Menunggu

By Ami_Shin

31K 4.6K 411

Alma dan Arka saling bersahabat. Sejak kecil, mereka selalu bermain bersama, melakukan berbagai hal nakal ber... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Epilog

Part 15

354 60 2
By Ami_Shin

Alma memandangi ponselnya lekat. Membaca pesan yang Arka kirim padanya sejak lima belas menit lalu namun masih belum Alma balas hingga saat ini.

Arkana Putra Hamizan

Gue otw airport

Besok lo berangkat sama Shila, kan?

Nanti gue jemput, ya

                Hari ini Arka akan berangkat lebih dulu ke Las Vegas, bersama Elena, sengaja pergi lebih cepat agar mereka bisa berkencan.

                Entah mengapa sejak menyadari hal itu, konser yang tadinya membuat Alma bersemangat malah berubah menjadi hal yang sangat ingin Alma hindari.

Alma Ilyas

Oke

Safe flight

Arkana Putra Hamizan

Boleh telepon nggak?

                Perut Alma terasa mulas saat membaca balasan dari Arka. Jika Arka ada di hadapannya saat ini, Alma tahu ekspresi seperti apa yang dia perlihatkan lelaki itu. Dia akan menatap Alma penuh harap di kedua mata yang menyimpan kesedihan.

Karena Arka sudah bertanya seperti itu, artinya dia tahu kalau Alma sedang marah padanya. Mungkin karena sejak Arka mengantar Alma pulang kemarin, dia menyadari Alma yang menjaga jarak dengannya.

Mereka masih berkomunikasi, mengobrol melalui telepon, berbalas pesan. Tapi semua itu hanya seperti basa-basi singkat tanpa makna.

                Alma memang marah pada Arka, tanpa sebab, itu kenapa dia juga marah pada dirinya sendiri, karena dia tahu kalau Arka tidak bersalah.

                Lama Alma memandangi sederet tulisan itu dengan tatapan sedih sebelum menghela napas berat dan memutuskan untuk tidak membalas apa-apa.

Alma masih duduk di tepi ranjang, sudah terlihat rapi dengan pakaian kantor. Wajahnya murung, tak ada semangat berapi-api yang terpancar dari wajahnya. Tidak seperti biasanya.

                "Ck," dia berdecak kuat, "lo kenapa sih, Al? Aneh banget tahu, sumpah!" Alma bermonolog dengan dirinya sendiri. "Elena itu pacar sahabat lo. Wajar aja mereka bareng-bareng terus. Yang nggak wajar itu, lo tiba-tiba ngambek sama Arka padahal dia nggak salah apa-apa."

                Alma seperti memarahi dirinya sendiri.

                "Arka itu sahabat lo, Al. Harusnya, kalau dia bahagia, lo juga ikut bahagia. Bukan malah ngambek nggak jelas kaya gini." Alma menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskan perlahan. "Udah ya, Al. Stop. Pokoknya gue nggak mau sampe lo ngambek-ngambek nggak jelas lagi. Lusa nanti, kalau lo ketemu sama mereka, lo harus balik jadi Alma yang biasanya."

                Alma mengangguk penuh keyakinan. Kemudian dia menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman kecil yang sempurna.

                Merasa sudah lebih baik, Alma beranjak berdiri. Dia harus bergegas ke meja makan atau Nyonya besar di rumah itu akan datang dan menggedor-gedor pintu kamarnya sambil berteriak berisik.

                Tapi baru saja Alma berdiri, tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Bahkan saking sakitnya, Alma sampai tidak bisa berdiri tegak.

                Karena ini bukan pertama kalinya perut Alma terasa sakit seperti ini, maka Alma terlihat sangat  tenang meski sambil meringis dan memegangi perut.

                Pelan-pelan dia duduk, kemudian berbaring sambil meringkuk. Alma menunggu selama beberapa menit, karena biasanya rasa sakit itu hilang dengan sendirinya.

                Tapi hari ini rasa sakitnya terasa berbeda. Tidak berhenti, membuat Alma sampai memejamkan mata sambil menggigit bibirnya. Keringat dingin mulai membanjiri wajahnya.

                Alma mulai merasa panik saat menyadari rasa sakit di perutnya semakin menjadi dan tidak berhenti dalam kurung waktu yang lama.

                Satu tangannya yang bebas bergerak cepat, mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu menghubungi Gisa. Tapi Alma baru saja menyadari satu hal. Tubuhnya mulai terasa lemas.

                [Kamu ngapain telepon? Bukannya turun terus sarapan. Udah jam berapa ini? Nggak takut telat kamu?]

                Alma meringis. "Ma..." suaranya seperti merintih. "Kayanya aku butuh rumah sakit."

                Alma tidak mendengar sahutan apa pun. Tapi tak lama berselang, dia mendengar Mamanya mengatakan sesuatu yang tidak jelas pada Papanya sebelum panggilan itu terputus.

                Samar-samar Alma mendengar derap langkah berisik, di susul pintu kamar yang terbuka kuat. Di tengah usaha Alma untuk bisa bernapas dengan normal selagi menahan rasa sakit di perut, Alma melihat Papa, Mama dan adiknya berlari menghampiri.

                Mereka menanyakan berbagai pertanyaan pada Alma yang hanya bisa Alma jawab dengan anggukan dan gelengan kepala karena tubuhnya benar-benar sudah terasa lemas.

                Abi mengatakan sesuatu pada Gisa dan Ashila. Entah apa. Tapi Alma bisa melihat Mamanya berlari cepat keluar, sedang Ashila melepaskan blazer dan sepatu Alma sebelum Abi menggendong tubuh Alma dan membawanya pergi ke mobil di mana Gisa sudah berada di sana.

