Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XLVII

43.7K 2.5K 70
By ohhhpiiu

Justru aku takut, terlalu bahagia bikin aku lupa kalau semesta bekerja dengan cara yang tak terduga

...

Jujur saja Qila sangat gugup saat ini.

Bagaimana tidak? Hari ini adalah kali pertama Qila tampil dan berusaha atas keinginannya sendiri setelah sekian lama.

"Gugup banget?" Saka menggenggam jemari Qila yang mendingin. "Bukan sakit, kan?"

"Hm, gugup." Qila menampilkan deretan giginya yang rapi. "Cantik gak aku hari ini."

"Cantik," jawab Saka sambil menepikan sebagian rambut Qila yang berantakan. "Gue nemenin lo disini aja ya?"

Entah sudah permintaan yang ke berapa kali, Saka selalu mengulang pertanyaan yang sama dan tentu saja mendapat jawaban konsisten dari saudari kembarnya.

"Aku tampil belakangan, Ka." Qila menatap Saka dalam. "Atau kamu mau aku gak usah tampil aja biar kita bisa lihat persidangan abang sama-sama?"

Saka langsung menggeleng tak setuju. Dia sangat tahu seberapa banyak antusias yang telah Qila curahkan dan effort yang ia keluarkan untuk penampilan hari ini.

Daniel melirik dari kaca spion, nampak tak mau interupsi karena ia mogok bicara sejak semalam pada Qila, tentu saja alasan yang sama seperti Saka sebelumnya.

"Qila kalau ada apa-apa langsung panggil Om Edgar."

"Iya, Ayah."

Rencananya pagi ini mereka akan mengantarkan Qila lebih dulu ke sekolah baru kemudian pergi untuk menemani persidangan Dirga.

"Ayah belum kasih tahu abang ya kalau hari ini mau datang?"

Akbar tersenyum tipis. "Belum." Biarkan ini menjadi kejutan.

"Ka, surat yang aku tulis buat Bang Dirga mana?"

"Di saku." Saka menunjuk saku tempat ia menyimpan surat titipan Qila.

"Jangan kamu buang ya, dikasih lho!" ancam Qila setengah bercanda. "Denger gak Saka!?"

"Iya Kakak."

Qila terkikik saat Saka menatap jengah pada Qila. Oh jangan lupakan panggilan Saka yang akhir-akhir ini berubah menjadi lebih sering memanggilnya dengan kata 'Kakak'.

"Aku takut banget diketawain kalau buat salah nanti."

"Catet ae namanya, biar gue bikin bonyok kalau sampe ada yang berani ngatain lo."

Qila mengulas senyum geli ke arah Daniel. "Udah berhenti nih mogok ngomongnya?" ledek Qila. "Kok cepet banget, katanya mau marah lama."

"Brisik." Daniel mendengus kembali menatap jalan raya.

Namun Qila tak berhenti meledek Daniel sampai disitu saja. Sepanjang jalan diwarnai celoteh Qila dan gerutu Daniel yang tak ada habisnya.

"Tom and Jerry," gumam Saka sambil memijat pelipisnya.

"Udah-udah sebentar lagi mau nyampe nih," Akbar menengahi percekcokan antara putra dan putrinya. "Udah besar masih aja berantem."

"Danielnya tuh."

"Gue lagi yang kena," Daniel menarik napas pasrah.

Di depan gerbang sekolah nampaknya Angkasa sudah menunggu kedatangan Qila lengkap dengan kamera yang tergantung indah di leher, lengan kemeja berwarna krem yang tergulung sampai siku serta kepala yang bertutupkan topi menaikkan kadar ketampanan pemuda itu.

"Temen kamu ya?" tebak Ayah, terselip nada kesal. "Kamu jangan turun dulu, biar Ayah yang pertama turun."

Ya sudah, Qila hanya menuruti keinginan Akbar seperti yang diperintahkan sebelumnya. Ayah terlihat berbincang sekilas dengan Angkasa yang langsung menyambut Akbar dengan tundukkan sopan.

"Gue gak suka bocah itu," gerutu Daniel dari bangku kemudi. "Mukanya tengil pasti yang kayak begitu tukang modusin cewek sana-sini."

"Kamu lagi ngomongin diri sendiri, Niel?"

"Ck!" Daniel membalikkan badan menahan kesal. "Lo tuh kalau gue ngomong jangan di bercandain mulu! Pokoknya gue gak suka sama yang namanya Angkasa itu!"

