Rumah Untuk Bayu | JJK

By Purplelight01_

44.9K 2.5K 339

Daun tidak dihadirkan untuk membenci angin yang menjatuhkannya. Tak pula menaruh dendam pada alam yang membua... More

Prolog
CHAPTER 1 : Fortius
CHAPTER 2 : Persaingan
CAST
CHAPTER 3 : Melewati batas
CHAPTER 4 : Bukan hanya luka
CHAPTER 5 : Kontras kasih sayang
CHAPTER 6 : Ke mana harus pulang?
CHAPTER 7 : Ancaman
CHAPTER 8 : Pertengkaran
CHAPTER 9 : Ketakutan
CHAPTER 10 : Mencoba lebih dekat
CHAPTER 14 : Disalahkan
CHAPTER 17 : Dipaksa pulang
CHAPTER 18 : Kekanakan yang sebenarnya
CHAPTER 20 : Rindu
CHAPTER 31 : Rencana
CHAPTER 32 : Berpikir
Vote Cover
CHAPTER 33 : Maaf dan terima kasih
OPEN PRE-ORDER
Info
Gratis Ongkir
Hari terakhir
Diskon 20-35%

CHAPTER 30 : "Maaf, Bu."

1.1K 113 18
By Purplelight01_

Mario refleks membuka mata saat tangan mulus seseorang melingkar di pinggangnya. Pria itu menoleh sebentar, menghela napas, kemudian mengambil bantal dan melenggang keluar kamar.

Menghindar? Mungkin. Mario hanya merasa tidak nyaman berada di dekat Anggia. Bukan apa-apa, setiap melihat wajah perempuan itu Mario selalu disergap rasa bersalah. Bukan pada Anggia, tetapi Bayu.

Ucapan Tegar hari itu menamparnya kuat-kuat. Bagaimana bisa selama ini Mario begitu percaya pada Anggia dan membiarkan sang istri memperlakukan Bayu sesuka hati. Meskipun Bayu bukan putra biologisnya, Mario tetap menyayangi anak itu, dan berhadapan dengan Anggia setiap saat membuatnya merasa telah turut menyiksa Bayu.

"Pa, kenapa tidur di sini?" tanya Wil bingung ketika melihat papanya tengah mengatur posisi tidur di sofa.

"Nyari suasana baru," sahut Mario sekenanya. "Kamu kok bangun jam segini, Kak?"

Wil mengacungkan gelas di tangan. "Pengin minum, Pa."

"Langsung tidur lagi, ya. Masih malam."

Pemuda itu mengangguk saja. Jujur, Wil merasa sedih melihat kondisi orang tuanya sekarang. Mereka bertengkar setiap saat untuk alasan apapun. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan apa yang dilakukan sang mama. Jika mamanya bisa berlaku separah itu pada Bayu yang berstatus sebagai anak kandung, bukan tak mungkin hal yang sama akan terjadi pula pada Wil suatu hari nanti.

Setelah mengambil minum, Wil tak langsung kembali ke kamarnya. Anak itu justru duduk di sofa memandangi papanya yang mulai terlelap. Wil sadar, papanya pasti lelah. Setelah disibukkan dengan urusan kantor, begitu kembali ke rumah pun bukannya mendapat tempat untuk beristirahat malah dihadapkan pada banyak permasalahan.

Mario yang belum benar-benar tidur, kembali membuka mata begitu mendengar Wil yang berulang kali menghela napas berat. Pria itu menegakkan tubuhnya, lalu bertanya, "Kak, kenapa malah ke sini? Kenapa enggak tidur lagi?"

"Kenapa Papa enggak lepasin mama kalau Papa enggak bahagia?"

Pertanyaan itu terang saja membuat Mario tertegun.

"Aku emang sayang sama mama. Tapi, aku enggak bisa lihat Papa enggak bahagia. Kalau Papa bertahan sama mama cuma gara-gara aku, sekarang aku minta lakukan apapun yang bikin Papa bahagia. Aku mungkin kehilangan mama nantinya, tapi aku lebih enggak mau kehilangan Papa. Papa itu orang tua kandungku, orang yang enggak bakal ngebuang aku. Iya, 'kan, Pa?"

