STRANGER

By yanjah

296K 33.5K 5.2K

Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang... More

Basa-basi
01 - Pertemuan pertama
02 - bersama Satya
03 - misi kecil
4 - hasil
5 - dendam Tarendra
6 - sarapan
7 - penyusup
8 - tidak sama sekali
9 - masih misteri
10 - usaha
11 - bakat terpendam
12 - mimpi buruk
13 - sifat yang menurun
14 - pelakunya
15 - rawrr
16 - enak
17 - hari sial
18 - ketemu
19 - Renata tahu
20 - flashback
21 - suruh dia pulang
22 - menyesal kan?
23 - dijemput
25 - yang tidak mau menerima
26 - main
27 - malam yang berbeda
28 - tanda cinta
29 - liburan
30 - seperti sihir
31 - pilihan
32 - terungkap
33 - selalu menerima
34 - bukan salahnya
35 - mengobati
36 - yang terjadi

24 - ada Ayah

9.3K 1.1K 117
By yanjah

Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.

.

.

.

.

----------

Malam telah kembali menyapa, setelah seharian penuh Tarendra disibukkan dengan masalah diperusahaan yang menjadi dampak dari keputusan yang ia ambil.

Lelah sudah pasti, bahkan jika bisa memilih Tarendra ingin segera berbaring di atas tempat tidurnya yang empuk dan melupakan semua yang terjadi. Tapi hal itu tentunya tidak bisa ia lakukan selama putranya masih berada di rumah sakit. Alih-alih pulang dikediamannya, Tarendra lebih suka menemani Jesher malam ini.

Sudah lima belas jam berlalu setelah Jesher mendapat penanganan oleh dokter namun sampai sekarang dia belum juga sadar. Berkali-kali Tarendra bertanya pada Tama tapi sahabatnya itu selalu menjawab dengan santai, bahwa katanya Jesher hanya sedang tertidur. Kondisinya sudah membaik, demamnya juga turun, hanya saja kaki kanannya harus dipasangi gips karena cedera yang cukup serius.

Tarendra menggenggam tangan putranya yang terbebas dari infus, mengusap dan memainkan jemari yang dingin itu sejak beberapa menit yang lalu. Sembari merapalkan doa dalam hati agar Tuhan mengangkat semua sakit yang mendiami tubuh sang anak.

Hingga akhirnya penantiannya berbalas saat mata indah itu terbuka, mengerjap tatkala silau dari cahaya lampu menusuk langsung kedua netra cokelatnya.

"Jesh?" Tarendra mendekatkan diri, menatap wajah Jesher lamat-lamat, mengamati bagaimana remaja itu membuka mata dengan sempurna dan menoleh kepadanya.

"Ayah?" Jesher nampak bingung melihat kehadiran Tarendra yang tak ia duga. Tangan kirinya hendak ia gerakan tetapi tertahan karena genggaman erat dari lelaki itu. "Mimpi nggak sih?"

Tawa sumbang Tarendra mengudara, namun hati kecilnya meringis diwaktu yang sama.

Seburuk itu kah sikapnya selama ini sampai-sampai Jesher mengira kehadirannya hanya ada di dalam mimpi?

"Kenapa ketawa? Ini aku serius loh," sungut Jesher tak terima. Kedua alisnya menukik tajam merasa kesal karena Tarendra malah menertawakannya. "Ini beneran Ayah 'kan?"

"Iya." Tarendra mengangguk tanpa melunturkan senyum teduhnya.

"Terus ini dimana? Di rumah sakit ya? Aku nggak apa-apa?"

Pertanyaan dibarengi wajah polos itu lagi-lagi membuat Tarendra merasa tergelitik. Melihat putranya kebingungan mengamati sekitar dan menanyakan keadaannya sendiri terlihat benar-benar menggemaskan.

"Lumayan. Muka bengkak, tulang rusuk retak, badan memar-memar, pergelangan kaki kamu geser jadi harus pake gips dulu," telunjuknya bergerak menunjuk satu persatu bagian tubuh putranya yang ia maksud. Lalu sebelum Jesher menyahuti ia kembali menambahkan. "Kamu tidurnya 15 jam. Ngantuk banget ya?"

