Punca Anomali | ZEROBASEONE...

By xieshila

2.4K 1K 381

Terbangun dengan sebuah fakta bahwa dirinya telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit selama 9 bulan la... More

Prologue | Ilusi Kuasi
1 | Realitas Ganjil
2 | Satu Tahun Silam
3 | Reminisensi Lengkara
5 | Ragawi Tak Kasatmata
6 | Marvella
7 | Ekspedisi Tak Bernyawa
8 | Enigma
9 | Asrar & Warita
10 | Potret Persona Juwita
11 | Elusif
12 | Dejavu
13 | Kompleksitas Satu Waktu
14 | Praduga Tak Berakar
15 | Aksioma
16 | Tinggal dan Menetap
17 | Momentum Garib
18 | Tabir Ilusi Gael
19 | Tabir Ilusi Gustav
20 | Tabir Ilusi Rojiv
21 | Tabir Ilusi Tristan
22 | Mahendra, Zavier, dan Harris
23 | Tabir Ilusi Jehan
Epilogue | Delapan

4 | Disonansi Paradoksal

104 50 53
By xieshila

PLAY 3.21
3.20
3.19
...

Lamat-lamat bisa kudengar suara yang awalnya hanya gemeresik lirih, kini berubah menjadi sebuah dentuman mengejutkan secara tiba-tiba dan berakhir dengan gelombang rasa sakit tak terduga yang membuat runguku berdengung panjang. Langkahku lantas terhenti, dahiku mengernyit menahan rasa sakit, atensiku pun menyipit ketika menyadari bahwasanya atmosfer rumah sakit mendadak berubah menjadi kelam. Lampu-lampu rumah sakit yang tadinya menerangi koridor rumah sakit, kini menyala dan padam secara silih berganti. Anehnya, orang-orang yang sibuk lalu lalang dan beraktivitas di sekitar, tampak tidak terganggu dengan hal tersebut. Lembayung senja menghitam begitu cepat dilahap oleh mega mendung, garis kilat berwana kuning tergambar jelas di atas sana. Gemuruh terdengar membahana dan saling bersahut-sahutan, membuat lantai yang menjadi tempatku berpijak bergetar karenanya. Sekon ke depan, rintik hujan dengan intensitas besar jatuh berbondong-bondong melantam bumi. Namun, di luar sana, sama sekali tidak ada manusia yang berinisiatif pergi untuk berteduh. Mereka malah asik bercengkerama dan bersenda gurau seolah-olah tidak terjadi apa pun.

"Mengapa orang-orang terlihat nggak normal?" tanyaku heran.

Hujan deras perlahan mulai meredam dengung panjang yang membuat runguku terusik beberapa waktu lalu. Kuperhatikan dengan saksama layar ponselku yang masih menyala menampilkan galeri aplikasi rekaman suara. Tanganku tergerak untuk menekan tombol play, tapi tidak ada suara yang terdengar. Tiba-tiba aku teringat bahwa rekaman suara ini bisa berjalan dengan cara konyol, yaitu kedua tungkaiku harus bergerak maju. Haruskah? Bagaimana jika aku bergerak mundur?

Keputusanku untuk mengambil langkah mundur, langsung disambut dengan sorot lampu merah yang menyala terang hingga bisa kulihat bayanganku begitu jelas di dinding. Aku melangkah mundur sekali lagi, warna merah terang tadinya pun berubah menjadi lebih gelap. Melihat pantulan diri sendiri yang berwarna hitam di antara warna merah yang mendominasi, membuat bulu kudukku meremang seketika. Bukan, bukan karena perbedaan warna kontras yang membuatku merinding. Akan tetapi, pikiranku sendiri. Secara tidak langsung, sebagai manusia yang terlahir dengan bakat dan antusias tinggi terhadap aliran seni, membuatku memvisualisasikan warna tersebut ke dalam sebuah ilustrasi baru di dalam imajinerku. Warna merah yang mendominasi layaknya lautan darah, sedangkan hitam yang merupakan bayanganku tersebut adalah orang tenggelam. Aku buru-buru menggelengkan kepala, menepis pikiran buruk yang hinggap di serebrumku dan kembali fokus terhadap sekitar.

Ini aneh, monologku singkat dalam hati.

Saat kedua tungkai ini melangkah ke depan, bayanganku yang terkena sorot lampu merah tersebut menghilang. Aku menoleh, sorot lampu merah tersebut pun secara ajaib menghilang bak ditelan bumi. Detik dalam rekaman suara mulai bergerak mundur, vokal yang tidak asing terdengar begitu ketakutan hingga terisak di sela-sela ucapannya.

🔈 Siapa pun ... bzzz ... tolong aku ... bzzz ...

Walaupun tidak terdengar begitu jelas karena suara gemerisik, siapa manusia yang tidak bisa mengenali suaranya sendiri? Namun, bukan itu yang patut dipertanyakan saat ini, melainkan alasan apa yang menjadi latar belakang atas rasa takutku yang berlebihan hingga membuat suaraku menjadi serak karena menangis tersedu-sedu. Sialnya, seberapa besar usahaku untuk mengingatnya, hasilnya nihil. Aku tidak mengingat apa pun.

