NATAREL (SELESAI✔️)

Av Park_sooyang

4.4K 2.4K 749

Budayakan membaca deskripsi sebelum terjun ke cerita🔪 Ada satu insiden yang membuat Rea, si anak baru yang k... Mer

Prolog
1 | Kerusuhan
2 | Uang Kembalian
3 | Kacamata
4 | Intrepide
5 | Kunci Motor
6 | Apartemen
7 | Ponsel Keramat
8 | Diborgol Polisi
9 | Penyesalan Rio
10 | Taruhan
11 | Mysterious Rider
12 | Pacar Settingan?
13 | Mau Bolos Bareng?
14 | Sandiwara
15 | Sport Merah
16 | Ide Gila Dua Murid Gila
17 | Revan VS Nata
18 | Bakmi Iblis
19 | Lunch
20 | Night Screams
21 | Tanpa Kabar
22 | Dikejar Pasukan Gen Petir
23 | Purnama
24 | Dramatis
25 | Panic Attack
26 | Trik Psikologi
27 | Dialog Senja
28 | Perasaan Konyol
29 | Rea Berbohong
31 | Kaos Olahraga
32 | Aksi Zizad Lagi
33 | Secangkir Matcha
34 | Tanding Voli
35 | Hangout Penuh Drama
36 | Kevin Mencurigakan
37 | Tabiat Kevin
38 | Perkara Cokelat
39 | Gerbang Sekolah
40 | Anak Jalanan
41 | Hareudang
42 | Komplikasi
43 | Atas Jembatan
44 | Keduanya Ketiduran
45 | Dunianya Hancur
46 | Kegiatan Baru Nata
47 | Skandal
48 | Ambigu
49 | Celaka Karena Rea Lagi
50 | Sandiwara Lagi
51 | Gentleman Sesungguhnya
52 | Terlibat Kebakaran?
53 | Ulah Geng Ferdian Lagi
54 | Bukti Ketulusan Nata
55 | Hidup Untuk Apa?
56 | Confess di Kuburan dan Duka
57 | Candu Baru
58 | Menjelajah Rumah Pacar
59 | Gosip Gila
60 | Uji Nyali
61 | Night Changes
62 | Ruang Siaran
63 | Luar Jakarta
64 | Semuanya Telah Usai
65 | Danau, Hujan, Momentum
66 | Remuk Redam
67 | Nata Yang Sebenarnya
68 | Dare Romantis
69 | Ibu Kandung Sebenarnya
70 | Nata Akan Pergi
Extra Part

30 | Kehadiran Oma

43 21 4
Av Park_sooyang

Nata memarkirkan motornya di depan kafe Sinabu. Menurunkan standar motor, dia bergegas turun dari motor bersamaan dengan helm yang dilepas. Terik matahari menerpa wajahnya, otomatis membuat matanya sedikit menyipit. Langkahnya dipatri hendak memasuki kafe. Belum sampai mencapai pintu dari jarak jauh, matanya menangkap Karin yang baru saja bergegas keluar kafe sendirian. Kebetulan sekali. Tapi gadis itu terlihat buru-buru masuk mobil dan melewatinya begitu saja. Sepertinya Karin tidak menyadari kehadirannya.

Tanpa berpikir panjang, Nata melanjutkan langkahnya masuk kafe. Tumben sekali Karin ke kafe sendirian? Ke mana teman-temannya yang lain? Dan raut wajah gadis itu tadi tidak dimengerti oleh Nata. Dia tidak bisa membaca pikiran manusia.

Setelah memesan ice choco, sambil menunggu, Nata menyapu pandang sekeliling ruangan yang tampak ramai remaja-remaja seusianya, ada juga beberapa remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Dari para remaja-remaja yang dilihatnya, ada salah satu di antara mereka yang menarik perhatiannya. Seorang gadis yang tidak sendiri. Di depannya juga ada siluet familiar juga yang sepertinya tengah mengajari si gadis belajar. Keduanya terlihat begitu dekat dan serius. Rasa penasarannya terbayar, cowok itu sekarang jadi tahu siapa yang membuat Rea berpaling darinya.

Tanpa berpikir panjang, Nata menghampiri meja keduanya yang berada di dekat jendela.