                Dalam keadaan setengah tidak sadar dan perut yang seperti akan pecah rasanya, Alma malah tersenyum samar.

                Keren juga ya keluarga gue. Ya udah lah, gue nggak bakal mati selagi ada mereka.

***

"Ka," Arka tersentak dari lamunan ketika Elena menyentuh lengannya. "kamu kenapa?"

                "Hm?" Arka mengerjap linglung. "Aku nggak apa-apa." Arka mengulas senyum.

                Tapi sayangnya Elena masih menatap aneh. Bukan tanpa alasan, karena sejak menjemput Elena tadi, Arka terlihat lebih pendiam dari biasanya. Bahkan dia sering kali melamun.

                "Semangat dong, masa mau ketemu penyanyi favorit, kamu malah lesu begini." Elena berusaha bercanda dan Arka menanggapi dengan kekeh pelan.

                Tapi setelah Elena menyebut-nyebut tentang penyanyi favorit, Arka justru semakin merasa gelisah. Mungkin karena Alma tidak membalas pesannya meski sudah dibaca, mungkin juga karena Alma lagi-lagi menghindarinya. Atau mungkin... karena akhirnya Arka menyadari ada yang terasa aneh ketika bukan Alma yang pergi dengannya saat ini.

                Apa pun itu, yang pasti Alma adalah alasan dari rasa gelisah Arka.

                "Udah waktunya boarding, Ka." Ujar Elena.

                Arka mengangguk. Mereka beranjak dari sebuah coffee shop. Arka terlihat benar-benar tidak bersemangat sekali. Sampai ketika mereka sudah harus memperlihatkan paspor dan tiket, ponsel Arka berdering.

                Nama Adel muncul di sana.

                Maka Arka membiarkan antrian di belakangnya yang melangkah lebih dulu karena dia harus menerima panggilan dari Adel. Elena mengikuti Arka, berdiri di belakangnya.

                "Ya, Del?"

                [Kamu udah boarding?]

                "Ini baru aja mau boarding. Kenapa?"

                [Alma di rumah sakit.]

                Kedua mata Arka terbelalak lebar. Tangannya meremas ponsel sangat kuat. Rumah sakit? Alma... ada di rumah sakit? Gadis yang selama ini selalu saja menolak minum obat itu, sekarang ada di rumah sakit. Itu artinya...

                "Aku ke sana sekarang."

                "Arka," sepertinya Elena menyadari perubahan raut wajah Arka. "ada apa? Adel kenapa?"

                "Bukan Adel..." suara Arka berubah lirih. Kemudian dia pandangi Elena lekat, "Aku... aku nggak bisa pergi."

                Elena mengernyit terkejut. "Kenapa?"

                "Alma di rumah sakit. Aku nggak tahu sakit apa, aku nggak tahu dia kenapa. Tapi aku harus ke sana. Aku harus temenin Alma." Arka meracau. Sementara sorot matanya terlihat kebingungan.

                "Lalu kita?" tanya Elena. Suaranya terdengar pelan. "Tapi kita udah harus pergi, Arka. Pesawatnya..."

                "Elena," Arka menyentuh kedua bahu Arka. "maaf. Maafin aku... tapi aku nggak bisa pergi sama kamu. Aku nggak bisa pergi di saat Alma lagi membutuhkan aku." Arka menatap Elena menyesal. Lalu memeluknya sebentar, mengecup dahinya dan kemudian berlari pergi begitu saja.

                Meninggalkan Elena yang terdiam kaku dengan sorot mata kosong yang menyedihkan.

                Arka berlari keluar dari bandara, menyetop sebuah taksi dengan napas terengah. Menghubungi Adel, menanyakan di mana keberadaan Alma.

                Maka sepanjang jalan menuju rumah sakit, Arka hanya bisa diam dengan wajah pucat pasi dan tatapan takut. Dia tidak berhenti memanjatkan doa di dalam hati.

                Untuk Alma, untuk kesehatannya, untuk keadaannya yang tidak bisa berhenti Arka khawatirkan.

                Apa yang terjadi? Bagaimana keadaannya? Kenapa bisa sampai seperti ini?

                Semua pertanyaan kalut itu tidak berhenti menghantui Arka, membuatnya tidak bisa duduk dengan tenang, sebelum dia bertemu dengan gadis itu.

***

Alma menggeliat, nyaris merentangkan tangan ke atas seperti kebiasaannya ketika bangun tidur, kalau saja tidak ada sebuah tangan yang menahan salah satu tangannya. Dahi gadis itu mengernyit, di susul kedua matanya yang terbuka. Menoleh ke samping, Alma melihat wajah cemas Arka yang menatapnya. "Eh," gumam Alma kebingungan. "ngapain?"

                "Lo nggak apa-apa? Ada yang sakit?" alih-alih menjawab pertanyaan Alma, Arka justru melemparkan pertanyaan lainnya pada gadis itu.

                Alma semakin mengernyit bingung. Dia baru saja bangun, lalu menemukan Arka yang terlihat panik dan sekarang bertanya dengan pertanyaan aneh. Sebelum Alma menjawab pertanyaan Arka, hidungnya mengendus-endus pelan. Kok bau kamar gue aneh, ya, batin Alma.

                Alma mulai mencurigai sesuatu. Maka matanya dengan cepat mengamati seisi kamar. Mendadak wajahnya berubah pucat ketika matanya melotot ketakutan. Alma meneguk ludahnya berat sebelum matanya melirik lambat pada satu tangannya yang tadi di pegang oleh Arka. Dan begitu dia melihat ada infus yang terpasang di tangannya, seketika Alma berteriak histeris.

                "Aaarrrgghhhh!" Alma menutup matanya dengan satu tangan yang lain. "Arka, lepas! Jangan pegang-pegang tangan gue, nanti berdarah. Jauh-jauh dari tangan gue!"

