Private Message

By Rachel_ea

10.2K 1.4K 116

Kepergian Dirga membuat Katja Chaerina (28) menyandang status sebagai janda dua anak di usia yang sangat muda... More

Prolog
Chapter 1- Proprierty
Chapter 2 - Reasonable
Chapter 4: Short Message
Chapter 5: New Circle
Chapter 6: Big Kid
Teaser Chapter 7: Coherent
Teaser Chapter 8:Folly
Teaser Chapter 9:Freezing Things Up
Teaser Chapter 10: On Point
Teaser Chapter 11: Inquier
Teaser Chapter 11(2): Inquier
Teaser Chapter 12: Integrated Feelings
Teaser Chapter 12(2): Integrated Feelings
Teaser Chapter 13: Borderline
Teaser Chapter 14: A Way, A Light
Teaser Chapter 15: Off The Wall
Teaser Chapter 15(2): Off The Wall
Teaser Chapter 16:Unjustifiable
Teaser Chapter 16(2): Unjustifiable
Teaser Chapter 17: One Step Closer
Teaser Chapter 18: Ambivalence
Teaser Chapter 18(2): Ambivalence
Teaser Chapter 19: Recognition
Teaser Chapter 20: Pinky Promise
Teaser Chapter 21: Undesire

Chapter 3 - Classic Fear

514 115 10
By Rachel_ea

A/N:

Biar kenceeeng banget updatenya, boleh dibintangin dulu page-nya! Jangan lupa meninggalkan jejak by comment! 

XOXO,

Rachel

***

"Halo, Katja, gimana kabar kamu? Makin baik, dong?"

Aku menghela napas panjang atas sapaan Dokter Indah. Wanita berambut pendek itu tersenyum menatapku sambil ikut menghela napas seperti yang kulakukan.

"Not good, not bad either, Dok," jawabku pada akhirnya.

Dokter Indah mengetuk jemarinya di meja. "Okay, now tell me, apa perubahan yang kamu notice dalam sebulan setelah saya naikkan dosis obat kamu."

Dalam satu gerakan singkat, aku mengeluarkan buku agenda dari dalam tas bahuku. Aku memberikannya pada Dokter Indah karena sebulan lalu, beliau memintaku membuat jurnal harian. Kupikir, dia bisa melihat sesuatu hanya dari tulisan tanganku.

"Hmmm, coba ceritakan, Katja."

"Overall, saya nggak pernah lagi terbangun di tengah malam, tapi saya nggak tahu itu karena Dokter menaikkan dosis obat tidur saya, atau memang karena ada perubahan positif dari diri saya," jelasku. "Yang jelas, saya masih sering kangen sama almarhum suami saya, Dok, walaupun nggak sampai bikin saya menangis semalaman."

"That's a progress," kata Dokter Indah diiringi menulis catatan. "Kalau sesekali menangis pun, nggak apa-apa, selama nggak mengganggu tidur atau aktivitas kamu yang lain. Gimana sama hubungan kamu dan kedua anak kamu?"

"Sedikit lebih baik, walaupun anak bungsu saya sesekali masih tantrum karena saya tinggal kerja." Aku memberi jeda sejenak pada curhatanku. "Ah, iya. Belakangan ini, muncul perasaan baru yang cukup mengganggu saya, Dok. Nggak jarang, saya merasa bersalah sama Keenan dan Kahlia karena harus ninggalin mereka buat bekerja. Saya juga makin sering pulang malam, sampai nggak sempat mengalokasikan waktu buat bacain cerita sebelum tidur, atau melakukan rutinitas kami dulu, kayak gosok gigi bareng, gitu."

"Menurut saya, ini cuma soal waktu, Katja. Lambat laun, mereka pasti akan terbiasa dengan ritme hidup yang baru. It's normal."

