š—¦š—”š——š—„š—”š—› : escape or die...

By kimuurume

23.4K 2.4K 1.4K

Bertahan hidup dengan dikelilingi para kanibal? Siapa yang kuat? Tentu saja mereka bertujuh. [ š—•š—¢š—•š—¢š—œš—•ļæ½... More

a/n
ā€¢ 00 || prolog
ā€¢ 02 || senandika
ā€¢ 03 || aksa
ā€¢ 04 || asrar
ā€¢ 05 || arunika
ā€¢ 06 || sirna
ā€¢ 07 || lengkara
ā€¢ 08 || karsa
ā€¢ 09 || germang

ā€¢ 01 || andala

1.9K 213 32
By kimuurume

❝ Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan, karena kehidupan manusia serupa alam. ❞

─ 'Tanah Gempa Aryasatya

─ 𝐒𝐀𝐃𝐑𝐀𝐇 : ᴇsᴄᴀᴘᴇ ᴏʀ ᴅɪᴇ ─
a story by :: kimuurume













Minggu,
Sore, Pulau Rintis.

SATU - satunya perasaan yang meliputi suasana hati mereka saat ini adalah gelisah. Pemikiran tentang "hidup atau mati" itu memenuhi kepala mereka. Apa salah satu dari mereka akan menjadi seperti orang orang diluaran sana?

"Kunci.." nafas Halilintar tercekat. Tangannya yang masih memegang tirai itu bergetar. "Kunci semua akses masuk di rumah ini..." Tak ada yang menanggapi, terlebih lagi Blaze dan Thorn yang masih kaget dan terduduk lemas di lantai.

Brak!

"AKU BILANG, KUNCI SEMUA AKSES MASUK DI RUMAH INI!" hardik Halilintar. Tangannya yang semula masih memegang tirai itu, kini berpindah ke tembok. Sengaja memukul keras tembok agar seluruh adiknya terbangun dari lamunan mereka.

Solar dan Taufan langsung melangkah kan kakinya ke lantai atas, menutup dan mengunci setiap jendela di kamar yang masih terbuka. Begitu pula dengan Ice, Blaze, dan Thorn yang langsung pergi ke halaman belakang. Mengunci pintu belakang, dan beberapa akses lainnya. Tersisa Gempa yang masih terduduk lemas disofa.

"... Kau pasti tau apa yang terjadi, kan Gem?" Gempa diam, tak menjawab ucapan kakak sulungnya itu. Halilintar mendekat ke arah pemilik netra emas itu, diangkat nya dagu milik adiknya dengan telunjuknya. "Jelaskan, Jelaskan semuanya!" Halilintar berseru lantang di depan adiknya itu. Mata ruby milik si sulung kali ini menatap tajam ke netra emas milik saudaranya, Gempa.

Gempa menarik nafasnya yang sempat terhenti, menetralkan pikirannya, berusaha tenang.

"Aku... dan Yaya.. menghabiskan waktu di Senayan sedari tadi," Gempa membuka mulutnya, nafasnya tampak masih satu-dua. Dia berusaha fokus menceritakan apa yang dia alami. Susah rasanya, kejadian yang ingin sekali dia lupakan itu terpaksa harus dia ingat kembali, demi menceritakan kronologi tersebut ke saudaranya.

"Yaya..."

"Kami menghabiskan waktu dengan berbelanja dan makan makan bersama. Tapi..." Gempa menjeda penjelasan nya, membuat Halilintar semakin penasaran.

"Tapi?"

"Saat sedang asik berbelanja baju disana, aku melihat Yaya diam, kaku. Dia tak bergerak sedikit pun dari posisinya, seperti sedang melihat sesuatu.." Gempa menjelaskan, netranya tiba tiba mengecil. "Saat aku memegang pundaknya. Aku ikut terdiam, tubuhku gemetar, tak memercayai apa yang barusan ku lihat.."

Halilintar menaikan satu alisnya. Suara suara orang berteriak meminta tolong itu masih terdengar jelas di luar sana. Mereka berteriak, meminta belas kasihan. Mirisnya lagi, terdengar suara anak kecil yang meraung kencang dan meminta ibunya untuk berhenti menusuknya dengan benda tajam─

"Lantas, apa yang kau lihat, Gem?"

"Yang aku lihat saat itu adalah mereka sedang berkelahi...? Uh, entahlah. Awalnya memang terlihat seperti perkelahian biasa antar kedua pihak. Orang orang berkumpul disana, membuat situasi menjadi tak terkendali. Tapi tak berselang lama dari itu, salah satu dari mereka mulai mengeluarkan senjata tajam..."

