Awan untuk Rembulan

By AriraLv

203K 25.4K 5.3K

"Kalau panas mataharinya nyakitin kulit lo, gue bisa jadi awan yang halangin sinarnya." ☁️ Agraska Galelio T... More

Prolog
Cast
☁️ㅣ1. Kedatangannya di SMA Pelita
☁️ㅣ2. Saus Gadis Petaka
☁️ㅣ4. Pengawal yang Baru
☁️ㅣ5. Awan, Cloud Cafe
☁️ㅣ6. Ada Rekomendasi Film?
☁️ㅣ7. Praktik Drama Korea
☁️ㅣ8. Awan Pelindung Rembulan
☁️ㅣ9. Sudah Ada yang Tahu
☁️ㅣ10. Izin dari Kakak Pertama
☁️ㅣ11. Awal Perlawanannya
☁️ㅣ12. Penampilan Agraska
☁️ㅣ13. Lemah, Letih, Lebay
☁️ㅣ14. Dia Lelaki Kimia
☁️ㅣ15. Obat Sang Rembulan
☁️ㅣ16. Sebuah Rencana Kecil
☁️ㅣ17. Bagaimana Faktanya?
☁️ㅣ18. Mereka Telah Memulai
☁️ㅣ19. Ikut Dalam Permainan
☁️ㅣ20. Rencana yang Hancur
☁️ㅣ21. Labirin Milik Agraska
☁️ㅣ22. Pengganggu adalah Benalu
☁️ㅣ23. Permintaan Maafnya
☁️ㅣ24. Rekaman yang Tersebar
☁️ㅣ25. Ini Jatuh Cinta?
☁️ㅣ26. Sebuah Lagu, Untukmu
☁️ㅣ27. Isabela Sudah Pulang!
☁️ㅣ28. Lavender dan Blueberry
☁️ㅣ29. Luka karena Ayah
☁️ㅣ30. Apa Pilihannya?
☁️ㅣ31. Terjadi Pembubaran?
☁️ㅣ32. Bulan Menerima Awan
☁️ㅣ33. Kebahagiaan Sesaat
☁️ㅣ34. Penyelamatnya Tiba
☁️ㅣ35. Bukan Hanya Teman
☁️ㅣ36. Tidak Ada Akses
☁️ㅣ37. Kita Harus Bertemu
☁️ㅣ38. Berita Buruk, Lagi
☁️ㅣ39. Plat Nomor yang Sama
☁️ㅣ40. Saat Permohonan Itu
☁️ㅣ41. Hari Beraksi
☁️ㅣ42. Aksinya, Kembali
☁️ㅣ43. Anumus.n Namanya
☁️ㅣ44. Tetap Menerima Hadiah?

☁️ㅣ3. Pengawal yang Menghilang

6.9K 849 213
By AriraLv

Update : Hari SENIN & JUM'AT
Diingat, oke!

Tinggalkan komentar yang banyak!
Jangan lupa follow instagram:
ariraa_wp
zanava.fam

"Bener 'kan, jadi telur dadar." Alvano bergumam menyembunyikan kekesalannya, ingin berlari dari posisinya saat ini, mengunci diri di kamar secepat mungkin, lalu saat keluar ia tak akan melihat neneknya lagi. Alias, neneknya harus sudah pulang saat ia keluar kamar. Tapi realita tidak semudah dunia imajinasinya.

Sekarang, tepat setelah pulang sekolah, Alvaro, Alvano, dan Rembulan bukannya bersih-bersih dan mengerjakan tugas, ketiganya malah duduk dengan kepala menunduk, sementara di hadapannya berdiri Isabela yang berkacak pinggang.

Ketiganya persis seperti anak nakal yang sedang dinasehati.

Sementara dua gadis lain, duduk tenang di kursi yang berada di belakang Isabela, memperhatikan.

"Jadi yang Hana ceritakan itu benar, ya?" tanya Isabela, menatap ketiga remaja di hadapannya. "Maksud kalian apa? Bilang Hana gak becus dan sebagainya, kalau gak sengaja ya, apa masalahnya?!"

"Varo kelepasan aja, Nek." Alvano menyahut. "Varo 'kan juga gak sengaja bilang begitu, kalau gak sengaja ya, apa masalahnya?" tanyanya dengan nada yang sama seperti Isabela tadi. Jelas sekali Alvano membalikkan keadaan dengan telak.

"Gak mungkin gak sengaja, Nek." Hanina melipat tangannya di depan dada. "Dia sampai lupa sama keluarga sendiri demi orang lain."

"Siapa yang keluarga, siapa yang orang lain?" Alvaro mengangkat pandangan, menatap tajam tepat pada Hanina. "Udah jelas, Bulan adik gue. Kalian orang asing."

"Alvaro!"

