BELL THE CAT (COMPLETED)

By embrassesmoi

256K 43.2K 18.8K

Marie Osmond once said, "Tragedy plus time equals humor. True, what could be funnier than living tragedy ever... More

MOODBOARD
[BTC-01]
[BTC-02]
[BTC-04]
[BTC-05]
[BTC-06]
[BTC-07]
[BTC-08]
[BTC-09]
[BTC-10]
[BTC-11]
[BTC-12]
[BTC-13]
[BTC-14]
[BTC-15]
[BTC-16]
[BTC-17]
[BTC-18]
[BTC-19]
[BTC-20]
[BTC-21]
[BTC-22]
[BTC-23]
[BTC-24]
[BTC-25]
[BTC-26]
[BTC-27]
[BTC-28]
[BTC-29]
[BTC-30]
[BTC-31]
[BTC-32]
[BTC-33]
[BTC-34]
[BTC-35]
[BTC-36]
[BTC-37]
[BTC-38]
[39] FINISHING TOUCHES

[BTC-03]

8.9K 1.2K 915
By embrassesmoi

Hatalla.





Apes!

"Dan di sisi lain, kami akan berpindah ke PT. Adiwangsa Tambang Utama yang beberapa saat lalu juga menarik perhatian banyak orang karena sengketa dan kerusakan lahan. Pertama, kami akan membahas sosok Wijaya Hardi Adiwangsa yang tahun ini kembali masuk ke jajaran orang terkaya berkat bisnisnya bersama PT. Adiwangsa Tambang Utama, salah satu eksportir terbesar batu bara dunia. Kekayaannya ditaksir mencapai US$ 3,65 miliar dan menjadikannya sebagai salah satu sosok berpengaruh di dalam negeri.

"Kita lalu beralih ke salah satu fakta menarik lainnya yang juga sama menarik perhatian masyarakat, terutama kaum hawa yaitu sosok Hatalla Adiwangsa yang merupakan satu-satunya anak sekaligus kabarnya akan menjadi penerus dari Wijaya Hardi Adiwangsa di PT. Adiwangsa Tambang Utama. Hatalla Adiwangsa sendiri sekarang menjabat sebagai salah satu dewan komisaris yang rumornya akan diangkat menjadi Presiden komisaris di PT. Adiwangsa Tambang Utama.

"Selain menjabat sebagai dewan komisaris, Hatalla Adiwangsa juga bekerja sebagai Direktur Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Di umurnya yang baru menginjak 34 tahun akhir tahun kemarin, Hatalla Adiwangsa dikenal sebagai salah satu tokoh muda sukses yang menjadi banyak panutan bagi para remaja. Tapi, semua prestasi keluarga Adiwangsa ini harus tercoreng karena permasalahan rusaknya dan sengketa lahan salah satu usaha pertambangannya—"

APES!

Gue menarik remote, mematikan televisi sebelum menghela napas kasar sambil menatap Deryl—asisten gue yang lain—yang fokusnya cuma membantu gue di ATU. "Kok, bisa masalahnya berkutat di situ-situ aja, sih? Nggak bosen apa mereka ngebahas masalah itu mulu?"

"Beritanya di up lagi, Pak." Ya, kali alasan kayak begitu aja gue nggak tau? "Yang saya dapat kabarnya, back up di bagian medianya cukup kuat, Pak. Kalau dari sini, sih, ketahuan orang yang ada di belakang semua ini cukup berpengaruh, Pak," terang Deryl, mengutak-atik iPadnya.

Tatapan gue mengarah ke Reni yang terlihat menaikkan salah satu alisnya, "Ini ulahnya si Rasyid itu berarti, Ren?" tanya gue, mengingat obrolan antara gue, Reni, dan Ayah lewat sambungan telepon semalam.

Reni mengangguk, "Betul, Pak." Ia lalu memberikan iPadnya ke arah gue yang ia salurkan dari Deryl yang berdiri di sebelah sofa gue. "Dari pertemuan saya dengan Pak Rasyid dua hari lalu, saya dapat informasi kalau Pak Rasyid dan beberapa rekanan lain mencoba mengangkat kembali masalah soal sengketa dan rusaknya lahan pertambangan ATU, Pak."

Sambil mendengarkan penjelasan Reni, gue membaca laporan—yang didalamnya berisikan beberapa halaman—tentang informasi yang berhasil didapatkan Reni dari pertemuannya dengan Rasyid.

Tsk, while remembering Rasyid, I also remembered Reni, who had lied to me when she met that old fart. Gue tahu ini bukan saat yang tepat buat mikirin hal begituan, sayangnya gue masih kesal karena gue sampai perlu diboongin banget buat hal-hal yang semestinya gue tahu karena semuanya ada kaitannya dengan gue juga, kan?



