                "Nggak usah munafik, Arka. Bukannya semenjak ada pacar sialan lo itu, lo udah nggak anggap gue sahabat lo lagi, ya?" Alma tertawa sinis. "Persahabatan? Omong kosong."

                "Kenapa lo jadi bawa-bawa Elena."

                "Karena dia yang jadi akar masalahnya di sini!" teriak Alma. Sudah cukup, Alma tidak mau lagi menahan kemarahan apa pun yang bersarang di hatinya. "Gue nggak suka sama dia! Gue benci sama dia! Karena semenjak ada dia, lo berubah, Ka!"

                Di tuduh seperti itu, apa lagi dengan menyebut-nyebut Elena, tentu saja Arka tidak terima. "Berubah apa?!"

                Alma mendorong dada Arka kuat sambil mengerang penuh amarah. "Tanya sama diri lo sendiri, sialan!"

                "Nggak! Lo yang harus jelasin ke gue tentang semua tuduhan lo itu. Sialan, ya, Al, gue nggak suka cara lo yang melempar kesalahan sama orang lain di saat elo yang buat masalah di hidup lo!" amarah Arka pun terpancing pada akhirnya. "Lo yang salah karena pergi tanpa izin ke orangtua lo. Lo yang salah karena udah mabuk-mabukan dan semalaman tidur sama cowok sialan itu!"

                "Anjing, lo, Ka!" Alma kembali mendorong tubuh Arka, tapi kali ini Arka menepis kasar hingga Alma nyaris terjerembab ke bawah.

                Alma terhenyak hebat. Tidak pernah sekali pun Arka bersikap kasar padanya selama ini.

                "Mau sampai kapan?" napas Arka memburu, matanya menggelap tajam. "Mau sampai kapan lo terus-terusan mengkambing hitamkan orang lain atas kesalahan lo! Gue, Elena, terus siapa lagi? Siapa lagi, Al?! Apa setiap kali lo melakukan kesalahan, maka orang lain yang harus bertanggung jawab?! Bisa nggak, huh? Sekali aja... sekali aja, Al, lo belajar bersikap dewasa."

                Alma mendengus kasar, tertawa parau dengan mata berlinang air mata.

                Air mata yang Arka ketahui dan membuatnya terdiam kaku dengan perasaan sesal. Arka mulai menunduk dalam, mengerang kesal lalu mengacak rambutnya. "Al..." Arka mendekat, menyentuh Alma, membuat mereka saling berhadapan. "Maaf." Ucapnya lebih lembut dari sebelumnya. "Gue nggak bermaksud nyakitin lo. Gue cuma..."

                "Lo sayang gue?" Alma memotong pembicaraan.

                "Iya, gue sayang lo."

                "Lo masih mau jadi sahabat gue?"

                "Ngomong apa sih. Mana mungkin gue—"

                "Mau atau nggak."

                "Mau. Selamanya gue tetap jadi sahabat lo, Al."

                Tidak masalah. Kalau hanya dengan cara itu Alma bisa memiliki Alma selamanya. Tidak masalah.

                "Kalau gitu putusin Elena." Alma mengangkat wajah, memandang Arka penuh harap. "Putusin Elena dan kembali jadi sahabat gue."

                Arka terhenyak, melangkah mundur dengan teramat pelan. Tapi Alma memegangi lengannya. "Lo sadar nggak sih, Ka, semenjak ada dia, kita jadi sering berantem? Elena nggak baik buat lo, dia nggak baik buat persahabatan kita."

                Alma berusaha meyakinkan. Penuh harap. Namun sorot mata Arka justru berubah gamang.

                "Al..."

                "Putusin dia, please... gue benci banget sama dia, Ka. Please... please..."

                "Dia bahkan nggak melakukan kesalahan apa pun, Al."

                "Nggak! Dia salah karena udah rebut lo dari gue."

                "Dia nggak merebut—"

                "Dia rebut lo dari gue, Arka! Lo ngerti nggak sih!" lagi-lagi Alma berubah histeris. "Semenjak ada dia, lo berubah. Lo udah nggak peduli lagi sama gue, padahal lo sendiri yang bilang, selamanya bakal ada buat gue. Lo bilang nggak akan tinggalin gue, nggak akan buat gue sendirian. Tapi apa? Lo mulai lupain gue, Ka. Lo cuma punya waktu buat dia, bukan gue!"

                "Al..."

                "Dia itu nggak baik buat lo. Dia yang jadi perusak persahabatan kita, Ka."

                "Elena nggak gitu, Al."

                Alma semakin berang. "Kenapa sih lo selalu belain cewek sialan itu?!"