"Wey, di sini rupanya lo."

Kepala dua orang yang tengah sibuk mempelajari buku itu bersamaan menoleh ke sumber suara. Tanpa meminta persetujuan keduanya, Nata mendudukkan diri di kursi kosong yang ditarik dari meja lain.

"Ternyata orang ini yang ngerusak rencana belajar kita?" Senyum ceria Nata masih terpampang jelas, tenang, bahkan saat pertanyaan itu keluar dan tatapan kesal Rea ditunjukan.

"Heh, emangnya nggak ada tempat duduk yang lain, apa? Ganggu banget, sih?"

"Sorry, kalo gue ganggu," ucap Nata dengan satu tangan menumpu dagu, menatap Rea dari samping. Seolah Devon di sebelahnya hanyalah ilusi. "Lo tahu nggak, Re, monyet, monyet apa yang jago sepak bola?"

Gerakan menulis Rea berhenti sejenak, merasa terganggu. Lalu menyipitkan mata ke arah Nata curiga. "Awas, ya, kalo jayus."

"Monyetakgol," tawa Nata garing.

Rea greget mencubit kecil lengan Nata, membuat cowok itu meringis. "Udah gue bilang, kan?! Dasar Nata de coco kadaluarsa! Nggak lucu!"

"Lah, siapa yang bilang gue lagi ngelucu?" tanya Nata di sela tawanya.

Bersamaan dengan Nata yang masih terbahak tidak jelas, Rea yang jadi tidak fokus belajar karena kehadiran Nata, dan Devon yang merasa jadi obat nyamuk di antara mereka berdua, seorang barista datang membawa pesanan Nata.

"Eh, elo." Kini tatapan Nata berubah seketika begitu dia memanggil Devon tanpa menyebut nama.

Walaupun begitu, Devon yang merasa panggilan itu untuknya pun mengangkat wajah dari buku pelajaran yang dibacanya. Rea yang masih kesal karena terganggu oleh kehadiran Nata juga menoleh lagi. Entah karena penasaran apa yang akan dilakukan cowok itu, atau refleks saja.

"Nggak pulang? Ntar dicariin Mama, lho." Mengusir secara halus, walau terdengar seperti mendayu-dayu, tapi kata-kata itu sedikit mengusik ketenangan Devon.

Harusnya Rea yang bertanya demikian untuk Nata. Rea pernah mendengar rumor kalau dua cowok yang sama-sama pintar di depannya ini adalah rival.

"Gue ke toilet dulu," pamit Rea. "Jangan ada yang pulang sebelum gue balik." Seharusnya Rea ingin berkata, "Nata, mendingan lo yang pulang aja sana, ganggu."-tapi urung karena Rea merasakan aura-aura dingin dan tidak menyenangkan di antara mereka.

Sepeninggalan Rea, tatapan dingin Nata belum sepenuhnya luput dari Devon yang berpura-pura menyibukkan diri dengan membaca kembali. Devon sebenarnya tidak ingin memancing keributan karena tahu tempat.

"Suka banget, ya, lo ngusik milik orang," sindir Nata. "Dari dulu lo tuh emang nggak pernah berubah. Masih suka bikin orang jadi berpaling."

Terdengar helaan nafas meluncur dari bibir Devon. Buku yang dibacanya sedikit diturunkan untuk menatap mata Nata, tahu di mana arah pembicaraan itu dilanturkan. "Kalo orang itu sendiri yang milih gue, terserah dia dong?" Kata-kata itu keluar seolah ada orang lain selain Rea yang tengah menjadi tokoh pembicaraan dan pernah diperebutkan.

Nata sedikit mengangguk-angguk paham. "Suka lo sama cewek gue?"

Devon menurunkan bukunya dari tatapannya lagi, beralih menatap langit-langit kafe tampak berpura-pura berpikir sebentar. "Ya... sejujurnya... gue emang tertarik sama Rea. Lo tahu sendiri buktinya, kan, gue selalu berusaha narik perhatian dia? Dan apa yang lo lihat, gue nggak pernah gagal."