                Bahkan tangan Alma yang terpasang infus berubah kaku.

                Rasanya Alma ingin menangis saja saat tahu kalau dia sedang diinfus. Alma tidak pernah takut dengan hal apa pun di dunia ini. Kecuali dua hal. Mamanya, dan juga jarum suntik.

                Itu kenapa saat tahu kalau ada infus yang terpasang di tangannya, Alma menjadi histeris. Seolah-olah jarum infus itu akan menyayat nadinya dan membuat Alma mati detik itu juga.

                Karena Alma berteriak-teriak, Arka pun jadi ikut panik. Dia tergesa-gesa keluar kamar, memanggil Abi, Gisa dan juga Shila yang tadi memutuskan keluar dari kamar agar obrolan mereka tidak mengganggu tidur Alma.

                "Mama..." Alma merengek sambil menangis begitu Gisa muncul di hadapannya. "Kenapa aku di rumah sakit? Nggak mau diinfus, Ma... lepasin infusnya..."

                Bukannya merasa kasihan, Gisa justru menggertakkan giginya kesal. "Itu cuma infus, Alma."

                "Tapi nanti tangannya berdarah."

                "Buktinya tangan kamu nggak berdarah."

                "Nanti pasti berdarah."

                "Buka mata kamu dan lihat sendiri gimana tangan kamu, Alma."

                "Nggak mau..."

                Kesabaran Gisa yang memang cenderung tak kasat mata akhirnya terkikis habis. "Ya terus gimana kamu bisa tahu kalau tangan kamu baik-baik aja?!" dia mengomel sambil berteriak.

                "Gimana bisa tangan aku baik-baik aja kalau ada infus sialan ini, Ma..."

                "Mulut kamu ya, Al!"

                "Makanya lepasin..."

                "Shila, itu di dekat kamu ada pisau, tolong ambilin deh."

                Mendengar itu, Abi dan Ashila menahan tawa geli, apa lagi saat mereka melihat Alma melotot tak percaya menatap Gisa. Hanya Arka saja yang meringis takut.

                "Mama mau tusuk aku pake pisau?" tanya Alma histeris dan berlebihan.

                Karena Alma sudah membuka matanya dan tidak ada lagi tangan yang menutupi mata basah gadis itu, Gisa langsung merangkum wajahnya dan memaksa Alma untuk menatap pada tangannya yang terpasang infus. "Lihat? Tangan kamu baik-baik aja!"

                Alma menahan napasnya tercekat lalu cepat-cepat memalingkan muka. Biarpun tangannya baik-baik saja, tidak mengerikan seperti bayangannya, tapi Alma tetap saja merasa takut.

                "Heran deh," Ashila mencibir geli. "lo sama preman nggak ada takut-takutnya. Cuma dipasang infus doang nangis-nangis kaya bocah."

                "Diem lo!" bentak Alma sembari membersit ingusnya dengan punggung tangan.

                Arka yang melihat itu bergerak cepat, mengambil tisu dan membantu Alma menghapus air mata serta ingusnya. "Udah, jangan nangis." Ucapnya pelan.

                Masih sambil tertawa geli, Abi menghampiri Alma, berdiri di samping Gisa. "Ada kabar buruk nih, Al." ujarnya.

                Walaupun ekspresi Papanya tidak terlihat seperti akan menyampaikan kabar buruk, tetap saja Alma merasa was-was. "Apa?"

                "Besok kamu harus operasi."

                "Hah?!"

                "Santai, Al. Cuma operasi kecil."

                "Bisul? Ada bisul di tubuh aku, Pa? Nggak bisa pake salep aja memangnya."

                Ashila tertawa terbahak-bahak, begitu pula Abi. Gisa menggelengkan kepalanya malas. Putrinya yang satu ini benar-benar sudah tidak bisa tertolong lagi. Bahkan Arka akhirnya bisa tertawa setelah sejak tadi merasa sangat stres selagi menunggu Alma bangun.

                "Kalau cuma bisul ngapain harus di operasi, Al. Dikasih upil juga bakal sembuh." Abi masih memegangi perutnya yang keram karena tertawa.

                "Tadi Papa bilang operasi kecil. Ya kan... bisul bisa dioperasi. Itu operasi kecil kan namanya." Alma tetap tidak mau disalahkan walaupun apa yang dia katakan terdengar mengada-ada.

                "Operasi usus buntu."

                "Astaga..." wajah Alma kembali memucat. Dia langsung membayangkan bagaimana tubuhnya tergeletak tak bernyawa di meja operasi.

                Abi mengacak rambut putrinya. "Nggak apa-apa. Nggak bakal sakit. Operasinya juga cuma sebentar."

                "Kalau aku mati gimana, Pa?"

                "Ya di kubur lah." Sahut Gisa malas.

                Mata Alma melirik sinis. "Tolong deh, Pa, itu istrinya jahat banget ya mulutnya. Anak sendiri disumpahin mati."

                Gisa mendengus. "Kamu nanya, Mama jawab. Salahnya di mana, Al?"

                Salahnya lo nyokap gue, Gis. Coba aja nggak, udah gue keramasin lo pake air infus!

                Astaga, maafin Alma, ya Tuhan...

                Kalau sedang sakit, apa lagi akan di operasi, sebaiknya Alma tetap menjadi anak baik yang tidak durhaka agar Operasinya berjalan lancar. Toh kalau dia sudah kembali sehat, dia bisa membalaskan dendamnya pada Gisa Keanu itu.

                Abi mulai menjelaskan bagaimana operasi usus buntu pada Alma, sembari menyemangati Alma yang terlihat ketakutan. Kalau dari penjelasan Abi, Alma pikir operasi usus buntu tidak terlalu menyeramkan. Justru kalau tidak di lakukan, ususnya yang sudah menghitam dan nyaris pecah itu bisa membahayakan kesehatan Alma.

