Makan malam bersama keluarga Elena ternyata sangat menyenangkan. Selain orangtua Elena yang ramah, Kakak dan adik-adik Elena juga menyambut Arka dengan sangat baik. Arka memang pernah bertemu dengan mereka semua sebelumnya di beberapa acara, tapi baru kali mereka berkumpul secara bersamaan.
Adik-adik Elena kerap kali menggoda mereka berdua, bertanya kapan lagi kabar baik itu sampai pada mereka. Tapi Arka dan Elena hanya tersenyum malu-malu menyikapi sindiran mereka.
Arka dan Elena memutuskan untuk kembali bersama. Kali ini Arka tidak lagi mau melakukan kesalahan seperti kemarin. Dan ternyata, beberapa bulan sejak mereka kembali bersama, Arka justru merasa semakin yakin pada hubungan mereka.
Yang paling tidak disangka-sangka, kemarin Papinya tiba-tiba saja mengajak Arka bicara, hanya obrolan ringan, tapi Arka tahu ke mana arah obrolan mereka. Papinya mendukung keputusan Arka jika dia memang ingin menikah dengan Elena. Semuanya berjalan lancar. Amat sangat lancar. Begitu pula persahabatannya dan Alma. Arka tidak lagi menaruh amarah, benar-benar sudah merelakan. Dan kesibukan Alma semakin membantu Arka untuk menggeser Alma dari hatinya.
Gadis itu sedang mengurus kasus besar. Dia mencurahkan seluruh waktunya pada kasus itu. Bertemu pun mereka hanya satu kali dalam satu minggu, itu juga saat makan siang atau makan malam. Alma tidak pernah lagi datang mengunjungi Arka, begitu pula Arka. Mereka memang masih berkomunikasi seperti biasa, hanya tidak sesering biasanya.
"Nggak ada bedanya," gumam Arka saat memandangi sekelilingnya. Elena membawa Arka ke kamar miliknya yang berada di rumah orangtuanya. "tetap aja rapi kaya di apartemen. Warna cat dindingnya juga sama." Arka melirik Elena. "Jangan bilang sebenarnya kamu nggak rela pindah ke apartemen."
Elena tersenyum malu. "Di awal-awal, aku takut homesick. Makanya sengaja desain apartemen semirip mungkin sama rumah."
"Kalau takut homesick kenapa mau tinggal sendirian?"
"Biar bisa belajar mandiri. Dari kecil udah terbiasa semuanya serba ada, aku takut nggak bisa apa-apa kalau dimanjain terus."
Arka tidak bisa menahan senyum bangga miliknya yang kini merekah. Sejak awal mengenal Elena, dia tahu kalau Elena ada perempuan mandiri yang tangguh.
Arka bangga bisa memiliki Elena.
Tertarik dengan banyak sekali pigura di atas meja, Arka menghampiri. Dia mengambil salah satu pigura, memandangi foto seorang anak kecil dengan menara Eiffel sebagai latarnya.
"Ini pasti kamu." ujar Arka ketika Elena mendekat.
Elena menatap Arka takjub. "Kok kamu bisa tahu."
"Senyumnya mirip."
Jika Arka masih memandangi foto Elena sambil tersenyum-senyum, maka Elena tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari senyuman Arka.
Elena sempat berpikir harus mengubur perasaannya untuk Arka karena takut merasa kecewa semakin dalam. Satu kesalahan yang Arka lakukan dalam hubungan mereka kemarin telah membuat Elena takut untuk mempercayai janji Arka.
Bahkan ketika memutuskan kembali bersama pun, Elena masih merasa ragu. Tapi sikap dan perhatian Arka akhirnya meluluhkan hati Elena. Arka benar-benar menepati semua janjinya, hingga beberapa bulan yang mereka lalui bersama-sama ini, penuh dengan rasa bahagia.
Arka selalu memberi kabar, menelepon ketika ada waktu luang, menemui Elena, berkencan untuk menghabiskan waktu berdua.
Benar-benar hubungan yang Elena impikan selama ini.
"Terus kalau nanti kamu pindah lagi gimana? Desain rumah barunya harus disamain juga?" Arka menoleh, memandang Elena dengan senyum tipis penuh arti.
"Pindah?" Elena tidak punya keinginan pindah ke mana pun saat ini.
"Iya. Pindah ke rumah baru. Rumah kita."