Mario tersenyum, kemudian mendekat ke arah putranya. Direngkuhnya tubuh Wil, seraya berkata, "Papa bahagia selama kamu di samping papa. Yang membuat Papa berat melepaskan mama kamu adalah janji papa sama Bayu. Dia mau berobat dan berjuang buat sembuh kalau papa tetap sama bundanya."

Dalam dekapan sang ayah, Wil menyahuti, "Dasar anak bodoh. Kenapa dia harus repot-repot memikirkan orang yang bikin dia sakit terus?"

"Bagi Bayu, mama kamu itu segalanya. Dia bersedia melakukan apapun, termasuk menjual kebahagiaannya sendiri. Papa enggak tahu orang-orang menilai dia seperti apa, tapi papa melihat ketulusan di mata dia. Semua yang dia lakukan bukan pura-pura."

"Pa, apa aku yang bikin mama jadi jahat sama Bayu?"

Pelukan Mario terlepas. "Enggak, Nak. Sebagai seorang ibu, mama kamu harusnya bisa membagi dengan adil kasih sayangnya. Bukan salah kamu kalau kamu menerima kasih sayang dan perhatian yang lebih besar dari mama."

"Aku ngerasa bersalah, Pa. Karena aku Bayu harus kehilangan kasih sayang dari mama. Coba aku enggak pernah ada, mungkin mereka bahagia."

"Mulutnya, Nak. Jangan bicara begitu. Semua yang terjadi benar-benar di luar kendali kita sebagai manusia. Kamu ada atau enggak pun, kalau itu harus terjadi, pasti terjadi."

Wil diam.

"Sekarang kamu tidur, ya, Kak. Besok kita ke rumah Bayu. Kamu mau ikut antar Bayu berobat, 'kan?"

"Mau, Pa."

"Oke. Berarti sekarang Kakak harus tidur."

"Iya, Pa."

Anggia langsung menyembunyikan tubuhnya saat melihat gelagat Wil seperti hendak berdiri. Perempuan itu mendengar semua, termasuk apa yang dikatakan Wil pada suaminya. Perpisahan. Anggia benar-benar panik. Takut jika rumah tangganya kembali dihadapkan pada kegagalan. Ia tidak ingin hal itu terjadi karena bagaimanapun hidupnya sudah benar-benar sempurna dengan Mario dan putranya—Wil.

Rasa marah itu kembali menggerogoti hatinya setiap kali mengingat siapa penyebab kekacauan ini. Putranya sendiri. Bayu Sandiarsa Wildani. Seandainya anak itu tidak pernah ada, Anggia pasti hidup tenang dan bahagia dengan keluarga barunya.

***

Fahmi menggenggam jemari putra kesayangannya. Bayu masih belum juga terjaga setelah beberapa saat lalu diberi obat pereda nyeri. Masih terekam di kepalanya bagaimana subuh tadi anak itu meronta sembari mengerang hebat menahan sakit. Apalagi, kenyataan menamparnya berulang karena penyakit yang bersarang dalam tubuh Bayu termasuk ganas. Buktinya, penyakit itu berhasil menumbangkan Bayu berkali-kali dalam tempo singkat. Fahmi sampai tidak mengerti bagaimana Bayu bisa menekan kesakitannya selama ini? Sementara situasi sekelilingnya sama sekali tidak mendukung untuk istirahat.

"Abang anak ayah yang hebat. Abang harus kuat."

Hati Viona perih menyaksikan itu. Andai keluarga mereka hidup berkecukupan, Bayu tidak harus tinggal bersama Anggia dan mengalami itu semua.

Tiba-tiba sepasang mata putra mereka terbuka perlahan. Viona sontak mendekat, Fahmi yang sudah di sampingnya pun semakin merapat.

"Abang udah bangun? Ada yang sakit, Nak?"

Bayu menggeleng. Pemuda itu kemudian menggapai-gapai meraih jemari tangan ibunya dengan wajah murung. "Ibu ...."

"Iya, Bang?"

"Maaf bikin Ibu repot."

"Abang sama sekali enggak bikin repot. Ibu justru jadi banyak teman karena Abang. Bian sama Delta diajak main terus sama ibunya teman Abang."