                Sekarang Alma tahu kenapa beberapa bulan belakangan ini, perutnya sering terasa sakit. Pencernaan Alma juga terganggu.

                Belum lagi Alma sering kali mual-mual. Sempat terpikir olehnya kalau dia sedang hamil. Tapi mengingat sampai detik ini Alma masih perawan, bahkan bibirnya saja belum pernah dijamah oleh lelaki mana pun, Alma menepis dugaan konyol itu.

                "Ya udah deh," Alma menghela napasnya berat. "tapi kenapa aku bisa sampe sakit usus buntu, ya..."

                "Nggak usah nanya sesuatu yang kamu sendiri tahu jawabannya ya, Al." Arka akhirnya bersuara. Lengkap dengan mata yang menyipit tajam. "Kamu selalu aja makan sembarangan. Fast food, junk food, minuman bersoda. Akhir-akhir ini kamu juga sering minum alkohol, kan?! Sekarang masih nanya kenapa bisa sakit? Selama ini setiap kali aku bilangin, kamu nggak pernah mau dengar, kan!"

                Gisa mengacungkan jempol ke arah Arka sebagai bentuk dukungan. Tidak lupa melemparkan senyuman mengejek ketika Alma memberenggut masam padanya.

                "Disuruh bawa bekal sama Tante Gisa nggak mau. Aku pesan katering makanan sehat nggak mau. Giliran sakit nangis-nangis!"

                Kesal karena terus mengomel di hadapan keluarganya, Alma menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Dia sengaja mengeluarkan suara mendengkur, agar Arka tidak lagi mengomel.

                Melihat itu, semua orang tersenyum geli menatap Alma. Memang ada saja tingkah gadis itu yang membuat semua orang geleng kepala.

                Alma tetap bertahan di balik selimut meski sekarang semua orang di sekelilingnya sibuk membicarakan tentang bagaimana operasi Alma besok. Lalu dia mendengar keluarganya pamit sebentar untuk makan siang dan menitipkan Arka pada Alma.

                Alma merutuk pelan. Arka pasti akan mengomel lagi nanti.

                Ck, kenapa sih Arka harus ada di sini? Padahal lebih baik kalau dia ada di atas pesawat dan berada jauh dari Alma.

                Eh?

                Tunggu.

                Bukannya...

                Alma menyibak selimut dari tubuhnya, membuat Arka yang duduk di samping ranjang Alma terkejut menatapnya.

                "Kenapa?" tanya Arka bingung.

                Alma beranjak duduk di bawah tatapan cemas Arka.

                "Nggak sakit perutnya kalau duduk?" tanya Arka.

                "Kok lo bisa di sini sih, Ka?" alih-alih menjawab, Alma justru melempar tanya. "Bukannya lo ada penerbangan ke Las Vegas, ya?"

                Arka mengerjap, lalu menghela napas. "Nggak jadi."

                "Kenapa?"

                "Lo sakit."

                Alma mengerjap lambat. Dia memilih diam saat Arka menjelaskan tentang keputusannya yang membatalkan penerbangan ketika Adel memberitahu keadaan Alma.

                Padahal Arka sudah akan boarding. Tapi dia membatalkan semua itu, bahkan... meninggalkan Elena.

                Dan semua itu karena Alma.

                Iya. Alma memang berengsek. Bisa-bisanya dia malah tersenyum senang ketika dia tahu Elena sedang tersenyum sedih di ketinggian entah berapa di langit sana.

                Kenyataannya, Arka ada di sini, memilih berada di sisi Alma dari pada di sisi Elena. Dan itu membuat Alma bahagia luar biasa.

                "Sini deh," tangan Alma melambai-lambai. Arka berdiri, tubuhnya mendekat. Lalu Alma memeluknya erat dengan satu tangan. Menyandarkan wajah ke dada Arka sambil tersenyum senang. "makasih, ya, udah khawatir sama gue."

                Arka tertegun, namun setelah itu turun tersenyum.

                Dia belai rambut Alma lembut seraya tersenyum tipis. "Jangan sakit-sakit lagi dong, Al. Gue nggak suka kalau lo sakit." Alma mengangguk. "Janji ya, abis ini nggak boleh bandel lagi. Jangan makan sembarangan lagi. Biar nggak sakit lagi, Al. Soalnya, kalau lo sakit... gue yang sedih."

                Alma menengadahkan wajah sambil mengulum senyum. "Mana coba muka sedihnya?"

                "Apa sih." Arka merutuk kesal meski tetap tertawa bersama Alma.

                Perlahan jemari Arka merangkum wajah Alma, membelai lembut, memandang lekat dan sendu.

                Cantik, gumamnya di dalam hati. Entah apa lagi yang harus Arka lakukan agar bisa berhenti memuja wajah Alma yang sering kali membuatnya terpaku.

                Sementara itu, Alma yang hanyut dengan belai lembut Arka serta tatapan matanya yang menawan, tiba-tiba merasakan sebuah perasaan asing yang aneh.

                Jantungnya berdebar keras. Keras sekali sampai wajahnya memerah.

                Eh, gue kenapa, nih? Teriak Alma panik di dalam hati. Kenapa Arka mendadak ganteng banget di mata gue? Iya sih, dia emang ganteng dari dulu. Tapi... astaga, matanya, hidungnya, bibirnya...

                Bibir?

                Entah Arka juga memikirkan hal yang sama atau tidak. Tapi secara kebetulan, ketika Alma sedang memandangi bibir Arka dengan segala pikiran aneh di kepalanya, tiba-tiba saja ibu jari Arka menyentuh bibir Gema, mengusap lembut.