Satu tangan Nata di atas meja sedikit terkepal. Dia sudah dari lama menebaknya. Instingnya memang tidak pernah salah. Devon mendengus geli melihat kepalanya Nata di depannya.

"Kita bersaing secara sehat. Fine?" usul Devon, sebelum menatap bukunya lagi. "Kita lihat aja lagi nanti, dia bakalan bertahan sama pacarnya, atau berpaling ke orang lain."

•••

"Tadi gue liat Karin keluar kafe."

Kaki jenjang itu berhenti melangkah. "Hah? Serius?" Gerakan tangannya yang tengah membetulkan tali tas berukuran sedang berubah pelan.

Cowok berjarak semeter di depannya ikut menghentikan langkah seiring dengan anggukan kepalanya, sementara tangan kanannya dimasukan ke dalam celana. Matanya sedikit menyipit. Sementara mata gadis di belakang mendelik panik. Nata menyadari kepanikan itu tertawa. "Tapi lo tenang aja. Kayaknya dia nggak ngeliat lo."

Rea akhirnya bernafas lega.

"Yuk, pulang."

Rasanya masih sama saat Rea naik di atas motor Nata, saat Rea kesusahan memakai pengait helm karena sudah lama dibeli dan hampir rusak, dan Nata yang peka membantunya. Terasa begitu menenangkan. Kemudian desiran aneh selalu datang saat Nata selalu melakukan hal-hal diluar dugaan. Hal-hal yang tidak biasa Nata lakukan untuk gadis-gadis lain di sekolahnya.

"Selain gue, ada nggak, cewek yang pernah lo boncengin?" Pertanyaan itu keluar diantaranya bunyi-bunyi kendaraan, klakson-klakson, kebisingan pedagang-pedagang di trotoar, lalu kedua tangan Rea yang memegang kedua pundak Nata sebagai pegangan agar bertahan di tempat.

"Ya ada, lah. Lo kira gue cuma mau boncengin lo doang? Nggak usah ge-er, deh, jadi cewek."

Nata meringis saat mendapati cubitan di pinggangnya. Kendaraan Nata berjalan sedang. Kafe Sinabu sudah ditinggalkan beberapa meter di belakang. Senyum sombong Rea tercetak begitu teringat suatu hal.

"Tapi, nggak ada yang seberani gue, kan?"

Tawa kecil lagi-lagi terdengar di balik helm yang Nata kenakan. "Nggak ada yang sebawel dan seresek elo."

Padahal Rea sudah siap-siap mengeluarkan jurus cubitan kasarnya di pinggang jika balasan Nata lagi-lagi menyebalkan, namun cowok itu langsung menekan gas hingga membuat Rea bukannya mencubit pinggang justru jadi refleks memeluk pinggang Nata diiringi dengan pekikan terkejut.

Begitu tersadar sekarang kecepatan motornya memelan dan tawa Nata lagi-lagi terdengar, Rea kembali menarik tubuhnya lalu mengguncang-guncang kepala Nata kesal setengah mampus hingga membuat kepalanya bergoyang kesana-kemari, fokus cowok itu terusik dan kepalanya sedikit pening diiringi erangan tidak nyaman.

Nata kembali fokus terhadap motor begitu keduanya sama-sama terdiam, dan Rea kini memegang belakang jok sebagai pelindung dirinya agar tidak terjatuh jika kejadian seperti tadi terulang lagi.

"Nggak mau peluk lagi aja?" tanya Nata jahil, sesekali melirik spion kiri untuk melihat reaksi Rea.

"Heh, siapa lo? Dilan?"

"Cowok lo."

"Cowok palsu."

"Ya udah, resmiin aja gimana?"

"Nat, sumpah, ya, kalo lo berisik sekali lagi gue lompat, nih!"

"Coba aja."

Jelas Rea hanya bermain-main saja dengan ucapannya, terlihat dia menampilkan raut takut sekaligus ragu-ragu. Mana mungkin dia nekat lompat di jalanan? Rea masih sayang nyawa. "Serius nih, gue lompat?"

Nata mengangguk-angguk santai sementara Rea ragu-ragu mengangkat kaki kanannya, tapi kemudian diturunkan lagi. "Nggak jadi, deh. Takut."

