Punca Anomali | ZEROBASEONE...

By xieshila

1.7K 952 381

Terbangun dengan sebuah fakta bahwa dirinya telah terbujur kaku di atas ranjang rumah sakit selama 9 bulan la... More

Prologue | Ilusi Kuasi
2 | Satu Tahun Silam
3 | Reminisensi Lengkara
4 | Disonansi Paradoksal
5 | Ragawi Tak Kasatmata
6 | Marvella
7 | Ekspedisi Tak Bernyawa
8 | Enigma
9 | Asrar & Warita
10 | Potret Persona Juwita
11 | Elusif
12 | Dejavu
13 | Kompleksitas Satu Waktu
14 | Praduga Tak Berakar
15 | Aksioma
16 | Tinggal dan Menetap
17 | Momentum Garib
18 | Tabir Ilusi Gael
19 | Tabir Ilusi Gustav
20 | Tabir Ilusi Rojiv
21 | Tabir Ilusi Tristan
22 | Mahendra, Zavier, dan Harris
23 | Tabir Ilusi Jehan
Epilogue | Delapan

1 | Realitas Ganjil

196 60 35
By xieshila

"Marvel!"

Hal pertama yang menyambutku ketika mata ini tak lagi terpejam adalah vokal lantang nan familier dari seorang wanita paruh baya yang tengah tertegun hingga kursi besi ramping yang didudukinya beberapa waktu lalu,sudah terjatuh membentur lantai cukup keras. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku menyaksikan sorot mata wanita paruh baya-yang sudah mengandungku selama 9 bulan lalu merawatku hingga 2 dasawarsa berlalu tanpa pamrih-itu, terlihat nanar. Beberapa sekon ke depan, sorot matanya melemah dan genangan air mulai memenuhi pelupuk matanya. Dalam sekejap, bulir air mata berlomba-lomba membasahi pipi, disusul dengan suara isak tangis yang mampu membelah kesunyian. Ada apa dengan bunda?

Ingin hati menanyakan apa yang terjadi, tapi kedua tungkai bunda sudah terlanjur lebih dulu meninggalkanku dengan langkah terburu-buru. Menyadari bahwasanya hanya seorang diri, atensiku lantas membabi buta menelisik setiap inci di balik ruang remang-remang yang aku singgahi begitu detail. Dengan napas termengah-mengah dan jantung yang senantiasa masih berdebur kencang, aku melompat keluar dari balik selimut putih tulang yang membungkus tubuhku agar tetap hangat beberapa waktu lalu. Tubuhku sempat terhuyung dan nyaris terjerembap jika saja tidak bisa menyeimbangkan kedua tungkaiku agar berdiri kokoh. Tanpa basa-basi, aku menghampiri setiap cela di antara benda-benda tinggi yang menjulang tinggi untuk mengecek barangkali ada wooden man yang tengah bersembunyi dan siap siaga menyeretku kembali ke dalam formasi lingkaran yang memuakkan dan menari bebas di udara mengikuti lantunan melodi sendu yang memilukan hati. Saking parnonya, aku pun berinisiatif mengintip di balik celah-celah himpitan benda-benda kecil di sekitar. Namun, nyatanya, kekhawatiranku adalah wujud dari rasa takut yang berlebihan.

Perlahan-lahan aku mengatur sirkulasi pernapasan agar kembali normal. Begitu juga dengan meredam segala pikiran negatif yang menari-menari riang di kepalaku dengan mata terpejam dan memikirkan hal-hal yang membuatku bahagia. Namun, saat proses relaksasi dilakukan, dahiku mengernyit saat merasakan silia di dalam rongga hidungku bergetar karena samar-samar aroma menyengat yang berbeda, menusuk indra penciumanku secara kompak. Aku berdecak kesal ketika mengenali salah satu aroma familier yang jelas-jelas meninggalkan noktah hitam di lembaran masa kecilku yang menyenangkan. Di mana lagi kalau bukan rumah sakit?