                Mereka masih dalam posisi di mana Arka berdiri tegak di samping ranjang, menunduk memandang wajah Alma yang di rangkum oleh kedua tangannya. Sementara Alma duduk bersila dengan wajah menengadah dan satu tangan yang meremas baju Arka.

                Alma belum pernah melihat ini sebelumnya.

                Sorot mata Arka... seperti... sedang mendambakan sesuatu.

                Tapi apa?

                Bibir gue?

                Wajah Alma terasa panas. Dia pikir, wajahnya pasti sudah semerah kepiting rebus kali ini. Lalu tanpa bisa dia cegah, dia mengatup rapat bibirnya, bahkan sedikit mengulum seolah ingin menyembunyikan bibirnya dari Arka.

                Apa yang Alma lakukan membuat Arka mengerjap lalu mengalihkan perhatian pada kedua mata Alma.

                "Lo..." Alma menggumam ragu. "mau cium gue, ya?"

                Arka mengerjap cepat, lalu terbelalak ngeri dan cepat-cepat melepaskan wajah Alma dari tangannya dengan gerakan setengah mendorong wajah Alma. "Bego." Dengusnya salah tingkah.

                "Terus ngapain tadi lo usap-usap bibir gue?" Sejujurnya Alma juga merasa salah tingkah. Tapi karena dia jenis perempuan tidak tahu malu, maka Alma tidak bisa menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.

                Arka berkilah tergagap. "Nggak... gue nggak ada usap-usap bibir lo."

                "Hih, bohong banget. Jelas-jelas tadi—"

                "Ada iler! Iya! Ada iler tadi di bibir lo, makanya gue usap."

                "Masa sih..." Alma menggosok-gosok bibirnya dengan punggung tangan. Tapi tidak ada apa pun. "Nggak Ada kok..."

                "Ada. Tadi ada." Arka semakin salah tingkah saja. Dia bahkan mengusap—usap belakang lehernya kikuk. "Ya... ya udah deh, gu—gue lapar nih. Mau makan siang dulu. Lo tidur aja."

                Arka memutar tubuhnya, lalu berjalan cepat agar bisa keluar dari sana, meninggalkan Alma yang kini meraba detak jantungnya sambil menggigit bibirnya pelan

                "Kenapa tadi gue deg-degan, ya..." gumam Alma bingung.

                Sementara itu, di balik pintu yang tertutup rapat, ada Arka yang sedang mengibas-ngibas wajahnya dengan telapak tangan. Dia merasa sangat gerah setelah hampir saja ketahuan oleh Alma.

                "Bego banget sih gue..." rutuknya kesal.

***

Operasi Alma berjalan lancar. Setelah menghabiskan masa pemulihan dengan tertidur pulas, ketika Alma bangun, ada Arka yang duduk di samping ranjang. Dia tidak tidur, hanya terus memandangi Alma. Bahkan Arka yang membantu Alma minum ketika Alma mengeluh haus.

Gisa sempat terbangun, menanyai Alma dengan beberapa pertanyaan. Tapi karena Alma masih belum sepenuhnya sadar dari anestesi, dia hanya mampu mengangguk atau menggelengkan kepala.

Samar-samar Alma melihat Gisa kembali ke sofa, duduk menyandar di dada Abi dan memejamkan mata. Alma berdecih di dalam hati. Padahal salah satu dari mereka bisa tetap tidur di rumah, tidak harus menjaga Alma bersama-sama seperti ini. Besok Papanya itu pasti akan mengeluh sakit pinggang.

                Sejujurnya Alma ingin terjaga lebih lama.

Tapi matanya sulit sekali di buka. Alma berusaha melawan rasa kantuk, tapi sentuhan di dahinya membuat Alma justru semakin ingin terlelap. "Tidur aja..."

                Itu suara Arka, yang sedang mengusap-usap dahi Alma, dan masih terjaga di sisi Alma.

                Sejak kemarin Arka selalu ada di sisi Alma. Menjaganya, memastikan keadaan Alma setiap saat. Bahkan dia hanya pulang untuk mandi. Selebihnya, Arka seolah tidak mau meninggalkan singgasana itu. Kursi yang berada di samping ranjang Alma.

                Bukan baru kali ini Arka bersikap seperti ini. Bahkan ketika Alma hanya demam dan istirahat di rumah pun, Arka pasti akan menginap di kamar Alma, menjaga Alma sampai sembuh.

                Biasanya hal-hal seperti itu tidak terlalu berarti apa-apa di hati Alma. Karena itu semacam rutinitas yang memang telah terjadi sejak lama di antara mereka.

                Tapi entah kenapa kali ini Alma sangat menyukai keberadaan Arka. Setiap kali Arka menanyakan keadaan Alma, menyentuh jemari atau mengusap kepala Alma, memberi dukungan agar Alma tidak merasa takut, semua itu membuat Alma merasa sangat terharu sekaligus... senang.

                Padahal perhatian dan sentuhan-sentuhan seperti itu sudah sering Arka lakukan untuk Alma. Tapi baru kali ini Alma merasa berbeda saat menerimanya.

                Begitu Alma terbangun dari tidur nyenyak, dia tidak lagi menemukan Arka. Bahkan hanya ada Mamanya di sana. Mamanya bilang, Arka pulang untuk mandi, sedang Papanya harus bekerja.

                Selesai mengelap tubuh Alma dengan air hangat dan merapikan penampilan Alma, Gisa menyuapi Alma makan. Jika sedang seperti ini, di mata Alma, Mamanya itu terlihat benar-benar sangat keibuan.

                "Ternyata bisa juga, ya." gumam Alma. Gisa menatapnya tak mengerti, lalu sudut bibir Alma terangkat ke atas. "Mama jadi kelihatan kaya Tante Rere kalau gini. Keibuan. Pantas aja Papa cinta mati."