"Ya bagus dong?" Mata Qila terlihat kebingungan. "Masa saingan Kak Rena nambah sih kalau kamu bisa sampe suka Angkasa."

"Pffft." Saka menutup mulutnya yang tak sengaja menyemburkan tawa.

"SIALAN LO NGETAWAIN GUE!?" Daniel menggeram marah dan berusaha menggapai tubuh Saka yang duduk tepat dibelakang bangku kemudi. "Gue jitak ya lo berdua!" ancam Daniel sudah bersiap membuka seatbelt-nya.

tok tok

Akbar memberikan kode agar mereka segera turun lewat gerakan kepala. Membuat Qila menjulurkan lidah dan Saka memukul tangan Daniel yang mencoba mencubit kaki Qila.

"Om titip Qila sebentar ya," ujar Akbar yang terlihat lebih rileks daripada sebelumnya.

"Siap Om." Angkasa tersenyum tipis dan melepas topi hitamnya ketika bersalaman dengan Daniel dan Saka.

Wajah Daniel semakin dibuat kusut karena Akbar tak menunjukkan rasa kesalnya sama sekali.

"Awas aja kalau adek gue lecet seujung kuku lo yang gue abisin lebih dulu."

"Aman bang," Angkasa terkekeh nampak tak terpengaruh pada ancaman Daniel. "Gue pastiin nyamuk juga gak bakalan nempel."

"Aduh apa sih ini." Qila melambaikan tangannya tak kuasa menahan malu. "Udah sana berangkat nanti telat lho, jangan buat Bang Dirga nunggu lama."

Akbar tersenyum sedih sambil mengelus kepala Qila lembut. "Ayah janji gak akan lama," ucapnya sambil memeluk Qila dan menciumi wajah putrinya.

"Iya, iya." Qila menepuk punggung Ayah, agak sedikit malu sebenarnya karena beberapa orang yang ingin masuk juga melihat kearahnya. "Kayak mau ditinggal kemana aja deh."

"Baik-baik lo bocil! Jangan kurang minum, awas aja gue balik kesini ngeliat muka lo pucet gara-gara kurang air, gua tonjok dia nanti!" Daniel menunjuk Angkasa. "Pokoknya kalau mulai kerasa pusing gak boleh maksain diri."

"Astaga iyaaaaa cerewet banget sih."

Daniel tak lagi membalas ejekan Qila, dia menarik tubuh ringkih Qila untuk dipeluk sejenak dan berakhir mencium kening gadis kecil itu.

"Nah giliran Saka sekarang," Qila membentang tangannya lebih dulu menyambut Saka kedalam pelukan. "Kok muka kamu asem banget sih."

Saka diam, tak berusaha menjawab dan hanya mengeratkan pelukannya. Harusnya sekarang dia bisa melihat dan menemani Qila, meskipun kembarannya mengatakan bahwa penampilannya ada di akhir acara, tetap saja ia jauh menginginkan menemani Qila sejak awal hingga akhir.

Sebenarnya Saka sudah mengajukan opsi untuk membagi minimal seorang saja menemani Qila sementara yang lain pergi ke persidangan Dirga. Namun tak ada yang mau mengalah dari mereka bertiga, dan Qila terpaksa menolak mereka semua, karena katanya mau bagaimana pun situasi Dirga jauh lebih membutuhkan dukungan dibandingkan dia.

"Serius deh habis dari persidangan kamu kan masih bisa ketemu aku."

"Hm."

"Ya udah kalau gitu aku mau masuk, kalian juga harus pergi, kan." Saka nampak keberatan mengurai pelukan, wajahnya tertekuk seperti anak kucing yang merajuk. "Gak cocok banget muka jutek kamu ngambek begini."

"Jangan sakit." Saka mengelus wajah Qila yang terpoles make up tipis. "Inget, kan, janji lo sama gue semalem?"

"Janji selalu ngabarin kalau ada apa-apa," ucap Qila mengangguk paham. "Hampir 4 kali aku ngucapin gini lama-lama pegel nih."

"I love you, twins."

"Yea, me too lil bro."

"Argh gue makin berat nih mau ninggalin lo gini." Daniel merangsek maju memeluk kedua adiknya. "Bisa gak sih diundur aja sidangnya."

