Rumah Untuk Bayu | JJK

Galing kay Purplelight01_

44.9K 2.5K 339

Daun tidak dihadirkan untuk membenci angin yang menjatuhkannya. Tak pula menaruh dendam pada alam yang membua... Higit pa

Prolog
CHAPTER 1 : Fortius
CHAPTER 2 : Persaingan
CAST
CHAPTER 3 : Melewati batas
CHAPTER 4 : Bukan hanya luka
CHAPTER 5 : Kontras kasih sayang
CHAPTER 6 : Ke mana harus pulang?
CHAPTER 7 : Ancaman
CHAPTER 8 : Pertengkaran
CHAPTER 9 : Ketakutan
CHAPTER 10 : Mencoba lebih dekat
CHAPTER 14 : Disalahkan
CHAPTER 17 : Dipaksa pulang
CHAPTER 18 : Kekanakan yang sebenarnya
CHAPTER 20 : Rindu
CHAPTER 30 : "Maaf, Bu."
CHAPTER 32 : Berpikir
Vote Cover
CHAPTER 33 : Maaf dan terima kasih
OPEN PRE-ORDER
Info
Gratis Ongkir
Hari terakhir
Diskon 20-35%

CHAPTER 31 : Rencana

1K 107 16
Galing kay Purplelight01_

"Yah, aku nemuin ini di kamar Abang."

Lelaki itu menoleh dan mendapati sang istri datang membawa selembar kertas.

"Aku belum baca semua karena tadi mama udah di depan nunggu anak-anak," ujar Viona lagi. Tadi sang mama memang datang ke rumah untuk menjemput cucu-cucunya karena tahu Viona sedang kerepotan di rumah sakit. "Coba baca, Yah."

Dengan cepat Fahmi mengangguk, kemudian mulai membaca yang tertulis di dalamnya.

Keduanya beradu tatap usai membaca apa yang ditulis Bayu di dalam kertas tersebut. Menyakitkan sungguh. Fahmi ingat, Bayu pernah terang-terangan mengatakan padanya bahwa dia merasa minder karena Wil mampu membelikan segalanya untuk sang bunda. Sementara Bayu? Sekalipun uang jajannya selama berbulan-bulan ditabung untuk membelikan sesuatu, tetap terlihat kecil di mata bundanya.

Mario dan Wil selalu memberikan pesta kejutan yang mewah untuk Anggia, mungkin itu alasan mengapa Bayu membubuhkan kalimat ‘setelah gue kaya’ pada bagian teratas deret rencana yang ditulisnya. Karena selama ini, hanya kemewahan yang membuat Anggia silau. Harta yang membuat senyum perempuan itu merekah sempurna sampai melupakan putranya sendiri. Fahmi tahu, harapan-harapan itu semata karena Bayu ingin diingat sebagai orang yang pernah membahagiakan bundanya.

"Itu apa?"

Tegar yang datang bersama rombongan orang tua teman-teman Bayu langsung bertanya melihat raut sedih Fahmi dan Viona sembari memandangi selembar kertas. Tanpa permisi, pria itu mengambilnya.

Lelaki itu menyunggingkan senyum kecut melihat apa tertulis, lalu berkata, "Dia bahkan masih mengingat ibunya seperti apa pun keadaannya. Tapi, Anggia malah ingin Bayu menghilang dari hidupnya. Ini definisi tolol yang sebenarnya. Dia enggak tahu sebesar apa penyesalan yang mengekor di belakang seandainya dia kehilangan anak seperti Bayu."

"Tapi, sepertinya cuma itu yang sangat ingin Bayu wujudkan. Karena dalam kondisi terburuk pun apa yang dipikirkan hanya kebahagiaan Anggia."

"Nanti saya bicara sama yang lain. Kalian jangan memikirkan apa pun. Shila bisa membuatkan kue secara cuma-cuma, Hana bisa membantu membeli bahan-bahannya. Istri saya bisa membelikan dress dan tas yang Anggia inginkan. Milly dan suaminya sanggup membeli sepatu sebanyak apa pun yang Anggia mau. Kalian hanya harus fokus merawat Bayu selama dia di sini. Jangan sampai Bayu lepas lagi dari pengawasan kita."