Rumah kita...
Itu artinya...
Rona merah terpatri sempurna di wajah Elena. Tersenyum malu, Elena mencebik seraya memukul pelan lengan Arka. "Jangan aneh-aneh, deh."
"Siapa yang aneh-aneh."
"Nggak tahu."
Elena sudah hendak melarikan diri, tapi Arka buru-buru menahan lengannya setelah meletakkan pigura itu kembali, hingga mereka berdiri berhadapan. "Kamu nggak mau memangnya?" ibu jari Arka mengusap lembut pergelangan tangan Elena.
Elena memalingkan wajah, menggigit bibir menahan malu. "Mau apa?"
"Yang aku bilang tadi." Arka tahu wajah Elena sudah seperti kepiting rebus, tapi semakin Elena malu-malu, maka Arka semakin senang menggodanya. Gadis itu sangat menggemaskan dengan pipi merahnya.
"Soal rumah?"
"Bukan."
"Ya, terus?"
"Atau selagi aku di sini, sekalian bilang ke Papa kamu kali, ya."
Elena menatap Arka tersentak, tapi saat menyadari senyum jail Arka, bibirnya menipis kesal lalu tangannya mencubit perut lelaki itu. "Iseng banget sih!"
Arka tertawa geli, tapi buru-buru memeluk Elena, tertawa renyah di atas puncak kepala Elena. "Dibecandain gini aja kamu panik, apa lagi kalau beneran nanti."
Elena mengulum senyum. Tidak ada salahnya menanggapi candaan Arka. "Nggak usah mancing, nanti aku beneran minta di seriusin, kamu yang panik."
Pelukan mereka mengendur, Arka merunduk ke bawah dengan seringai miring di bibirnya. "Udah ngebet banget, hm?"
Sepertinya Elena memang tidak cocok dengan gaya bercanda Arka, karena wajahnya lagi-lagi memerah. "Bodo ah." Cebiknya.
Arka tertawa. Benar-benar tertawa dan kembali memeluk Elena.
***
"Kak, bangun!"
Alma merasa tubuhnya diguncang-guncang, tapi matanya yang masih mengantuk tidak bisa terbuka sama sekali. Alma tidur pukul tiga pagi karena harus mempelajari berkas kasus yang besok harus naik ke persidangan. Dia berencana akan bangun saat alarm berbunyi. Tapi sejak tadi dia tidak mendengar bunyi alarm, hanya suara adiknya yang membuat tidur nyenyak Alma terganggu.
Alma mengeluh dengan rengekan putus asa. "Gue ngantuk, Shila..."
"Bangun dulu!"
"Nggak mau..."
"Kak! Astaga... Alma Ilyas, bangun nggak lo?!"
Mata Alma terbuka, wajahnya terlihat keruh sementara matanya yang masih setengah terbuka tampak berusaha melotot. "Bisa nggak biarin gue tidur sebentar?! Gue baru tidur jam tiga pagi, bego!"
Bukannya takut karena Alma mengomel, Ashila justru tertawa-tawa. "Nggak bisa. Lo harus ikut gue, Kak." Dia menyingkap selimut Alma, lalu menariknya turun dari ranjang.
Alma hampir menangis karena waktu tidurnya terganggu. Tapi dia juga tidak punya tenaga untuk protes. Bahkan di sepanjang jalan, Alma memejamkan mata. Benar-benar sulit melawan kantuk.
"Surprise!"
Sebuah teriakan berisik terdengar saat Ashila melepaskan tangan Alma. Alma tersentak, matanya mengerjap-ngerjap hingga akhirnya terbuka sempurna.
Hal pertama yang Alma lihat adalah sebuah mobil yang terparkir di halaman rumahnya, sedang Abi dan Gisa berdiri di samping mobil, berangkulan, tersenyum lebar.
Mobil itu...
Alma memandangnya lekat. Bukankah mobil itu adalah mobil impian Alma selama ini? Yang belum bisa Alma beli dengan uang hasil jerih payahnya sendiri karena dia sering kali tergoda menggunakan uang tabungan itu untuk membeli barang-barang yang tidak perlu.
"Ini, kan..." Alma kehilangan suaranya. Lalu memandang Papanya meminta penjelasan.
"Papa beli buat kamu." cetus Abi.