"Haha gak bisa dong." Akbar tertawa kecil. "Nanti kalau sudah kumpul semua kita pelukan lagi."

Dengan segala gengsi yang telah Akbar turunkan, ia memeluk ketiga anaknya dan menyandarkan kepala pada bahu Daniel yang menggeliat protes awalnya. Akan tetapi, tak lama kemudian mereka berempat larut dan menikmati momen kebersamaan ini dari hati yang terdalam.

cekrek.

Angkasa tersenyum.

Sungguh, foto yang begitu mengharukan.

...

"Gue seneng liat lo bahagia."

"Hm?" Qila mendongakkan kepala menatap Angkasa yang berdiri menutupi sinar matahari saat Qila tengah duduk di bangku backstage. "Keliatan banget ya aku happy?"

"Iya." Tanpa sadar tangan Angkasa bergerak mengelus pipi Qila. "Bahagia terus, La, jangan bikin gue selalu khawatir."

"Kamu khawatirin aku?" tanya Qila polos.

"Gak kelihatan emangnya?" Angkasa membuat smirk tipis. Ia mensejajarkan wajahnya hingga berhadapan dengan Qila. "Anak-anak yang lain aja peka, lo kapan?"

Alis Qila bertaut tanda kebingungan. Entah memang benar-benar bingung atau sengaja tak mengerti maksud dari perkataan Angkasa barusan.

"K-katanya kamu mau kasih aku sesuatu," ujar Qila sambil mengalihkan pandangan, tiba-tiba saja pipinya berubah panas, ia juga tak berani lagi menatap mata Angkasa yang tengah memperhatikannya lekat. "Mau kasih apa?"

Angkasa menarik sedikit dagu Qila untuk kembali menatapnya, "Kalau ngomong liat sini dulu dong."

Namun, Qila menolak dan memaksakan diri untuk tak melihat ke arah Angkasa. "Jangan gini ... malu diliatin orang," cicit Qila.

"Gue enggak tuh."

"Ya kamu sejak kapan punya malu."

"Gue malu kalau gini." Angkasa mengelus kepala Qila beberapa kali. "Nih kalau gini baru gue bisa malu, apalagi jantung gue yang daritadi gak berhenti disko di dalem sini." Angkasa menarik tangan Qila untuk memastikan sendiri betapa kencangnya degupan jantung yang saat ini sedang ia rasakan.

Qila semakin dibuat merona, ia lantas menarik tangan dan terus memalingkan wajah, beberapa orang sudah mencuri pandang dan tak segan memberikan kata-kata 'cie' yang ditanggapi senyuman tipis saja oleh Angkasa.

Agaknya cowok tinggi bertopi hitam itu begitu bangga karena diledek oleh teman-temannya.

"Woi bucin!" Qila dan Angkasa menoleh ke sumber suara. "Sini lo, gue suruh jagain booth pameran malah pacaran disitu!"

"Iya, nyet!" balas Angkasa setengah berteriak. Lalu pandangannya berubah lunak saat menatap Qila, "Sori ya gue pergi sebentar, tunggu disini oke? Kalau butuh apa-apa call aja, gue tahu lo bisa sendiri tapi please kali ini dengerin gue, lo gak mau, kan, muka gue bonyok karena lalai jagain lo?"

Qila kurang nyaman jika harus ditinggal, terlebih dia belum terlalu akrab dengan panitia yang lain meskipun dari mereka mencoba bersikap baik padanya. Rasa nyaman itu timbul akibat dirinya sendiri yang jarang bersosialisasi. Namun, dia juga tidak biss menahan Angkasa hanya karena keegoisannya.

"Gak apa-apa," Angkasa menarik jemari Qila dan mengelusnya lembut. "Gak bakal ada yang jahatin lo disini, percaya sama gue."

"Iya."

deg

deg

deg

Qila merasa panas bukan lagi diwajahnya melainkan seluruh tubuhnya berubah menjadi panas akibat detakan jantungnya yang semakin cepat. Ia menatap tangan yang sedang Angkasa usap, ternyata tangan Angkasa begitu besar dan hangat ....

"Gue pergi dulu, setelah ini baru gue kasih hadiahnya." Angkasa menepuk kepala Qila, memperlakukannya seperti anak kecil.

"Jangan lama."