🔉 Aku sudah berusaha untuk menghubungi siapa pun, tapi nggak ada yang merespons. Bahkan aku juga nggak bisa menghubungiku teman-temanku karena mereka ... bzzz ... Ini semua salahku, harusnya aku tidak penasaran dengan ... bzzz ... Harusnya kami berhenti, harusnya kami nggak pernah memulainya, harusnya kami nggak pernah membawa ... bzzz ... itu ke tempat kami. Sialan! Brengsek! Jikalau sudah seperti ini, bagaimana caranya aku selamat? Bagaimana caranya aku ... bzzz ... teman-temanku? Aku tidak mau mati, aku juga tidak mau bermain. Aku muak! Aku tidak akan pernah bisa menang dari permainan ... bzzz ... sialan ini!

Mendengar rekaman suara yang tidak jelas, jujur membuatku kesal. Kata demi kata yang rumpang dalam rekaman suara itu adalah bagian penting, tapi mengapa selalu saja tidak bisa terdengar dengan jelas? Entah mengapa rasanya seperti mendengarkan suara rekaman yang tidak asli dan sudah melewati proses editing dengan memberikan sentuhan efek suara sebagai sensor.

🔈 Harus ke mana lagi aku pergi untuk lari? Aku nggak mau mati ... ayah yang di surga, tolong aku. Bunda, tolong aku ...

Makin jauh aku mendengarkan rekaman tersebut, makin jauh juga langkah yang kuambil. Koridor dan penerangan rumah sakit yang fluktuatif menjadi saksi bisu perjalananku untuk mengungkap misteri di balik kejadiaan naas yang menimpaku 9 bulan lalu. Kulihat detik-detik yang berlalu pada rekaman suara tersebut, makin singkat. Namun, tidak ada lagi suaraku atau gemersik yang terdengar. Hanya diam yang berkepanjangan.

"Marvel!"

Atensiku yang sedari tadi memandangi ponsel, kini beralih ke arah datangnya suara. Tidak jauh di depan sana, aku bisa melihat 8 teman sejawatku tengah melambaikan tangan sambil meneriakkan namaku begitu antusias. Kelewat rindu, refleks saja kedua tungkaiku bergegas menghampiri mereka. Namun, ketika tinggal sejengkal lagi aku bisa bergabung dengan mereka, sesuatu yang kuat menarikku dari belakang hingga tubuhku jatuh terpental. Pendaratan tidak sempurna-yang mana pantatku mencium lantai begitu keras, membuatku meringis kesakitan.

🔊 Kini tiba waktunya untukmu bermain, Marveliano. Kowe ora bakal iso mlayu maneh saka aku³!

Suara ini ... tidak asing. Suara ini adalah suara yang aku dengar di alam bawah sadarku saat aku koma. Suara wanita dewasa, tapi siapa?

Detik selanjutnya, mulai terdengar suara erangan kesakitan yang membuat runguku pengang. Saat aku mengalihkan pandanganku ke depan, aku tidak lagi melihat teman-teman sejawatku. Akan tetapi, sudah tergantikan dengan sosok-sosok mengerikan yang dibungkus kain kafan putih lusuh tengah merangkak terseok-seok menghampiriku. Bisa kudengar dengan jelas rintihan terbata-bata dari sosok-sosok tersebut yang saling bersahutan. Jarak yang makin terkikis, sama sekali tidak mampu membuatku beranjak barang sedikitpun. Kelewat syok, membuatku hanya bisa diam mematung di posisiku. Pasrah dengan sentuhan tangan-tangan tulang belulang yang mulai menggerayangi tubuhku. Hingga salah satu dari mereka, tengah menyelaraskan wajahnya-yang membusuk dan berlubang di beberapa bagian-dengan wajahku. Sepasang mata yang tadinya hanya kulihat berongga, kini tiba-tiba saja muncul bola mata berwarna putih dengan iris berupa titik bulat yang kecil, melotot ke arahku. Dipelototi tiba-tiba, membuat air mataku meluruh membasahi pipi. Terlebih lagi ketika mulut sosok tersebut kembali terbuka lebar hingga sobek, menyemburku dengan cairan merah kental berbau amis begitu deras dan pasukan belatung yang tak terhitung jumlahnya. Tubuhku yang bergetar hebat karena ketakutan, menjadi bahan tontonan yang menyenangkan bagi sosok-sosok menyeramkan itu hingga mereka tertawa melengking.

🔊 Kowe kudu ngrampungake apa sing wis diwiwiti⁴!

Saat itu, tiba-tiba saja kakiku diseret secara paksa. Keberanianku yang sempat menciut karena rasa takut, perlahan muncul dan mulai melakukan aksi perlawanan ketika melihat ada lubang besar berwarna hitam seolah-olah siap menyedotku ke dalam dunia gelap.