"Maaf kami selalu merepotkan," ujar Viona dengan kepala tertunduk.

"Bayu putra kami juga. Kami akan melakukan apa pun supaya dia bahagia. Tapi mungkin sedikit sulit mewujudkan dua keinginannya, makan dan foto bersama dengan Anggia. Perempuan itu hatinya keras sekali. Bahkan, setelah tahu Bayu sakit pun, dia sama sekali enggak merasa terketuk untuk bersikap sedikit lebih baik."

Fahmi pun menyesalkan itu. Kenapa hati Anggia keras sekali sampai enggan melihat betapa Bayu membutuhkannya?

"Masih ada satu bulan, harusnya kita bisa, kan, memberi kejutan buat Anggia dalam satu bulan itu?" tanya Viona.

Tegar mengangguk mantap. "Pasti bisa. Saya juga akan berusaha supaya Bayu bisa makan atau sekadar foto dengan Anggia."

Mereka tidak tahu bagaimana harus menyuarakan rasa terima kasih. Keduanya merasa beruntung karena Bayu dikelilingi orang-orang yang menyayanginya, meskipun bundanya belum bisa seperti itu.

"Pastikan kondisi Bayu tetap stabil. Jangan bebani pikirannya supaya saat waktunya tiba nanti, kondisinya lebih baik untuk diajak ke luar."

"Nak, kamu dengar itu? Cepat pulih. Kamu mau bunda bahagia, 'kan? Kita semua mau membantu kamu mewujudkan itu." Lirih sekali Fahmi bicara, tetapi sanggup membuat Bayu terjaga dari tidur nyenyaknya. Bayu membuka matanya perlahan.

"Ayah ganggu kamu, Nak? Maafin ayah, ya."

Bayu hanya menyunggingkan senyum tipis.

Setelah yakin Bayu sepenuhnya sadar, Tegar akhirnya membahas ihwal rencana pesta kejutan Anggia. Ia berharap, dengan demikian bisa membuat anak itu kembali bersemangat. Benar saja, topik pembicaraan mereka langsung membuat Bayu begitu antusias.

"Seriusan, Om? Tapi, aku gantinya nanti kalau udah kerja. Om janji dulu jangan kasih tagihannya sama ayah atau bunda."

Tegar tertawa. "Emang om kelihatan kayak penagih utang, hah?" semprotnya sembari mengusak rambut Bayu.

Sebenarnya, tak ada satu pun yang berniat menjadikan itu sebagai utang, tetapi mereka tahu betul Bayu seperti apa. Jadi, mereka hanya mengangguk saja tatkala Bayu menganggap itu pinjaman.

Bayu tersenyum canggung. "Tapi, kalau aku mati duluan gimana, ya, Om? Siapa nanti yang bayar utangku? Ayah kasihan. Bunda? Masa semua hadiah buat bunda jadi utang. Satu-satunya barang berharga yang aku punya juga cuma jam tangan dari Papa Mario. Enggak bakal cukup buat bayar utang."

Suasana kamar rawat Bayu mendadak senyap. Semua orang sibuk dengan pemikiran masing-masing setelah mendengar apa yang Bayu katakan barusan. Hanin yang biasanya paling bawel sekalipun langsung bungkam.

Menyadari sebab keheningan itu, Bayu kembali bersuara, "Kan seandainya aja. Aku enggak mau nantinya bikin susah orang, apalagi itu orang tuaku. Jadi, harus siap sama kemungkinan terburuk."

Rasya mendekat. "Bayu, gini aja. Kalau misal kamu punya uang, kami enggak bakal nolak. Tapi, kalau enggak pun, anggap aja itu hadiah dari kami buat kamu. Enggak harus saling memberatkan. Sekarang, mana yang lebih penting, memikirkan uang atau kebahagiaan bunda kamu yang udah di depan mata?"

"Kebahagiaan bunda."

"Nah, berarti Bayu ikut aja apa yang kita rencanakan. Enggak harus merasa terbebani masalah uang."

Anak itu mengangguk patuh.