Sontak saja wajah Alma berubah keruh. Jelas-jelas dia sudah mengatakan akan membeli mobil impiannya itu sendiri tanpa yang Papanya sepeser pun. "Papa ngapain beliin aku mobil? Kan aku udah bilang mau beli sendiri." bibir Alma menipis tajam.
"Santai, Al. Ini nggak gratis." Abi tersenyum miring. "semua tabungan kamu, nanti transfer ke Mama."
"Tabungannya nggak cukup. Harga mobilnya—"
"Hutang," sela Gisa. "kekurangannya Mama anggap hutang. Mama nggak sebaik itu, Al, nggak usah ge er." Dia tidak lupa tersenyum manis namun sangat menyebalkan.
Alma tidak meragukannya. Gisa si manusia matre mata duitan itu memang sangat perhitungan sekali. Sewaktu Alma remaja, Gisa pernah menyuruh Alma membeli sesuatu di minimarket. Dia menyerahkan beberapa lembar uang, dan meminta kembalian tanpa kurang sepeser pun.
Padahal kembalian uangnya sudah Gisa belikan es krim, tapi Gisa tetap saja menuntut kembalian itu sampai Alma ingin sekali keluar dari kartu keluarga dan masuk ke kartu keluarga sahabatnya.
Hari ini pun juga sama. Gisa tetap tidak mau rugi. Meskipun Alma tahu kalau sejujurnya dia ingin melihat Alma tersenyum bahagia karena akhirnya bisa memiliki mobil impiannya. Hanya caranya saja yang berbeda, namun tetap tersampaikan dengan sangat baik hingga Alma berdecih pelan dalam senyum terharu di bibirnya.
Alma menangkap kunci mobil yang Abi lempar padanya. "Nyicil berapa tahun nih, Ma?"
"Mama udah hitung semuanya. Dalam dua tahun cicilan kamu harus lunas. Jadi, seratus persen gaji kamu harus masuk ke rekening Mama setiap bulan."
"Buset... kerja rodi itu namanya, Ma." Alma melotot ngeri.
"Nggak usah berlaga kalau selama ini kamu nggak pernah dapat transferan dari Papa, ya, Al" Gisa mencibir.
Abi dan Ashila tertawa geli. Alma tahu kalau dia sudah tidak bisa bernegosiasi lagi dengan Mamanya. Maka itu dia melirik Abi dengan seringai penuh arti, yang Abi balas dengan kedipan mata.
Sayangnya Gisa bisa mengetahui siasat jahat suami dan putrinya. "Kalau Mama tahu Papa kamu transfer lebih banyak dari biasanya, Papa kamu puasa satu tahun."
Tawa membahana Ashila terdengar sangat puas. "Satu tahun nggak tuh." Sindirnya mengejek.
Abi menatap istrinya terperangah. "Gis, kamu tahu kan orang jahat masuk neraka?"
"Kamu bisa bedain jahat sama cerdas nggak sih, Bi? Menghadapi manusia-manusia licik kaya kamu sama Alma kan memang harus begini." Gisa tersenyum manis.
Alma dan Abi memberungut, kalah telak tanpa bisa melakukan perlawanan. Abi menghela napas pasrah memandang Alma, yang di sambut dengan sorot mata lelah oleh putrinya. Tapi, rasa putus asa Alma menghilang saat dia kembali menatap mobil impiannya. Senyum Alma merekah lebar, hatinya pun menghangat bahagia.
Dan saat ini Alma sangat ingin melakukan sesuatu.
***
Arka bersama keluarganya sedang makan malam sembari mengobrol saat tiba-tiba saja suara berisik yang berasal dari luar rumah membuat telinga mereka sangat terganggu.
Bara yang kebetulan sedang ada di rumah, adalah orang pertama yang beranjak dari kursinya. Wajahnya terlihat kesal sekali, dia bahkan sudah berpikir akan meninju wajah orang gila yang telah membuat keributan di rumahnya.
Melihat wajah emosi Bara, seluruh keluarganya yang lain cepat-cepat menyusul. Mood Bara sedang tidak baik karena tadi dia dan Leo sempat berdebat. Bara memaksa Rere untuk mendapatkan izin cuti dari asrama. Alasannya sangat kekanakan, karena merasa kelelahan dan ingin beristirahat lebih lama. Bara tahu hal itu mudah sekali dilakukan keluarganya. Tapi dia juga tahu kalau Leo tidak akan pernah mau melakukan hal itu.
