"Del, tolongin..." Di antara banyak kelakuan aneh Arka yang selama ini harus Adel saksikan, rengekan Arka dengan kalimat itu adalah yang paling Adel benci. Sejak saat mereka kecil sampai sudah menjadi dewasa, Arka masih saja menggunakan cara itu untuk meminta pertolongan pada Adel.
"Kenapa lagi, Arka..." desah Adel malas. Novel yang sejak tadi berada di kedua tangannya, kini dia letakkan di atas pangkuan.
Padahal weekend yang penuh ketenangan ini ingin Adel gunakan untuk membuat dirinya rileks dari segala aktifitas melelahkan yang selama ini dia jalani. Berada di ruang baca, membaca satu di antara ratusan koleksi novel yang dia punya sembari mendengar alunan musik soft piano, duduk tenang di kursi baca yang nyaman sembari di temani secangkir kopi serta kudapan.
Sayangnya kedatangan Arka merusak ketenangan yang sejak tadi membuat Adel benar-benar merasa damai.
Arka yang tadinya berdiri di ambang pintu, kini memutuskan masuk ke ruangan itu. Dengan seenaknya dia mematikan musik yang masih mengalun indah.
Wajah Adel memberenggut kesal saat ruangan ini mendadak sunyi senyap. "Kenapa dimatiin?"
"Mau ngobrol. Musiknya berisik."
Musiknya berisik? Adel ingin sekali memukul kepala Arka dengan buku tebal di tangannya. Jelas-jelas yang lebih berisik itu adalah Arka.
Saat Arka menghampiri, Adel menurunkan kakinya dari kursi yang sejak tadi menjadi tumpuan kedua kakinya. Arka duduk di sana, menghadap Adel, menatap saudaranya serius.
"Aku nggak tahu lagi harus gimana." Wajah Arka terlihat sangat serius.
Adel sama sekali tidak merasa khawatir meski ekspresi Arka benar-benar terlihat cemas. Dia hapal betul bagaimana kelakuan saudara kembarnya ini.
Apa sih memangnya yang bisa membuat Arka khawatir seperti ini selain Alma? Dan itu sama sekali bukan sesuatu yang penting.
"Berantem sama Alma?"
"Iya."
Nah, benar, kan?
Wajah Adel berubah datar seketika. Tapi meski begitu, dia tetap mendengar keluhan Arka dengan seksama.
Arka terlihat benar-benar putus asa selagi bercerita. Sesekali dia mengusap wajah gusar, mengacak rambut kekanakan, menghempaskan kedua tangan di udara seperti sedang melampiaskan kekesalannya.
Tidak pernah berubah, pikir Adel.
Ekspresi yang Arka perlihatkan tidak pernah berubah sejak dia kecil sampai saat ini.
"Masa kalau gitu aku masih aja salah, sih, Del." Rutuk Arka di akhir kalimatnya. Dia baru saja memberitahu Adel tentang Alma yang marah-marah tidak jelas karena tiket konser yang padahal bisa Alma miliki.
"Nggak bisa nonton bareng aku, dia marah. Akhirnya kita bisa nonton bareng, dia juga marah. Maunya Alma itu apa sebenarnya?!" Arka berdecak kuat. "Terus sekarang dia nggak mau ketemu aku. Aku tanya kenapa, katanya sibuk."
"Coba bilang kamu mau traktir dia."
"Udah, Del... tapi tetap nggak mau."
Woah. Adel sampai mengerjap takjub. Seorang Alma menolak traktiran Arka? Benarkah? Itu adalah sebuah keajaiban.
Pantas saja Arka sampai kebingungan seperti ini.
"Kamu yakin cuma gara-gara masalah itu?" Adel pun akhirnya tertarik mencari tahu letak permasalahan Arka dan Alma.
Arka mengangguk lesu.
"Tapi itu bukan Alma banget, Ka. Dia nggak mungkin ngambek cuma gara-gara masalah sepele begitu."
Arka hanya bisa merunduk dengan bahu lesu. Dan sekarang Adel benar-benar berusaha berpikir keras.