"Oh, iya. Demi rencana ini, mau enggak mau kita harus melibatkan papa kamu. Enggak apa-apa, kan, kalau dia tahu kamu di sini?" Amara ikut bersuara.

"Harus banget, ya, Tante?"

Amara diam. Ia tidak ingin bermulut jahat dengan mengatakan bahwa Mario dan Wil bisa dijadikan pancingan supaya Anggia mau menemui Bayu. Amara tidak mau Bayu berkecil hati karena itu.

"Hm, ya udah, deh. Tapi, masalah jalan-jalan aku punya rencana sendiri."

Sebelah alis tebal Tegar terangkat. "Apa?"

"Sini bisikin."

Tegar merapatkan tubuhnya, membiarkan Bayu membisikkan tentang rencana jalan-jalan bundanya. Namun, lelaki itu langsung menggeleng tegas. "Enggak, Bayu. Itu terlalu berisiko. Om bisa membantu mewujudkan kalau itu masih di Jakarta."

"Tapi, Om. Bunda suka tempat yang sejuk. Dari dulu bunda pengin ke Bandung. Ayolah, sekali ini aja. Aku janji makan banyak dan jaga kondisi supaya nanti enggak bikin repot. Aku mau sekali aja pergi jalan sama bunda biarpun bunda enggak tahu ada aku."

Lelaki itu melirik satu per satu orang-orang di sekelilingnya, meminta pendapat, dan mereka kompak mengangguk. "Oke, tapi syaratnya kamu harus nurut apa pun kata dokter dan mengikuti semua prosedur pengobatan dengan baik. Jangan sampai ada kejadian kabur-kaburan lagi. Deal?"

"Deal!"

***

"Pa, sebentar lagi aku ulang tahun. Kalau tahun lalu dirayakan sama teman-teman kantor Papa, untuk tahun ini boleh enggak kita dinner bertiga aja. Hitung-hitung memperbaiki hubungan kita yang dirusak seseorang."

Demi apa pun jika bukan karena Bayu, Mario bisa saja bersikap kasar saat ini pada perempuan yang bergelayut manja di lengannya. Untuk kali kesekian Anggia menyalahkan Bayu atas sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Padahal, seburuk-buruknya orang adalah dia yang tidak mau mengakui kesalahannya dan justru melempar kesalahan pada orang lain, juga orang yang meminta maaf tetapi bukan sebagai bentuk pengakuan melainkan pembenaran.

Sore tadi saja Mario hampir meledak dan melampiaskan semuanya pada Anggia karena ia tak mendapati Bayu di rumah ayahnya. Mario pikir, Anggia yang lagi-lagi membuat Bayu pergi. Beruntung, saat perjalanan pulang tadi Tegar menghubungi dan mengatakan kebenarannya.

"Udah lama banget lho, Pa, kita enggak makan bertiga. Sekali ini aja, please."

Hati Mario mencelos. Bahkan, setelah tahu Bayu sakit pun Anggia masih sempat memikirkan perayaan.

"Ma, kalau kakak sakit, kamu bakal tetap membicarakan sebuah perayaan?"

"Lho? Kakak sakit apa, Pa? Kok tumben banget enggak ada bilang. Kalau kakak sakit, mana mungkin mama mikirin hal-hal semacam itu. Lebih baik aku fokus merawat kakak sampai sembuh."

"Terus, kenapa itu enggak berlaku juga buat Bayu? Dia sakit lho. Bukan penyakit sepele. Tumor lambung dan katanya termasuk ganas. Kok sempat kamu memikirkan acara ulang tahun? Hatimu masih di tempatnya, kan, Ma? Perlu aku beliin yang baru?"

"Kenapa kamu selalu nyeret nama Bayu ke dalam obrolan kita? Ujung-ujungnya apa? Kita ribut, Pa. Kamu enggak capek terus kayak gitu? Persoalannya sederhana kok, singkirkan nama Bayu dari kehidupan kita. Kita enggak bisa selamanya hidup dalam bayang-bayang dia. Aku capek, Pa. Aku kehilangan ketenangan hidup gara-gara dia."