Tawa Nata pecah sepanjang jalan begitu Rea terkekeh malu. Ternyata seorang Andrea Wulandari mengenal kata 'takut' juga? Nata geleng-geleng kepala. Mana mungkin juga Rea bunuh diri di situasi seperti ini? Itu sama sekali tidak keren.

Rea sedikit panik saat motor yang dikendarai keduanya berbalik ke arah yang bukan arah rumahnya. Selalu seperti ini, Nata tidak pernah meminta persetujuan penumpangnya dulu. Alih-alih protes, justru Rea diam saja hingga motor itu berhenti di sebuah area seperti area balap.

"Kita mau ngapain ke sini, Nat?"

Nata membuka helm full face-nya diikuti Rea. "Gua mau driving. Lumayan, kalo menang dapet duit. Lo tunggu di sana, ya?" Nata menunjuk sebuah kerumunan kebanyakan para gadis tengah histeris menyaksikan seseorang yang mengendarai motor dengan berbagai macam atraksi kelewat jago.

"Oke."

Cuaca sudah tidak terik lagi, digantikan dengan sore menjelang malam. Dan di sinilah Nata, dengan motor sport merahnya, tampak tengah berbincang- bincang dengan seorang cowok merangkulnya akrab, saling lempar tawa seolah sudah saling mengenal lama.

Tidak begitu lama mereka bercengkerama, Nata mulai memajukan motornya hingga sampai di sebelah seorang pengendara yang sebelumnya sempat memamerkan kemampuan atraksinya. Seorang wanita seksi mengibarkan dua bendera monokrom kotak-kotak. Kemudian dalam hitungan mundur tiga detik, kedua motor itu melaju seiring dengan bendera yang jatuh di aspal.

•••

"Wihhhh, gacor parah, Man. Gue kira lo bakal baring di RS." Sebuah amplop coklat cukup tebal ditempelkan di dada kiri Nata yang langsung refleks diterimanya. "Nih, buat beli jantung."

"Jantung pisang maksud lo?"

"HAHAHAHA!"

Cowok dua tahun lebih tua dari Nata itu melirik Rea yang berjalan mendekat di sela tawanya. "Cewek lo, Man?" tanyanya berbisik. "Cantik."

Nata mengikuti arah pandang temannya. Memandang Rea yang kini sudah berada di sebelahnya yang hanya diam saja. Lalu Nata beralih menatap temannya lagi sambil menepuk-nepuk bahunya berpamitan. "Cabut dulu, yak. Thanks, Bro." Helmnya dipakai lagi seiring dengan Rea yang hendak naik di atas jok belakang Nata kembali.

"Yoi, Man. Ke sini lagi, yak."

Nata mengangguk-angguk seiring dengan motornya yang dinyalakan, kemudian berjalan sambil melambai-lambai ke arah teman-temannya yang lain.

Tampaknya, Nata sangat famous di tempat itu. Terlihat bagaimana mereka menyambutnya histeris dan begitu akrab. Rea cukup kagum saat tadi menyaksikan Nata yang jago dan cukup keren saat melakukan driving dan mampu mengalahkan tandingannya. Nata seperti pembalap internasional. Tidak heran lagi bagi Rea karena cowok itu memang terlihat jago mengendarai motor. Mengingat waktu itu pernah menyelip truck besar yang melaju cepat. Dia akui Nata memang nekat, tidak memikirkan kalau nantinya nyawa bisa menjadi taruhannya.

Lamunan Rea buyar seketika saat jemari Nata menarik satu punggung mungil tangannya yang berada di pundak kanan Nata ke pinggangnya. "Pegangan yang bener. Gue mau ngebut." Lalu sebelah tangan Rea bergerak sendiri hingga keduanya melingkar di pinggang Nata.

Motor benar-benar melaju kian cepat membelah jalanan. Suara klakson saling berdering menjadi alunan latar belakang mengantarkan mentari kembali ke perpaduan, menyisakan langit dengan warna jingga hingga akhirnya berubah gelap sempurna dipenuhi taburan bintang bulatan hitam perak menggantung.