Tiket konser... gumam Adel di dalam hati. Dia tahu sejarah apa yang dimiliki Arka dan Alma tentang konser itu. Bahkan dulu, mereka rela bolos ujian semester dari Kampus demi bisa menonton konser meskipun setelah itu harus mendapatkan masalah yang membuat mereka lumayan kerepotan.
"Sebelumnya Alma ada bahas soal tiket nggak? Misalnya... dia minta dibeliin tiket sama kamu atau yang lain?"
Arka menggelengkan kepala, tapi saat teringat sesuatu, dia mengernyit. "Ada sih... Alma sempat kasih tahu sama aku soal jadwal konser. Waktu aku bilang lupa, dia cuma ketawa. Terus..."
Arka berusaha mengingat-ingat.
"Jadwal konser Bruno Mars udah keluar, Ka! Udah gue duga lo nggak bakalan tahu. Sok sibuk sih lo akhir-akhir ini. Tapi lo tenang aja, Ka, lo punya gue, sahabat yang perhatian banget sama lo. Jadi—"
"Apa jangan-jangan..." Arka menggumam tak yakin.
"Alma udah beli tiket buat kalian berdua, tapi ternyata dia tahu kalau kamu malah nonton bareng Elena." Sahut Adel yang seperti sedang membaca pikiran Arka. "Itu kenapa dia ngambek, terus semakin marah waktu kamu bilang kalau Elena rela kasih tiketnya buat Alma."
Benar...
Itu sangat masuk akal.
Jadi... kemarahan Alma yang tidak Arka mengerti itu... pasti karena Arka sudah membuat Alma kecewa dan juga melukai harga dirinya.
"Jadi... lo udah punya tiketnya, ya?"
Wajah Alma yang mendadak kehilangan senyuman terbayang lagi di benak Arka.
"Argh... gue emang bego." Arka merutuk kesal, mengacak-acak rambut, melampiaskan kekesalannya.
Pada akhirnya Adel kembali mendesah malas sembari mengamati Arka. Karena nyatanya masalah di antara Arka dan Alma masih saja tidak pernah bisa dia anggap sebagai masalah penting yang harus dia pikirkan.
Dan sekarang Adel menyesal karena sudah mau merepotkan diri untuk memikirkan masalah kekanakan itu.
***
"Ngapain lo?" tegur Alma pada adiknya yang terlihat sangat sibuk di dapur. Alma baru saja bangun. Setelah sikat gigi dan mencuci muka, dia ingin segera mengiri perutnya yang keroncongan.
"Nggak lihat gue lagi iris-iris bawang?"
"Masak?"
"Nguli." Ashila melirik kesal. "Ya kalau gue udah pegang-pegang bawang, artinya gue mau masak, dong, Kak..."
Alma mendecih pelan sambil memeriksa lemari penyimpan bahan makanan. Ashila yang menyadari itu berujar. "Kalau lapar, ke meja makan sana. masih ada sisa sarapan pagi, tapi angetin dulu."
"Nasi?"
"Iya."
"Gue mau mie goreng."
Ashila menyipitkan mata curiga. Tapi Alma malah memperlihatkan cengir manis pada adiknya sembari menyerahkan satu bungkus mie instan.
"Nggak ah. Nanti gue dimarahin Mama. Mama kan udah bilang kemarin sama lo, Kak, jangan sering-sering makan mie instan."
"Mama nggak bakalan tahu."
"Mama selalu tahu."
Iya, sih... cibir Alma di dalam hati. Alma jadi curiga, apa jangan-jangan Mamanya itu punya indra keenam, ya? Dari Abi sampai Alma dan Ashila, tidak ada yang pernah bisa berbohong di depannya.
"Ck. Masak aja, Shila. Nggak apa-apa, paling gue cuma diomelin." Alma masih bersikeras. "Lagian si Gisa songong banget, dulu juga dia doyan sama Mie instan. Sekarang pake segala bilang nggak boleh sering-sering nanti kena penyakit."
