š—¦š—”š——š—„š—”š—› : escape or die...

By kimuurume

23.7K 2.4K 1.4K

Bertahan hidup dengan dikelilingi para kanibal? Siapa yang kuat? Tentu saja mereka bertujuh. [ š—•š—¢š—•š—¢š—œš—•ļæ½... More

a/n
ā€¢ 01 || andala
ā€¢ 02 || senandika
ā€¢ 03 || aksa
ā€¢ 04 || asrar
ā€¢ 05 || arunika
ā€¢ 06 || sirna
ā€¢ 07 || lengkara
ā€¢ 08 || karsa
ā€¢ 09 || germang

ā€¢ 00 || prolog

4.3K 317 80
By kimuurume

❝ Kita mungkin menghadapi banyak kekalahan tetapi kita tidak boleh dikalahkan. Nyalakan atau matikan, berhenti atau lanjutkan, bebaskan atau batasi, menang atau seri, pasrah atau kritisi. ❞

─ 'Air Ice Aryasatya

─ 𝐒𝐀𝐃𝐑𝐀𝐇 : ᴇsᴄᴀᴘᴇ ᴏʀ ᴅɪᴇ ─
a story by :: kimuurume















Sabtu,
Malam, Pulau Rintis.

GERIMIS membungkus seluruh kota di pulau Rintis, sekarang memang memasuki waktu musim hujan. Langit yang semula berwarna biru muda itu berubah cepat menjadi warna biru kegelapan. Gumpalan awan hitam seakan nyaman beranjak diatas sana. Udara terasa sangat dingin, membuat lelaki dengan netra aquamarine tersebut menarik selimut tebal di dekatnya sembari meringkukan badannya, berjaga jaga agar tetap terbangun.

Netra aquamarine miliknya berusaha fokus memperhatikan suasana pulau rintis melalui jendela yang persis berada di samping kasurnya, jalanan dipenuhi dengan genangan air. Gerimis malam ini membuat udara terasa sejuk, semua orang akan setuju bahwa saat ini, adalah waktu yang tepat untuk berbaring dan menutup erat kedua kelopak mata.

Sekali kali kelopak matanya terbuka dan tertutup, itu terus berulang beberapa kali. Tak jarang ia juga menguap dan mendengus kasar. Karena mengantuk, ia memutuskan untuk berbaring sebentar di kasurnya, memeluk erat boneka paus biru kesayangannya. Kelopak matanya semakin berat, berat, dan berat... Otaknya jelas memberikan satu instruksi pada seluruh saraf di badannya : tidur.

Namun sayangnya anak itu tak dapat tidur. Kalau bukan karena janji yang sudah ia buat dengan saudara saudaranya itu, dia lebih memilih untuk menghabiskan malam ini dengan tiduran seperti orang mati. Maka dari itu, kali ini ia berusaha mengumpulkan niat, dan berusaha agar tetap terjaga, supaya bisa menetapi janjinya dan berpartisipasi di acara yang selalu dilakukan setiap minggu ini.

Namun sepertinya, ia akan menggugurkan niatnya.

"ICE!!!"

"Ah, sialan..." baru mendengar suara milik saudara kembarnya saja, langsung membuat lelaki dengan netra aquamarine yang dipanggil 'Ice' itu memutar posisi badannya kembali tepat ke arah jendela, membelakangi insan yang memanggil namanya dan menggugurkan seluruh niat yang sedari tadi mati matian ia kumpulkan.

Semua itu percuma, rasa malas merajai diri nya sekarang. "Tolong jangan ganggu aku..." bisik Ice sembari menutup erat kedua kelopak matanya.

"ICEE AYO BANGUN! SUDAH JAM TUJUH LEWAT LOH!"