"Iya." Hampir saja Angkasa menarik kepala Qila untuk dipeluk kalau tak segera menyadarkan diri. Tak bisa. Qila terlalu imut hari ini, wajah yang selalu polos itu kini terlapisi make up yang membuatnya tampil lebih cantik.

Maksud Angkasa,

Qila selalu cantik di matanya, hanya saja hari ini cantiknya berkali-kali lipat dari biasanya.

Rasanya ingin Angkasa simpan saja sendiri, karena rugi saja orang seimut ini tak bisa ia miliki.

...

Sepanjang jalan menuju ruang persidangan, Dirga menundukkan kepalanya menatap lantai putih yang ia lewati. Para wartawan mula mengerubungi dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berulang yang membuat kepalanya pening.

Dibalut kemeja putih dan celana hitam, lelaki yang perawakannya hampir menyerupai Akbar Adhitama nampak gemetaran sesekali.

Polisi yang dikerahkan untuk mengawal dan menjaganya pun sampai kewalahan. Dipastikan Headline berita terus memanas akibat anak sulung dari pebisnis ternama itu sudah membuat skandal hebat, saham perusahaan Akbar seketika melonjak turun, investor yang digaet untuk proyek besar pun sampai menarik diri dan memutuskan kerjasama.

Dirga tahu.

Meski setiap kali Ayah berkunjung dia tak pernah menyinggung hal itu. Dirga sudah banyak mengecewakan Ayah yang tak pernah menyalahkan dirinya. Walau begitu, Dirga amat yakin persidangan terakhir ini tak dapat ditemani keluarganya.

Seketika dia merasa gagal, malu, bahkan mengangkat kepala pun rasanya tak sanggup.

"Tolong jangan menghalangi ya!" ucap salah seorang anggota kepolisian di sampingnya.

Begitu memasuki ruang sidang, suasana berubah riung, caci maki terlontar tanpa bisa dicegah, Dirga terduduk lemas di kursinya.

"Semangat!" pekik seseorang yang Dirga kenal.

Ayah?

Kedua mata Dirga kontan melotot kaget menyaksikan Ayah, Daniel, dan Saka yang duduk tak jauh dari posisinya. Seketika ia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya dan mengucap syukur dalam hati sebanyak mungkin, bersyukur bahwa ternyata dirinya belum ditinggalkan, bahwa ternyata dia masih punya tempat berpulang, meski harus memohon ampun berapa kali pun, yang terpenting Dirga tak sendirian.

Dirga tersenyum dan sedikit melambaikan tangan, satu air mata lolos yang dengan cepat ia usap, Saka terlihat mengepalkan tangan memberinya semangat, dan Daniel mencibir mengatainya 'cengeng' meski raut wajah itu berkata sebaliknya.

Hanya satu sosok yang sangat ia rindukan tak datang.

"Hadirin dimohon berdiri, majelis hakim memasuki ruangan sidang." Semua kontan berdiri dari duduknya dan menunggu jajaran hakim duduk di bangkunya masing-masing.

Akbar menenangkan Dirga melalui tatapan yang penuh keyakinan, membuat anak sulungnya sedikit terpantik semangat dalam hati.

Satu bangku telah tersedia di hadapan jajaran hakim dan diantara jaksa penuntut umum serta pengacara yang duduk bersebrangan. "Hadirin dimohon duduk kembali, terimakasih."

Setelah beberapa hal berlalu, Dirga yang duduk di bangku tengah diperintahkan untuk berdiri sembari mendengarkan putusan hakim atas tuntunannya sebagai terdakwa yang dianggap membunuh kekasihnya sendiri di apartemennya.

Suasana langsung sepi senyap begitu Hakim Ketua hendak membacakan putusan, pasalnya dipersidangan sebelumnya sempat terjadi adu tegang antara Jaksa Penuntut Umum yang dengan yakin menyatakan bahwa Dirga telah bersalah atas kematian Alya, sedangkan Pengacara dari pihaknya membantah dengan alibi tak ditemukan bukti fisik kuat yang mendukung argumen tersebut.

Jaksa Penuntut Umum hanya menunjuk Dirga sebagai terdakwa karena Dirga berada di tempat yang sama dengan korban dan sempat terlibat cekcok sebelum kejadian.

