HER LIFE - END (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.9M 264K 16.9K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!
PART 57 (END)

PART 35

76.5K 4.7K 337
By ay_ayinnn

"ELEN! ELEN!" Sampai kembali di rumah Vanya, Gavin terus memanggil nama Elen.

Dia mencari putrinya ke samping rumah, belakang rumah, bahkan nekat masuk ke dalam rumah, tapi gak ada Elen-nya. Gavin menyisir rambut kebelakang.

"Gue cari di dapur juga gak ada Vin," Marvel menghampiri Gavin ke dalam.

"Ini hari apa sih anjing?!" Sengit Gavin. Rasanya ia ingin menyalahkan apapun yang ada disekitarnya. Termasuk hari, jam, dan takdir.

"Sabtu," Jawab Marvel enteng.

"Gak peduli!! Ayo bantu gue cari Elen lagi."

Hendak pergi mencari Elen keliling kampung, seseorang memanggil Gavin dengan embel-embel Papa. Suaranya terbata karena menangis sesenggukan.

"Hiks P-pa, Mama ke-ma-mana?" Isak Elen dalam gendongan Ayumi.

"Sayang," Gavin mendatangi mereka di depan sana. Ia mengambil Elen karena tahu itu sangat memberatkan Ayumi yang sudah lanjut usia.

"Hei? Jangan nangis cantik," Gavin hapus air mata Elen perlahan.

"M-mama g-gak a-da di ru-rumah," Adunya masih sambil menangis.

"Iya nak, Vanya kemana? Ibu sempat cari dia di dalam rumah tapi gak ada," Tanya Ayumi khawatir.

"Vanya dibawa sama Mamanya," Jawaban Gavin membuat Ayumi spontan memegang dada.

Marvel yang panik pun punya reflek menopang kedua bahu Ayumi. Takut kalau Ayumi jatuh sebab tangan Gavin sibuk memegang Elen.

"Ke-kenapa gak bilang sama Ibu? Padahal kalau Ibu tahu, Ibu tidak akan melarang Vanya pulang ke rumah keluarga aslinya," Ucap Ayumi merasa hatinya begitu sakit.

"Ceritanya panjang, Bu. Vel, bantu gue bawa Ibu ke dalam dong," Pinta Gavin lalu mereka semua masuk ke dalam rumah itu.

Ibu Ayumi duduk dengan badan yang sangat lemas. Kepergian Vanya begitu tiba-tiba. Apalagi Vanya pergi tanpa membawa Elen. Ayumi takut Elen terus mencari keberadaan Mamanya.

"Bagaimana bisa Vanya pergi tanpa sepengetahuan Elen?" Pandangan Ayumi kosong menatap bawah.

Marvel yang tidak betah dengan keadaan seperti ini pun menggaruk-garuk tengkuk yang tidak terasa gatal sama sekali. Baru ini Marvel duduk di atas tikar, kayak kotor lagi tikar-nya.

Bukan kayak, tapi emang kotor gak sih? Batin Marvel berusaha tenang di era badannya sudah merinding.

"Pa, Mama pe-pergi?" Tanya Elen dipangkuan Gavin. Anak kecil itu tak mau beranjak dari sana.

"Sementara ini, Elen sama Papa dulu ya?" Tidak ada balasan dari Elen. Gavin eratkan tangan memeluk tubuh kecil putrinya.

"Vanya tadi sempat pingsan. Saya tahu dia sudah terlalu lelah dan lemah. Makannya ketika dia pingsan, saya gak terlalu terkejut," Lanjut Gavin mulai bercerita kepada Ayumi.

"Kesalahan saya adalah tidak membawa Vanya lepas dari pelukan Mamanya. Jadi, mereka membawa Vanya ke rumah sakit dan mungkin akses kita ketemu Vanya jadi lebih susah."

Sedih, Ayumi jelas sedih mendengar hal itu. Tapi sekali lagi, ia tak punya hak melarang Vanya pergi dari rumah tua ini.

Tatapan Ayumi beralih menatap Elen. Anak itu tertidur di pangkuan Gavin. Sejenak, Ayumi mengulas senyum kecil. Betapa damainya dia tidur.

"Terus Elen gimana?" Tanya Ayumi setelahnya. "Elen gak biasa jauh dari Vanya."

"Niat saya, setelah ini saya mau bawa Elen dan Ibu ke kota. Mungkin dengan begitu kita bisa ketemu sama Vanya lagi."