                "Alma!" napas Arka memburu marah. "Bukan Elena, Al... bukan dia yang merusak persahabatan kita. Tapi elo. Elena itu cewek baik-baik, Al. Dia sayang sama gue, dia selalu dukung gue. Bahkan waktu lo sakit dan gue pergi tinggalin dia karena mau jagain lo... dia sama sekali nggak marah. Dia nggak menyalahkan elo kaya apa yang lo lakuin sekarang."

                "Memangnya gue nggak? Gue juga sayang sama lo, gue peduli sama lo. Dan gue melakukan itu selama bertahun-tahun. Tapi semua itu nggak ada artinya di mata lo semenjak lo punya dia."

                Arka sudah kehilangan batas kesabarannya. "Mau lo apa sih, Al!"

                "Putusin dia."

                "Nggak."

                "Itu artinya persahabatan kita selesai."

                "Al!"

                "Lo cuma punya dua pilihan, Ka. Tetap jadi sahabat gue, atau... jadi kekasih cewek sialan itu."

                Tangan Arka mengepal hebat. Di satu sisi, hatinya sedih setiap kali Alma menyebut-nyebut tentang persahabatan mereka yang harus berakhir. Tapi di sisi lain, dia tidak terima ketika Alma mengatakan hal yang tidak-tidak tentang Elena. Bagaimana pun, Elena tidak bersalah. Dia tidak pernah melakukan apa pun yang Alma tuduhkan.

                "Lo nggak harus sejauh ini kalau cuma mau nyakitin gue."

                "Gue memang harus sejauh ini untuk menyingkirkan Elena dari lo."

                Picik. Alma tahu betapa picik dirinya saat ini. Tapi dia tidak peduli, Alma sudah kehilangan seluruh akalnya. Dia hanya menginginkan satu hal, mempertahankan Arka dan mengembalikan hubungan mereka seperti semula.

                Meski dengan cara yang sangat egois.

                "Egois." Desis Arka.

                Alma menyeringai jahat. Biarkan saja, pikirnya.

                "Tapi hari ini lo nggak akan mendapatkan apa yang lo mau," Arka menarik napas tercekat. "gue pilih Elena. Gue nggak mau nyakitin cewek sebaik dia."

                Seringai Alma menghilang. Sejenak, dia hanya diam membisu dengan wajah hampa. Lalu senyum getirnya terpatri sempurna. "Jadi... lo lebih memilih nyakitin gue."

                "Lo sendiri yang buat gue nyakitin lo." balas Arka tajam.

                Alma tertawa parau, matanya berkaca-kaca. "Oke..." dia mengambil napas panjang dan membuangnya susah payah. "nggak masalah. Mulai sekarang... lo udah bukan sahabat gue lagi. Lo bukan siapa-siapa."

                Arka gemetar menahan marah. Mudah sekali Alma mengatakan kalimat kejam itu. "Terserah." Dia tidak sanggup lagi menghadapi sikap Alma, maka itu memutuskan pergi.

                "Dan gue udah bukan bagian terpenting di hidup lo lagi. Kaya yang selalu lo bilang sama gue selama ini."

                Itu sebuah sindiran, yang berhasil membuat langkah Arka terhenti. Cara Alma mengatakan kalimat itu, seolah-olah menggambarkan bagaimana Arka membuang Alma begitu saja dari hidupnya.

                Tangan Arka mengepal hebat. dia tahu, kalau di teruskan, maka dia hanya akan menyakiti Alma. Maka itu Arka melanjutkan langkahnya dengan perasaan kacau tak menentu.

                Arka pergi. Meninggalkan Alma yang masih diam terpaku, dengan gumpal amarah dan kecewa di dalam hati. Hingga akhirnya Alma kehilangan amarah hinga kekuatannya, membuat tubuhnya luruh ke atas lantai, dan mulai menangis terisak.

                "Gue pilih Elena."

                Ucapan Arka terngiang. Alma semakin menangis kuat.

                Semua itu omong kosong. Janji dan kasih sayang Arka, semuanya hanya omong kosong. Arka lebih memilih gadis lain yang baru mengenalnya dibandingkan Alma yang selalu menemaninya sejak mereka kecil.

                Alma menangis pilu, terisak-isak, namun dia tahu kalau tidak akan pernah ada lagi dua tangan yang menghapus air matanya. tidak ada lagi pelukan hangat menenangkan untuknya.

                Tidak ada lagi...

                Tidak ada lagi Arka di hidupnya.

***

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

17.2M 824K 69
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...
150K 9.3K 25
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
173K 820 17
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...
89.3K 480 5
cerita-cerita pendek tentang kehamilan dan melahirkan. wattpad by bensollo (2024).