"Enggak kok. Tadi sempet bangun tapi nggak ada siapa-siapa jadi tidur lagi. Tapi emang ngantuk banget sih, kayaknya Om Tama ngasih obat tidurnya nggak sesuai dosis." Jesher mendesah kasar, beberapa jam lalu dia memang sempat terbangun walau hanya beberapa detik, tidak sempat untuk memeriksa sekitar apalagi memanggil seseorang. Namun bahkan sampai sekarang matanya masih terasa berat, sulit sekali untuk tetap terjaga.

"Jadi mau tidur lagi?"

Hanya anggukan kecil yang diberikan, masih dengan tangan yang saling bertaut remaja itu memilih kalah dengan kantuknya. Mengabaikan Tarendra dan tatapannya yang begitu dalam, hal yang tak seharusnya Jesher lewatkan.

"Beneran tidur lagi," gumam pria dewasa itu setelah Putranya tak lagi merespon. Hanya dada yang naik turun dengan napas teratur memperjelas bahwa lelap telah kembali merenggut kesadarannya.

Namun itu tak menjadi alasan bagi Tarendra untuk beranjak, ia memilih tetap disana walau yang bisa dilakukan hanya duduk dan mengamati tiap inci wajah yang kata orang-orang adalah duplikat dari wajahnya.

Hingga detik berganti menit, lelaki yang masih mengenakan setelan kantor itu tetap betah diposisi yang sama. Hening yang tercipta cukup lama tak juga membuatnya bosan, justru disaat-saat tenang seperti ini ia jadi bisa merenungkan banyak hal. Mengingat kembali semua tentang mereka mulai di hari pertama bertemu hingga kini ia bisa menggenggam tangannya tanpa penghalang apapun.

"Ayah."

Tarendra tak menyahuti saat suara Jesher tiba-tiba kembali terdengar, namun lagi-lagi ia mendekatkan diri, mencoba menangkap suara lemah itu lebih jelas.

"Ayah suka nggak sih dipanggil Ayah? Atau mau panggilan lain?"

Detik itu Jesher dengan kesadaran yang timbul tenggelam bisa melihat bagaimana Tarendra menggulirkan bola matanya, nampak berpikir keras hingga akhirnya mengangguk dan kembali menatapnya.

"Suka. Terserah kamu aja." Jujur saja Tarendra tak pernah mempermasalahkan perihal bagaimana anak itu memanggilnya selama ini. Menurutnya semua sama saja.

"Aku ngantuk."

Tarendra tahu itu, ia bisa melihat dengan jelas bagaimana kelopak mata Jesher terlihat begitu berat dan suaranya terdengar semakin parau, pun tatapannya yang nampak begitu sayu.

"Tidur aja." Tarendra kemudian melepaskan tangannya untuk membenarkan selimut yang menutupi sebagian tubuh Jesher di atas bed.

Bukannya melakukan apa yang Tarendra katakan. Jesher justru kembali melayangkan sebuah pertanyaan. Hal yang membuatnya penasaran sejak tadi. "Gimana caranya Ayah bikin gedung itu meledak?"

"Kamu ketemu Rama 'kan?"

Sejujurnya Jesher sulit mengingat kembali orang-orang yang kemarin menculiknya. Otaknya seperti tak mampu untuk bekerja karena kantuk yang menghantam terus-menerus. Dia sudah berusaha, namun nama itu tetap saja terdengar asing, cuma nama Helmy saja yang melintas dikepalanya.

"Rama itu orang yang Ayah bayar buat masang bom di sana." Ingatan Tarendra dibawa kembali pada saat-saat genting dimana ia membuat rencana untuk memusnahkan kelompok Helmy. "Setelah kami tahu kalau Helmy yang nyulik kamu, kita langsung cari tahu siapa aja yang bekerja dengan dia. Ternyata ada anggota baru yang namanya Rama, baru bebas dari penjara 3 bulan lalu. Jadi Ayah hubungin dia buat ngajak kerja sama. Untungnya dia mau."

Malam itu, kantor RAS benar-benar sibuk. Semua orang dikerahkan, mulai dari mencari informasi tentang Helmy, persiapan bom, pembelian gedung, sampai uang palsu untuk diberikan. Dalam waktu beberapa jam itu Tarendra merasa waktu berputar dua kali lebih cepat, beruntung ada Danu dan Ellie yang bekerja dengan gesit menjalankan perintahnya.