Terbukti ketika Rere membujuk Leo, Papi mereka langsung mengamuk bahkan mengatakan sebaiknya Bara keluar saja dari AKPOL dari pada malas-malasan seperti itu.
Perdebatan Ayah dan anak itu membuat suasana rumah mereka sedikit tegang tadi. Tapi untung saja Bara mengalah dan memilih diam setelah Adel menasehati. Si bungsu Hamizan itu memang tidak pernah gagal membuat keributan di rumah.
Keluar dari rumah, mereka yang tadinya mencemaskan Bara, kini menemukan Bara hanya berdiri diam di teras rumah. Lalu perhatian mereka beralih pada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah, di mana ada Alma yang berdiri di samping mobil sementara tangannya menekan klakson tanpa henti.
Beberapa security dan ART di rumah itu hanya bisa berdiri diam di tempat masing-masing. Sedikit gelisah karena takut bos mereka akan mengamuk karena keributan yang Alma buat. Tapi sayangnya, mereka juga tidak berani melarang Alma.
Begitu melihat seluruh keluarga Hamizan keluar dari rumah, Alma tersenyum senang dan berhenti dengan aksi gilanya. "Selamat malam, semuanya..." sapa Alma dengan teriakan riang di bawah tatapan jengkel orang-orang.
Arka mengernyit kesal. "Lo ngapain, Al?"
Alma berdecak, tapi bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum miring. "Masa lo nggak tahu sih."
"Mobil baru." Ketus Bara. Sepertinya hanya Bara yang baru menyadari itu.
Benar. Alma sengaja datang dan membuat keributan di rumah sahabatnya itu hanya untuk memamerkan mobil barunya. Dia sama sekali tidak takut. Meski mata Leo menyipit tajam padanya, Rere menggeleng putus asa menatapnya, Bara yang seperti ingin menelannya hidup-hidup, lalu Adel yang memasang wajah datar, Alma sama sekali tidak peduli. Karena Alma tahu, hanya dia dan Papanya yang bebas melakukan apa saja di rumah keluarga Hamizan tanpa takut di usir dari sana.
Alma itu sangat spesial di mata keluarga Hamizan. Sudah dianggap anak emas. Itu kenapa dia jadi besar kepala.
"Mobil baru?" gumam Arka bingung.
Tapi begitu dia mengamati mobil Alma, senyum lebar merekah di bibirnya. "Lo udah beli mobil, Al?!" pekiknya.
Alma mengangguk penuh bangga, dan Arka tidak bisa menahan diri untuk tidak berlari memeluk Alma.
Padahal yang punya mobil baru adalah Alma, tapi Arka ikut merasa bangga dan bahagia. Bagaimana pun dia tahu seperti apa perjuangan Alma selama ini agar bisa membeli mobil impiannya.
Salah satunya dengan cara memaksa Arka mentraktir Alma setiap kali gadis itu ingin membeli sesuatu.
"Kamu nggak harus bersikap norak begini cuma karena punya mobil baru, Al." sindir Leo, tidak lupa memutar matanya malas. Alma hanya membalas dengan cengir kekanakan.
"Selamat ya, Al. Kamu keren, akhirnya bisa beli mobil sendiri." ucap Rere tersenyum senang.
"Makasih, Tante Rere. Sebenarnya nggak keren-keren banget sih, soalnya masih nyicil sama Mama."
"Nyicil?"
Alma mengangguk, lalu menjelaskan kejadian tadi pagi pada mereka semua.
Arka tertawa terbahak-bahak, Adel dan Rere tersenyum geli. Hanya Bara yang terlihat sama sekali tidak tertarik dengan obrolan mereka.
"Mama kamu benar-benar matre, Al." cibir Leo.
Alma mengacungkan ibu jari pertanda setuju dengan apa yang Leo katakan. "Makanya, Om, angkat aku jadi anak di keluarga ini dong..."
Leo kembali mendengus, lalu meraih jemari Rere dan membawanya masuk ke dalam rumah. Mengabaikan tawa cekikikan Alma yang menyebalkan. "Oi, Bar!" Alma menyapa sambil melambaikan tangan. "asem banget tuh muka."
"Bego." Dengus Bara sebelum mengikuti Papi dan Maminya. Dia terlalu malas bersenang-senang dengan kebahagiaan Alma.
