HER LIFE - END (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.9M 263K 16.9K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 36

66.3K 4.9K 294
By ay_ayinnn

Gavin terbangun lebih dulu dari pada Elen. Jam baru menunjukkan pukul 05.20 wib. Biarlah, tidak usah membangunkan Elen. Dia sama sekali tidak masalah kalau Elen bangun siang.

Semalam ketika sampai di kamar, Elen nangis meraung mencari Vanya. Tentu, Gavin kebingungan. Tak mau mengganggu orang-orang yang sudah tidur, Gavin hanya berinisiatif menggendong putrinya sampai tenang.

Di bawalah Elen menuju balkon kamar tersebut. Mereka memandang bintang dan bulan sabit di atas sana. Gavin juga berusaha menjelaskan tentang Vanya kepada Elen dengan bahasa yang bisa masuk di kepala anak-anak.

Pada pukul satu dini hari, Elen baru bisa tertidur kembali. Dari situ, Gavin menaruh lagi Elen di atas kasur king size-nya. Ia juga mengantikan pakaian Elen dengan baju tidur yang sudah Gavin beli khusus untuknya.

Baju dan celana tidur senada berwarna coklat muda dengan gambar beruang itu terlihat lucu ketika Elen gunakan. Setelah anaknya beres, barulah Gavin membersihkan diri sendiri dan tertidur bersebelahan dengan Elen.

Kasur yang biasanya Gavin tiduri sendiri, kini ada seorang anak kecil yang menemaninya tidur. Dalam lelap, Gavin tersenyum.

Dia tidak marah kepada semesta karena telah menghadirkan Elen. Dia hanya marah kepada diri sendiri karena caranya menyuruh semesta menghidupkan Elen itu salah.

"Aden, mau apa di dapur?" Tanya seorang asisten yang bertugas mengurus dapur. Baru ini Gavin repot-repot menemui pelayan di dapur.

"Bibi ada susu buat anak-anak?" Tanya Gavin pelan.

"Apa, Den?" Pelayan itu bertanya balik sebab suara Gavin terlalu kecil.

"Ada stok susu buat anak-anak gak?" Ulang Gavin pelan namun penuh penekanan.

"Lah kan gak ada anak-anak di rumah ini. Paling susu yang buat Aden, kalo nggak ya yang punya Nyonya," Jawabnya membuat Gavin mendesah.

"Mbak! Ini ada kaleng susu S-26 promise gold, kemarin non Acel bikin makanan pakai ini. Abis tu karena masih ya saya simpan aja." Celetuk pelayan lain yang mengambil sebuah kaleng susu dari salah satu kitchen set atas.

"Nahh!! itu aja Bi gak apa. Tolong buatin satu gelas nanti taruh di kamarku ya," Pinta Gavin diangguki oleh pelayan itu.

"Den Gavin kenapa? Kok pengen susu anak-anak?" Tanya pelayan yang mengambil kaleng susu tadi setelah kepergian Gavin dari dapur.

"Alah, biasanya juga kalo habis lari pagi atau sarapan, Aden minum susu," Jawab kepala pelayan yang tadi berbicara dengan Gavin.

"Benar juga," Gumamnya berpikir. "Tapi belakangan ini udah nggak minum tuh."

"Saya juga gak tahu. Udah buatin aja, nanti Aden marah loh."

"Siap mbak! Makanan buat sarapan udah siap ya. Tinggal plating," Ucapnya penuh hormat lalu bergegas membuatkan susu untuk Gavin.

"Oke, untuk menu sarapan biar saya yang lanjutin."

Sedangkan disisi lain, seorang wanita masuk dengan tergesa. Melihat Bevan turun dari tangga membuatnya langsung menghentikan laki-laki itu.

"Gavin mana?!" Todongnya membuat Bevan menaikkan salah satu alisnya.

"Dia udah pulang?" Tanyanya bingung.

"Udah, Marvel yang nganter semalem."

"Hah? Semalem aku begadang gak ada lihat dia masuk ke kamar," Bevan beneran tak tahu kalau Gavin sudah pulang. "Cel, duduk dulu. Biar aku minta Bibi buatin teh."

Nyawa Bevan belum sepenuhnya terkumpul. Lagi pula, harus sepagi ini Acel ke rumahnya? Apa jangan-jangan malah dia semalem tidur disini? Haduh, kepala Bevan benar-benar berputar memikirkan cewek satu ini.

Acel duduk bersampingan dengan Bevan. Tetap ada jarak diantara mereka karena Bevan duduk di tengah sofa sedangkan Acel yang lagi ngambek duduk di pojok sofa.

"Kak, jangan boongin gue," Seru Acel melirik Bevan sinis.

"Gak ada yang bohong. Aku beneran gak tahu kalo Gavin udah pulang," Jawabnya sama seperti awal.

"Ck, Marvel yang kasih tahu gue."

"Ya udah tanya ke Marvel lah. Ngapain tanya ke aku?"

"Arghh, gue cuman pengen ketemu Vanya."