Jika neneknya sudah berteriak, maka Alvaro tidak boleh membalas berteriak atau akibatnya buruk. Jadinya Alvaro menghela napasnya, menoleh pada Rembulan mengabaikan tatapan Isabela. Alvaro lebih tertarik memperhatikan mata bulat adiknya, dibandingkan tatapan bengis milik neneknya.

"Alvaro tatap nenek! Kamu mulai berani dengan nenek! Kamu harus tahu, Nenek bisa melakukan apapun di sini, termasuk dengan pekerjaan Papa kamu sendiri!" Isabela terus menyorot tajam, namun tak ditanggapi Alvaro membuat emosinya kian meluap.

Sadar akan situasi yang memanas, Rembulan mencengkeram dagu Alvaro dan segera memutar wajah lelaki itu untuk menghadap ke depan.

"Sebagai hukuman karena kamu menghina Hana dan juga Hanina, kamu harus turuti apa kata mereka berdua selama sebulan!" Isabela berucap mutlak, lantas menoleh pada Alvano. "Kamu juga! Kalian berdua harus menurut pada mereka!"

"Nenek, jangan kekanakan." Alvaro mengernyit, jelas sekali tidak menerima. "Ini gak masuk akal."

Kepala Alvano mengangguk heboh. "Hana numpahin saus ke mata Bulan, Hana numpahin makanan Bulan, terus Varo cuman bilang begitu aja. Kenapa kami harus dihukum? Itu gak adil, Nek!"

"Kenapa bisa gak adil?" tangan Isabela terlipat di depan dada, pandangannya melirik ke arah Rembulan yang tenang di tempatnya. "Selama ini, orang asing masuk dan jadi pusat perhatian kalian, sementara keluarga sendiri diabaikan, bahkan malah dikatain kasar. Mana sopan santun keluarga kalian? Benar 'kan, Rembulan?"

Kedua bola mata Rembulan terangkat dan terarah pada Isabela yang sedang memperlihatkan kilatan tajamnya. Rembulan tahu, Isabela terlihat sekali membela Hana dan Hanina. Predikat 'Cucu Kesayangan Nenek' benar-benar diambil oleh gadis kembar itu. Lalu mengenai perkataan Isabela barusan, Rembulan rasa itu tidak benar.

Hanya saja, Rembulan tidak bisa menyangkal. Hanya bisa menyunggingkan senyuman kaku. "Iya, Nek."

"Gak bis--"

Perkataan Alvaro terpotong, saat pintu utama terbuka dan Laila datang bersama pembantu. Mereka berdua baru saja selesai berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Laila yang pertama sadar akan keadaan yang tampak tidak baik. Ada Isabela yang berdiri di depan tiga anaknya, sementara di belakangnya ada dua gadis lain yang ia ketahui, mereka anak dari adik suaminya--Andhika.

"Mama!!" Alvano berdiri, detik berikutnya berlari pada Laila. Binaran matanya terpancar jelas, sebab melihat Laila, seperti melihat malaikat penyelamat yang datang. "Mama, kami dihukum nenek!" adunya.

"Dihukum? Kalian emangnya bikin ulah apa?" tanya Laila, ia membawa Alvano untuk kembali mendekat ke ruang tamu dan menyerahkan barang belanjaannya pada sang pembantu.

"Mereka menyakiti Hana dan Hanina, hanya karena anakmu," ketus Isabela.

"Bukan itu masalah intinya." Alvaro bersuara. "Varo ngatain Hana bukan karena Bulan."

"Emang Hana aja gak becus," celetuk Alvano. Ketika sadar, Alvano langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Intinya kalian berdua harus menuruti Hana dan Hanina mulai hari ini, sampai sebulan ke depan!" Isabela berucap mutlak. Tidak mau menjelaskan apapun lebih detail pada Laila karena ia rasa Laila tak perlu ikut campur dalam masalah ini.

Laila tersenyum pada Isabela, ia paham jika sifat Isabela memang tidak mau kalah. "Mama gak mau dengerin sudut pandang Bulan dulu? Seenggaknya, dengerin semua cerita mereka, lalu simpulin. Hukumannya juga kenapa berat sebelah, Ma?"

"Maksud kamu apa meragukan keputusan saya?! Memangnya kamu siapa di sini? Di mana posisi kamu? Selama ini, menantu saya hanyalah Reina dan Asya! Tidak ada tambahan lagi!"

Tidak ada yang tidak terkejut mendengar ucapan dari Isabela. Alvaro dan Alvano saling tatap sementara Rembulan langsung meraih tangan Laila untuk ia genggam dalam posisi duduknya. Ingin sekali Rembulan berdiri, memeluk Laila dan menariknya pergi dari sini, tapi kedua kakinya tidak mengabulkan itu saat ini.