"Tawaran untuk ketemu Pak Rasyid itu datangnya mendadak, dan aku cuma bisa koordinasi singkat sama Pak Wijaya karena kalau aku perlu bilang juga ke kamu—saat itu juga—aku nggak punya waktu buat meladeni tingkah tantrum mu dan bikin kerjaanku berantakan."




Itu Reni sendiri yang bilang.

Ya, dia bilang kalau dia nggak punya waktu buat meladeni tingkah tantrum gue. Gila, memang gue se-tantrum apa, sih, waktu tau kalau cewek gue sibuk kerja?

Gue kemarin berulah juga karena Reni nggak ngasih kabar apa-apa, di saat gue khawatir bukan main waktu tau kalau dia sakit dan nggak ngasih tau gue.

Selama kami pacaran—kurang lebih 5 tahunan—gue tau Reni, tuh, bukan tipikal perempuan yang mau susah sendirian. Kalau dia sakit, gue pun harus ikut ngerasain sakit. Gila emang, tapi gue sadar kalau gue lebih suka begitu karena gue bisa tau dengan jelas keadaan Reni.

Selama menjalin hubungan ini, gue maupun Reni nggak pernah membuat khawatir satu sama lain.



"Kita sudah sama-sama repot, ya, Ren. Keseharian kita sibuknya bukan main, jadwal juga ikutan padat. Jadi, kalau bisa kita hindari hal-hal semacam bikin khawatir satu sama lain, ya?"





Dan setelah lima tahun, gue dibuat macam tokoh utama sinetron gara-gara Reni nggak bisa dihubungi, dan fakta kalau dia lagi sakit—sendirian—menderita... Lo nggak akan bisa membayangkan jeleknya pikiran gue waktu itu sebelum tau kalau Reni ternyata ketemu Rasyid dan cuma pura-pura sakit.

Kayak gue nggak bakal kasih ijin dan susah ngasih ijin ke Reni soal masalah kerjaan begini, sampai dia perlu ngeboongin gue!

Gue berdecak sambil men-scroll laman laporan yang dibuat Reni dan Wildan—personal assistant Ayah—antara kesal karena mengingat kelakuan Reni dan muak melihat rencana semacam apa yang ingin Rasyid dan teman-temannya lakukan untuk menjatuhkan keluarga gue.

"Alasan mereka bikin rame, selain memang nggak suka sama keluarga Adiwangsa memang apa lagi, sih? Benci banget kayaknya." Gue berdecak, memberikan iPad kembali ke Deryl yang langsung menerimanya sigap.

Masalah yang sedang diributkan sekarang itu sebenarnya sudah diselesaikan dengan damai, kami—gue dan keluarga—sudah mengerahkan banyak uang untuk membantu meredakan permasalahan ini. It should have ended before the critters came and caused trouble.

Deryl dan Reni sama-sama diam, mungkin mereka sama cluelessnya dengan gue sekarang.

"Rame lagi pasti?" Sumpah, kepala gue rasanya pusing banget sekarang! "Sudah ada yang periksa belum?" tanya gue lagi.

Suara deheman Deryl menandakan kabar buruk, dan biasanya firasat gue selalu benar. "Ramai, Pak."

"Tanggapannya gimana? Jelek banget pasti?" Gue mendongakkan kepala, menatap Deryl yang sibuk menatap iPad di tangannya sekarang.

Tanpa mengeluarkan suara, Deryl dan Reni sama-sama menganggukan kepala mereka. "Besok pagi Bapak dipanggil ke kantor Kementerian," ucap Reni, meski sebenarnya besok gue nggak ada jadwal buat ke kantor. So, things have actually gotten worse.

Sebenarnya gue nggak perlu tanya sisanya, tapi asli gue masih penasaran banget. "Yang di media? Selain yang saya tonton barusan, sama yang di sosial media gimana? Ikutan rame? Lebih parah lagi?"

Dan keterdiaman Reni dan Deryl menjawab pertanyaan gue dengan jelas.

"Kasih tahu aja, Ril." Suara Reni membuat gue mengarahkan tatapan ke arahnya. "Bapak biar lihat sendiri," jelasnya sambil menunjuk ke arah iPad di tangan Deryl.

Kalau Reni udah begini, kayaknya memang parah banget, sih...

"Bapak kalau nggak berkenan—"

Tangan gue terangkat, memberikan gestur ke Deryl untuk memberikan iPadnya lagi ke gue.

Kita liat seberapa buruknya orang-orang di luaran sana memaki-maki gue dan keluarga gue...




Gue mendengkus waktu membaca screenshot terakhir yang sudah pasti Reni masukkan, apalagi gue sempet melihatnya menyeringai di sela kegiatan membaca gue.

Udah gila! Mana dia seksi banget lagi!