Pemuda berwajah pucat itu tersenyum tipis. "Adek senang, Bu?"

Viona mengangguk cepat. "Adek senang. Teman-teman Abang sama keluarganya baik banget."

"Hm. Biarpun mereka semua bawel, tapi baik kok, Bu."

Fahmi meminta istrinya duduk, menggantikan posisinya, memberi ruang agar mereka lebih dekat. Viona langsung mengerti. Perempuan itu menggenggam jemari tangan Bayu yang terasa panas.

"Iya, ibu tahu. Apalagi yang perempuan. Dia cerewet banget."

"Ibu percaya enggak kalau aku bilang Hanin dulu pendiam? Dia galak dan enggak bisa dideketin siapapun. Sama Arsen berantem terus. Dulu ayahnya Hanin kasar dan suka main tangan, jadi Hanin terbentuk seperti sekarang, sedangkan keluarga Arsen hampir sempurna, dia cuma kesepian jadi awalnya dia enggak bisa memposisikan diri jadi Hanin."

"Hanin hebat, ya, Bang?"

"Hm. Hanin perempuan paling hebat yang pernah aku kenal, Bu. Kami pernah lari-larian enggak pakai sandal waktu ayahnya Hanin marah dan ngejar kami."

"Oh iya?"

"Iya, Bu. Sebenarnya teman-temanku hebat semua. Arsen kesepian, tapi dia bisa jadi kebanggaan orang tuanya. Sabil udah jadi tulang punggung keluarga dari kecil. Dia hebat dan kreatif. Naren papa mamanya cerai dari kecil, pernah bandel banget sampai Tante Milly pusing, tapi sekarang dia dapat papa baru yang sayang banget sama dia walaupun sering ditinggal juga ke luar negeri. Aries tadinya enggak direstui bermusik, tapi dia bisa bikin papanya bangga dengan jadi drummer terkenal. Semuanya hebat, Bu ..., kecuali aku."

"Lho? Siapa bilang Abang enggak hebat? Setahu ibu, Abang orang paling hebat yang pernah ibu kenal. Jagoan ibu yang paling kuat."

Bayu diam sesaat, kemudian menggigit bibir bawahnya, berusaha menekan rasa sakit yang untuk kesekian kali mengoyak pertahanannya.

"Abang? Sakit lagi perutnya, Nak?"

"Ibu, boleh peluk enggak? Perutnya sakit banget, Bu. Di sini ... di sini sakit banget. Aku mau pulang aja, Bu. Sakit. Enggak tahan. Aku enggak kuat, Bu."

Viona langsung memeluk putranya. "Ibu di sini, Bang. Abang kalau mau nangis enggak apa-apa."

"Sakit banget, Bu. Aku mau pulang aja. Biar nanti enggak sakit lagi, Bu."

"Ssstt ... jangan gitu, Nak." Viona mengeratkan pelukannya kemudian mengusap-usap perut Bayu, berharap dengan demikian sakitnya berkurang. "Perut jangan sakit terus, ya, kasihan Abang mau bobo. Udahan, ya, sakitnya," lanjut perempuan itu sembari meniupnya pelan berpura-pura mengusir sakit di perut putranya.

"Ibu sayang aku?"

"Sayang dong, Nak. Masa enggak. Kalau Bayu sayang enggak sama ibu?"

Bayu tak menjawab. Pemuda itu tampak lebih tenang. Matanya pun kembali terpejam. Meski demikian, bibirnya tak henti meracau, menggumamkan kata maaf berkali-kali yang entah untuk apa.

"Maaf, ya, Bu. Maaf."

Viona semakin kebingungan, tetapi berusaha menenangkan. "Sst ... Bayu enggak salah. Bayu enggak perlu minta maaf."

Maaf, ya, Bu. Maaf belum bisa sayang sama Ibu seperti sayang bunda.

- Bersambung -

Gimanaaa part ini? Heheheee
Ceritaku yang satunya udah mulai update juga lho. Jangan lupa mampir yaaaaa. Terima kasihhh

Continue Reading

You'll Also Like

302K 17.9K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
1.1M 43.8K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
591K 23.2K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.7M 119K 47
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...