Ashila tertawa terbahak-bahak mendengar rutuk kesal Alma. Memang cuma Alma yang berani berkata seperti itu tentang Mama mereka. "Lo ih badung banget, Kak."
Alma tersenyum manis. "Masakin, ya..."
Melenyapkan tawa, Ashila lagi-lagi memberenggut. "Nggak."
"Seratus ribu. Deal?"
"Lima ratus ribu."
"Heh, harga mie instan cuma tiga ribuan, ya! Masa gue bayar lima ratus ribu cuma buat makan mie goreng."
"Ya terserah elo, sih, Kak... kalau nggak mau, masak aja sendiri." Ashila mengibas rambutnya sombong. Dia tahu benar kalau Alma tidak bisa memasak.
"Bener-bener titisan Gisa Keanu ya lo, Shila. Matre!"
"Pernah ngaca nggak sih?"
"Ya udah, sana, buruan masakin. Laper nih..."
"Oke!" Ashila tersenyum manis lalu tertawa pelan saat Alma menoyor kepalanya. Selagi Ashila memasak, Alma menunggui adiknya itu sambil menyentuh segala bahan masakan di atas meja yang tadinya akan Ashila eksekusi.
Berbeda dengan Alma yang tidak bisa memasak, Ashila justru sangat pintar memasak. Malah akhir-akhir ini, dibanding Gisa, Ashila lebih sering memasak untuk semua orang. Hari ini pun dia juga akan memasak makan siang untuk mereka.
Sejak kecil, Ashila memang senang menemani Gisa di dapur. Lalu ketika dia remaja, dia senang sekali menonton tutorial memasak dan menulis resep-resep kesukaannya di buku untuk dia praktekkan bersama Gisa di saat Gisa mengajak Ashila memasak.
Sebenarnya Gisa juga melakukan hal yang sama pada Alma. Mengajak Alma ke dapur, menyuruhnya membantu Gisa memasak, mengajari Alma dan menyuruh Alma mempraktekkan beberapa resep masakan. Tapi hal itu tidak berlangsung lama karena Alma nyaris membakar dapur dan juga membuat seluruh orang yang ada di rumah keracunan.
Arka adalah salah satu korban dari masakan dengan racikan kematian Alma. Sahabatnya itu sampai harus bolak-balik buang air dan menelan satu butir obat agar pencernaan Arka kembali normal.
Omong-mong tentang Arka... Alma jadi teringat sesuatu hingga wajahnya berubah murung.
"Shila," panggilnya.
"Apa?"
"Lo mau ikut gue ke Las Vegas nggak?"
Kepala Ashila berputar cepat. "Las Vegas?"
Alma mengangguk sekedar. "Konser Bruno Mars."
"Lo udah beli tiket konsernya?"
Alma tidak langsung menjawab, dia menghela napas berat, memain-mainkan bawang dan cabai di tangannya dengan gerakan malas. "Udah."
"Kak Arka juga ikut?"
Mendengar nama Arka di sebut, wajah Alma semakin murung. "Nggak."
"Loh, kenapa?" setahu Ashila, mereka selalu nonton konser bersama.
"Arka pergi sama pacarnya. Gue udah keburu beli tiketnya dua, jadi sayang kalau nggak di pake." Bahkan hanya mengatakan kalimat seperti itu saja pun, perasaan Alma sangat terganggu.
Belum pernah Alma merasakan perasaan terganggu semacam ini pada Arka. Alma marah, tapi dia tahu Arka tidak bersalah. Alma ingin bersikap biasa-biasa saja, tapi anehnya tidak bisa.
Setiap kali melihat Arka, mendengar suaranya, bahkan mendengar orang lain menyebut nama Arka saja pun mood Alma seketika memburuk.
Itu kenapa Alma sengaja tidak mau berkomunikasi dengan Arka dulu sampai perasaannya membaik. Terdengar egois memang, tapi dari pada Alma harus memarahi Arka terus-menerus dan membuat lelaki itu semakin merasa kacau, lebih baik untuk sementara mereka tidak bertemu dulu.