Dirasa tidak lagi mampu untuk meloloskan diri, aku memejamkan mata sambil berteriak kencang meminta pertolongan. Secara bersamaan, bisa kurasakan tubuhku kembali jatuh.

PLAY 0.03
0.02
0.01
...

"Marvel!"

Saking takutnya aku tidak berani membuka mata, walaupun aku sudah mengenal vokal tersebut adalah milik bunda. Aku takut ini adalah tipuan, seperti sebelumnya. Bisa kurasakan kedua bahuku dicengkram lalu digoyang-goyangkan begitu kuat.

"Marvel! Buka matamu, Nak! Ini bunda!" teriak bunda yang membuatku tersadar. Di hadapanku, bisa kulihat bunda menangis tersedu-sedu di bawah derasnya hujan sore ini. Tangan kanan bunda mengepal lalu meninju bahuku pelan berulang kali. "Apa yang kamu lakukan, Vel? Apa kamu sudah gila, hah?!"

"Memangnya apa yang sudah aku lakukan hingga membuat bunda marah?"

Pertanyaan polos yang keluar dari bibirku membuat bunda tiba-tiba saja mendekapku begitu erat, beliau terisak. "Bunda baru saja menghentikan aksimu untuk lompat dari rooftop rumah sakit ini, Marvel!"

Aku termenung mendengar jawaban dari bunda, lidahku terlalu kelu untuk berbicara ketika menyadari bahwa posisiku memang tidak jauh dari tepi rooftop rumah sakit ini. Sedangkan pikiranku mulai berkecamuk akibat benturan memori-memori kejadian yang berbeda dalam satu waktu.

Aku bisa menjamin bahwa diriku tadi berada di koridor rumah sakit. Bagaimana bisa aku berakhir di sini? Selain itu, ke mana perginya makhluk-makhluk menyeramkan tadi?

Tidak ada jawaban atas pertanyaanku di dalam hati. Di belakang bunda, kulihat dokter dan dua orang pria yang tidak aku kenal tengah berdiri menatap ke arah kami berdua dengan napas terengah-engah. Dilihat dari kondisinya, sepertinya mereka juga berusaha menghentikan aksiku untuk mengakhiri hidup.

"Bunda, mereka berdua siapa?" tanyaku.

Bunda melepaskan pelukannya lalu tersenyum ke arahku. "Mereka dari pihak kepolisian, tapi tenang saja, kedatangan mereka tidak punya maksud buruk."

Dahiku mengernyit, satu per satu kupandangi wajah mereka dengan saksama. Pikirku hanya satu, untuk apa pihak kepolisian ingin bertemu denganku? Saat ini, mereka berdua menatapku penuh selidik. Seolah-olah berusaha menerka ekspresi wajahku yang terlihat kebingungan akibat ragam kejadian yang terjadi dalam satu waktu.

"Ajun Inspektur Dewa, apa Anda yakin ingin menanyakannya saat ini tentang kasus mahasiswa-mahasiwa hilang 9 bulan lalu?"

Pemilik nama tersebut masih memperhatikanku, tapi kali ini tanpa ekspresi. Sekon ke depan, beliau menggelengkan kepalanya. "Sepertinya tidak hari ini. Untuk hari ini, dokter lebih berhak untuk menginterogasi pasiennya. Bukankah begitu, Dok?"

Dokter mengangguk singkat. "Ya, dilihat dari sikap pasien, sepertinya ada gejala delirium⁵."

Anggota kepolisian yang lain dengan lancang memungut ponselku yang tergeletak tidak jauh dari posisiku bersimpuh. Kulihat beliau sedang mengotak-atik benda pipih tersebut dengan raut wajah kebingungan.

"Untuk apa dia membawa ponsel yang sudah usang dan rusak?"

Alisku bertaut, apa yang dikatakan oleh mereka sama sekali berbeda dengan apa yang aku lihat. Apa yang sebenarnya terjadi?

Catatan Kaki:
³Kamu tidak akan bisa lari lagi dariku
⁴Kamu harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai
⁵Gangguan mental yang ditandai oleh ilusi, halusinasi, ketegangan otak, dan kegelisahan fisik

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 10.4K 7
dr. Sasa Ayuwandira Prawirohardjo dokpol, spesialis forensik, anak sultan dijodohkan dengan Edwin Chandra, S. Ked. Ceo perusahaan P-Farma. Edwin itu...
3.2M 195K 72
𝐒𝐢𝐧𝐨𝐩𝐬𝐢𝐬: Baru saja Kayla memaki tokoh antagonis dalam novel 'Fall in Love' yang ia baca, Kayla tak menyangka, setelah kecelakaan, ia malah t...
KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

8.5M 586K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
25.6K 2.7K 55
[COMPLETE] *** [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA, ADA BEBERAPA PART YG DIPRIVATE] *** 𝑩𝒊𝒎𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂 𝑺𝒆𝒄𝒓𝒆𝒕 𝑨𝒈𝒆𝒏𝒕 (𝑩𝑺𝑨) merupakan organi...