"Orang-orang kayak begini itu—" Gue memutuskan untuk mengembalikan iPad ke Deryl meski sisa foto bukti makian banyak orang masih tersisa, gue kayaknya sudah bisa menebak makian semacam apa yang mereka tuliskan di sosial media. "—cuma bisa koar-koar masalah penderitaan dan lain-lain—berasa tahu semuanya—tapi, cuma bisa nulis makian semacam itu di sosial media. Pake cara yang lain, kek. I'm bored of seeing the same pattern over and over," kata gue setengah mengeluh.

Mata gue bertaut dengan kedua mata cantik Reni, bisa gue liat kalau cewek gue mendengkus geli—muak lebih tepatnya. Kecuali Deryl yang menganggap omongan gue sebagai sesuatu yang 'benar,' Reni jelas tahu benar kalau gue cuma beralasan barusan.

Bukan bosan, tapi gue juga takut dan muak dengan apa yang orang lain katakan. Gue merasa takut karena sedikitnya apa yang mereka bilang memang ada benarnya. I'm not going to lie... My family's business has plainly caused suffering for many others in positions below us; I believe everyone is aware of this—one of the not-so-secrets about the powerful people in this country. Gue juga sekaligus muak, karena orang-orang yang mencoba mempermasalahkan ini juga sebenernya sama bobroknya kayak keluarga gue.

Aneh, kan?

Seenggaknya gue dan keluarga gue nggak separah mereka, kami nggak memasang topeng malaikat dengan berpura-pura memihak orang-orang kecil padahal mereka cuma memperalat orang-orang itu untuk tujuan mereka, seperti apa yang dilakukan Rasyid dan rekanannya.

"Jadi, ini saya hubungi Jeremy, ya, Pak?" Suara Deryl kembali terdengar, memecah lamunan gue.

Kepala gue mengangguk, "Tadi pagi saya sudah bilang ke Pak Narendra." Sebelumnya, gue nggak terlalu mau ambil pusing soal masalah ini karena gue pikir semuanya bakal cepat berlalu seperti masalah-masalah lain. Tapi, kenyataannya semua berubah memburuk dan hanya ada satu orang—paling tepat—yang bisa gue minta tolongi untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Deryl mengangguk, "Baik kalau begitu, Pak. Nanti biar saya koordinasikan dengan Pak Narendra dan Jeremy juga."

Setelahnya, Deryl pamit dari ruangan kerja gue dan mengatakan ingin mengerjakan tugasnya yang lain di ruangan sebelah—ruangan yang memang gue buat khusus untuk Deryl di rumah gue karena dia yang paling sering bekerja dan menginap di sini.

"Rapi banget?" Itu sapaan pertama yang gue katakan ke Reni—menanggalkan keformalitasan kami sebagai atasan dan PA—begitu Deryl keluar dari ruangan kerja gue. "Dress-nya lucu." Gue mengedik ke arahnya, membuat Reni memperhatikan dirinya sendiri sebelum dia mengangguk dan menatap gue lagi.

Reni seharusnya tidak datang ke sini—ke rumah gue—hari ini karena memang Deryl-lah yang harusnya mendampingi gue. Gue memang punya total 3 personal assistant untuk mendampingi pekerjaan gue setiap harinya. Kalau Rendi mengurus soal kerjaan gue sebagai Direktur Komunikasi Publik di KEMINFO, Deryl mengurus soal kerjaan gue secara personal yang menyangkut tentang citra dan image gue, juga menghandle semua sosial media gue, sementara Reni—selain mengurus gue secara personal sebagai kekasih—dia menghandle pekerjaan gue yang berkaitan dengan keseharian gue dan pekerjaan gue sebagai Dewan Komisaris di PT. Adiwangsa Tambang Utama.

Kenapa harus 3 personal assistant? Well, gue udah mencoba dibantu satu personal assistant dulu, dan dia bilang kalau bekerja dengan gue sama panas dan menderitanya dia nanti kalau tinggal di neraka.

Karena dikerjakan oleh satu orang sudah sebegitu hebohnya, sekarang gue membagi neraka gue itu dengan tiga orang sekaligus. Adil dan nggak memberatkan salah satunya, kan?

Kembali ke Reni yang hari ini tampil super cantik dengan balutan Polo Dress Lacoste yang memeluk pas tubuh ramping dan tingginya, gue menumpu dagu sambil memperhatikan Reni yang sekarang sibuk menyisiri rambut panjangnya.

"Mau pergi?" Reni mengangguk. "Aku sibuk, Yang."

Reni menatap gue dengan kedua matanya yang memicing. Kapan, sih, ini cewek nggak cantik banget begini? Serius, gue sampai merinding begini loh! "Aku nggak ngajakin kamu," jawabnya cuek.