"Lo marah, Kak?" tanya Ashila. Suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
Semua orang di sekeliling mereka tahu bagaimana kedekatan Alma dan Arka. Termasuk Ashila. Dua orang dewasa yang masih saja bertingkah kekanakan itu bagaikan kembar siam yang tidak bisa dipisahkan.
"Nggak."
Alma berbohong, Ashila tahu itu. Tapi setelah membaca ekspresi Alma yang tidak biasa, Ashila tahu kalau Alma tidak mau membahas perihal itu. Dan Ashila menghargai keputusannya. "Ya udah, gue temenin." Ketika Alma memandang Ashila, adiknya itu tersenyum kecil, seolah memberitahu Alma kalau ada dirinya yang bisa menemani Alma. Hal itu membuat Alma turut tersenyum serupa.
"Eh, tapi, Kak... Visanya gimana? Jadwal konsernya udah dekat loh."
"Tenang aja, selama bokap lo Abizar Ilyas, hal-hal kaya gitu nggak perlu lo pikirin."
Oh... benar juga, batin Ashila tertawa senang. Apa sih yang tidak bisa dilakukan Papa mereka itu memangnya?
"Tiket pesawat juga elo yang bayar kan, Kak?" Ashila menaik turunkan alisnya.
Mata Alma seketika menyipit tak senang. "Ya nggak lah! Gila ya lo. Tiket konsernya aja udah mahal banget, belum lagi hotel, biaya transport sama makan lo selama di sana. Semua itu gue yang tanggung. Tolong sadar diri dikit ya, Shila."
"Ya ampun, tinggal tambah tiket pesawat doang padahal. Kalau traktir orang itu jangan setengah-setengah dong, Kak."
"Bodo amat."
"Please... tiket pesawatnya juga, ya, hm?" Ashila menangkupkan kedua tangan di depan dada. "Ini sekalian gue tambah telur ceplok sama sosis deh, Kak."
"Dua, ya."
"Telurnya?"
"Iya. Terus sosisnya lima."
Mulut Ashila ternganga hebat. "Ih, memangnya lo sanggup makan sebanyak itu?" Alma mengangguk santai. "Gue curiga lo cacingan. Makan lo banyak, badan lo segitu-segitu aja."
Alma melempar adiknya dengan satu cabai di tangannya. "Berisik. Buruan masak. Gue kalau lapar bisa makan orang loh."
"Hih, bodo amat." Ashila menjulurkan lidah mengejek. Demi tiket pesawat yang lumayan menguras isi kantong, Ashila akan melakukan apa pun yang Kakaknya mau. Lumayan, nonton konser gratis, batinnya girang.
Begitu Ashila selesai memasak, Alma langsung membawa sepiring mie goreng lengkap dengan dua telur ceplok dan lima sosis di atasnya.
Mata Alma berbinar bahagia selagi menyantap sarapan paginya yang kesiangan. Bagaimana tidak, dia baru sarapan pagi pukul sebelas siang seperti ini.
"Pake nasi kali, ya... biar kenyang." Gumam Alma. Sedangkan matanya memandang seksama ke atas piring di mana hanya tersisa sedikit mie goreng dan juga satu sosis. Seakan-akan dia harus benar-benar berpikir untuk menentukan keputusannya yang sama sekali tidak perlu.
Toh pada akhirnya dia tetap mengisi piringnya dengan dua centong nasi. Tidak lupa mengambil kerupuk sebelum menyantap kembali makanannya dengan hati riang.
Bagi Alma, makan adalah obat paling mujarab untuk semua rasa sakit yang dia rasakan. Entah itu fisik maupun batin. Selagi mulutnya masih bisa mengunyah, maka tak ada masalah apa pun yang tidak bisa Alma lupakan.
Sedang asyik-asyiknya makan, dari ekor matanya, Alma menyadari kemunculan Arka.
Lelaki itu berdiri diam tidak jauh dari tempat Alma berada. Memandang Alma lekat dengan sorot mata sendu.