Kali ini suara nya terdengar sedikit berbeda dari suara yang memanggilnya barusan, lebih cempreng. Ice yang sudah hafal dengan suara saudara saudaranya itu, semakin memejamkan kedua kelopak matanya, itu jelas suara adik ke-enamnya, Thorn. Jika Thorn dan Blaze ada disini, sudah pasti ada ketua dari genknya, TTM, Trio TroubleMaker.

"Ayolah, kalian bisa melanjutkan acara ini tanpa aku..."

Sesuai dugaannya, kakak sekaligus Ketua genk ini, benar benar ada di sampingnya. Taufan menyeringai ringan, sembari menatap Ice yang masih berusaha tidur.

"ICEE! BANGUNN!!" Taufan mulai meneriaki nama saudaranya ini, berulang kali. Merasa Ice masih tak menyerah, Taufan mulai membangunkan adiknya ini dengan cara yang sedikit 'kasar'. Digoncangkan nya tubuh sang adik yang masih berusaha tertidur itu. Jangan tanya soal Blaze dan Thorn, sedari tadi mereka juga turut serta dalam proyek membangun kan saudara ke-lima mereka ini. Ice akhirnya menyerah, membuka kelopak matanya, duduk bersila di atas kasur empuknya.

"Ayolah, aku ingin tidur, Taufan.." pinta Ice, berusaha untuk menunjukan raut wajah paling sedih yang bisa ia buat.

"Ice, ini tradisi wajib kita, tak ada yang boleh melewatkan kesempatan berharga ini! Ayo, bangun!" bukannya merasa kasihan atau iba, Taufan menarik tangan adiknya yang selalu dingin itu, diikuti oleh Thorn juga Blaze.

Senyum jahil itu jelas terlukis indah di wajah mereka masing masing, sebuah senyuman yang jahil lengkap dengan lesung pipi atau 'kempot' di ujung pipinya, semua saudara Ice memiliki hal itu, termasuk dirinya. Mereka berhasil membangun kan raja tidur ini.

Sabtu,
Malam, Pulau Rintis.

SETELAH menunggu sekitar lima belas menit, Ice memutuskan untuk turun ke bawah, masih di dampingi oleh saudara kembarnya. Dingin nya cuaca seakan menusuk badan Ice, membuat Ice langsung melingkarkan lengannya di tubuhnya.

Di lantai satu, tempat mereka biasanya berkumpul untuk sekedar berbagi cerita dan makan siang, terlihat jelas saudaranya sedang menunggu kedatangan mereka ber-empat di kasur sofa lebar yang mengarah tepat ke depan sebuah televisi digital.

Gempa sedang sibuk menyiapkan cemilan, di sisi lain, terlihat jelas Halilintar, si sulung, dengan si bontot Solar yang sedang beradu mulut. Melihat kedatangan saudara lainnya, Halilintar menjeda pertengkaran itu dan menatap mereka tajam. "Lama sekali." ketus Halilintar, kakak sulung dari tujuh bersaudara tersebut.

"Salahin Ice, kita udah berusaha semaksimal mungkin buat membangunkan nya, namun dia tetap saja lambat," bela Blaze, telunjuk nya mengarah ke adik ke lima nya yang masih memasang wajah kantuk, sama seperti sebelumnya. Halilintar mendengus kasar dan kembali memfokuskan pandangannya ke arah Solar, yang tampak tak takut sama sekali. Mereka siap berdebat lagi.

"Eh? Kenapa kalian bertengkar?"

"Tidak bertengkar Thorn, hanya bertentangan pendapat. Debat,"

"Karena, apa? "

"Ini loh, masa seorang Petir Halilintar Aryasatya meminta kita─ memaksa kita untuk menonton serial drakor," jelas Solar yang membuat seisi rumah memasang wajah kaget bukan main. Mimik wajah kaget mereka itu dengan cepat terganti oleh tawa keras yang memenuhi isi rumah, apalagi Blaze. Membuat rumah semakin berisik.