Rama dibayar dengan jumlah yang cukup fantastis, tentu dia harus mendapat lebih dari apa yang bisa Helmy beri. Namun bagi Tarendra itu bukan masalah.

Adapun semua rencana itu berasal dari kepalanya, tentu dia tidak menjadi pemimpin tanpa alasan. Otak jenius yang dimiliki membuat orang-orang diatasnya selalu merasa kagum dan tak pernah memandang rendah dirinya.

"Ayah nyuruh dia kasih kamu makan. Emang kamu nggak inget? Atau dia malah nggak ngasih kamu makan?"

Sekarang Jesher mengingatnya. Orang yang dimaksud oleh Tarendra adalah orang yang memberinya minum dan roti. Pantas saja dia bersikap baik, jika benar begitu seharusnya Rama memberikan makanan yang lebih enak. Bukan roti seret yang cokelatnya hampir tidak ada.

"Aku inget. Tapi dia mati nggak?" Tanya Jesher. Gedung itu meledak hanya beberapa saat setelah mereka pergi, lalu bagaimana dengan Rama?

"Enggaklah. Waktu kita pergi dia juga pergi." Disaat itu, tepat sebelum ia berbalik pergi membawa Jesher, Tarendra sempat menangkap atensi Rama yang juga bersiap untuk meninggalkan gedung. "Dia yang masang bomnya. Masa mau mati."

Jesher terkekeh pelan. "Bener juga. Duh, aku jadi nggak bisa mikir sekarang."

"Itu karena kamu masih ngantuk. Tidur aja." Kembali Tarendra mempersilahkan anak itu untuk beristirahat. Lagipula mereka juga sudah cukup bercerita, kalaupun belum puas masih ada hari esok.

Sayangnya pemikiran Tarendra jauh berbeda dengan putranya. Jesher malah tak mau mengakhiri perbincangan mereka karena takut momen langka seperti ini mungkin tak datang dua kali, maksudnya kesempatan untuk berbicara lebih dekat dengan Tarendra mungkin tidak bisa ia lakukan saat bangun nanti. Karena sejatinya ia masih merasa ini seperti mimpi.

"Kalo aku tidur, terus nanti bangun lagi, Ayah nggak berubah 'kan?" Jesher meraih lengan atas Ayahnya. Menatap memohon agar lelaki itu bisa memberikan jawaban yang membuatnya bisa tidur dengan tenang.

Tapi sang Ayah hanya tersenyum, menuntun tangannya untuk dimasukkan ke dalam selimut. Setelah itu Tarenda mengusap kepalanya dengan jemari yang bergerak lembut.

Jesher sama sekali tak berkedip, sentuhan Tarendra menghangatkan hatinya, lalu saat lelaki itu mengulas senyum dengan sinar mata yang memancarkan kasih sayang, Jesher hampir menangis.

"Ini, beneran bukan mimpi ya? Ayah udah nggak marah 'kan?"

Bagaimana bisa ia tidak berpikir bahwa ini adalah mimpi sementara hal terakhir yang ia lakukan adalah membuat masalah. Mendengar apa yang barusan Tarendra lakukan untuk membebaskannya, sepertinya itu sangat merepotkan sampai melibatkan banyak pihak jadi wajar jika lelaki itu merasa kesal.

"Jesh, Ayah minta maaf," pungkas Tarendra menepis pemikiran buruk putranya. Menyadari Jesher yang dipundung rasa bersalah membuat hatinya kembali tersayat. "Ayah salah udah bersikap buruk sama kamu. Emang sepantasnya Ayah yang minta maaf, kamu jadi seperti ini juga karena Ayah yang nggak becus jagain kamu."

"Ayah nyesel dan bener-bener minta maaf. Kasih Ayah kesempatan buat nebus semuanya, Ayah janji nggak bakal ngecewain kamu lagi." Semua sesal yang menumpuk dihati ia tumpahkan, begitu juga dengan angan yang ia harap bisa semesta restui untuk diwujudkan. "Bisa 'kan kita mulai semuanya dari awal?"