Ini salah satu yang gue suka dari Reni. Dia kadang suka jual mahal, tapi nggak tahu kenapa kalau dia yang begitu—gue malah dibuat tergila-gila!

"Terus? Kamu mau pergi sama siapa?" tanya gue sambil merentangkan salah satu tangan, memintanya untuk menggenggam tangan gue.

Meski berlagak cuek, Reni ikut mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan gue. "Mbak Joey mumpung balik dari London, jadi aku mau ketemuan sama yang lain juga."

Sialan, kalau gue nggak sibuk banget begini sudah pasti gue bakal ngajakin Reni jalan sendirian!

Ya, jalan sendiri, bukan ikut Reni buat ketemu sama temen-temennya.

Sampai sekarang, nggak ada satu orang pun yang tahu tentang hubungan gue dan Reni. Nggak ada satu orang pun! Oh, kecuali Moca—kucing hitam peliharaan gue dan Reni—yang tinggal nomaden, kadang di rumah gue, kadang di kosan Reni. Selain Moca, hubungan kami terjaga layaknya rahasia pemerintah—nggak ada yang tau, nggak ada yang bisa menduganya juga karena gue dan Reni sudah sama-sama sepakat untuk menyembunyikan hubungan kami dari orang lain.

Kesepakatan yang begitu gue sesali sekarang.

Maybe in the beginning I thought what we were doing was fun and there was no problem, but as we've gotten further—it's been 5 years—I've begun to wonder why we had to keep our relationship hidden from so many people.



"Ada satu syarat yang harus Bapak penuhi kalau memang tertarik menjalin hubungan dengan saya. Saya nggak mau satu orang pun tahu mengenai hubungan kita. Alasannya semudah saya belum siap untuk dikenal sebagai kekasih dari Bapak."






Mungkin gue waktu itu udah kelewat nafsu pengin punya hubungan sama Reni, jadi gue dengan cepat mengiyakan semua syarat yang dia kasih. Kapan lagi, kan? Mumpung Reni kayaknya kesurupan dan mau menerima tawaran untuk menjalani hubungan dengan gue, I did not want to miss out on that opportunity. Apalagi kalau mengingat gimana hubungan gue dengan Reni di awal dia bekerja sebagai PA gue... Kayaknya, gue nggak bakal pernah kepikiran buat pacaran sama cewek se-judes dan sejahat dia, deh...

Sekarang, gue sering menyesali nafsu gue itu. Seharusnya waktu itu gue menanyakan alasan soal kenapa dia belum siap? Toh, ini cuma gue? I ought to ask her to talk about what she is truly scared about.

Gue sebenarnya masih bisa menanyakan soal itu sekarang karena kami masih betah menjalani hubungan diam-diam ini, tapi Reni jadi berubah sensitif kalau pertanyaan itu datang dari gue.

Ada yang aneh dari Reni, gue tau. Wanita itu biasanya mencoba mengalihkan obrolan atau melakukan hal lain yang bisa membuat gue melupakan soal obrolan kami sebelumnya.

Karena gue sudah mencoba beberapa kali dan tau juga reaksi Reni seperti apa, akhirnya gue memilih untuk nggak pernah mengungkitnya lagi.

Untuk sekarang, begini saja kami—gue lebihnya—sudah sangat bahagia dan nyaman.

Gue berdiri dari sofa, berjalan ke arah Reni yang merentangkan salah satu tangannya sambil bersandar di sofa, meminta gue untuk memeluknya yang sudah pasti akan gue turuti.

Reni membalas pelukan gue sama eratnya, meski tau gue kesulitan karena harus membungkuk agar bisa memeluknya yang bersandar di sofa. "Aku nggak boleh ikut, ya?"

Dan pertanyaan gue barusan disikapi dingin, terbukti dari Reni yang langsung melepaskan tangannya dari tubuh gue. "Terus? Mau gabung gitu?" tanyanya berubah cuek.

"Memang boleh?" Gue sengaja menuruti tangan Reni yang mendorong dada gue ke belakang, dan kembali berdiri tegak di hadapannya.

Kaki gue bergerak mundur saat gue melihat Reni bersiap-siap berdiri dari sofa, sementara salah satu tangan gue dengan sigap menahan bagian bawah dress Reni agar tetap di posisinya—tidak bergerak naik—sebelum akhirnya Reni sendiri yang merapikan dressnya.

"Kita kayaknya sudah pernah ngobrolin soal ini, deh?" tanya Reni, dan memang kenyataannya begitu. Ini semua karena kesepakatan awal sialan itu!

Sebenarnya bisa aja gue mulai ngajak Reni ngobrolin soal ini, tapi kenapa gue selalu milih timing yang nggak pas begini, sih?

I knew our talk would end badly, and now, with all of my problems, I had to consider if I could truly ask Reni to chat right now.