Keberadaan Arka membuat Alma terkejut, dia sampai tersedak dan terbatuk-batuk.
Arka cepat-cepat menghampiri, "Lo nggak apa-apa?" tanyanya panik. Dia amati sekitar meja makan dan tidak menemukan minuman apa pun. Maka Arka berlari ke arah dapur untuk mengambil air.
"Eh, Bang Arka." Sapa Ashila. "Buru-buru banget, haus banget emangnya?" pasalnya dia melihat Arka yang menuang air ke dalam gelas dengan wajah panik.
"Bukan buat Abang."
"Buat siapa?"
"Alma. Kesedak makanan terus batuk-batuk."
Wajah Arka sangat panik. Tapi Ashila malah mencibir malas. "Kebiasaan banget emang."
Ini memang bukan pertama kalinya Alma makan sampai tersedak. Jadi Ashila tidak perlu mencemaskan Kakaknya itu. Bahkan sekali pun semua anggota keluarga ada di sana ketika Alma tersedak, mereka akan tetap santai dan menyuruh Alma untuk minum.
Sepertinya hanya Arka saja yang mencemaskan Alma. Kecemasan yang sia-sia, gumam Ashila di dalam hati.
Ketika Arka kembali ke meja makan sambil membawa segelas air, dia mengerjap tak percaya manakala melihat Alma yang sudah kembali makan sambil menggigit kerupuk. "Lo nggak apa-apa?" tanya Arka bingung.
Alma melirik sinis. "Itu mulu pertanyaan lo dari tadi."
Meski sinis, anehnya Arka malah tersenyum lega. Karena akhirnya dia bisa mendengar suara Alma lagi. Astaga... Arka benar-benar rindu ternyata.
Menarik kursi di samping Alma, Arka memutuskan duduk di sana. "Nih, minum lo."
"Hm." Alma meraih gelas dari Arka, meneguknya hingga tak tersisa. Lalu dia mendengar Arka tertawa pelan. "Apa lo ketawa-tawa?!"
"Nggak apa-apa." Arka menggelengkan kepala. Karena Alma tidak bersuara lagi, bahkan seolah menganggap Arka tidak ada di sana, Arka melipat kedua tangan di atas meja, lalu merebahkan kepalanya miring ke arah Alma.
Dia mengamati gerak-gerik Alma yang sedang makan dan mengunyah. Tak ada yang spesial, justru Arka pun tahu kalau Alma belum mandi. Anehnya, Arka sangat menyukai apa yang dia lakukan saat ini. Memandangi Alma, seperti kebiasaannya sejak kecil.
Arka sendiri pun tidak tahu mengapa dia senang sekali memandangi Alma. Seperti menghadirkan kedamaian dan kesenangan tersendiri dalam dirinya. Alma sangat ekspresif, semua ekspresi yang tercipta di wajah Alma sangat Arka sukai.
Seperti sekarang, Alma makan sambil memasang wajah datar pun, Arka tetap tersenyum-senyum memandangnya.
"Ada nasi di bibir lo." gumam Arka.
Alma mengernyit, namun tidak mau memandang Arka. Dia hanya meraba-raba bibir dan pipinya sendiri.
Sayangnya nasi itu masih berada di sana, hingga tangan Arka bergerak begitu saja, mengambil nasi itu, memperlihatkannya pada Alma hingga Alma menatap pada Arka.
Lama mereka saling tatap tanpa suara, karena sorot mata mereka yang penuh arti sudah lebih dari sekedar suara yang menyampaikan isi hati.
"Maafin gue, ya." ucap Arka lembut pada akhirnya. "Gue bego banget sampai nggak tahu kalau lo udah beli tiket buat kita, karena lo tahu gue pasti lupa gara-gara terlalu sibuk."
Alma mengerjap. Cukup terkejut karena Arka mengetahui yang sebenarnya.
"Terus gue malah bilang bakal nonton sama Elena. Sama sekali nggak peduli atau nanya apa-apa dulu sama lo. Maaf ya, Al... gue yang salah."