                Wajah datar Gisa adalah yang pertama kali Alma temukan saat dia sedang menggigit bibir agar tidak tertawa dan membuat bekas jahitan di perutnya terasa sakit.

                "Mama nggak keberatan loh, Al, harus jaga kamu di sini selama satu bulan."

                "Maksudnya?"

                Gisa melirik ke arah perut Alma, hingga putrinya itu melotot ngeri.

                "Kejam banget jadi Ibu-Ibu." Dengus Alma.

                Gisa hanya mengedik ringan dan kembali menyuapi Alma.

                Selesai Alma makan, pintu kamar di ketuk. Saat Gisa membuka pintu, Indra muncul dari sana sembari membawa hampers yang berisi buah-buahan di tangannya.

                "Selamat pagi, Tante."

                "Pagi. Siapa, ya?"

                Alma nyaris tertawa melihat Indra yang seperti terkejut saat mendapat respon jutek dari Mamanya.

                Indra meringis pelan. "Saya Indra, Tante."

                "Anaknya Pak Regar, Ma." Sahut Alma hingga Gisa dan Indra menoleh serentak padanya.

                Mengetahui kalau Indra adalah anak dari Bos Alma, sikap Gisa yang tadinya jutek berubah sedikit ramah. Dia bahkan sudah menyunggingkan senyuman.

                "Oh, Indra. Halo... salam kenal. Saya Tante Gisa, Mamanya Alma."

                Perubahan sikap Gisa membuat Indra melirik kaku pada Alma yang lagi-lagi menggigit bibir menahan tawa. "Sini, masuk." Perintah Alma.

                Indra menyerahkan apa yang dia bawa pada Gisa, lalu menghampiri Alma. "Bisa sakit juga, Al?"

                Alma mencibir pelan, melirik Gisa yang sedang meletakkan hampers dari Indra ke atas meja. "Isinya cuma buah, Ma?" tanya Alma. Gisa mendelik tajam padanya. Tapi Alma tidak peduli, dia malah menatap Indra mencemooh. "Jauh-jauh ke sini jenguk gue, masa lo cuma bawa buah."

                "Lo berharap apa? Berlian?"

                "Boleh."

                Kalau saja Alma tidak sedang sakit, Indra pasti tidak segan-segan menoyor kepalanya.

                "Al, Mama ke bawah dulu, ya. Mau beli kopi." Gisa sudah bersiap-siap untuk pergi.

                "Titip satu, ya, Ma." Alma menyengir kecil di bawah pelototan Gisa.

                "Indra, titip Alma sebentar, ya."

                "Iya, Tante."

                Gisa keluar dari kamar, Indra menduduki kursi yang biasanya Arka tempati.

                "Tahu dari mana gue di sini?"

                "Anak-anak di kantor."

                "Lo masih ngantor memangnya?"

                Indra menggelengkan kepala. "Tadi malam cuma mau ambil sisa barang-barang gue di sana. Ketemu sama Nia, dia cerita tentang lo."

                Itu artinya Indra sudah resign dari kantor. Alma hanya diam untuk sejenak, tapi akhirnya tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

                "Gimana jadinya?"

                Tertawa hambar, Indra menghela napas. "Gue ribut sama Papa."

                "Kalau itu gue udah tahu. Maksud gue... Bokap lo..."

                "Ribut, dimaki-maki, diungkit-ungkit tentang semua hal. Dia bilang mulai sekarang nggak bakal kasih gue apa-apa lagi. Terserah gue mau tinggal di mana, dia nggak peduli."

                "Lo di usir?"

                "Nggak sih, cuma kalau papasan di rumah, gue di anggap makhluk gaib sama dia."

                 "Terus... terus?"

                "Udah, cuma gitu doang." Indra melirik kesal. "Sebenarnya sih bisa lebih kacau dari ini. Tapi karena Mama nangis-nangis, jadi Papa kaya malas mau ribut lebih lama lagi sama gue." Indra menghela napas sekali lagi, kali ini sedikit berat dari sebelumnya. "gue nggak nyesal sama sekali dengan keputusan gue. Malah gue merasa benar-benar ringan sekarang, nggak ada beban. Gue cuma... merasa bersalah sama Nyokap."

                Indra memang pembangkang. Sering kali berbuat onar. Tapi satu hal yang paling Alma suka dari lelaki itu adalah, Indra sangat mencintai Mamanya. Hanya di hadapan Mamanya saja dia bisa menjadi anak baik yang penurut. Apa pun yang Mamanya katakan, pasti Indra lakukan.

                "Dia sampe mohon-mohon sama Papa, biar gue nggak diusir. Mama... bahkan sampe bersujud di kaki Papa." Indra tertawa getir. "Gue jahat banget ya, Al. Udah buat Mama nangis."

                Alma tersenyum kecil. Kemudian melambaikan tangan, menyuruh Indra mendekat. Saat Indra melakukannya dan wajahnya mulai berada di dekat Alma, satu telapak tangan Alma bergerak perlahan, menyentuh kepala Indra. Dia usap-usap lembut kepala Indra. "Lo nggak jahat. Lo cuma kasih tahu ke mereka jalan hidup yang lo pilih. Dan itu bukan sebuah kejahatan, Indra."

                Sejak Alma menyentuh kepalanya, Indra sudah tertegun. Lalu ketika Alma mengusap kepala Indra penuh kasih sayang, lelaki itu semakin terpaku.

                Wajah mereka teramat dekat, Indra bisa mengamati dengan sangat lekat bagaimana senyuman tipis Alma yang tulus untuknya.

                "Sekarang apa yang lo mau udah terwujud, kan. Tinggal gimana nanti lo bertanggung jawab sama pilihan hidup lo itu, Ndra. Kalau lo merasa bersalah sama Nyokap, seenggaknya abis ini buktiin sama Nyokap lo, kalau air matanya kemarin nggak terbuang sia-sia."