"Halilintar? Nonton drakor?" Blaze meyakinkan─ tidak, jelas dia sedang mensarkas kakak sulung nya itu. Rumah kembali diisi dengan tawa ramai dari masing masing saudara kembarnya. Sedangkan yang bersangkutan hanya diam, memalingkan muka.

"Duh, memang nya kenapa Blaze?" Taufan menyela tawa mereka, membuat seisi rumah mendadak hening. Mereka saling pandang, kenapa Taufan jadi serius begini?

"Bukan kah itu wajar?" Taufan memasang wajah serius, menatap satu persatu saudara nya, "Bukankah itu wajar untuk seorang yang masih gamon dengan masa lalunya??" sambung Taufan, Halilintar yang sudah mengetahui bahwa Taufan akan mengungkit kembali hal itu, menatap nya tajam, sedangkan yang ditatap hanya tertawa renyah, menaikan dua jarinya, "Peace," senyum Taufan semakin lebar. Diikuti tawa dari ke lima saudara kembar itu.

Beberapa bulan terakhir, Halilintar dan [ name ] Arnawama, memang sempat menjalin hubungan mesra dengan gadis cantik berambut putih itu. Namun karena suatu konflik, mereka memutuskan untuk berpisah. Dan sekarang, Halilintar masih menunggu kembalinya gadis tersebut.

"Udah udah, lebih baik kita langsung nonton aja." lerai Gempa. Tangannya penuh membawa aneka macam cemilan untuk dihidangkan sembari menonton film. Mulai dari pie apple, pizza, cream soup, dan orange juice. Thorn sigap membantu Gempa yang tampak kesusahan membawa banyak cemilan tersebut ke atas meja.

"Terus, kalian mau nonton apa?" tanya Halilintar yang sedari tadi memincingkan netra ruby nya.

"HORROR!!" usul seorang Thorn, kedua lengannya membawa berbagai macam cemilan yang sudah disiapkan Gempa. Dia tersenyum penuh makna menatap kakak kakanya juga adiknya Solar yang tampak tak yakin dengan apa yang baru saja Thorn ucapkan.

Melihat wajahnya saudaranya, Thorn menggempalkan pipinya, "Aku serius." Thorn menekankan kalimatnya, berusaha untuk terlihat seserius mungkin agar tidak diejek oleh Taufan Blaze dan Solar.

"Kalau gitu, jangan menangis saat melihat hantu nya, yaa~" goda Taufan, tangannya bergerak merangkul Thorn. "Halah, Taufan sendiri sebenarnya takut kan?" sahut Thorn. Mendengar sahutan adiknya, Taufan langsung melepaskan rangkulan nya. Kelihatan sekali bahwa Taufan juga sebenarnya takut.

"Enak aja, lu bocah!"

"Ssst! Hali, putarkan filmnya." potong Gempa yang cemas, jika tidak di lerai, kedua insan itu bisa terus beradu mulut sampai mereka lelah. Terlebih lagi, mereka ini dikenal susah sekali lelahnya.

"Film apa?"

"Apa aja yang penting Horror." jawab Gempa sambil mengatur posisi duduknya di sofa, diikuti oleh beberapa saudaranya yang sudah siap melakukan rutinitas mingguan ini.

Minggu,
Pagi, Pulau Rintis.

ITULAH yang mereka maksud dengan ; "acara wajib setiap minggu" . Menonton film bersama, dengan cemilan yang sudah disajikan Gempa. Kalau kata Ice, itu buang buang waktu, lebih baik tidur.

Teriknya sinar matahari menembus ke dalam persemayaman pria bernetra aquamarine tersebut. Kicauan burung yang saling sahut menyahut itu membuat Ice terbangun dari mimpi indahnya─ tidak, lebih tepatnya, buruk. Cahaya matahari yang terik membuat Ice menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menghindari kontak mata dengan sinar UV yang dihasilkan oleh matahari.