"Lo terlalu gegabah buat masalah ini, Cel." Bevan kembali mengubah-ubah panggilannya jadi lo-gue.

"Kenapa semua orang nyudutin gue soal itu?" Tanyanya menelungkup kan kepala ke tangan sofa.

"Mental Vanya itu lagi gak baik-baik aja. Kalo lo ketemu dia, terus Vanya ngeh bentar lagi lo sama Farel nikah. Apa yang akan dia rasain? Dia bakal menganggap lo sahabat termunafik seumur hidup," Jelas Bevan melipat kedua tangan didepan dada.

"Gue sadar disini penempatan gue salah. Tapi jalan hidup gue sama Vanya gak beda jauh," Ucap Acel mulai sedih.

Perempuan itu menengadahkan kepala di sandaran sofa. Masa lalu Acel tidak berbeda jauh dengan Vanya. Setelah tahun itu berlalu, cinta hadir diantara Acel dan Farel. Mereka saling memaafkan satu sama lain walaupun awalnya Acel tak terima dengan hidupnya.

"Orang tua lo udah tenang di atas sana. Pelaku kecelakaan itu juga udah menyerahkan diri kan? Tapi karena lo paham gimana rasanya hidup tanpa orang tua, lo cabut tuntutan mereka."

"Gue sebenernya benci sama mereka, kak. Tapi karena Farel, gue diem."

"Jauhin Farel kalau lo terpaksa."

"Setelah rahim gue diangkat, siapa yang mau jadi suami gue nanti?"

"Udah berat juga kalo gue suruh kalian sama-sama menjauh. Lo cinta sama Farel, Farel juga cinta banget sama lo."

"Ya. Bener kata orang, cinta datang seiring berjalannya waktu," Acel menoleh menatap Bevan serius.

"Aden, Non, ini tehnya. Bibi bawain biskuit juga."

Pelayan itu menaruh dua gelas teh dengan sepiring biskuit rasa keju dan coklat di meja depan mereka duduk. Acel mengucapkan terima kasih kepada pelayan tersebut sebelum beliau kembali.

"Minum, pagi-pagi gini enaknya minum teh hangat," Bevan menyeruput teh miliknya.

•••••

Elen terbangun pukul 06.35 wib. Jantungnya berdetak tak karuan bingung dengan keadaan sekitar. Ini bukan rumahnya. Elen berdiri di atas kasur. Ia melihat ke sana kemari saking luasnya kamar yang semalam ia pakai untuk tidur.

"P-pa..." Panggil Elen kecil.

"Papa di-dimana?" Pelan-pelan Elen turun dari atas kasur.

Sampai di pintu, anak itu dibuat bingung lagi. Ia tak tahu bagaimana cara membuka pintunya.

"Mama..." Matanya mulai berair.

Tangan mungil itu berusaha menggapai handle pintu. Ketika berhasil, Elen menarik handle kebawah. Untung bisa tanpa password.

Keluar dari kamar, Elen meneguk saliva susah payah. Lorong? Dia ada dimana sih? Tempat ini bagus, tapi kenapa harus berhadapan dengan lorong sepi?

Siapapun, tolong bantu Elen menemukan Papanya.

Tak mau berlama-lama diam, Elen terpaksa jalan melewati lorong itu. Gak panjang sih, cuma was-was aja. Semua begitu asing di mata Elen.

Disisi lain, Kara harus segera berangkat ke puncak sebab ia ada janji dengan teman-teman kuliahnya di sana. Gadis itu sibuk mengecek barang yang ada di dalam tas.

Ia tutup pintu kamar dengan sedikit tergesa. Ketika berjalan melewati lorong kamarnya, Kara mendapat telfon dari salah satu temannya.

"Kenapa?" Tanyanya mendekatkan hp ke telinga.

"Lo jadi jemput Mahira kan?"

"Jadi, kenapa?"

"Pastiin doang, tadi Shelna minta di jemput juga soalnya. Biar gue yang jemput Shelna."

"Oke-oke. Yang lain udah pada otw?"

"...." Kimberly, teman yang menelfon Kara tengah menceritakan sesuatu.

Ketika sampai di pertigaan lorong kamar Kara, Bevan, dan Gavin, tiba-tiba gadis itu menyipitkan mata. Di depan sana, tepatnya di lorong kamar Gavin yang berhadapan dengan lorong kamarnya, Kara melihat seorang anak kecil.

Sambil mendengar cerita Kimberly, Kara meneguk saliva kasar. Ia kucek mata brutal berharap tidak sedang halusinasi.

Anak kecil? Ada hantu anak-anak kah disini?

"Hiks Papa..." Elen menangis dan terus saja berjalan.

Tak jauh di depan sana, Elen melihat ada seorang wanita. Ia takut kalau wanita itu berniat jahat. Makannya langkah kecil itu terhenti. Ia rapatkan diri ke tembok lorong sebagai perlindungan.

"E-elen ta-takut. Ja-jangan ja-jahat-in a-aku," Ucap Elen kepada wanita itu.

"Kim, nanti gue telfon lagi," Dengan cepat Kara sudahi telfonnya. Ia masukkan hp kedalam tas.