                Indra mengerjap lambat.

                "Gue percaya lo bisa."

                Meski cerewet, matre dan menyebalkan. Indra tahu Alma adalah teman yang baik. Alma selalu memuji Indra setiap kali Indra berhasil melakukan pekerjaannya dengan benar. Tidak ragu-ragu memberi semangat meski sambil mengomel.

                Dan selama ini Indra biasa-biasa saja menanggapinya.

                Tapi kenapa hari ini... ada yang berbeda.

                Mengapa tiba-tiba saja... wajah Indra terasa memanas menerima usapan lembut di kepala, serta memandangi senyum manis Alma.

                Alma memang sangat tomboy. Kalau saja dia tidak punya rambut panjang dan pernah memakai rok di kantor, di benar-benar menyerupai seperti lelaki.

                Itu mengapa selama ini Indra pun menganggap Alma selayaknya teman lelaki. Indra tidak pernah benar-benar menganggap Alma sebagai wanita.

                Tapi hari ini... Alma... dia terlihat sangat cantik. Benar-benar cantik meski tanpa polesan apa pun.

Wajah putih sedikit pucat, hidung mancung dan bibir tipis yang indah, Alma benar-benar seperti wanita dewasa yang sangat menarik.

Suara derit pintu terdengar. Indra pun mendengarnya, tapi dia seperti enggan untuk beranjak dari posisinya. Dia masih ingin memandang wajah Alma, masih ingin mengagumi kecantikan Alma.

Berbeda dari Indra, Alma menggeser letak kepalanya agar bisa melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam kamar.

                Ternyata orang itu adalah Arka, yang kini berdiri terpaku dengan tatapan terkejut, memandang ke arah ranjang di mana ada seorang lelaki yang sedikit membungkuk seperti sedang... mencium Alma. Telapak tangan Alma yang berada di kepala lelaki itu semakin membuat darah Arka membeku.

                "Hai, Ka..." Alma tersenyum sembari melambai-lambaikan tangannya riang.

                Indra mengernyit, kemudian melirik ke belakang. mendapati seseorang berdiri menatap ke arah mereka, Indra buru-buru berdiri tegak sambil menelan ludah gugup. Masih terbayang-bayang dengan apa yang baru saja dia lakukan barusan.

                Arka merasa tubuhnya seperti mati rasa. Tidak bisa beranjak dari tempatnya, hanya bisa diam terpaku memandang senyuman lebar Alma.

                Gadis itu terlihat sangat baik saat ini. Lebih baik dari terakhir kali Arka melihatnya tadi malam. Apa mungkin karena lelaki itu? Apa lelaki itu sangat berarti bagi Alma sampai keberadaannya membuat Alma merasa bahagia.

                Seketika cemburu menguasai Arka. Membuat wajahnya memberenggut tak senang.

                "Arka!" Alma memanggilnya sekali lagi.

                Arka berdeham pelan, melangkah lambat menghampiri. Dia tidak mengatakan apa pun, bahkan menyapa Alma juga tidak.

                "Cepat banget baliknya. Nggak tidur dulu di rumah?" tanya Alma.

                Oh, jadi lo keberatan gue datang secepat ini. Kenapa? belum puas berduaan sama Indra?!

                Tapi Arka hanya bisa merutuk kesal di dalam hati.

                "Tante Gisa mana?"

                "Ke bawah. Beli kopi katanya. Nggak ketemu tadi?"

                "Nggak."

                Alma melirik Indra, "Ada Indra nih." Ujarnya.

                Arka melirik Indra, begitu pula sebaliknya. "Oh." Arka tahu dia sangat tidak sopan sekali sekarang, Alma bahkan sampai mengernyit heran menatapnya. Tapi Arka memang sedang tidak bisa tersenyum manis pada siapa pun saat ini.

                "Hai." Indra menyapa, lengkap dengan senyum ramah.

                Tapi Arka justru mengabaikan. Dia duduk di kursi, memandang Alma. "Udah makan?"

                Nih anak kenapa sih? Jutek banget sama Indra. Alma sampai melirik Indra untuk mencari tahu bagaimana reaksi Indra atas sikap jutek Arka.

                Untung saja Indra sedang sibuk dengan ponselnya.

                "Udah. Tadi disuap sama Mama."

                "Perutnya udah nggak apa-apa?"

                "Nggak apa-apa."

                "Ya udah, tidur lagi aja. Lo harus banyak istirahat, nggak boleh diganggu."

                Satu alis Alma terangkat ke atas, dia semakin bingung mendengar celotehan Arka.

                "Iya, Al. Istirahat aja. Ini gue juga harus balik, mau meeting soalnya." Timpal Indra.

                "Meeting? Dih, gaya banget lo. Baru juga jadi pengangguran udah sok-sokan meeting."

                Indra menyeringai. "Kan mulai sekarang gue udah jadi businessman."

                "Hah?"

                "Ck! Kapan-kapan gue jelasin. Ya udah lah, gue balik dulu." Indra mengulurkan kepalan tangan ke arah Alma yang disambut Alma dengan cara serupa. "Cepat sembuh. Jangan kangen sama gue di kantor."

                "Najis." Indra tertawa melihat Alma mendengus. "Hati-hati, Ndra."

                Indra mengangguk. Saat dia berpamitan dengan Arka, lelaki itu hanya menggumam tanpa mau memandang.

                Lalu saat Indra sudah keluar dari kamar, Alma langsung memukul bahu Arka kesal.

                "Apaan sih!" Arka berdecak, mengusap-usap bekas pukulan Alma.

                "Lo kenapa?"

                "Gue kenapa?"