Setelah mengumpulkan jiwa raga dan sukma nya, Ice memutuskan untuk bangun dari tidurnya. Kepalanya beralih ke arah jam dinding yang terpasang tepat di depan kasurnya. Jarum pendek itu masih terus berada di angka delapan. Ice menghembuskan nafas nya, biasanya dia tak pernah bangun sepagi ini saat dia begadang.

Entahlah, sejak menonton film kemarin ada sesuatu yang membuatnya menjadi sulit tidur. Film yang mereka tonton kemarin malam benar benar membekas. Setiap adegan sadis di film tersebut tergambar jelas di otak Ice. Terlebih lagi, film kemarin sebenarnya tak bergenre horror, melainkan lebih mendekati genre gore. Ice bisa melihat wajah Thorn yang pucat pasi, tubuh nya bergetar, sekali kali ia berteriak membuat pie apple yang berada di genggamannya terjatuh ke lantai berulang kali.

Namun, Ice bukan tipe yang terlalu mementingkan hal tak jelas seperti itu, dia lebih memilih menyambar handuknya dan mandi pagi─ salah satu hal yang jarang sekali ia lakukan.

Baiklah, Ice sudah melakukan dua hal tak normal pagi ini, pertama bangun pagi. Kedua, mandi pagi.

Setelah selesai membersihkan badannya, ia memilih baju yang akan ia kenakan hari ini, yang sebenarnya sama sama saja dengan baju setiap harinya─ kurang lebih baju itu warna yang selaras seperti matanya, biru muda, setenang aquamarine. Juga tak lupa dengan kupluk di belakang bajunya. Setelah selesai dengan aktifitas nya itu, Ice memutuskan untuk turun kebawah. Lantai pertama di rumah antik tersebut.

Baru saja ia akan turun kebawah, suara tawa dari saudara saudara nya terdengar begitu nyaring, memekakkan gendang telinga. Reflek Ice menutup kedua indra pendengarannya dengan tangannya.

Dibawah sana sudah ramai sekali. Ada Thorn yang sedang menjahili Solar, Blaze dan Taufan yang tak habis habisnya membahas siapa yang paling kuat di antara Luffy dan Naruto. Namun anehnya, Ice belum menemukan Halilintar dan Gempa.

Ice kembali turun ke pijakan lantai selanjutnya, harum nya sup dari arah dapur langsung memanjakan hidung Ice, membuat perut Ice sampai mengeluarkan bunyi, yang membuatnya reflek memegang kedua perutnya. Ya, Ice lapar, dia butuh makanan. Mungkin Gempa sudah menyiapkan sarapannya saat ini.

Tepat saat kaki Ice menginjak anak tangga terakhir, Ice terdiam tak bereaksi. Bukan Gempa yang ada disana, melainkan si sulung Halilintar. Betapa kaget nya dia melihat Halilintar─ kakak sulung mereka sedang menyiapkan sarapan. Sekali lagi, sedang menyiapkan sarapan.

Ice jelas tak salah lihat, tangan Hali yang cekatan itu dengan cepat memotong bawang dan beberapa komponen lainnya diatas meja. Netra merah nya mengikuti setiap pergerakan tangannya. Sesekali dia memastikan panci yang berada di atas kompor. Sepertinya si sulung ini sedang membuat sup.

"Hali?"

"Hm," Hali menjawab singkat─, dia lebih fokus dengan perkerjaannya sekarang. Memotong bawang. "Dimana Gempa?" tanya Ice. Sedari tadi, matanya tampak mencari cari apa yang kurang dari saudara saudaranya, dan ternyata itu adalah seseorang yang paling penting di rumah ini. Gempa.

"Kamu pasti lupa hari ini hari apa,"

Halilintar masih fokus memotong bawang nya, setelah bawang terisis sempurna, dia mulai memarinasi ikan yang entah sejak kapan berada di dapur tersebut., dia tampak begitu profesional dalam memasak sarapan kali ini. Bukan apa apa, tapi Ice jarang─ sama sekali tak pernah melihat Halilintar memasak.