Tadinya Tarendra berniat untuk meminta maaf dan berbicara lebih dalam dengan Jesher saat anak itu sudah sadar sepenuhnya, bukan seperti sekarang yang masih linglung karena menahan kantuk. Tapi sepertinya menunda-nunda hal sepenting ini juga tidak ada untungnya, apalagi anak itu sudah memulai lebih dulu.

"Ayah bakal belajar jadi orangtua yang baik buat kamu."

Jesher tepaku, terjebak dalam keterkejutannya lantaran sulit untuk mempercayai ini semua. Mengingat bagaimana Tarendra menolak hingga membuat ia berpikir tak ada celah untuk meraihnya, Jesher pikir hari ini tidak akan pernah datang. Tetapi sekarang semua terjadi begitu saja. Tarendra mengakuinya dan ingin hubungan mereka berjalan dengan baik.

"Ayah sayang nggak sama aku?"

Pertanyaan sama dengan yang ia berikan pada Renata saat itu. Hari dimana ia dibuat patah dan benar-benar sulit untuk menata kembali hati.

Entah dari mana keberanian itu berasal, entah karena pengaruh obat atau memang dorongan dari hatinya yang sudah sesak menampung derita terlalu lama. Ia tak bisa memahami mengapa lidahnya bisa begitu ringan mengatakan kepada Tarendra tentang sebuah tanya yang ia kubur dalam-dalam sejak lama.

Dan betapa lancang ia mengharap sebuah jawaban dari sosok itu.

"Iya. Ayah sayang sama kamu."

Jesher langsung menutup kedua matanya dengan satu tangan saat merasa lelehan air matanya akan tumpah. Namun haru yang memenuhi hati membuat ia terisak, semakin sulit menyembunyikan tangis jika mengingat kembali semua luka yang terendap dan sakit yang menemaninya selama tujuh belas tahun ini. Semuanya terbalaskan dengan pengakuan Tarendra yang sederhana. Bahwa dirinya juga bisa disayang.

"Kenapa nangis?" Tarendra mencoba menurunkan tangan Jesher namun tak bisa, anak itu malah menangis semakin keras. Akhirnya Tarendra memilih diam dan membiarkan Jesher melepaskan semua beban yang memberatkannya selama ini.

Malam itu, untuk pertama kalinya Jesher benar-benar merasa lega luar biasa. Semua pengorbanan yang ia berikan untuk sampai dititik ini bisa terbalaskan, semua sakit yang ia tahan akhirnya menemukan obat dan semua lara yang menemani bisa ia tinggalkan.

Sekarang, sudah ada Ayah.

————— S T R A N G E R —————

*****

Ellie itu sebenarnya tidak terlalu betah lama-lama di rumah sakit, tapi siapa lagi yang bisa menemani Rival selain dirinya? Tidak ada, karena lelaki itu tidak pandai bergaul. Dia tidak punya teman. Jadi pagi ini, dengan menahan gejolak risihnya ia kembali membawakan sarapan untuk dua pasien dirumah sakit milik Tama.

Sebelum menemui Rival ia juga sudah membawakan sarapan untuk Jesher, bahkan tadinya ia berniat menamani anak itu makan namun Jesher sendiri yang menyuruhnya untuk segera enyah dari ruang rawat dan menemui Rival saja. Anak itu berdalih bahwa Satya sedang dalam perjalanan ke rumah sakit, jadi tak masalah meninggalkannya sendiri untuk sementara.

"Abisin!" Sentaknya saat melihat gelagat Rival seperti akan mengakhiri aksi sarapannya walau masih tersisa banyak diwadah.

"Udah kenyang." Tak mengindahkan ucapan Ellie, Rival malah mendorong makanannya tanpa minat. Dia menginginkan hal lain, namun sepertinya Ellie tidak akan mengizinkannya kali ini

"Aku mau ngerokok dikit. Bisa 'kan?"

Ellie memicing ditengah kesibukannya membersihkan sampah di atas meja. "Nggak boleh ngerokok disini. Apalagi kamu pasien!"