Aku melanjutkan curhatanku tentang bagaimana padatnya hari-hariku di kantor, apalagi setelah Elbani resmi menjabat sebagai partner di tim kerja yang sama denganku. Saking padatnya, hampir setiap hari aku pulang larut malam. Memang sih, aku bukan satu-satunya orang yang lembur, tapi tetap saja, aku tak bisa mengaburkan rasa bersalahku terhadap dua anakku. Untuk mengatasi perasaan itu, aku bercerita pada Dokter Indah, yang kuharap dapat mengurangi perasaan tidak enak yang mengganjal di dadaku.

Omong-omong, aku rutin menemui Dokter Indah, seorang psikiater yang membuka klinik tak jauh dari komplek tempatku tinggal. Sudah delapan bulan berlalu sejak pertama kalinya aku datang mencari bantuan profesional.

Aku pernah berada di fase denial dengan kesehatan mentalku. Bayangkan saja, aku masih merasa hidupku berjalan normal padahal aku tidak tidur dua hari berturut-turut karena menangisi kepergian Dirga. Semakin hari, kondisi mentalku semakin mengkhawatirkan. Pola hidupku kacau dan sakit-sakitan hingga mengabaikan kebutuhan kedua anakku, bahkan membuat mereka bergantung pada Mbak Desi seorang.

Kupikir, memburuknya kondisi fisikku adalah karena penyakit tertentu. Aku melakukan medical check up, tetapi tidak ada temuan yang serius. Dokter spesialis penyakit dalam menyarankan aku untuk pergi menemui psikiater. Waktu itu, aku merasa marah dan kecewa.

Butuh waktu yang tidak sebentar untuk aku akhirnya mau menemui psikiater. Aku baru menyadari bahwa kondisi mentalku hancur karena melihat Keenan terbaring di rumah sakit. Jagoan kecilku mengidap typhus dan harus dirawat cukup lama. Melihat betapa berantakannya duniaku, aku pun berhasil melawan egoku sendiri dan akhirnya menemui Dokter Indah. Benar saja, dari serangkaian observasi yang dilakukan, aku memang punya penyakit mental. Aku didiagnosis mengalami depresi dan gangguan kecemasan, salah satu sebabnya adalah kepergian Dirga.

"Dok, saya juga lagi dekat sama seseorang belakangan ini," ceritaku.

Dokter Indah mengulas senyum dan menatapku dengan berbinar. "Oh, ya? Teruuus?"

"Terus saya merasa insecure, Dok, karena dia kan bujangan, keren lagi, sementara saya kan... statusnya janda dua orang."

"Harusnya dia dong yang insecure," kata Dokter Indah. "Kamu kan ibu dua anak, berkarier di kantor bonafide, dan mandiri banget. Jarang lho ada perempuan yang tangguh kayak kamu."

"Mandiri apanya sih, Dok?" gerutuku. "Buat bertahan hidup aja, saya bergantung sama Dokter, bahkan masih merepotkan mertua dan nanny buat mengurus dua anak saya. Tanpa Mas Dirga, saya ngerasa hidup saya cuma bisa ngerepotin orang lain aja."

"Katja, coba deh kamu pikir lagi, memangnya kamu ada di tahap ini murni karena bantuan orang lain? Bukannya selama ini, kamu berusaha keras?"

Aku mengulum bibir diiringi perasaan gelisah.

"Kamu itu nggak merepotkan, Katja. Saya yakin, mertua kamu juga senang menjaga dua anak kamu, apalagi kamu bilang kalau mertua kamu pengin kalian tinggal serumah. Kalau itu hal yang bikin repot, nggak mungkin kan beliau sampai nawarin segala?"

"Uhm... iya sih, Dok."

"Kamu ngasih best effort buat segala hal, kamu cari nanny terbaik buat dua anak kamu, kamu pergi bekerja dan memberi manfaat buat banyak orang, kamu juga juga berusaha mengobati diri kamu dengan pergi menemui saya. Itu semua langkah besar dan hebat! Kalau kamu ngerasa insecure karena kondisi kesehatan mental kamu, kamu harus ingat kalau mental itu sama aja kayak fisik, bisa sakit, dan itu normal."