Biasanya urusan dapur akan di serahkan sepenuhnya ke Gempa, kakak ketiga dari tujuh bersaudara itu. Siapa yang tau bahwa kakak sulung mereka ini bisa menghidangkan sekaligus membuat sarapan dengan begitu profesionalnya?

Kembali ke pertanyaan Halilintar. Ya, Ice lupa, bahkan tidak tau hari ini hari apa. Melihat itu, Halilintar hanya menggelengkan kepalanya dan kembali memasak. "Seharusnya kau memberi tahu ku apa spesialnya hari ini,"

"Bagi kita sih tidak, tapi bagi Gempa mungkin spesial,"

"Ya, hari apa?"

"Ini hari dimana Gempa dan Yaya jadian." jawab si sulung, Ice sempat terdiam sebentar, hari jadian?

Halilintar hanya menggelengkan kepalanya, dia sudah tau adiknya ini pasti lupa bahwa Gempa dan Yaya, sudah menjalin hubungan sejak satu bulan yang lalu. "Daripada memikirkan itu, lebih baik kamu bantu aku memasak sarapan,"

"Makasih tawarannya, ga tertarik. Semangat masaknya, "

Ice membalikan badannya lalu ikut berbaur dengan saudaranya yang lain di ruang tengah. Hali menggelengkan kepalanya, peduli apa dia, dia bisa mngerjakan tugas itu sendiri tanpa perlu bantuan manusia yang hidup nya hanya diisi dengan tidur.

"Ice?? tumben bangun pagi," tegur salah satu dari mereka, tak lain tak bukan adalah kakak kedua mereka, Taufan. Wajahnya melukiskan senyum hangat, seperti biasanya. Namun mendengar perkataan Taufan barusan membuat Ice kembali berfikir, benar juga, yang membuat nya bangun pagi kan karena hawa tak enak itu. Karena tak ingin di sodori dengan pertanyaan nyelekit dari saudaranya, Ice hanya menjawab kemarin dia memasang alarm.

"Ya, baguslah. Seharusnya setiap hari kamu memasang alarm, Ice."

Ice mengangguk malas lalu duduk di sofa panjang yang tersedia di ruang keluarga, memperhatikan setiap aktivitas mereka, yang benar benar random sekali.

Halilintar kembali ke ruang tengah dengan membawa sarapan yang sudah ia buat. Sup dan ikan bakar. Entah sejak kapan Halilintar belajar memasak.

Ikan bakar lengkap dengan sup itu tersaji di meja makan. Lima saudara kembar yang mencium harumnya sup juga gurihnya ikan bakar itu langsung berlari menuju meja makan, mengambil posisi masing masing. "Ini kak Hali yang masak? Semuanya? " tanya Solar tak yakin, dia menaikan satu alisnya.

"Y,"

Solar terkekeh, tangan kanannya bergerak cekatan mengambil daging ikan yang di bakar itu di piring mereka masing masing. Kakak kakaknya yang tampak tak sabaran itu pun turut mengambil potongan daging mereka masing masing. Apalagi Thorn yang sedari tadi memperhatikan ikan bakar itu terus menerus.

Selain sarapan ini adalah masakan kakak sulung mereka, biasanya juga Gempa hanya akan memasak roti bakar atau menyiapkan sereal untuk sarapan, itulah yang membuat sarapan kali ini tampak sangat istimewa.

Sup hangat dan ikan bakar.

Saat daging ikan itu menyentuh lidah mereka, mereka seketika terdiam. Ikan yang dibakar Hali tak berasa amis sekalipun, membuat siapapun pasti akan menikmati sarapannya kali ini. Ditambah dengan bumbu kecap yang ia lumuri dengan ikannya. Membuat ikan tersebut memiliki rasa gurih, asin dan manis disaat yang bersamaan.