"Iya, Ma. Nggak papa." Laila masih tersenyum, tidak mau terlihat goyah apalagi di hadapan anak-anaknya. "Laila cuman mau Mama ngertiin cucu Mama yang lain. Alvaro, Alvano, dia kan cucu Mama. Selain Hana dan Hanina, Mama harus dengerin Alvaro dan Alvano."

Rahang Isabela mengetat melihat ketenangan yang ditunjukkan Laila, suaranya hendak keluar lagi, tapi lengannya ditahan seseorang.

"Kami akan jalanin hukumannya. Nenek puas?" Alvaro berkata dengan suara dalamnya, matanya melirik tajam pada dua gadis di belakang Isabela. "Nenek gak perlu libatin Mama, atau hina dia. Nenek keterlaluan," ucapnya setelah itu ia pergi ke meninggalkan keadaan begitu saja.

"Alvaro!" Isabela berteriak, namun diabaikan membuatnya segera menghadap pada Laila. "Itu ajaranmu 'kan?!"

Laila menggeleng. "Ma, pembelaan itu bukan hanya ajaran dari seseorang, tapi juga muncul dalam hati dan tekadnya." Setelah mengatakan itu, Laila meminta Alvano untuk memindahkan Rembulan ke kursi roda, dan mereka segera pergi dari ruang tamu.

Isabela sendiri mendengkus, duduk kembali bersama dua cucunya yang mendadak riang gembira karena pernyataan Alvaro tadi, bahwa mereka bisa meminta apa saja pada Si Kembar.

.☁️.

"INI MUSTAHIL!" Alvano berteriak menuruni tangga, langkahnya terburu-buru menuju ruang makan di mana semua keluarganya akan menikmati makan malam di sana. "PAPA PAPA!!" teriaknya lebih menggelegar.

Alderion yang tadinya duduk tenang di kursi langsung bangkit, menahan kedua pundak Alvano agar lelaki itu tidak berlari. "Jangan teriak-teriak, nanti telinga orang bisa rusak, Vano."

Alvano memutar bola matanya, kakinya kembali melangkah cepat dan kini berhadapan dengan Anggara.

"Ada apa, Vano?" tanya Anggara melihat Alvano yang menjulurkan ponsel padanya.

"Papa, Varo sama Vano 'kan dihukum sama Nenek buat nurutin semua ucapan Hana dan Hanina. Teruuuus Hana chat Vano, katanya mereka mau Varo sama Vano jagain mereka di sekolah. Masalahnya, kami 'kan harus jagain Bulan. Ini 'kan mustahil! Mana mungkin!"

"Hukuman?" Alzero bergumam, kepalanya langsung menoleh ke samping kiri di mana Isabela sedang duduk tenang. "Nenek hukum adik Zero, apa alasannya?"

"Alasannya panjang, mereka tidak sopan," jawab Isabela. Matanya kini menatap pada Anggara. "Perusahaan kamu sedang tidak stabil, Anggara. Jika ayahmu tidak mau membantu, pasti sudah hancur sejak seminggu lalu. Jadi, jika ingin ayahmu tetap membantu, dengarkan apa kata mama!"

Anggara menghela napas, memang perusahaannya sedang mengalami hal yang tidak diinginkan karena penipuan. Anggara sedang meminta bantuan ayahnya--Leonardo untuk menstabilkan dan juga kembali membangun agar tidak terjadi kebangkrutan.

Anggara menoleh pada Laila yang menggeleng, pertanda jika Laila sudah berusaha namun tidak berhasil.

"Mama, Bulan lebih butuh Alvaro dan Alvano di sekolah. Kalau kayak gini, Bulan dijaga sama siapa?"

"Dia 'kan sudah enam belas tahun," sahut Isabela dengan santai.

"Nenek juga tahu Hana dan Hanina enam belas tahun." Alderion melangkah mendekat, pada Isabela yang diam tak menatapnya. "Nenek paham kenapa Bulan butuh Varo sama Vano. Kaki Bulan belum pulih, sementara Hana dan Hanina baik-baik aja. Nenek coba pikir--"

"Kamu ingin membuat perusahaan Papamu semakin hancur?" potong Isabela.

Alderion bungkam, ia menatap Anggara yang juga balas menatapnya. "Kalau gitu Rion gak akan kuliah buat beberapa minggu. Rion yang jagain Bulan di sekolah," putusnya membuat semua terkejut bukan main.

"Jangan gitu, Rion." Laila bersuara. "Mama gak mau kuliah kamu terganggu, Mama sudah pikirin ini sejak tadi, Mama rasa, Mama tahu siapa yang bisa jagain Bulan gantiin Varo sama Vano."