Aroma seperti serbuk bedak dan antiseptik yang menyatu, berkolaborasi menciptakan keharuman yang bersih, menyisakan kesan dingin dan suasana steril yang kental di setiap hembusan atau tarikan napas. Aroma yang mampu menggiringku kembali ke masa-masa kritis di masa lalu, menerima fakta pahit di usia belia atas ayah kandungku yang harus meregang nyawa karena penyakit jantung koroner. Seulas senyum simpul yang membingkai bibir ayah kala itu adalah sebuah pertanda bahwasanya beliau tengah bertemu dengan titik nadir kehidupannya, tapi dengan bodohnya aku percaya semua akan baik-baik saja dan malah berakhir dengan menempatkan diri menjadi pihak yang mudah dikelabui. Aku tertipu senyum palsu ayah yang penuh dengan muslihat. Sialnya, momen-momen terakhir itu terekam begitu jelas di dalam memori kepalaku.

Sayup-sayup terdengar suara derap langkah kaki manusia di koridor rumah sakit yang makin dekat menuju kamar inapku. Secercah mata kemudian, bisa kulihat sorot mata bunda, dokter, dan juga perawat yang berdiri di ambang pintu, terlihat begitu panik ketika menemukan ranjang rumah sakit di hadapan mereka kosong. Jemari tangan kananku lantas bergerak untuk menekan sakelar di dinding. Dalam hitungan sekon ke depan, ruang gelap menjelma menjadi terang benderang.

"Yo, saya di sini," ucapku santai sambil melambaikan tangan kananku.

Bukannya menyahutiku, mereka malah memberikan respons yang sama seperti bunda beberapa waktu lalu. Sama-sama tertegun. Namun, beberapa saat kemudian dokter meminta perawat untuk menghampiriku dan menuntun kembali berbaring di atas ranjang rumah sakit yang dingin.

"Aduh!"

Rengekan kecil tersebut lolos begitu saja dari mulutku ketika menyadari sesuatu yang menyengat dan dingin tengah menyentuh kulit punggung tanganku sebelah kiri. Saat berpaling ke pusat rasa sakit tersebut, bisa kulihat perawat tengah berusaha menghentikan pendarahan di sana. Rupanya, aroma asing lainnya yang sempat mengusikku beberapa waktu lalu adalah aroma darahku sendiri yang menetes di lantai dan merembes membasahi seprai ranjang rumah sakit yang berwarna putih tulang itu hingga merona.

Aku menggaruk tengkuk leherku yang sama sekali tidak gatal sambil bermonolog dalam hati, Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya tadi?

Di kejauhan, bisa kulihat bunda melayangkan tatapan cemas ketika dokter melakukan pemeriksaan fisik padaku. Di sela-sela pemeriksaan, ada satu pertanyaan yang bersemayam di dalam benakku sedari tadi.

"Memangnya saya sakit apa sampai-sampai harus melakukan pemeriksaan fisik secara detail seperti ini, Dok?"

Pertanyaanku lantas membuat sepasang tangan bunda menutup mulutnya, atensinya yang menatapku itu terlihat seolah-olah tidak percaya dengan pertanyaanku barusan. Bahkan bisa kurasakan perubahan atmosfer sekitar yang berubah menjadi tegang. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku barusan?

"Selamat datang kembali, Marveliano. Kami senang melihat Anda sadar dan mulai mengalami proses pemulihan," sahut dokter yang menanganiku dengan seulas senyum tulus mengembang di bibirnya lalu menjawab pertanyaanku. "Saya ingin berbicara dengan Anda mengenai kejadian yang menyebabkan Anda berada di sini. Pasca kecelakaan mobil tunggal yang terjadi, Anda mengalami kondisi di mana membutuhkan perawatan intensif, kurang lebih hingga sampai saat ini terhitung sudah menginjak 9 bulan lamanya ... "

"Dok, sebentar ... apa Anda bilang barusan? Saya mengalami kecelakaan mobil tunggal dan harus mendapatkan perawatan intensif selama 9 bulan lamanya?" tanyaku lancang di sela-sela penjelasan dokter mengenai kondisi tubuhku. Anggukan kepala dokter membuat dahiku mengernyit, sepasang alisku pun sampai bertaut karena tidak percaya. "Apa maksud Anda saya koma selama 9 bulan?"