Dan, pada akhirnya gue memilih mengalah lebih dulu.

Yeah, it is not the best moment to discuss it with Reni. Gue akan cari waktu lain, dan timing yang pas nantinya.

Gue berjalan mendekat, kembali menggenggam tangan Reni yang sekarang berdiri berhadapan dengan gue. "Kamu berangkatnya sama siapa? Naik apa?" tanya gue, sepenuhnya mengalihkan obrolan kami.

Di hadapan gue, Reni menghela napasnya panjang sambil memejamkan matanya. Ini juga yang membuat gue heran, apakah bicara soal masalah hubungan kami begitu melelahkannya buat Reni?

Kedua mata Reni terbuka setelahnya, mengarah lurus ke mata gue. "Aku berangkat sendiri, naik taxi," jawabnya.

"Nggak mau diantar Surya aja, Yang?" Kalau gue lagi ada di luar, biasanya Surya yang akan mengantar Reni ke manapun wanita itu pergi. Kalaupun lagi sama gue, biasanya gue cuma ikut nganterin Reni aja bareng sama Surya juga.

Sejak awal tadi, gue memang nggak berniat mengganggu waktu Reni bersama teman-temannya yang jarang dia lakukan. Gue cuma sekedar menggodanya saja.

"Kamu nanti sore bukannya mau ke Menteng?" tanya Reni balik.

Lupa.

Setelah acara kabur-kaburan yang berakhir gue, Reni, Wildan, dan Ayah yang harus meeting zoom sampai tengah malam, gue memang dipaksa datang ke rumah karena sudah lebih dari tiga bulan ini gue nggak pernah lagi mampir ke rumah Menteng.

Gue meringis, mencium pipi Reni kilat. "Lupa. Kamu nanti sore nyusul, kan?"

Reni mengangguk, "Aku juga ada perlu sama Pak Wijaya," jawabnya mulai luluh dan kembali bersikap manja dengan memeluk gue, menumpu dagunya di bahu gue.

"Mau berangkat sekarang?" tanya gue, membalas pelukan Reni sambil mencium puncak kepalanya beberapa kali.

Kepala Reni menggeleng, "Bentar lagi," gumamnya pelan sambil mengeratkan pelukan kami.

Gue tahu kalau sekarang Reni pasti merasa bersalah setelah mencoba menghindari obrolan gue sebelumnya. Gue udah hafal dia luar dalam, selama 5 tahun ini gue nggak pernah melepaskan perhatian gue sedikitpun dari dia.

"Nggak pa-pa, Ren..."

"Jangan gitu!" Reni malah berdecak galak.

Lah, gue lagi nenangin lo, Ren! Salah amat, ya? "Serba salah aku jadi cowokmu, Yang." Gue ikutan mendesah berat dan Reni tertawa kecil setelahnya.

Reni lalu melepas pelukan kami, dia menggandeng tangan gue sampai ke depan pintu ruangan kerja dan melepaskannya begitu ia membuka pintu. "Taxiku kayaknya sudah sampai di depan."

Gue mengangguk, ikut berjalan keluar—mengekori Reni. "Janjian ketemuan di mana?" Setelah memastikan kalau Deryl ada di dalam ruangannya, gue kembali menggandeng tangan Reni sambil mencuri kecup di tangannya.

"Mbak Joey sudah bikin reservasi di Altitude Grill," jawabnya sambil menggoyangkan genggaman tangan kami. "Aku nanti di sana sebentar, cuma mau ketemu sama sekalian nyapa Mbak Joey aja. Abis itu, aku mau balik ke kosan sambil sekalian ganti baju," jelas Reni tanpa gue minta.

"Kalau sudah sampai kosan wa aja. Nanti biar Surya yang nganterin kamu dari kosan ke Menteng." Reni mengangguk, dia melepaskan genggaman tangan kami saat kami sudah sampai di teras rumah.

Dari sini, gue bisa melihat taxi pesanan Reni ada di depan rumah. Tangan gue melambai ke arah Pak Wahid—salah satu security yang menjaga rumah—yang membalas lambaian tangan gue. "Pak, buka gerbangnya! Taxinya biarin masuk!" ucap gue, ikut menahan tangan Reni supaya dia menunggu dengan gue di teras.

"Salim dulu, Rein..." Gue mengulurkan tangan ke depan Reni sambil menahan tawa ketika mendapati raut datar yang ditunjukkan Reni sekarang. Tapi, tawa gue berubah menjadi pelototan waktu Reni dengan sengaja malah memasukkan salah satu jari gue ke dalam mulutnya. "HEH!" Dengan cepat, gue menarik jari gue dan menoleh ke kanan dan kiri. "Tobat, Rein...," bisik gue setengah mengancamnya.

Ini gimana konsepnya, sih?

Kalau nggak gue yang gila, ya, Reni yang gila.