Saat melihat Adel juga hendak masuk, Alma memanggilnya. "Del, nggak mau jalan-jalan naik mobil gue?" Alma tahu tingkahnya norak sekali saat ini. Tapi bisa membuat keluarga Hamizan jengkel entah kenapa membuatnya bahagia.
"Nggak, makasih." Ketus Adel. Namun setelah itu dia tersenyum kecil. "By the way, congratulation, Al. Jangan ngebut kalau lagi nyetir."
"Siap, Adelia!!!" teriak Alma heboh mengiringi langkah Adel yang kemudian menghilang.
Karena Alma masih saja tersenyum lebar, Arka mendorong wajah Alma dengan tangannya sambil tertawa geli. "Senyum mulu dari tadi!"
"Namanya juga lagi bahagia. Gimana sih lo."
"Iya, deh... yang punya mobil baru."
Alma terkekeh geli. "Tapi duit bensinnya boleh patungan nggak, Ka?"
Senyum Arka lenyap seketika. "Lo yang punya mobil, kenapa bensinnya gue yang bayar!"
"Sedekah sama fakir miskin nambah banyak pahala tahu."
"Lo sih lebih mirip pengemis ya, Al."
"Ih, pelit lo."
"Lo yang matre."
Arka dan Alma sama-sama mendengus, tapi setelah itu tertawa geli. Arka memeluk Alma sekali lagi, mengusap-usap rambutnya. "Hebat. Keren. Gue bangga sama lo." bisik Arka tulus.
Hati Alma menghangat, lebih hangat dari biasanya. Karena degup jantung asing itu lagi-lagi menghampiri, membuatnya menggigit bibir pelan karena malu. Takut Arka menyadari degup jantungnya, Alma melerai pelukan, menatap Arka dengan mata berbinar cerah. "Ayo, gue ajak keliling naik mobil baru." ada tawa sombong di akhir kalimatnya.
Arka sudah hendak mengangguk penuh semangat. Tapi saat teringat sesuatu, dia meringis pelan. "Gue nggak bisa, Al."
"Kenapa?"
"Mau ke airport, jemput Elena."
Alma mengernyit sedikit terganggu. "Ya udah, gue anterin aja gimana?" usulnya.
Arka melirik jam tangan, terlihat sedikit terkejut. "Astaga, sebentar lagi pesawat Elena landing. Al, gue pergi dulu, ya."
"Gue anterin aja, ya, Ka."
"Nggak usah, Al, gue aja." Arka mengacak rambut Alma singkat, kemudian bergegas pergi mengendarai mobilnya.
Meninggalkan Alma yang berdiri diam dengan wajah termangu, memandangi kepergian Arka. Mungkin Alma memang berlebihan, tapi melihat Arka yang lebih mempedulikan Elena ketika Alma sedang ingin berbagi kebahagiaan bersamanya, Alma merasa terluka.
Alma memalingkan wajah, memandangi mobilnya lekat. Alma pikir dia bisa berbagi kebahagiaan bersama Arka. Alma pikir dia bisa berkeliling dengan mobil ini bersama Arka, sembari tertawa, dan melewati waktu yang menyenangkan.
Seperti biasanya. Seperti... Arka dan Alma yang seharusnya.
***
Alma sedang tidak baik-baik saja saat ini. sejak Arka lebih memilih menjemput Elena dibandingkan menghabiskan waktu bersamanya, sejak Alma tidak lagi bisa minta di temani Arka saat harus bekerja sampai malam melalui video call karena Arka harus menelepon Elena, sejak Arka beberapa kali menolak ajakan Alma bermain karena harus pergi bersama Elena, Alma... tidak bisa merasa baik-baik saja.
Alma merasa seperti ada yang salah.
Hati dan pikirannya terganggu dengan kenyataan itu. Dia tahu Elena adalah kekasih Arka saat ini, tapi Arka juga sahabatnya, kan? Mengapa selalu Elena yang mendapatkan seluruh perhatian Arka?
"Ck!" Alma berdecak, meneguk minumannya lagi.
Decak Alma menarik perhatian Indra yang duduk di sebelahnya. Mereka berdua sedang berada di kelab malam, duduk berdampingan di meja bar, menikmati segelas minuman yang sudah dua kali di isi ulang.
"Kenapa?" tanya Indra.