Ayumi menggeleng, "Kamu yakin bisa merawat Elen?" Pertanyaan ini terdengar sangat serius.

"Kenapa Ibu tanya gitu?" Kening Gavin berkerut.

"Mungkin ini sudah takdir saya untuk menjalani hidup seperti 6 tahun lalu sebelum Vanya datang. Rumah ini satu-satunya kenangan keluarga saya."

"Saya tidak bisa meninggalkan rumah ini walaupun itu demi kebahagiaan saya sendiri. Makannya, kalau kamu sudah siap merawat Elen, saya akan pasrahkan semua tentang Elen ke kamu. Tapi kalau belum siap, saya sanggup merawat Elen sampai dewasa," Ucap Ayumi ikhlas lahir batin.

"Kenapa Ibu percaya banget ke Gavin? Padahal Ibu tahu Gavin adalah laki-laki yang udah merusak Vanya," Tanya Marvel tiba-tiba. Itu juga yang menjadi pertanyaan di benak Gavin.

Sebelum menjawab, Ayumi tersenyum manis. Dia sangat bersyukur dengan kehidupannya selama 6 tahun belakang.

"Dalam cerita ini, saya hanya figuran. Kedatangan saya di dalam hidup Vanya sebatas tempat berlindung anak itu," Ucapnya tanpa melepas senyum.

"Bohong, Ibu gak rela kan kalau Vanya kembali ke keluarga kandungnya?" Tuduh Marvel seakan sudah akrab.

"Iya, tapi saya menyadari posisi saya. Justru malah kurang ajar kalau saya menahan Vanya agar tetap berada di rumah jelek ini. Vanya berhak bahagia, bukan susah bersama saya."

"Kalau nanti Vanya cari-cari Ibu gimana?" Tanya Gavin setelahnya.

"Gavin, Ibu cuman bisa bikin hidup Vanya susah. Buat makan aja sulit, apa iya Vanya bakal mencari Ibu lagi?"

"Bakal. Saya tahu Vanya."

"Kalaupun begitu, Ibu bersyukur figur Ibu dalam cerita Vanya membawa kebahagiaan. Oh sebentar," Ayumi berdiri lalu masuk ke dalam kamar yang pernah Gavin masuki itu.

"Vin, lo gak keberatan?" Tanya Marvel menatap Elen yang tertidur dipangkuan Gavin.

Pandangan Gavin turun memandang Elen. Lelap sekali dia tidur, "Nggak. Beratan juga beban Vanya selama ini."

Marvel mengangguk mengiyakan. Tak lama kemudian, Marvel terkekeh. Masih dengan tatapan memandang Elen.

"Lo kenapa?" Tanya Gavin heran.

"Gue gak nyangka aja lo udah punya anak. Gue kira Farel sama Acel duluan," Jawab Marvel mengatakan apa yang ada dipikirannya.

Satu tangan Gavin yang nganggur bergerak mengelap keringat Elen yang menumpuk di kening. Dia aja masih percaya gak percaya kalau anak kecil di pangkuannya ini adalah anak yang ia buat dengan Vanya waktu itu.

Kehidupan Elen terlalu cepat untuk Gavin menerimanya, mungkin orang lain juga. Tapi, orang kalau ngelihat Gavin sama Elen berdua gini, gak perlu pakai DNA segala deh. Mereka itu mirip banget. Bedanya Elen cewek, Gavin cowok.

Itu yang ngebuat Gavin sayang sama Elen dan percaya kalau Vanya gak ngegugurin janinnya 6 tahun lalu.

"Maaf Ibu lama," Ucap Ayumi kembali dihadapan mereka.

Beliau keluar sambil membawa sebuah kardus. Gavin dan Marvel kebingungan melihat kardus itu.

"Besar kardusnya, apa itu?" Celetuk Marvel polos.

Kalau di rumahnya ada kardus besar, pasti isinya oleh-oleh. Makannya marvel udah kayak berharap banget seakan Ayumi mau berbagi sesuatu.

"Itu apa, Bu?" Tanya Gavin.

"Isinya baju Elen. Kamu... Siapkan ngerawat Elen selama dia jauh dari Mamanya?" Tanya Ayumi menginginkan keputusan serius dari Gavin sebagai Papa Elen.

"Maksud Ibu bukan mengusir Elen. Melainkan Ibu hanya berpikir, kalau Elen tetap bersama Ibu disini, nanti dia gak ada yang jaga. Ibu takut Elen kenapa-napa sendirian di rumah."