"Dikit aja. Nggak bakal ketahuan dokter kok. Aku bisa ditoilet." Rival tak menyerah, kini ia mulai merayu wanita itu untuk membiarkannya. "Beliin aja di luar. Kalo ketahuan aku nggak bakal bilang kalo kamu yang beli."

"Enak aja! Kalo mau ngerokok nanti kalo udah pulang. Jangan bikin masalah di sini, apalagi mau bawa-bawa aku segala," cecar Ellie dengan cepat. Mungkin karena kepalanya sempat terbentur Rival jadi banyak tingkah seperti ini.

"Katanya besok baru bisa pulang. Aku udah nggak tahan."

Menanggapi ocehan Rival yang membuat panas telinga, Ellie mencari alternatif lain. Wanita itu memeriksa tasnya dan mengeluarkan beberapa permen mint. Ia tarik tangan Rival dan memberinya permen sebagai ganti dari rokok yang lelaki itu idam-idamkan.

"Emut ini dulu. Nggak usah minta macem-macem. Aku mau ke kantor." Lantaran tak mau mendengar protes, Ellie memilih untuk segera bergegas pergi.

"Kak Ellie, tolonglah."

Rival benar-benar sudah gila. Panggilan menggelikan itu untuk pertama kalinya Ellie dengar keluar dari mulut Rival. Setelah puluhan tahun mereka bersama, baru kali ini Rival bersikap aneh. Lelaki itu memasang wajah tertekan seolah frustasi dengan tindakannya sendiri.

"Kamu nggak bakal mati kalo nggak ngerokok, Val. Tenang aja." Ellie tak terpengaruh sedikitpun, ia malah menepuk pipi Rival untuk menyadarkan lelaki itu. "Mungkin udah waktunya buat kamu ngurangin intensitas ngerokok. Biar nggak ketahuan sama Pak Rendra."

Mendengar nama bosnya, Rival langsung menunduk lesu. Selama ini Tarendra memang tak mengetahui bahwa dirinya sering kali merokok diam-diam dihalaman belakangan rumah. Semua itu dilakukan agar tak tertangkap basah sebab lelaki itu benar-benar benci dengan asap rokok.

Walau sudah begitu terkadang Tarendra masih saja curiga karena penciumannya yang tajam bisa menangkap aroma asap rokok dari bajunya. Untung Rival selalu berhasil dengan alibi bahwa ia tak sengaja berpapasan dengan orang yang sedang merokok.

"Udah ya. Aku sibuk, kerjaan numpuk di kantor," kata Ellie sebelum meninggalkan Rival dengan senyum kemenangan.

Sementara itu diruangan lain Satya akhirnya bisa menghela napas lega, kedatangannya pagi ini disambut oleh senyum lebar dari seseorang yang sempat membuatnya khawatir sampai kalang kabut kemarin.

"Nyengir lo! Emang tai!" Makinya menanggapi cengiran lebar Jesher yang duduk di atas bed. Lalu ia menarik overbed table dan meletakkan bubur jagung buatannya.

"Sebenarnya gue baru aja selesai sarapan, tapi nggak apa-apa," kata Jesher yang langsung membuka kotak bekal berwarna biru itu dengan antusias.

"Enggak usah deh," sentak Satya buru-buru menutup kembali kotak bekalnya. "Entar lo berak gua juga yang repot."

"Enggak bakal, tenang aja." Dengan dorongan pelan ia berhasil menyingkirkan tangan Satya dari meja. Kini perhatiannya secara penuh hanya untuk bubur buatan Satya yang selalu menjadi obat mujarab bagi tubuhnya.

Tak ingin menghabiskan tenaga untuk berdebat, Satya akhirnya mengalah dan memilih duduk tenang disamping ranjang pesakitan disana. Beberapa saat ia hanya diam mengamati Jesher melahap masakannya dengan perlahan.

"Ini ruangan nggak disadap 'kan?"

Pertanyaan tiba-tiba yang terkesan nyeleneh itu berhasil menghentikan Jesher menyuapkan bubur ke mulut. Kepalanya menoleh pada Satya dengan alis bertaut. "Ngapain juga disadap?"