Beruntungnya tim pengacara dari pihak Dirga menemukan bukti terakhir yang menegaskan bahwa Dirga tak terlibat atas kejadian yang menyebabkan Alya terjatuh dari balkon apartemen. Bukti tersebut adalah rekaman cctv dari lantai lima yang merekam waktu saat siluet Alya jatuh, kemudian dicocokkan dengan cctv ruang tengah yang merekam Dirga pada saat yang bersamaan.

Dengan demikian maka jelas sudah alibi Dirga dapat membantah bahwa dirinya yang mendorong Alya hingga menyebabkan gadis itu tewas, karena sinkronisasi waktu tidak menunjukkan adanya indikasi pembunuhan.

".... pernyataan terdakwa Dirgantara Adhitama Mandala alias Dirga anak dari Akbar Tandjung tidak terbukti secara sah dinyatakan bersalah pada tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Dengan demikian maka majelis hakim memutuskan vonis bebas!"

Suara ketukan palu yang meraup kebebasan Dirga berserta keluarganya yang lain langsung disambut haru. Akbar langsung melesat pergi menghampiri anaknya dan memeluknya kencang, Daniel mengusap matanya yang sedikit berembun. Hal itu tak luput dari perhatian wartawan yang hadir di ruang persidangan.

drrt drrrttt drrttt

10 panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal.

drrrt drrtt drrtt

5 panggilan tak terjawab dari Edgar Gila.

22 pesan belum terbaca.

drrrtt drrttt drrtt

Suasana haru langsung berubah menjadi lonjakan jantung yang berdetak kencang. Perasaan cemas mendominasi Akbar begitu melihat banyaknya notifikasi masuk.

"Kenapa?" tanya Daniel yang ikut penasaran karena wajah Akbar berubah pucat dalam sekejap.

drrt drrtt

"Halo?" Akbar menelan pahit air liurnya yang seperti tersendat di tenggorokan. "... dibawa kemana sekarang?"

Otak Akbar berubah kosong seketika.

Dadanya bergemuruh tak tenang.

Baru saja Tuhan membuatnya senang. Kini perasaannya kembali dipermainkan.

"Yah." Saka mencengkram kuat tangan Akbar. "Kenapa?" Perasaannya turut berubah tak karuan. Ada satu hal buruk dalam benaknya yang tak ingin ia benarkan, dan tidak ingin ia harapkan berubah menjadi kenyataan. "Qila? Qila, kan?"

Akbar menundukkan kepala, memegang bahu Saka untuk mencari pegangan. Lidahnya kelu, kakinya bahkan tak kuat bila harus dipaksa berjalan.

"Kenapa!?" Daniel berubah menjadi tak sabaran.

"... rumah sakit," gumam Akbar dengan suara tak jelas. "Qila. Katanya Qila dilarikan ke rumah sakit."

Ketiga anak lelakinya sontak membulatkan mata terkejut. Saka langsung memegang dadanya yang seketika nyeri. Perasaan tak tenang yang sedari tadi ia rasakan ternyata memang sebuah pertanda buruk.

jangan.

jangan dulu.

dia belum sempat meminta maaf dengan benar.

"Kondisinya ... drop."

Padahal sebelumnya mereka masih bisa melihat Qila yang tersenyum manis seperti biasa. Masih bisa meledek Daniel dan bersandar manja pada Saka. Separah apa kondisinya sampai membuat seorang Akbar mati rasa?

"Minta Theo untuk membawa mobil," lirih Ayah seperti orang yang aka kehilangan kesadaran.

bunda... jangan sekarang... jangan ambil qila sekarang...

Continue Reading

You'll Also Like

333K 21.3K 60
Attara Anastasya Ganendra, gadis yang kehidupannya berubah setelah terhantam kenyataan pahit di masa lalu membuat dirinya terhempaskan masuk ke dalam...
671K 40.2K 67
[TAHAP REVISI] √ADA BEBERAPA PART YANG DIPRIVAT. √FOLLOW DULU SEBELUM BACA! √PALGIATOR HARAP MENJAUH!! Namaku Lesya Adriana. Cantik bukan? Namun tida...
8.7K 1.5K 41
Azanna Salsabila telah memendam perasaannya pada Evan Aditama selama satu tahun. Cowok dingin yang irit ngomong dan nggak suka tertawa. Tapi di balik...
46.4K 1.6K 47
Kaira adalah seorang bad girl dengan rupa seorang gadis yang berwajah polos. Tapi, sifatnya tidak sepolos wajahnya. Kaira adalah seorang bucinlovers...