Mengeluarkan senjata tajam?

"Ya betul, mengeluarkan senjata tajam yang entah sejak kapan ada di saku celana orang tersebut. Awalnya kukira itu hanya ancaman... namun, pria yang membawa senjata tajam itu menancapkan senjata tersebut ke wajah lawannya... membuat wajah pria─ yang ia anggap sebagai lawannya itu mengeluarkan banyak sekali darah. Sayatan besar tampak terukir jelas di wajah pria berkulit langsat itu," seakan bisa membaca tatapan Halilintar, Gempa langsung menjelaskan secara rinci.

"Yang membuat ku tak habis pikir adalah... orang orang yang berada di dekat kedua pria itu─ yang awalnya kukira berusaha meleraikan mereka justru malah tersenyum lebar, dengan tatapan yang kosong... senyuman yang mengerikan..." Gempa menjelaskan, tangannya terus bergetar.

Solar dan Taufan yang baru saja mengerjakan tugas mereka langsung turun ke bawah. Ikut bergabung dengan Halilintar dan Gempa.

"Pria yang terkena sayatan itu, berusaha melawan─ atau mungkin lebih tepatnya berusaha kabur. Namun beberapa orang di dekatnya malah memegangi tangannya. Lantas pria yang membawa senjata tajam tadi menghampiri pria yang pergerakan nya dikunci itu. Pria yang membawa senjata tajam ini tertawa, membuat pria dibawah nya semakin menjerit kencang, meminta pertolongan,"

Halilintar terdiam. Begitupun dengan Taufan dan Solar yang baru saja memasuki pembicaraan. "Aku awalnya ingin membantu pria itu, namun ku urungkan niat ku saat.." Gempa diam, tangannya bergetar. Sekarang, Blaze, Ice juga Thorn sudah berkumpul di dekat Gempa. Ke tujuh saudara kembar itu kembali berkumpul lengkap di ruang tengah.

"... saat melihat, sang pria yang membawa senjata tajam itu menancapkan senjata yang ia bawa kearah dada korban berulangkali, membuat beberapa isi perutnya keluar begitu saja," Gempa melanjutkan ceritanya.

Semua yang berada disitu tercengang, terlebih lagi Thorn yang sedari tadi menutup mulutnya dengan kedua tangannya. "Apa-apaan..." nafas Taufan tercekat, sakit sekali mendengar penjelasan adiknya. Situasi diluar jelas 11 12 dengan situasi yang dialami Gempa tadi.

"Yang saat itu ku pikirkan hanyalah menyelamatkan Yaya. Aku menggenggam tangan Yaya dengan erat, dan membawanya lari sejauh mungkin. Tapi... Situasi diluar jauh lebih buruk dibandingkan di dalam senayan. Lebih banyak lagi orang terjangkit virus itu. Kami semakin ketakutan dan mencari celah untuk kabur, tapi..."

Nafasnya sesak, lidahnya kembali kilu, kikuk, panik, netra emasnya berkaca kaca, "... Mereka menemukan kami, lalu mengejar kami. Beberapa dari mereka bahkan membawa senjata tajam... Mereka sudah tak waras─ Saat kami terus berlari, Yaya tersandung. Aku membantu nya untuk kembali berdiri tetapi dia menolak─"

"... Aku baru menyadari bahwa sekumpulan orang yang terjangkit virus itu sudah berada di belakang kami, siap menerkam dan membunuh kami─ disaat itu juga Yaya menyuruhku untuk pergi meninggalkannya yang terbaring lemah diatas bebatuan. Kakinya terluka. Awalnya aku menolak ide gila itu mentah mentah dan berniat untuk menyelamatkan Yaya. Namun.. entah kenapa, tatapan Yaya seakan membuatku menjadi memilih untuk mengikuti ide gilanya ini... meninggalkan Yaya," Blaze yang melihat mimik wajah Gempa terdiam, mendekati Gempa dan merangkul Gempa, menyemangati kakaknya itu. Terlihat jelas mata Gempa sudah berkaca kaca.

" ─Saat meninggalkan nya, aku bisa mendengar jeritan kesakitan Yaya. Aku tak tega melihat ke belakang. Sakit sekali rasanya mendengarkan perempuanku mengorbankan dirinya demi sosok pria tak bertanggung jawab seperti ku─ Ah, sialan..."

Gempa mengusap wajahnya, keringat dingin bercucuran dari segala arah wajahnya. Gempa frustasi. Saudara saudara kembarnya yang pertama kali melihat Gempa frustasi seperti itu membuat mereka saling menguatkan satu sama lain dengan pelukan hangat kepada sang insan.