Dari sekian juta alasan mengapa Alma mau bersahabat dengan Arka, alasan nomor satu dan paling utama adalah... karena Arka sangat menyayangi Alma dan tahu bagaimana cara memperlakukan Alma dengan baik.
Arka bukan hanya menuruti semua yang Alma mau, bukan hanya menuruti keegoisan Alma. Tapi dia bisa memahami segala sikap dan tingkah egois Alma yang sangat kekanakan.
Di saat orang-orang menganggap Alma adalah wanita tangguh hingga merasa tidak perlu memikirkan perasaan Alma, menganggap Alma bisa mengurus dirinya sendiri, menyelesaikan masalah hidupnya sendiri, Arka justru selalu berjalan sejajar dengannya.
Kalau pun Alma sedang kehilangan kontrol dan menyuruhnya pergi, maka Arka tidak benar-benar melakukannya. Dia hanya akan melangkah mundur, memberi sedikit jarak, lalu berjalan di belakang Alma.
Mengikuti ke mana langkah Alma, menjaga Alma dengan caranya sendiri, hingga pada akhirnya Alma berhenti dan menoleh ke belakang, menyuruh Arka kembali menghampirinya.
"Ini bukan tentang tiket konser. Gue tahu. Ini tentang... sebuah momen, kebersamaan kita, yang selalu kita lakuin bareng-bareng. Tapi tiba-tiba aja gue bilang mau melakukan kebersamaan itu dengan orang lain, tanpa tanya dulu pendapat lo, tanpa peduli sama perasaan lo." Arka menatap Alma lirih penuh penyesalan.
Alma merasa uring-uringan beberapa hari ini karena Arka yang seolah tidak peduli mengenai hal itu. Tapi saat ini, ketika dia tahu Arka telah memahami apa yang Alma rasakan, hatinya justru terasa sesak.
Matanya terasa sedikit panas. Karena takut menangis di depan Arka, Alma membuang muka.
Sisa nasi di piring tidak lagi membuatnya berselera. Alma hanya duduk diam dengan tatapan sendu.
"Maaf kemarin gue marah-marah." Gumam Arka.
Alma menarik napas panjang, dan menghela napas itu dengan berat. "Gimana, ya..." dia tersenyum kecut. "sebenarnya lo juga nggak salah sih. Lo kan nggak tahu soal tiket yang udah gue beli. Bukan salah lo juga kalau Elena kasih lo hadiah. Emang gue aja yang aneh."
Arka menegakkan punggungnya, ikut menatap objek yang sama seperti Alma. "Nggak aneh, Al. Gue juga kalau jadi lo bakal marah."
"Nggak usah coba hibur gue."
"Beneran. Nggak bohong gue. Makanya setiap kali gue tahu lo minta di traktir sama anak bos lo di kantor, gue kesel."
Eh?
Alma menoleh cepat, menatap Arka tidak mengerti.
"Soalnya... dari dulu kan selalu gue yang traktir lo. Selalu gue yang lo paksa-paksa sampe marah-marah. Makanya aneh aja kalau ada orang lain yang melakukan itu bareng sama lo." Arka memandang Alma, tersenyum tipis. "Kita sama aja kok, Al. Sama-sama bego."
Alma tertawa pelan, namun suaranya serak dan matanya berlinang air mata.
Setelah berhari-hari harus bergelut dengan perasaan aneh yang menyesakkan. Berhari-hari harus menjauh dari Arka. Kini Alma merasa gumpalan yang tidak mengenakkan di hatinya itu telah sirna."Begoan elo tapi." Dengus Alma seraya mengusap matanya yang sedikit basah. Tidak mau sampai air matanya menetes.
"Cie... nangis." Goda Arka. Tangannya bergerak ke piring Alma, mengambil kerupuk, lalu menggigit sebagian. Arka butuh mencari pelarian agar tidak larut dalam kesedihan seperti Alma.
Alma mencebik. "Berisik."
Tapi setelah itu mereka kembali tertawa, mengobrol ringan seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka sebelumnya.
***