Bisa gantian gitu?

Masih sambil menggandeng tangan Reni, gue berjalan mendekat ke arah taxi yang kini sudah masuk ke dalam pekarangan rumah—tepatnya di samping teras rumah. Dengan cepat, gue membuka pintu belakang lalu meletakkan tangan gue di atas kepala Reni waktu dia bergerak masuk ke dalam mobil.

"Hati-hati, ya." Reni mengangguk, dia melambaikan tangannya. "Have fun!" ucap gue sebelum menutup pintu taxi.

Gue masih berdiri di depan teras untuk memastikan taxi Reni benar-benar keluar dari area rumah gue, sampai gue menemukan keanehan Pak Wahid yang bergerak canggung di depan pos penjagaannya.

Kenapa lagi, nih?

Sebelum gue sempat menanyakan apa-apa, tiba-tiba aja Pak Wahid mengangkat salah satu tangannya ke udara. "SAYA NGGAK LIAT APA-APA, PAK!"

...

Hm, sudah pasti Pak Wahid liat apa-apa, 'kan, ya?

APES LAGI DEH GUE!








***











Setelah memarkirkan mobil di garasi, gue berjalan memasuki rumah Menteng setelah menyapa beberapa pekerja rumah yang sudah jarang gue temui. Dari depan teras, gue bisa mendengar suara tawa dan sepenggal obrolan yang kedengaran seru yang asalnya mungkin dari ruang tengah.

"Malaika memang umur berapa, sih?"

"27, Tante."

"Masih muda banget, ya? Cantik lagi... Haduh, sayang banget anak Tante udah umur 34. Ketuaan, ya, sama kamu Malaika?"

"34 masa' tua, sih, Tante? Tipe cowok saya juga kalau bisa harus yang lebih tua daripada saya, kok, Te."

"Waduh, cocok dong kalau begitu?"

Mau dengan alasan apa pun kedatangan gue ke sini, gue tau betul kalau Ibu sudah pasti siap menjodohkan gue dengan banyak wanita yang menurutnya sesuai dengan kriteria gue sebagai lelaki dan kriterianya sebagai seorang mertua.

Dan kesalnya, gue cuma bisa pasrah karena selama gue nggak menunjukkan kekasih gue—yang juga cocok dan sesuai dengan kriteria yang Ibu punya—Ibu nggak akan berhenti menjodohkan gue dengan wanita-wanita yang dikenalnya.

Kalau aja Reni—

"Nah, itu anaknya!" Suara Ibu yang melengking membuat gue sadar dan kembali melanjutkan langkah ke arah ruang tengah. "Pas banget, La! Ini, loh, ada Malaika. Kenalan dulu."

Gue menyunggingkan senyum, menyapa Malaika yang sekarang berdiri di hadapan gue sambil mengulurkan tangannya. "Hatalla."

"Malaika," jawabnya dengan senyum lebar.

Sekarang gue ingat si Malaika ini, gue udah pernah ketemu dia beberapa kali di acara keluarga gue. If I may say so, she isn't the type of woman who stands out. She appears to blend in and is typical in my eyes, which may explain why I forget her so fast.

"Nggak, Te. Udah beberapa kali ketemu sama Mas Hatalla juga, kok. Tapi, Mas Hatalla kayaknya lupa, deh." Malaika berujar sambil meringis malu-malu melirik gue.

Iya. Gue bahkan nggak ingat momen pertemuan kami yang sudah pasti sangat singkat itu.

"Nggak, kok." Jawaban gue barusan menerbitkan senyum di bibir si Malaika dan Ibu tentunya. "Of course, I still remember it. It would be very difficult for me to forget you," lanjut gue basa-basi.

Sebut aja itu kesopanan gue karena gue masih punya otak buat nggak mempermalukan Malaika yang nggak salah apa-apa di depan Ibu sekarang.

Setelahnya kami mengobrol singkat di ruang tengah sampai akhirnya kami melanjutkannya di ruang makan bersama Ayah yang baru saja pulang ke rumah dari urusan dadakannya.

Di meja makan, gue dan Ayah lebih banyak diam dan hanya menanggapi singkat ketika Ibu bertanya ke kami. Berbeda dengan Ibu, Ayah bisa dibilang ikut risih dengan acara perjodohan yang dibuat Ibu setiap kali gue mampir ke rumah Menteng.

"Kamu nggak bareng sama Reni, La?" tanya Ayah begitu gue menghabiskan opor yang menjadi menu makan siang hari ini.

Kepala gue menggeleng, "Hari ini bukan jadwalnya Reni nemenin aku, Yah." Ayah mengangguk, dan obrolan kami membuat Ibu dan Malaika ikut berhenti berbicara. "Tapi, nanti ke sini, kok. Katanya ada perlu sama Ayah, kan?"