"Benar, Marveliano."

"Apa Anda tidak salah vonis? Jika memang saya mengalami kecelakaan tunggal dan berakhir dengan berbaring di ranjang rumah sakit 9 bulan, mengapa saya merasa tubuh saya baik-baik saja dan tidak merasakan sakit barang sedikit pun?" tanyaku masih menyangkal fakta yang sulit untuk dipercaya.

"Kenyataannya memang seperti itu, Marveliano. Anda benar-benar mengalami kecelakaan tunggal pada saat malam pergantian tahun lalu dan koma selama kurang lebih 9 bulan lamanya," jelas dokter sekali lagi. Namun, kali ini ada variabel lain dalam jawaban beliau yang menimbulkan tanda tanya besar.

"Saya kecelakaan saat malam tahun baru lalu? Tidak mungkin, Dok. Saya masih ingat dengan jelas malam itu saya tidak keluar, tapi berkumpul dengan teman-teman saya di indekos Malang sambil menikmati waktu sebelum tahun baru. Bagaimana bisa saya kecelakaan, Dok? Tidak mungkin!"

"Marveliano ... tenang, ya? Wajar saja jika Anda tidak mengingat kejadian-kejadian di masa lalu. Namun, jangan terlalu dipikirkan karena ini merupakan bagian dari proses pemulihan yang akan kita hadapi bersama-sama. Pelan-pelan, saya akan memberikan informasi seputar hal-hal yang ingin Anda ketahui sebaik mungkin selama proses pemulihan ini. Lebih baik sekarang Anda istirahat dulu, ya? Nanti setelah Anda bangun, Anda boleh cari saya untuk ditanya-tanyai. Ok, Marveliano?"

Pada akhirnya, aku manggut-manggut. Menuruti ucapan dokter sambil berpikir sejenak, berusaha menyusun kepingan-kepingan masa lalu sepeninggalnya dokter dan bunda.

"Permisi, sepertinya Anda menjatuhkan ini."

Mata yang sempat terpejam sejenak, kini kembali terbuka dan mendapati sebuah benda berbentuk piramida segitiga berada di telapak tangan pasien yang baru saja mengganti selang infusku yang baru. Awalnya, aku ingin mengatakan tidak atas kepemilikan barang tersebut. Namun, entah mengapa hatiku tergerak untuk mengambilnya.

"Terima kasih," ucapku begitu saja.

"Sama-sama. Jika Anda membutuhkan sesuatu, silakan tekan bel." Aku mengangguk mengerti. "Kalau begitu saya pergi dulu, permisi."

Sambil menunggu kedatangan bunda, aku mengamati benda unik berbentuk piramida segitiga di telapak tanganku. Di setiap sisi masing-masing, ada sebuah simbol yang tidak kumengerti.


꧑ ꧓ ꧕ ꧐


Namun, terlalu sibuk mengamati, membuat benda tersebut tergelincir dan jatuh menggelinding di atas selimut yang kukenakan. Tiba-tiba benda ini mengingatkanku akan objek kecil serupa yang menjadi alat untuk menentukan langkah-langkah secara acak dalam sebuah permainan.

"Apakah ini adalah sebuah dadu?"

Continue Reading

You'll Also Like

17.7K 1.4K 23
9 pemuda cucu dari pemilik Kim Corp harus menjalani kehidupan mereka di negeri orang. Mereka bahkan ditempatkan jauh dari kota. Mereka terpaksa melak...
53.9K 9.1K 34
XII IPS X, kelas terburuk di sekolah terbaik. Kelas yang namanya disebut paling akhir. Kelas yang kau hanya akan mendengar keburukannya dari orang la...
1.3K 230 36
Short story [END] Mau lihat gimana Leader Han Seungwoo dan Lee Jinhyuk mengatur anak anaknya dan menahan sambatan di saat berpuasa? cuma di sini. X...
24.2K 4K 10
[Ft. Tomorrow by Together] Selamat datang di Magic Island. Kami menyebutnya sebagai 'Tempat pelarian terbaik yang pernah ada.' CHLEOVER, 2020.