"Saya memang punya niat membawa Elen pulang ke kota. Tapi niat saya juga membawa Ibu bersama dengan Elen. Gimanapun juga dari kecil Elen selalu bersama Ibu. Saya takut, saat Elen sadar kalau gak ada Vanya atau Ibu di sampingnya, dia bakal nangis mencari kalian," Ucap Gavin serius.

Dia mengerti maksud Ayumi apa. Melihat keadaan rumah ini serta kesehatan Ayumi, Gavin tak yakin beliau mampu merawat Elen.

Ayumi ini sebenarnya sudah mulai sakit-sakitan. Umurnya juga lumayan tua. Keriput diwajahnya mengatakan kalau dia tidak sanggup jika harus menafkahi Elen sendiri tanpa Vanya.

"Elen bukan orang kayak gitu," Ayumi tersenyum. "Elen itu pintar. Dia paham sama keadaan. Apalagi, kamu kan Papanya. Ibu yakin Elen bahagia sama kamu."

"Ibu punya niat ikut kami ke kota kan?" Tanya Marvel ingin nimbrung. Dia gemas, ingin sekali ada jawaban iya dari Ayumi.

"Enggak nak," Beliau menoleh menatap Marvel. "Kalian pulanglah. Susul Vanya. Urus permasalahan kalian dengan baik. Tuhan tidak tidur. Seburuk apapun kalian dimasa lalu, Ibu yakin Tuhan sudah mempersiapkan jalan hidup yang terbaik untuk kalian."

Gavin menunduk, menyeka air mata yang tiba-tiba keluar. Baru ini dia bertemu orang seperti Ayumi. Baik sekali? Padahal banyak orang diluar sana yang tidak suka dengannya.

"Seorang Ayah mana yang menangis di depan putrinya, hm?" tegur Ayumi sambil tertawa geli. Gavin langsung memandang atas berharap air mata itu berhenti menetes.

"Bu, hutang Ibu ke mereka udah Gavin lunasi. Sekarang, Ibu hanya tinggal menikmati hidup dengan santai," Kata Gavin setelah lebih tenang.

"Eh? Pantes loh dari kemarin gak ada yang nagih hutang. Ibu jadi hutang ke kamu."

"Enggak! Ini semua salah Gavin. Jadi, udah seharusnya Gavin menyelesaikan masalah Ibu dengan mereka. Sama satu lagi, karena Ibu beneran gak mau ikut kami ke kota, Gavin ada sedikit rezeki buat Ibu," Tangan Gavin menoel paha Marvel.

Marvel yang mengerti pun mengeluarkan sejumlah uang dari kantong celananya, "Ini dari Gavin."

Satu alis Ayumi terangkat menatap telapak tangan yang dipaksa menggenggam beberapa uang tunai itu. Banyak sekali untuk seorang Ayumi, tapi untuk apa?

"Gavin cuma bisa kasih segitu karena disini gak ada ATM buat ambil uang. Ibu tenang aja, setiap bulan Gavin sama Elen bakal kesini untuk menjenguk Ibu," Jelas Gavin sedih hanya bisa memberikan 8 lembar uang merah kepada Ayumi.

"Ibu nggak butuh uang ini," Ayumi menaruh uang itu dihadapan mereka semua.

"Saya ikhlas memberikannya."

•••••

Perjalanan menuju Jakarta.

Marvel membawa mobil dengan penuh ketenangan. Walaupun masih sedih mengingat Ayumi yang mengecup terus wajah Elen sebelum mereka pergi. Tapi hatinya tenang sebab Gavin dan Elen sehat sampai detik ini.

Suasana di dalam mobil dengan kecepatan rata-rata itu sunyi. Mereka tidak suka mendengar musik dalam perjalanan jauh, bikin ngantuk katanya.

Efek sudah malam sih. Terus diantara mereka juga gak ada yang mau melawak. Ya, semua ini kan karena tubuh mereka cukup kewalahan dengan permasalahan tadi.

"Anak lo cantik," Ucap Marvel dengan pandangan ke depan, fokus menyetir.

Gavin yang duduk di kursi sebelah kemudi dengan Elen di pangkuannya pun menoleh. Benarkah mendadak Marvel suka dengan anak kecil? Aneh sekali.

"Tumben lo bilang gitu."

"Beneran anj—"

"Di depan anak gue gak boleh ngomong kasar." Potong Gavin membuat Marvel menghembuskan nafas kasar.