Ayah mengangguk, "Ada kerjaan yang harus diurus bareng Reni dan Wildan. Ayah pikir Reni berangkat bareng kamu."

"Reni?" Suara Malaika membuat gue dan Ayah sempat melirik ke arahnya.

"Oh, itu personal assistant-nya Hatalla." Ibu buru-buru menyahut, menjelaskan ke Malaika yang tampak kebingungan. "Kalau Malaika masih di sini dan Reni datang, bakal Tante kenalin. Nanti kalau Malaika ada butuh apa-apa sama Hatalla, Malaika bisa hubungi Reni dulu. Anaknya baik, kok! Cantik banget, pinter! Nanti Tante kenalin kalian berdua," terang Ibu mendadak bersemangat.

Gue sendiri cuma bisa diam mendengarkan soal rencana Ibu yang ingin mengenalkan Reni dengan Malaika. I am not worried at all. Ini bukan pertama kalinya Reni berhadapan dengan wanita-wanita yang akan dijodohkan dengan gue, selama lima tahun ini dia berhasil mengendalikan diri dan tetap bisa percaya diri di depan gue meski sebenarnya gue tau ada perasaan nggak nyaman karena kalau itu gue... gue nggak akan mungkin bisa setenang Reni juga, sih.

Lucunya, kami nggak pernah bertengkar soal ini.

Seperti sudah paham, Reni tahu kalau dia harus menghadapi permasalahan perjodohan gue dengan wanita-wanita lain selagi dia masih belum mau mengumumkan hubungan kami ke orang-orang.

Setelah acara makan-makan tadi, gue diajak Ayah untuk membahas mengenai masalah yang sedang kami hadapi dan Ibu yang tadinya mau protes karena tadinya gue diminta untuk menemani Malaika tidak bisa berkutik karena Ayah sendiri yang meminta gue untuk datang ke ruang kerjanya.

Dari balik meja kerjanya, Ayah menunjuk ke arah kursi di depan mejanya. "Gimana? Mau kamu yang selesaikan sendiri atau Ayah juga ikut turun tangan?"

Gue menarik kursi sebelum duduk di sana, "I've enlisted the support of Narendra and a few others, and I believe that is enough for now," balasku dibalas anggukan dan raut wajah puas di wajah Ayah.

"Yang urus Deryl?"

"Iya, sama Reni juga," jawab gue cepat.

"Kalau masalah ini beres, Ayah mau kasih Reni bonus." Kepala gue mengangguk-angguk. "Kamu juga, La. Jadi atasan itu yang loyal, supaya stafmu itu juga betah kerja sama kamu."

Kalau masalah yang satu itu, sih, gampang buat gue.

Reni selalu dapat bonus dari gue setiap harinya.

Ayah nggak tahu aja kalau gue bisa ngasih apa aja ke Reni—apa pun yang dia mau dan dia minta.

Gue dan Ayah menghabiskan waktu yang cukup lama untuk membahas soal pekerjaan kami masing-masing, sampai akhirnya Mbak Dian—salah satu asisten rumah tangga—mengatakan kalau sudah waktunya makan malam dan Ibu sudah menunggu di bawah.

"Ke ruang tamu aja dulu." Ayah menunjuk ke ruang tamu waktu kami menuruni anak tangga. "Jemput Ibumu sekalian," ucapnya yang gue angguki.

Kami berdua berjalan bersisian menuju ruang tengah yang kedengaran ramai, dan mata gue langsung tertuju ke sosok Reni dengan penampilan rapi—dengan balutan kemeja oversize berwarna putih yang ia masukkan ke jeansnya—yang menjadi favorit gue karena Reni terlihat profesional dan seksi di waktu yang bersamaan.

"Oh, kalau saya sejak kecil memang tinggal di luar negeri. Saya lulusan Southern California, ambil business management."

"Kalau saya lulusan UB, di Malang."

"Jurusan?"

"Ilmu Komunikasi."

"S2-nya?"

"Belum, Mbak."

Asik banget!

I always loved Reni's unwavering confidence in front of anyone she was speaking with. It's as if you can't beat her.

Reni selalu punya cara untuk terlihat bersinar di sela ketidak-idealan pandangan orang lain terhadap standarnya.

And, in my opinion, she's incredibly hot!

"Eh, Reni, 'kan, selama kerja bareng Hatalla memang sibuk banget. Jadi, memang dia belum sempat melanjutkan studinya." Ibu tiba-tiba aja menengahi, padahal menurut gue obrolan Malaika dan Reni tadi lagi seru-serunya.

Bukannya mendekat ke ruang tengah, gue sama Ayah malah berdiri memperhatikan obrolan para wanita di ruang tengah.