"Gila, ya. Bayu segitunya memikirkan kamu, tapi kamu bahkan mau melupakan dia? Dunia ternyata enggak cukup adil buat anak sebaik dia."

Anggia memutar bola matanya. "Dunia tahu bagaimana harus memperlakukan orang-orang di dalamnya. Dan Bayu pantas mendapatkan itu karena dari dia belum lahir aja udah bikin ibunya susah."

Mario geleng-geleng. "Hati-hati, Ma. Yang namanya penyesalan itu enggak pernah minta izin dulu datangnya. Kamu bakal tahu, setelah merasakan sendiri seperti apa sakitnya sebuah kehilangan."

Wil sang penyelamat. Tak berselang lama setelah berbicara demikian, Mario melihat putranya menuruni satu persatu anak tangga.

"Kak!" panggilnya.

"Ya, Pa?"

"Ikut papa ke luar, yuk."

"Ke mana?"

Lelaki itu melepaskan tangan Anggia, kemudian bangkit dari duduknya. "Nyari nasi goreng di depan," sahut Mario seraya merangkul tubuh jangkung putranya. Ia tidak peduli Anggia sekarang merasa kesal. Karena kekesalannya jauh lebih besar daripada perempuan itu.

***

Bayu benar-benar menjadi anak manis seharian ini. Ia menuruti semua yang dokter perintahkan. Semua semata demi rencananya. Jika kondisinya membaik dengan cepat, semua yang ia mimpikan pun akan lebih cepat direalisasikan.

Beberapa saat yang lalu rombongan yang menjenguknya pulang. Hanya menyisakan ibu, ayah, dan juga Arsen—sahabatnya.

Viona memegang sebuah wadah berisi puding yang dibawakan oleh ibunda Sabil. "Buka mulutnya, Bang."

Bayu menatap makanan itu takut-takut. Sebenarnya puding itu terlihat enak, tetapi Bayu kehilangan selera untuk sekadar memasukkan makanan itu ke mulutnya. Dari yang sudah-sudah, setiap makanan yang dicernanya tak pernah bertahan lama. Bayu lelah karena terus menerus makan tetapi berakhir memuntahkannya.

"Ayo, Nak. Katanya mau cepat pulih. Tadi dokter bilang apa? Sebisa mungkin kamu harus tetap makan," kata Viona tak mau kalah sembari menyodorkan sendok berisi puding di depan mulut Bayu.

"Tapi, kalau mual lagi udahan, ya, Bu. Kan nanti ibu juga yang capek."

"Iya. Ayo sekarang coba dulu."

Bayu membuka mulut, membiarkan lidahnya mencecap makanan tersebut.

Arsen sudah bersiap di sisi ranjang, takut Bayu muntah lagi seperti sebelumnya. Namun, pemuda itu masih tampak mengunyah dan berusaha keras menelannya, meskipun ekspresinya sudah tak jelas seperti apa.

Suapan pertama berhasil ditelannya. Meskipun sesekali Bayu menutup mata dengan kening mengernyit menahan gejolak yang sama, tetapi dalam hati anak itu terus menyemangati diri sendiri. Ayo, jangan kalah. Demi bunda. Padahal, bundanya saja tidak mau tahu bahwa di sini Bayu tengah berjuang.

Terkadang dunia memang selucu itu. Saat kita berjuang mati-matian untuk seseorang, di saat bersamaan orang yang kita perjuangkan justru terang-terangan menyepelekan.

|Bersambung|

Masih semangat atau udah loyo nih? Padahal tinggal dikit lagi 😂
Oh iyaaa, kalau kalian mau liat cuplikan cuplikan/video-video singkat bisa cek instagram atau tiktokku yaaa.
Karena aku selektif acc, kalian bisa DM akuuu oke?
Instagram : purplelight01_
Tiktok : Sweetsugar_in

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

298K 17.6K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
258K 24.3K 30
[JANGAN LUPA FOLLOW] Bulan seorang gadis yang harus menerima kenyataan pedih tentang nasib hidupnya, namun semuanya berubah ketika sebuah musibah me...
1.7M 60.6K 27
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1.3M 115K 44
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...