"Iyaa, Papa Gavin. Tadi keceplosan." Laki-laki beranak satu itu berdehem lalu tak menanggapi temannya lagi.

"Bener loh, Elen cantik banget. Lebih ke manis sih sebenernya."

"Ya jelas cantik. Mama dia aja cantik, Bapak dia juga ganteng banget."

Marvel mengejek Gavin dengan pura-pura muntah. Lagian, jadi orang kok tingkat kepercayaan dirinya selangit.

"Lo gak usah syirik sama gue," Lanjut Gavin menurunkan pandang, menatap anaknya yang menaruh kepala di dadanya.

"Ngapain gue syirik sama lo? Ya gue tahu kuasa lo lebih besar dari pada gue, tapi kan sekarang bisa pansos. Gampang lah kalo mau ningkatin kuasa."

Gavin memutar bola mata malas. Berisik banget si Marvel. Kerja kagak, niat mau panjat sosial iya.

"Vel," Panggil Gavin setelah beberapa detik hening.

"Hm?"

"Kalau nanti Elen bangun lagi gue harus apa?"

"Noh kinderjoy di jok belakang masih banyak."

"Masa dikasih coklat terus. Lo mau ngebuat gigi anak gue bolong?"

"Ya gue juga gak tahu harus apa. Pernah punya anak aja belum."

"Ck gak guna ah. Harusnya yang jemput gue Farel."

"Oh lo belum tahu ya, Vin?" Tanya Marvel tiba-tiba.

"Tentang?" Sahut Gavin membenarkan posisi tidur Elen.

"Hubungan Juna, Farel, sama Acel lagi gak baik."

"Pasti karena Acel tahu Vanya udah gue temuin?" Tebak Gavin tepat mengenai sasaran. Marvel mengangguk kecil, mengiyakan.

"Niat Acel tuh baik. Itu kalo lo paham Acel kayak gimana orangnya."

"Hah?" Marvel sedikit terkekeh mendengar opini Gavin. Yang benar saja Acel baik.

"Padahal lo sempat mikir gimana perasaan Vanya kalau dia tahu Acel bakal nikah sama orang yang dulu pernah merundungnya habis-habisan."

"Kalo Vanya dijelasin, dia bakal ngerti," Gavin masih membela hubungan Farel dan Acel.

"Nggak ada yang rela sahabatnya nikah sama orang yang udah ngerusak mentalnya."

"Mental Acel juga bisa rusak kalau Farel gak tanggung jawab sama apa yang dia lakuin waktu prom night."

"Kita berlima buruk banget ya, Vin?"

"Gue harap Juna nggak ngerusak ceweknya yang di Bali."

"Gue juga berharap gitu," Marvel menjeda kalimatnya. "Gak tahu ya, gue ngerasa gak layak dapet cewek baik buat seumur hidup."

"Itu sih gak cuma lo, gue juga ngerasa gak layak buat hidup bahagia sama Vanya. Terlalu brengsek, Vin."

"Sekarang mau gimana?" Tanya Marvel. "Lo mau pulang ke mansion atau apartemen?"

"Mansion aja."











Bersambung.

Mau 3k vote bisaa kan? Biasanya sampe 3k vote loh😍

Menurut kalian, Vanya dimana?

Kunci, Clara sama Acel itu baik. Cuma cara mereka buat bikin Vanya balik emang salah.

Ruwet kayak idup gue aja. Pada capek drama ya? Aku juga tp alur e gini, gimana dong😭😭 need alur penyelesaian tanpa drama dari kalian gmn, ada ndak😙😗😍

Continue Reading

You'll Also Like

410K 25.6K 47
Xevira. Gadis dengan segudang sifat petakilannya. Gadis yang tidak bisa diam. Gadis yang selalu mengikuti Kevin kemana pun ia pergi. Dan gadis terane...
7.3K 474 13
Cerita Terjemahan. Penulis: Saya ingin menjadi abadi Jenis: perjalanan waktu dan kelahiran kembali Status: Selesai Pembaruan terakhir: 13-05-2023 Ba...
1.2M 126K 52
[LENGKAP!] "Ka-kamu bukannya cantik, kenapa suka sama saya?" "Isi dompet." "Ha?" "Iya, isi dompet abang tebel, kartunya no limit semua lagi hihi." "A...
235K 8K 39
"darel kepala lo ada apa nya tuh." ledek Vina "Gak usah ngeledek deh lo!" kesal Darel start : 19 oktober 2019 end : 7 november 2019