Gempa menangis, menyesal rasanya karena telah meninggalkan Yaya─ wanita yang sangat amat ia cintai... dadanya sakit sekali...

Maafkan aku, Yaya...

Jumat,
Malam, Pulau Rintis.

LIMA hari berlalu begitu saja setelah kejadian mengerikan itu terjadi. Mereka semua kembali menjalani hidup seperti biasanya─ walau ditambah dengan rutinitas baru yang membuat mereka kerap kali kelelahan. Setiap malam, mereka terus bergantian berjaga di akses pintu masuk.

Semisalnya Ice dan Blaze di jam 10 akan menjaga pintu belakang, sedangkan yang lainnya akan menghabiskan sisa waktu untuk tidur sebelum bergantian ber-pratoli.

Rutinitas yang dilakukan secara mendadak ini membuat kerap kali dari mereka jatuh sakit. Terlebih lagi Ice yang memang 1/2 harinya diisi dengan tidur dan tidur. Rutinitas yang bisa dibilang sangat amat dadakan ini membuat pria dengan netral aquamarine itu kehilangan jam tidur nya.

Bagaimana kabar para pemerintah yang katanya akan mengirim bala bantuan?

Entahlah. Mereka tak pernah berharap lebih dengan omong kosong itu.

Intinya, seluruh saluran televisi, internet, dan lainnya terputus begitu saja, entah kejadian mengerikan apa yang membuat jaringan internet ini putus.

Suara jeritan kembali terdengar nyaring di indra pendengaran mereka. Mendengar jeritan pasrah sekaligus kesakitan dari orang orang di luar sana sudah menjadi santapan sehari hari bagi mereka yang masih bertahan hidup di rumahnya. Dibekali dengan senjata tajam seadanya, juga beberapa makanan yang tersisa dan niat hidup yang kuat menjadi pilar bagi mereka untuk terus bertahan hidup sampai bala bantuan itu tiba.

Namun ya.. tentu saja semakin lama stok makanan mereka habis. Padahal sebisa mungkin mereka menyisihkan kebutuhan makan mereka itu. Dari yang biasanya 3 kali sehari menjadi 1 kali sehari, alias sarapan.

Mati kelaparan tak ada bedanya dengan mati konyol seperti orang orang di luar sana. Situasi ini membuat ketiga kakak tertua dari tujuh kembar bersaudara ini menyusun sebuah rencana.

Ya, mereka akan pergi keluar untuk mencari makanan.

Biasanya supermarket memiliki banyak makanan bukan? Ya, mereka akan pergi kesitu. Masalahnya, supermarket di kompleks ini hanya ada dua. Dan kedua supermarket itu memiliki jarak yang cukup jauh dari rumah mereka. Halilintar sepakat untuk membagi dua tim untuk menjalankan rencana nya kali ini.

Tim pertama, terdiri dari Taufan dan Halilintar, yang akan menuju ke supermarket yang berada di dekat taman voli. Sedangkan tim kedua adalah Blaze dan Ice, yang akan menuju ke supermarket yang berada di dekat ruko ruko.

Kenapa dibagi menjadi dua tim? Karena menurut Halilintar, bisa saja dari salah satu supermarket itu kehabisan stok makanan. Maka dari itu setiap tim nya akan pergi ke supermarket yang berbeda. Sisanya menjaga rumah.

"Aku dan Solar saja yang ikut misi ini!"

Sontak semua mata tertuju pada adiknya yang di dominasi dengan warna kehijauan itu. Sedangkan yang dipanggil dengan sebutan Solar itu juga ikut mengembangkan senyumnya, senyuman bangga dan percaya diri, sama seperti Thorn.

"Ga. Kalian disini, jaga Gempa dan jaga rumah." Halilintar menekankan kalimatnya agar kedua adik terakhir nya itu tahu bahwa itu bukan teguran melainkan perintah.

"Justru karena itu kami menawarkan diri untuk ikut dalam misi ini. Kami tak bisa menjaga Gempa, dan tak becus juga menjaga rumah," tutur Thorn, Solar hanya mengiyakan setiap argumen Thorn. Solar main aman. Malas sekali debat dengan kakak sulungnya yang keras kepala itu.

"Biar Blaze dan Ice aja yang menjaga rumah. Kalau orang orang itu masuk─ Eh, jangan sampai sih. Tapi setidaknya Blaze kan pandai berkelahi, ya ga?"

Benar juga.