"Temennya Bokap lo yang namanya Danu itu nyuruh orang buat mata-matain gue! Sampe gue nggak bisa ngambil kerjaan selain ditoko," curhat Satya sekaligus menjawab alasan mengapa ia khawatir percakapan mereka terekam. "Pusing gue. Ampe mau jajan diwarung juga dibuntutin!"

Beberapa hari lalu dia berhasil menangkap orang suruhan Danu. Dan setelah menggunakan sedikit kekerasan, akhirnya orang itu mau mengakui bahwa ia pasukan dari RAS yang Danu utus untuk menyelidiki Satya dengan mencari tahu semua hal tentangnya.

Sepertinya mereka sedang berusaha menggali informasi tentang Jesher melalui dirinya. Mengingat hanya Satya lah orang yang diketahui dekat dengan anak itu.

"Tenang aja. Mereka nggak bakal lagi peduli lagi sama identitas gue kok. Sekarang gue sama bokap udah gini." Jesher menakutkan kedua tangannya, memberi tahu Satya bahwa ia dan sang Ayah sudah bersatu, hubungannya dengan Tarendra sudah terjalin sekarang. Jadi kekhawatiran-kekhawatiran yang mereka pikirkan sebelumnya sudah tidak penting lagi.

Jesher berhasil melakukan apa yang Satya sarankan waktu itu.

"Ya syukur deh kalo gitu," balas Satya sekenannya. Sedikit ragu, tapi melihat Jesher yang berseri-seri dan mengingat bagaimana wajah cemas Tarendra kemarin membuatnya mulai percaya.

"Motor lo gimana?" Disela kegiatan makannya Jesher tiba-tiba teringat dengan motor Satya yang ia buat rusak hari itu. Apalagi mereka tidak pernah lagi bertemu setelah insiden tersebut.

"Udah dibeliin yang baru sama bokap lo. Banyak bener duitnya."

Kedua mata remaja itu melotot, selama ini ia pikir Tarendra hanya membawa motor yang ia rusak ke bengkel karena kondisinya yang tidak begitu parah. Ia tidak menyangka bahwa Tarendra bahkan sampai membeli motor baru untuk mengganti motor Satya.

"Jesh. Saran gue nih, mulai sekarang bisa tuh lo minta beliin mobil, rumah, sama tanah. Biar lo punya aset sendiri, gue bisa kok bantu jagain." Sinar mata Satya memancarkan kesungguhan, kedua tangannya memegang lutut Jesher dengan sedikit rematan agar sahabatnya itu percaya bahwa apa yang ia katakan bukan sekarang lelucon.

"Ngaco!"

Tubuh Satya langsung menjauh. "Lo nyesel nanti kalo nggak dengerin omongan gue."

"Bodo amat," acuhnya masih sibuk mengaduk bubur yang hampir habis.

Setelah itu Satya tak lagi menimpali, begitu pun dengan Jesher yang kembali asik dengan makanan di depan matanya. Suapan demi suapan masuk, namun ketenangan itu akhirnya terusik saat pintu terbuka menampakkan sosok Tarendra bersama barang bawaannya.

.

.

.

To Be Continued

--------------

Kita santai-santai dulu lah. Nikmatin momen-momen manis antara Bapak dan Anak ini🥰

Oiya, Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan🙏 Semoga kita semua selalu diberi kesehatan biar ibadah makin gacorrr.

Semangat✊️

Continue Reading

You'll Also Like

GRHYA By Moon

Fanfiction

32.5K 5K 73
Masih tentang Harsa... Dengan segala kebucinan sepupu-sepupunya yang terus menjaga Harsa dari apapun... Saga dan Yudhis yang selalu menjauhkan Harsa...
287K 22.3K 45
Namanya Adinata Putra Pranaja yang memiliki kekurangan. namun semua anggota keluarganya tidak mempermasalahkannya. Semua anggota keluarganya sangat m...
47.1K 4.7K 38
Awalnya semua tampak membosankan. Ayahku seorang Duke, ibuku punya banyak naga dan aku punya tiga kakak pria yang sangat kuat dan melindungiku. Aku...
5.8M 281K 61
[FOLLOW DULU SEBELUM BACA YA MANIEZZZ] Kisah 2 pasangan yang dijodohkan oleh orangtua mereka. Arlando jevin demort, cowok berusia 18 tahun harus men...