                "Itu tadi, ngapain jutek banget sama Indra?!"

                Arka melengos malas. Semakin kesal saat tahu Alma malah seperti membela Indra.

                "Arka!"

                "Apa sih, Al. Gue nggak jutek sama dia."

                "Nggak jutek gimana. Dari tadi lo nggak mau ngobrol sama dia. tadi dia pamit pun, lo cuma ham, hem, ham, hem doang."

                Arka menipiskan bibir. Terlihat sangat kekanakan memang, tapi dia tidak peduli. "Jujur sama gue, Al."

                Alma mengernyit. "Apa?"

                "Lo sama Indra pacaran?"

                Mata Alma melotot ngeri. "Nggak."

                "Bohong."

                Tangan Alma menoyor kepala Arka tanpa sungkan. "Gue bilang nggak, ya nggak, bego. Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu?"

                "Tadi gue lihat."

                "Lihat apa?"

                "Lo sama Indra."

                "Maksudnya?"

                Arka berdecak sebal, tangan Alma sudah hendak menoyor kepala Arka lagi, tapi untungnya Arka menghindar.

                Terkadang Arka memang begini. Senang sekali menyampaikan sesuatu dengan kalimat-kalimat singkat yang sulit dipahami. Membuat kesabaran Alma habis saja.

                "Gue lihat lo sama dia ciuman." Arka membuang muka dengan gelagat muram.

                Alma menatap dengan wajah datar. "Lo ngigo?"

                "Gue lihat pake mata kepala gue sendiri."

                "Berarti mata lo buta."

                Arka mendengus. "Tadi pas masuk, gue lihat dia nunduk-nunduk ke arah lo, terus tangan lo sampe pegang-pegang kepala dia. Kalau bukan ciuman, terus apa?"

                Kalau saja perut Alma sedang tidak sakit, dia ingin sekali duduk lalu menjambak rambut Arka. "Sini," Alma melambaikan tangan, menyuruh Arka mendekat. Saat sahabatnya itu menurut, satu tangan Alma langsung menjambak rambut Arka sampai dia menjerit kesakitan.

                "Argh! Al! Sakit!"

                "Nih, lihat, lo nunduk-nunduk ke gue, terus tangan gue di kepala lo. Apa sekarang kita kelihatan lagi ciuman, Arka?"

                Senyum jahat Alma seperti sedang menertawai ringis Arka yang menahan sakit.

                Alma mendengus lalu mendorong kepala Arka menjauh. "Bego," ketusnya. "bisa-bisanya lo jutekin Indra gara-gara mikir gue sama dia cipokan. Arka... Arka... gimana bisa gue biarin bibir gue yang suci ini cipokan sama brondong bego kaya Indra."

                Sambil mengusap-usap kepala, Arka berpikir keras. Alma tidak mungkin bohong padanya, kan. "Beneran?"

                "Iya!"

                "Oh, ya udah."

                Alma mendengus kasar. Bisa-bisanya Arka bersikap santai seperti itu setelah baru saja mengatakan yang tidak-tidak padanya.

                "Potongin gue buah sana." perintah Alma.

                Arka mengambil beberapa buah dari hampers yang Indra berikan untuk Alma tadi. Saat tahu buah itu dari Indra, Arka sempat enggan untuk mengambilnya. Dia justru mengatakan akan membeli buah yang baru saja. Tapi tangan Alma yang sudah sangat siaga melempar remot televisi ke arah Arka membuat lelaki itu mengurungkan niat.

                Jadi, selagi mengupas dan memotong buah apel untuk Alma, Arka yang duduk di sofa dengan wajah memberenggut harus merelakan telinga mendengar omelan Alma yang menyakitkan telinga.

                "Ini pasti gara-gara lo kurang tidur, deh, Ka. Makanya mata lo jadi burem gitu sampe mikir gue sama Indra lagi ciuman."

                "Hm."

                "Abis ini tidur!"

                "Iya."

                "Atau jangan-jangan... gara-gara lo keseringan cipokan sama Elena ya, makanya lo mikir semua orang yang dekat-dekatan pasti cipokan."

                Arka melirik Alma malas. "Nggak usah ngarang. Gue sama Elena belum pernah ciuman."

                Saat mengomel, Alma sedang fokus menatap televisi. Namun begitu mendengar apa yang Arka katakan, matanya menatap Arka dengan cepat.

                Oh, jadi mereka belum pernah ciuman...

                Alma tertawa bahagia di dalam hati. Bibirnya sampai berkedut geli karena hal itu. Padahal, kalaupun Arka dan Elena pernah melakukannya, itu tidak ada hubungannya dengan Alma, kan.

                Omong-omong tentang Elena...

Gerakan tangan Arka yang memotong-motong buah apel terhenti.

Dahinya mengernyit cepat, seperti sedang terkejut. Ini adalah hari kedua Arka menjaga Alma, itu artinya... hari kedua Elena berada di Las Vegas.

                Arka jadi ingat saat dia pergi meninggalkan Elena begitu saja. Saat itu Elena tidak mengatakan apa pun. Bahkan saat ini Elena tidak menghubungi Arka.

                Sementara itu, Arka sendiri pun lupa untuk menghubungi Elena.

                Astaga...

                Sekarang Arka merasa sedikit resah. Bagaimana kalau ternyata Elena marah?

***

Continue Reading

You'll Also Like

150K 9.3K 25
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
89.2K 475 5
cerita-cerita pendek tentang kehamilan dan melahirkan. wattpad by bensollo (2024).
94.4K 7.5K 84
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.
172K 817 17
Yang orang tau Kiara Falisha adalah gadis lugu, imut, lucu, menggemaskan juga lemot. Tapi di depan seorang Faidhan Doni Advik tidak seperti itu. Pun...