Alvaro dan Rembulan baru keluar dari lift saat mendengar ucapan Laila barusan. Mereka saling pandang, sebelum akhirnya Alvaro melangkahkan kakinya cepat seraya mendorong kursi roda yang ditempati Rembulan.

"Siapa, Ma?" tanya Alvaro.

Laila menunjukkan layar ponselnya, di mana sedari tadi ia sedang melakukan komunikasi dengan chat pada seseorang yang ia harap bisa ia andalkan.

"WHAT THE F--!! CACING ALASKAAAA!!" teriakan Alvano menggema di seluruh ruang makan.

.☁️.

"NGERI, CUY!" Navy berteriak menghampiri anggota inti Axares saat mereka sedang berada di rumah Agraska--tempat mereka berkumpul selain markas. "PAK BOS KESURUPAN!" teriaknya lagi dan kini langsung menarik atensi.

Genta berdiri, kartu-kartu yang ia pegang dibiarkan begitu saja di meja. "Di mana?! Buruan panggil Pak Ustad!"

Navy menunjuk ke arah dapur. "DI SANA, PLEASE! GUE NGERI LIHATNYA."

"DIA MAKAN BELING, GAK?!" Leon juga ikut berteriak, panik.

"Dia bukan kuda lumping, njir!" Genta tak bisa berlama-lama lagi di ruang tamu tempat berkumpul, segera ia berlari ke arah timur untuk menuju dapur di rumah Agraska.

Belum juga langkah kakinya sampai di tempat yang dituju, ia sudah mendengar tawa Agraska yang tidak bisa ia deskripsikan lagi bagaimana menggelegarnya, berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Di belakangnya, Leon dan Navy merasakan hal yang sama.

"Beneran, panggil Pak Ustad, Pastor, Pendeta, dukun, Pak Haji, Pak RT, Pak RW, atau apalah," usul Genta seraya berbalik pada dua lelaki lainnya. "Gue baru denger dia ketawa begitu."

"Bapak lo 'kan pak Haji," celetuk Navy.

"Udah koit, dodol! Masa gue harus gali kuburannya!" balas Genta, nyolot.

"Ya maaf, lupa."

"Udah, woi!" Leon segera melerai, ia memutuskan untuk menarik lengan Genta dan Navy lalu melangkah ke area dapur bersama-sama, di mana mereka langsung disuguhkan dengan Agraska yang melompat-lompat riang.

Ketiga lelaki tadi tambah merinding.

"Gra." Genta memanggil, seketika menghentikan aksi Agraska.

"Hah?" Agraska berbalik. Jauh daripada keadaannya tadi, sekarang lelaki itu tampak normal. Namun tidak bertahan lama, saat binaran matanya muncul. "EH, KALIAN HARUS TAHULAH! GUE PUNYA KEMAJUAN PESAT!" teriaknya kemudian melompat, lalu ditangkap oleh tiga anak buahnya.

Mereka bertiga mengangkat Agraska menuju ke ruang tamu, sementara Agraska sendiri bergaya seperti superman terbang.

"Lo gak kesurupan?" tanya Leon saat Agraska kini berdiri di kursi.

Agraska mengernyit. "Setan mana yang mau ngerasukin gue!" ucapnya lantas ia buru-buru menunjukkan layar ponselnya. "LIHAT WOY!! KEMAJUAANN!!" teriaknya heboh.

Leon, Genta, dan Navy membaca chat yang Agraska perlihatkan. Tak lama dari itu mereka mengangguk kompak, sekarang mereka tahu apa penyebab Agraska tertawa sendiri di dapur seperti kerasukan.

Calon mama mertua--sebutan Agraska pada Laila, memberikan pesan untuk menjaga Rembulan selama di sekolah.

"Pantas aja." Genta berbisik. "Untungnya kita belum manggil pasukan warga, njir."

"Iya, gila." Navy membalas, sama berbisik-bisik. "Nanti gue yang malu."

Terkekeh kecil, Leon mengangguk. "Mulai sekarang, jangan aneh lagi kalau nih cowok makin brutal."

"Kasian, mana masih muda."

Chapter kali ini gimana? Seru gak?

Spam awannya di sinii>>

Agraska itu bukan cowok cool, dingin, galak, yaa😭🙏 di depan musuhnya aja begitu, aslinya kayak .... susah didefiniskan🙏

Continue Reading

You'll Also Like

626K 50.2K 30
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
553K 71.9K 20
"Kalau lo egois dan mikirin diri sendiri gini, lo gak pantes jadi OSIS." -Jeno "Gue yang darah rendah liat tampang dia langsung darah tinggi tau gak...
111K 5.5K 46
Part masih lengkap! Judul Awal : Senja Dan Hujan ⚠️Follow sebelum baca! Dilarang keras menjiplak dalam bentuk apapun!⚠️ ••• Tentang dua orang sepupu...