Aku menyimak penjelasan Dokter Indah dengan seksama. Kuharap, mudah untuk mencernanya, meski tidak di detik ini juga.

***

Sepulang dari klinik Dokter Indah, aku mengunjungi rumah Tante Sofi untuk menjemput Keenan dan Kahlia. Begitu datang, kulihat Keenan sedang bermain sepak bola bersama Rayyan di halaman rumah. Dengan semangat, Keenan berlarian ke sana kemari mengejar bola di kaki Rayyan.

"Mamaaa!" teriak Keenan ketika dia melihatku. Bocah berusia empat tahun itu membuka kedua tangannya dan berlari ke arahku. Aku menangkap tubuh mungilnya dan mengangkatnya dengan sedikit kepayahan.

"Asyik banget ya main bola sama Om Rayyan?" tanyaku.

Keenan mengangguk semangat. "Om Rayyan hebat lho nendang bolanya! Dia bisa masukin bola ke gawang sepuluh kali, Ma! Keenan cuma bisa masukin dua kali!"

"Dua juga hebat, kok," sahut Rayyan seraya berjalan ke arahku. "Kamu dari mana, Ya?"

"Ketemu teman lama," jawabku. Tentu saja aku berbohong karena hingga detik ini, selain Tante Sofi, aku tidak ingin ada orang yang tahu kalau aku rutin menemui psikiater. "Kamu udah lama di sini?"

"Lumayan lama. Di perjalanan ke sini, aku lihat kamu berangkat naik taksi online." Rayyan membuka tangannya, menawarkan gendongan pada Keenan. "Digendong Om Rayyan aja, yuk? Kamu udah besar! Berat! Kasihan Mama Katja."

"Nggak mau! Keenan sukanya digendong sama Mama!"

"Gitu? Ya udah. Om Rayyan nggak mau nemenin Keenan main bola lagi, deh."

"Om Rayyan jangan ngambeeek!"

Interaksi Keenan dan Rayyan membuatku terkekeh. Dalam hatiku, ada kebahagiaan luar biasa melihat kedekatan mereka.

"Masuk dulu aja, yuk? Di luar udah mulai panas," ajakku.

Rayyan mengiakan, pun Keenan.

Masuk ke dalam rumah, Keenan bergegas lari menghampiri Kahlia untuk nimbrung main masak-masakan. Sementara itu, aku dan Rayyan mengobrol di sofa.

"Gimana kerjaan di kantor?" Rayyan berinisiatif melempar topik obrolan.

"Pusing," jawabku. "Partner di timku tuh orang baru, jadi sempat hectic banget gitu, deh."

"Ooh, Mas Elbani, ya?"

"Kok tahu?"

"Kami ketemu di acara kolega. Bukan acara besar, cuma kumpul alumnus aja. Aku kaget karena Mas Elbani nyamperin aku," cerita Rayyan. "Dia nanya apa aku beneran bersepupu sama Mas Dirga, atau cuma bercanda. Aku tanyain balik Mas Elbani tahu dari mana dan dia bilang, tahu soal kami dari kamu."

"Iya, aku yang ngasih tahu."

"Aku jelasin deh, bersepupuannya tuh jauuuh banget, jadi kayak bukan sepupu," tukas lelaki itu. "Berarti ada dua orang Irsjad dong di tim kamu?"

Aku menyengir. "Iya! Untung Pak El pakai nama depannya. Kalau pakai nama tengah, bisa ketukar satu sama lain!."

"Oh iya, Ya, kamu dan Mas Elbani suka ngobrol ya?"

"Hmmm... karena kami satu tim, jadi banyak interaksi dan mau nggak mau pasti ngobrol sih, tapi mostly soal kerjaan. Kenapa?"

Rayyan memaksakan seulas senyum.

"Kok senyumnya kayak nggak ikhlas gitu?" ledekku. "Ada yang mau kamu tanyain, ya? Tanyain aja."