Melihat raut ketakutan dari anak kecil di hadapannya, Kara memutuskan untuk maju beberapa langkah. Ia bersimpuh tepat di depan Elen guna menyamakan tinggi badannya dengan tinggi badan anak kecil itu.

"Nama kamu siapa?" Tanya Kara lembut membawa anak rambut Elen ke belakang telinga. "Kenapa nangis?"

Tidak ada jawaban dari Elen. Malah, Elen berusaha menahan tangisannya karena takut.

Tahu anak itu tak mau menjawab, Kara menghela nafas pelan. Padahal muka Kara imut menggemaskan. Kenapa dia takut sampai tak mau menjawab?

"Jangan takut. Kita kenalan deh. Namaku Kara, nama kamu siapa?" Tanya Kara menyodorkan tangan.

Elen tatap sodoran tangan Kara. Tanpa membalas, dia jawab perkenalan itu dengan suara kecil.

"Elen."

"Elen? Bagus sekali nama kamu. Oh ya, lagi cari siapa? Kok bisa ada di sini?" Kara mengusap air mata Elen agar tidak mengering.

"A-aku ca-cari Papa," Jawab Elen merasa wanita ini baik.

"Papa?" Kening Kara berkerut. Tak paham sama apa yang Elen maksud, Kara kembali berkata, "Gimana kalau kita ke bawah bareng? Siapa tahu Papa kamu ada di bawah. Sini, Aunty gendong."

Elen hanya diam ketika dirinya digendong oleh Kara. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai satu. Sedangkan di bawah, Bevan dan Acel saling diam. Bevan membaca majalah Hari Ini dan Acel bermain hp.

Ting.

"Bevan!" Teriak Kara keluar dari lift.

"Apaan?" Jawab Bevan masih fokus pada majalahnya.

"Lo tahu Papanya dia?" Tanya Kara berdiri di belakang sofa yang mereka duduki.

Kepo dengan pertanyaan Kara, Acel mendongak. Ia terperanjat melihat apa yang Kara bawa.

"KAK?!" Pekiknya mengelus dada.

"Kalian kenapa sih—Elen?" Bevan membeo ketika pandangannya kebelakang menatap Kara dan anak yang kakaknya gendong.

"D-dok-ter?" Lirih Elen dapat mereka dengar. Kara dan Acel yang dengar bingung karena bicara anak itu tidak seperti anak pada umumnya.

"Dokter?" Bingung Kara. Bevan menaruh majalah ke meja. Dia merentangkan tangan mengambil alih Elen.

Jadilah sekarang Bevan yang menggendong Elen, "Masih ingat sama Om?" Elen mengangguk.

"Pa-papa ma-na?" Tanya Elen kepadanya.

"Van, anak lo?" Tuduh Kara. Acel masih duduk membeku di tempat.

Belum sempat Bevan jawab, Gavin datang menghampiri mereka. Keringat yang membasahi tubuh Gavin membuat Kara menatapnya jijik. Padahal, Gavin berkeringat itu membuat jiwa laki-lakinya keluar.

Kalau ditanya Gavin habis dari mana, jawabnya tahu kan. Tentu dia habis lari pagi keliling mansion dan barusan selesai di jam ini.

"Papa!" Seru Elen merentangkan tangan agar Gavin menggendongnya.

Gavin pun membawa putrinya ke dalam gendongan. Tatapan tajam ia dapat dari dua wanita di hadapannya. Sedangkan Bevan biasa saja karena dari awal dia tahu siapa Elen.

"Maaf ya tadi Papa tinggal. Elen udah minum susu di kamar?" Elen menggeleng.

"A-ku ca-cari, Papa," kalungan tangan Elen di leher Gavin semakin mengerat. Elen juga menaruh kepala mungilnya di dada bidang Gavin. Bodo amat dengan keringat Papanya.

"Papa?" Ulang Kara, Acel berdiri.

"Vin, ini... a-anak lo?" Lanjut Acel tidak yakin bertanya soal ini.

"Papa, me-mereka si-siapa?"








Bersambung.

RAMEIN LAH, YAKALI SEPI?!?!

20 1 24

Continue Reading

You'll Also Like

29K 753 13
"Bani!!! kamu tega beneran tinggalin aku?"tanya si gadis dengan cemberut dan mata berkaca-kacanya, mau menangis. Seorang cowok bernama Bani itu meng...
410K 25.6K 47
Xevira. Gadis dengan segudang sifat petakilannya. Gadis yang tidak bisa diam. Gadis yang selalu mengikuti Kevin kemana pun ia pergi. Dan gadis terane...
4.4M 399K 71
(Belum di revisi) Apa yang kalian pikirkan tentang Rumah sakit jiwa mungkin kalian pikir itu adalah tempat penampungan orang gila? Iya itu benar aku...
23K 2.7K 8
WonShua Fanfiction Jeon Wonwoo x Hong Jisoo Seventeen Fic Jeon Wonwoo itu cuma murid biasa disalah satu SMA swasta. Walaupun ganteng dan pendiem, tap...