"Heh cil, kalau lawannya makhluk spek kek mereka, ya kalah lah gw!" ketus Blaze yang dibalas cengengesan dari adiknya itu. Halilintar diam, tak banyak bicara, lebih tepatnya berpikir. Rupanya, argumen Thorn barusan membuatnya bimbang juga. Gempa, Solar dan Thorn bukanlah suatu orang yang pandai berkelahi, maka dari itu diperlukan seseorang yang pandai berkelahi, contoh nya Blaze.


"Misi ini berbahaya loh," sela Taufan, yang tak diharaukan oleh Solar dan Thorn. Meski begitu, tetap saja Halilintar belum merasa aman. "Kalau begitu caranya, aku akan setim dengan Solar, dan Thorn setim dengan Taufan. Agar ada yang menjaga kalian."

"GAAA!!" teriakan dari ketiga insan secara serempak itu membuat Halilintar dan saudaranya yang lain menutup kedua gendang telinga nya. Solar yang paling pertama speak up.

"Aku? Seorang Solar dengan Halilintar? ga ga, akan jauh lebih baik jika aku bersama dengan Thorn saja, better." Solar menolak nya mentah mentah. Halilintar bergidik sendiri nya, "Siapa juga yang mau sama lo? itu semua demi keselamatan kalian." Halilintar menjelaskan, kali ini dengan dahi yang dikerutkan. Terlihat kesal.

"Aku juga gamau sama Thorn, Li. Udah paling bener aku sama kamu, dan Thorn sama Solar." saran Taufan─ yang lebih mirip dengan perintah atau paksaan. Halilintar masih menimbangkan keputusan nya. Saat meminta usulan Gempa, Gempa hanya diam, tak menanggapi. Dia juga sama bingungnya dengan Halilintar. Sedangkan dua temperatur itu sibuk melihat perdebatan.


Disisi lain mereka lega karena tidak ikut dalam misi berbahaya ini kali ini, namun disisi lain juga ada perasaan yang membuat hati mereka tak nyaman, "Kalian bisa ngejaga diri kalian sendiri, kan?" tanya Halilintar, matanya memincing menatap adik adiknya itu.

Solar dan Thorn langsung mengangguk, tersenyum lebar─ entah motivasi apa yang mereka dapatkan sehingga kedua bungsu itu ingin sekali melakukan misi berbahaya ini, terlebih lagi Thorn, yang biasanya penakut, kini malah menjadi yang paling semangat diantara kembaran fotosintesis itu.

Halilintar menghembuskan nafasnya. Mengangguk tanda setuju. Dia langsung memerintah kan adiknya untuk menyiapkan seluruh bahan dan merencanakan misi mereka.

Jumat,
Malam, Pulau Rintis.


─ "Serius, Hali? Sekarang?" Gempa menaikan nadanya.

Dipikirnya barusan mereka akan melakukan misi ini besok saat matahari kembali menyapa langit. Namun justru pria dengan netra ruby itu sudah bersiap sedia dengan seluruh perlengkapan nya. "Setidaknya penglihatan mereka tak akan sebaik saat siang, dan mungkin saja mereka tidur─"

"Mereka tidak tidur, dan mereka sudah mati." Solar memotong percakapan antara kedua kakak tertuanya itu.

"Mereka hanya terjangkit virus─"

"Ayolah, siapa manusia yang masih hidup saat jantung nya, organ dalamnya, sudah rusak dan hilang entah kemana? Tentu saja mereka semua ini sudah mati─"

"Ngelantur apalagi sih, Lar? Teori mu itu aneh aneh. Jika mereka memang sudah mati, kenapa mereka masih bergerak membunuh para orang disini?" Selalu saja seperti ini. Solar yang egois, dan Halilintar yang tak ingin mengalah. Argumen dimulai. Mereka tak akan berangkat menjalankan misi yang sudah mereka rencanai jika terus seperti ini.

Respon Solar yang awalnya begitu semangat itu kini memudar. Dia tampak sedang berpikir keras, "Aku sudah memikirkan hal itu. Sepertinya mereka ini dikenda─"

"Sebelumnya saya minta maaf karena telah memotong perdebatan kalian ini. Tapi tolong saja, kita ini kan akan menjalankan misi, jadi tolong, lihat jam sudah menunjukkan pukul berapa,"

Sahutan Taufan membuat Halilintar langsung memperhatikan jam. Betul saja, jam menunjukkan pukul sepuluh malam kurang. "Ya sudah, sesuai rencana. Kita akan keluar melalui pintu belakang. Itu pintu yang paling aman setidaknya─ mungkin?"

Mereka mengangguk. Semua peralatan kurang lebih seperti senjata sudah mereka siapkan di tas selempang masing masing. Setidaknya ilmu dan bakat silat mereka akan berguna untuk sekarang, walau tetap tak menjamin keselamatan mereka.