"Nggak mau disempetin memangnya?" Malaika menyahut, menatap Reni merendahkan. "Kan, Reni kerja sama keluarga Adiwangsa—ngurus segala kerjaan yang bersangkutan sama Hatalla juga—jadi kayaknya pendidikannya Reni juga perlu di upgrade supaya bisa optimal juga di dalam dunia kerjamu yang dikelilingi orang-orang yang posisinya lebih tinggi, deh. Kan, rasanya gimana, ya, waktu orang lain tahu ternyata kualifikasi staf keluarga Adiwangsa cuma segini aja..."

Oke, jadi gimana, Ren?

Gue mengarahkan tatapan gue ke Reni, juga wajah Ibu yang mendadak berubah segan waktu menggandeng tangan Reni. "Dengan jenjang pendidikan saya sekarang, saya sudah bisa membantu banyak dan pekerjaan saya semuanya berjalan lancar. Sejauh ini, saya juga tidak pernah mendapatkan protes dari Bapak Hatalla—selaku atasan saya—soal jenjang pendidikan saya." Reni berbicara dengan lancar, ditambah dengan wajah super ramahnya sekarang yang keliatan cantik. "Kalaupun saya tertarik untuk melanjutkan studi saya nanti, semuanya pasti akan muncul dari keinginan saya sendiri, bukan sebagai ajang pembuktian ke orang lain karena dengan diri saya yang sekarang, saya pikir saya sudah bisa membuktikan ke orang lain tentang seberapa baiknya kemampuan saya dan seberapa pantasnya saya bisa ada di sini."

Liat, 'kan, seberapa seksinya cewek gue sekarang?

"Ngeri banget Reni, ya, La?" Ucapan barusan ditambah tawa Ayah dan gelengan kepalanya waktu akhirnya dia melanjutkan langkahnya ke ruang tengah, menghentikan obrolan dan mengajak Malaika, Ibu, dan Reni untuk pergi ke ruang makan.

Gue cuma membalas sapaan Malaika dengan senyum kecil waktu dia berjalan melewati gue bersama Ibu.

Begitu Reni berjalan, gue baru ikut melangkah di sebelahnya menuju ke ruang makan. Tangan gue sempat mengusap punggung Reni beberapa kali, mencoba meredakan emosi yang sudah pasti ia rasakan waktu berhadapan dengan Malaika barusan.

"Dia ternyata sama nyebelinnya kayak yang udah-udah," gumamnya pelan.

Gue jelas setuju, "Memang," jawab gue sambil menarik tangan gue dari punggung Reni karena kami sudah sangat dekat dengan ruang makan. "Yang nggak nyebelin kayaknya cuma kamu, Rein," balas gue sambil berbisik di telinganya.

Reni cuma berdecak, dia mempercepat langkahnya ke ruang makan dan meninggalkan gue sendirian di belakangnya.

Di meja makan, Ibu, Ayah, dan Malaika sudah duduk di kursinya masing-masing. Gue masih berdiri di belakang salah satu kursi yang gue duduki, memperhatikan Reni yang akan duduk di sebelah Malaika.

"Sini, Ren." Gue mengedik ke arah kursi yang ada di sebelah gue. "Jangan duduk di situ," sambung gue, sepertinya mengejutkan Ibu dan Malaika. "Malaika kayaknya lagi senewen sama kamu. Kasian itu tamu saya kalau kamu duduk di sebelahnya. Di sini aja," kata gue sambil menunjuk kursi kosong di sebelah gue.

Reni dengan mudah menurut, dia menarik kursi dan duduk di sebelah gue. Selagi Ibu dan Malaika lagi-lagi menjalin obrolan di ruang makan sambil sesekali Reni menyahuti, gue menurunkan salah satu tangan ke arah paha Reni—mengusapnya di sana—sebelum tangan Reni menghentikan kegiatan menyenangkan gue itu dengan menggenggam tangan gue.

Di saat Reni mendengarkan obrolan antara Ibu dan Malaika, dan gue yang asyik menikmati makan malam sambil sesekali bicara dengan Ayah, tautan tangan kami di bawah meja semakin mengerat. 

Continue Reading

You'll Also Like

273K 46.5K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
794 141 8
Tidak seperti di film-film, Nanda dan Salsa jatuh cinta secara perlahan. Saling mengenal, menemukan kesamaan dan kecocokan, lalu memutuskan untuk men...
670 86 3
Ario tahu ia menyukai Gia, dengan semua senyum kecil dan kalimat-kalimat singkat yang keluar dari mulut perempuan itu. Tapi, di peron stasiun hari it...
KALENZO By sita_tata

Teen Fiction

52.9K 1K 44
"jaga baik-baik calon anak gue!!".bentak Kal pada istri nya anez. "ga!! gue ga mau hamil anak lo,gue akan gugurin kandungan ini". plak tamparan keras...