Rasa-rasanya Rea kembali ke masa beberapa hari yang lalu saat dirinya di pantai bersama cowok itu. Rea menjatuhkan kepalanya di atas pundak kanan Nata, memejamkan mata, mencari kenyamanan di sana. Ini konyol karena Rea tidak pernah merasakan kenyamanan seperti ini sebelumnya.

Dulu saat Rea masih berpacaran dengan cowok-cowok yang sekarang sudah menjadi mantan, Rea tidak pernah diajak naik motor seperti saat ini. Selalu diajak naik mobil mewah kalau hendak keluar, jadi rasanya Rea kurang menikmati pemandangan.

Tak terasa Rea melamun cukup lama, hingga motor Nata sudah terhenti di depan pekarangan rumahnya. Gadis itu menarik kepala dan kedua tangannya. Lalu turun sambil melepas pengait helm.

Tampaknya, Nata terburu-buru untuk pulang karena hari sudah malam. Motor itu kembali berjalan setelah pemiliknya mengaitkan helm yang tadi dipakai Rea ke pegangan jok belakang. Kemudian motor itu melaju makin kecil bersama suaranya yang perlahan menjauh, lalu menghilang.

Rea sedikit terkejut setelah membuka gerbang putih nan besarnya, mendapati sebuah mobil familiar yang masih terparkir di depan rumah. Mendadak, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Penasaran, gadis itu buru-buru melangkah masuk. Kepalanya mendadak pening saat berhadapan dengan wanita cukup tua berumur 70-an, berpenampilan anggun dengan beberapa perhiasan menghiasi kedua tangan, leher, dan kedua telinganya-menunggunya di depan pintu persis.

"Oma?" Mendadak juga, nyali Rea menciut dengan suaranya yang kelewat pelan. "Sampai jam berapa tadi, Ma?"

"Kamu tahu sekarang jam berapa?" Alih-alih menjawab pertanyaan Rea, justru Oma balik bertanya dengan tatapan dinginnya.

Rea melirik jam dinding di dalam yang tidak jauh dari ruang tamu.

Jam setengah 7.

"Pasti kamu balapan-balapan tidak jelas lagi, ya?!"

Rea buru-buru menggeleng. "Aku baru selesai ngerjain tugas."

"Ngerjain tugas dari siang sampai malam? Tugas apa itu? Tugas berkencan?"

Rea menunduk, menatap kedua sepatunya-ke mana saja, asalkan bukan mata tajam Omanya. Rea tahu ini bukan saat yang tepat untuk Rea enak-enakan keluar rumah. Dia berharap ada Irfan, Mike, atau siapapun untuk menyela agar Rea bisa langsung masuk ke kamarnya tanpa menanggapi omelan selanjutnya. Oma Rea cukup cerewet dan mahal senyum. Dari kecil sampai sekarang auranya masih sama, masih sama menakutkannya bagi Rea.

"Sana. Siapin makan malam." Kepala Oma bergidik ke dalam. "Bentar lagi Papamu pulang."

Rea mengangguk takut sebelum melanjutkan langkah menuju dapur melewati Oma, menyiapkan makan malam masakan Oma di atas meja.

Rasanya masih sama seperti dulu selepas kepergian ibunya. Rea akan bertemu Oma. Tidak mungkin Oma dari Madiun-Jakarta main pulang begitu saja. Beliau pasti menginap. Bukan suatu hal yang Rea harapkan karena dia pasti tidak bebas seperti kemarin-kemarin dan tadi. Kini, kenyamanan yang baru saja di dapatnya mendadak hilang begitu saja.

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

Wednesday Av ACLE

Allmän skönlitteratur

46.6K 7.6K 30
Mora pernah berpikir, andai saja hari Rabu kala itu dirinya langsung pulang ke rumah sehingga tidak menyaksikan kejadian yang membuat hatinya sesak...
13.6K 683 55
[COMPLETE] • Pada awal pertemuannya Shareen langsung masuk kedalam pesona seorang Gleano, begitu pun Gleano yang terbuai oleh paras Shareen yang begi...
795K 29.1K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
1.4K 348 34
"Pantas sikap kamu on off on off ke aku, ternyata cuman dijadiin second choice. " Mata ravindra terlihat sayu, sesakit ini yang cowo itu rasakan. "M...