"Eng... bukan pertanyaan penting, sih."

"Misalnya?"

Lawan bicaraku berdeham canggung. "Mas Elbani keren banget ya, Ya? Dia juga... masih single."

"Keren," timpalku cepat. "Terus kenapa kalau dia single?"

"Nggak apa-apa... cuma penasaran aja... kamu... nggak naksir atau apa gitu sama Mas Elbani?"

Aku tertawa kecil. "Enggak lah! Mana mungkin aku naksir bosku sendiri!"

"Tapi dia keren dan ganteng banget kan, Ya?"

"Bukan berarti harus ditaksir semua perempuan juga, kan?"

"Jadi, kamu nggak naksir?"

"Enggak."

"You sure?"

"Seribu persen."

Jawabanku membuat Rayyan semringah. Lelaki itu tidak menutupi kelegaannya sama sekali dan hal itu cukup menghiburku.

"Yan, kapan hari, Mama Sofi cerita sama aku," kataku. "Beliau cerita soal... kamu."

"Mm-hm."

"Kamu beneran suka sama aku?"

"Enggak."

Mataku terbelalak melihat gelengan mantap Rayyan. Seketika, rasa panas menjalari wajahku. Ingin rasanya melompat dari sofa dan ngibrit ke kamar karena malu!

"Aku nggak cuma suka sama kamu, Katja, tapi suka banget," lanjut Rayyan. Kali ini, dia tersenyum dengan tulus. "Kenapa? Kamu nggak nyaman sama cerita Mama Sofi?"

"Bukan gitu, Yan. Aku cuma mau mastiin aja."

"Buat?"

Salah tingkah, aku memutus kontak mata kami. Rayyan turun dari sofa dan menghampiriku. Lelaki itu menurutnkan tubuhnya sebelum bertopang dagu di kedua lutut. Posisi kami membuat Rayyan harus mendongak untuk menatapku

"Bukan buat ngejauhin aku kan, Ya?" tanya Rayyan sembari menatapku lekat-lekat. "Please, jangan minta aku buat jaga jarak, apalagi sama Kahlia dan Keenan."

Aku mengulum bibir, membalas tatapan Rayyan dengan malu-malu. Pelan, aku menggeleng.

"Terus... kamu nanya buat mastiin apa? Keseriusan aku?"

"E-eh... enggak... aku cuma—"

"Aku serius suka sama kamu, tapi aku tahu, kamu pasti butuh waktu buat bisa jatuh cinta lagi, Ya, jadi aku nggak mau buru-buru ngajak kamu in relationship. Cukup kamu tahu dulu, siapin hati dulu."

Pernyataan lugas Rayyan membuatku terkejut. Binar mata lelaki itu dengan jelas menggambarkan seserius apa dirinya. Rayyan memperjelas perasaannya dengan meraih kedua tanganku dan menggenggamnya erat.

"Aku bersedia nunggu sampai kamu siap buat buka hati kamu, Katja."

Laun, hatiku berdesir karena Rayyan.

***to be continued***

Continue Reading

You'll Also Like

316K 15.7K 10
Halooo... Sebenernya cerita ini aku impor dari blog pribadi aku Sebelumnya masih mikir-mikir mau aplod ceritanya di sini. Soale lagi males banget edi...
101K 17.2K 11
Membaca banyak novel nyatanya nggak menghasilkan apa-apa. Alih-alih ikut mendapatkan ramuan romansa ala fiksi, aku malah terjerumus pada petaka. Men...
936K 27.9K 11
Sudah cetak selfpub ISBN 978-602-489-769-7 Ketika menjadi kuat merupakan satu-satunya pilihan yang tersisa. Tentu saja Sera memilih hal itu. ...
23.9K 1.6K 10
Setiap tahun, alumni SMA 22 angkatan '80 selalu mengadakan reuni sekaligus halalbihalal pada H+7 Idulfitri. Tidak pernah luput setiap tahunnya, hingg...