"Nggak apa-apa." kilah Alma.
Tapi Indra tahu kalau gadis itu berbohong. Buktinya saja, Alma sampai mengajak Indra minum. Itu artinya gadis itu sedang kesal bukan main. Tapi selagi Alma tidak mau bercerita, maka Indra tidak akan memaksa. Indra kembali menikmati minuman di tangannya sembari melirik gadis-gadis di sekitarnya. Siapa tahu saja ada yang bisa menjadi teman ONS yang menyenangkan.
"Ndra," Alma memanggil.
"Apa?"
"Caranya narik perhatian cowok gimana sih?"
Indra nyaris menyemprotkan air dari dalam mulut. Dia bahkan sampai terbatuk. Alma yang menyadari reaksi menyebalkan Indra, meninju pelan lengan lelaki itu.
"Itu teman gue yang nanya!" kilah Alma. "kan lo tahu, gue nggak ngerti sama yang begituan. Jadi gue tanya sama lo, kali aja jawaban lo berguna buat teman gue."
"Kayanya akhir-akhir ini teman lo sering nanya-nanya ya, Al."
"Hm."
"Beneran teman nih?"
"Bisa jawab aja nggak?"
"Tapi gue penasaran, Al, sama teman lo itu."
Indra tersenyum menyebalkan, hingga Alma menendang kakinya di bawah sana. Meski mengaduh, tapi Indra tetap saja tertawa.
"Kalau gue sih..." Indra menerawang. "Gue bakal sering-sering ada di dekat dia, ngajakin ngobrol, gangguin dia..." Indra tersenyum kecil. "makin dia ngomel, gue makin suka."
Alma mengernyit. Aneh banget, pikirnya.
"Sebenarnya sih gue nggak harus repot-repot cari perhatian dia sih. Soalnya anaknya bakal cari-cari gue sendiri kalau udah butuh."
Indra masih terkekeh-kekeh sendiri, di mana Alma lah yang ada dalam benaknya. Sementara itu, Alma yang tidak mengerti malah memukul pelan kepala Indra.
"Gue nanya cara narik perhatian, kenapa jadi lo yang curhat?!"
"Sori... sori..."
"Eh, tapi, Ndra... lo naksir siapa memangnya?"
Elo lah, cebik Indra di dalam hati. Tapi Indra memilih bungkam dan mengalihkan perhatian. Percuma saja, Alma tidak mungkin menyambut perasaan Indra. Untung saja Indra bukan lelaki yang mudah putus asa hanya karena urusan asmara. Jika patah hati, ya sudah, cari saja yang baru. Begitu lah moto hidupnya.
"Nggak ada."
"Bohong, tadi lo bilang—"
"Lo jadi nanya soal yang tadi nggak? Kalau nggak, gue mau ke sana," kepala Indra mengangguk ke satu arah di mana ada seorang gadis cantik yang duduk sendirian. "cakep tuh, Al, lumayan buat teman tidur gue malam ini."
"Otak lo, ya!" Alma melotot malas. Dia tidak lagi terkejut memang, dengan kebiasaan Indra yang satu itu. "awas aja lo pergi sebelum jawab pertanyaan gue."
Indra berdecak. "Soal cari perhatian?" Alma mengangguk. "Gampang lah. Cari tahu aja apa kesukaannya, apa yang buat dia happy, terus lo tinggal jadi perantara kesenangan orang itu. Lo buat dia senang, dan dia bakal notice ke elo." Indra menyipit gelisah, gadis incarannya sedang mengobrol dengan lelaki lain. "Eh, Al, udah dulu, ya. Tuh cewek keburu diembat sama yang lain."
Indra melompat turun, lalu duduk di sisi kosong gadis incarannya. Pura-pura minum selagi menunggu gadis itu menoleh ke arahnya.
Alma yang mengamati hanya menggelengkan kepalanya pelan. Indra benar-benar buaya darat!
Tapi setelah itu dia mulai memikirkan apa yang barusan Indra katakan. Indra bilang, untuk menarik perhatian seseorang, Alma hanya harus mencari tahu apa yang dia sukai.
Untuk bagian itu, Alma tidak perlu repot-repot. Dia tahu betul apa yang membuat Arka senang. Jadi... Alma hanya harus membuat Arka merasa senang, kan?
Alma menyeringai penuh rencana saat ini.
***