Halilintar, Taufan, Thorn, dan Solar sudah berada di taman

belakang yang mengarah ke pintu belakang, pintu yang menyambungkan hutan liar yang berada di kampung itu. Menurut pengamatan Hali, setidaknya 30 dari 100 persen orang yang terjangkit virus mematikan ini di sekitar hutan tersebut. Mereka akan berputar mengelilingi hutan, dan ke komplek melalui jalan tikus.

Mereka bersiap dengan antusias, rasa takut hilang begitu saja, seakan ini hanya tantangan biasa. Setelah Solar dan yang lain keluar dari pintu tersebut, Halilintar yang masih berada di dalam rumah menitipkan pesan untuk Ice dan Blaze. Beberapa amanah yang akan mereka jalani selagi di dalam rumah. Saat berpamitan, suara pria dengan topi menghadap ke arah belakang itu menghentikan langkahnya.


"Halilintar,"

Halilintar memberhentikan langkahnya, memperhatikan adiknya yang kali ini memandang tepat ke arah netra ruby milik nya. Sebuah tatapan yang tak biasa, tatapan yang dipenuhi dengan harapan setinggi langit.

Hening, Gempa tak melakukan apapun. "Jika tak ada pesan yang ingin kau sampaikan, aku akan keluar─"

"Jika kalian pergi berempat, pulang juga harus berempat, ya?"

Halilintar diam, tak bergeming, bingung bagaimana cara merespon nya. Dia sendiri tak menjamin apa dia dapat membawa seluruh adiknya kembali pulang ke rumah dengan aman dan membawa beberapa bahan makanan. Terlebih, kali ini Halilintar membawa kedua adik terakhir nya itu, menambah beban pikiran. Pria dengan surai kecoklatan itu berbalik, tak menjawab pertanyaan Gempa.

Namun sebelum Halilintar melangkah kan kakinya keluar rumah, ia mengangguk kecil─ Walau anggukan nya terlihat sedikit patah patah. Lantas pergi begitu saja dengan ketiga saudara nya.

Setelah meninggalkan rumah tempat mereka berlindung, tak ada satupun dari mereka yang memulai percakapan. Diluar terasa begitu dingin.

Samar samar terdengar suara orang menjerit. Mereka melangkah kan kakinya tanpa bersaudara. Tak ada pembicaraan, lebih tepat nya, Halilintar melarang mereka untuk banyak berbicara selama perjalanan.

Hutan itu sudah tak sama seperti dulu lagi. Banyak potongan tubuh manusia tergeletak dimana mana. Darah bersimbahan dimana mana. Perlu setengah jam lagi untuk mereka memutari hutan dengan pemandangan mengerikan ini. Saat sampai di tujuan, situasi dapat jadi jauh lebih buruk. Mereka akan benar benar menemukan musuh sesungguhnya.


Dan dari situlah semuanya di mulai. Dari situlah mereka kehilangan satu persatu saudara mereka. Dari situlah mereka semakin mengerti apa itu artinya persaudaraan.

Dan dari situlah mereka mengerti, tak semuanya tentang diri kita sendiri.

─ CHAPTER 1 END ─
𝐒𝐀𝐃𝐑𝐀𝐇 : ᴇsᴄᴀᴘᴇ ᴏʀ ᴅɪᴇ

[ A/N ]

Halo semuanya !

Akhirnya aku publish chap berikutnya

2 juga, sebenernya ada niatan mau nge publish 2 hari lalu, tapi ternyata masih ada yang kurang kosakata nya─

Ini juga aku gabisa terlalu fokus ke cerita ini dulu, berhubung sekarang acara OSIS lagi padat. Jadi agak susah buat ngebagi waktu. Tapi aku usahain secepet nya update sih.

Ditunggu kelanjutan nya ya !

[ 2554 word. ]

-Esya

Continue Reading

You'll Also Like

69.7K 8.8K 44
Ini fanfic pertama saya. Bukan terjemahan, murni tulisan pemuas halu. Kisah asli: Trash of the Count's Family. Jangan mirror tanpa izin, saya ngambek...
2K 114 7
awal dari sebuah kehancuran. . . ...
358 54 6
Siapa yang tidak heran jika, rumah seharga 26 jt diberikan secara cuma cuma padanya?, "apakah pemilik rumah ini tidak merasa rugi?, kami bahkan masih...
KENZOLIA By Alpanjii

Mystery / Thriller

82.1K 4.5K 13
Iexglez diketuai oleh Kenzo, anggota inti menyamar menjadi siswa di SMA Rajawali untuk suatu misi. Ditengah misi itu ada Lilia, gadis yang Kenzo suka...