Mereka terus menambah sarapannya berkali kali. Selain itu, sup yang dihidangkan Halilintar saat hangat hangatnya, membuat sarapan kali ini terasa sangat sangat istimewa.

"Siapa sangka, Halilintar kita ini pintar memasak juga ya," celetuk Taufan, diikuti oleh Blaze yang mulut nya sudah dipenuhi dengan daging ikan.

"Ya, aku kira selama ini bakat Hali hanya ngomel dan ngomel saja. Rupanya ada bakat terpendam juga ya─" tatapan tajam Hali mampu membuat Blaze diam tak berkutik. Lelaki dengan netra Oranye itu cepat cepat memakan sarapan nya. Semua tatapan menuju ke arah Blaze, bagaimana bisa bocah ini mengatakan hal tersebut dengan santai ke kakak sulung mereka?

Mereka kembali menikmati sarapan bersama. Thorn mengalihkan pembicaraan, menceritakan soal tanamannya yang tampak subur akhir akhir ini.

Semua berlangsung baik baik saja, lebih tepatnya sama seperti biasanya. Tak ada hal spesial yang terjadi hari ini. Seperti biasa, Halilintar menonton serial drama Korea, Taufan Thorn dan Blaze mengacaukan seisi rumah, Ice tidur dan si bontot Solar mempelajari hal hal baru.

Sedangkan Gempa, pria dengan topi menghadap ke arah belakang itu masih berpergian dengan pacarnya. Dia tak kunjung balik. Jangankan itu, mengabarkan saja tidak.

Minggu,
Sore, Pulau Rintis.

HUJAN.


Sudah seminggu ini, hujan tak kunjung berhenti. Derasnya rintik hujan dan gemuruh petir seakan melarang mereka untuk keluar dari rumah masing masing.

Apa kabar Gempa?

Pria itu belum sama sekali mengabari mereka. Semisalnya memberi tahu bahwa sekarang macet dikarenakan hujan yang cukup deras ini. Atau mungkin ada suatu kendala yang membuat nya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sampai di rumah mereka.

Namun tidak. Gempa sama sekali tak menghubungi mereka.

Halilintar menggigit bibirnya, sekali kali ia melihat sekaligus menge-cek Smartphone miliknya. Tidak ada kabar dari Gempa sama sekali. Seluruh saudara itu berkumpul di ruang tengah, tak ada satupun pembicaraan yang membuat heboh seisi rumah.

Blaze yang biasanya selalu berbicara ceplas-ceplos itu saja sekarang memilih diam, menutup mulutnya rapat rapat. Mereka semua tahu, Gempa bukan lah tipe yang senang membuat saudaranya khawatir. Dimanapun dia berada, Gempa akan selalu menghubungi kedua kakak nya tersebut. Namun sampai sekarang ini, belum ada sama sekali pesan yang masuk dari kontak Gempa.

Hening. Hanya suara televisi yang masih menyala dan derasnya hujan saja yang memenuhi rumah itu. Tak ada yang berani membuka mulutnya. Halilintar tampak semakin cemas sama cemasnya seperti Taufan.

Manik biru sapphire milik Taufan itu sesekali melirik Halilintar, meminta usul dari kakaknya, namun yang dilirik hanya menundukkan kepalanya, diam. Jika Gempa belum kembali sebelum pukul lima sore, Halilintar, bertekad untuk melaporkan masalah ini ke pihak berwajib─

Tok! Tok! Tok

Seseorang mengetuk pintu, tak lain tak bukan adalah Gempa. Solar yang berada paling dekat dengan pintu itu segera membuka pintu tersebut dengan tergesa gesa. Halilintar yang sedari panik itu, langsung menemui adiknya yang berada di ambang pintu.

"GEMPA! KEMANA SAJA KAMU!?" seru Halilintar, nadanya naik 3 oktaf sekaligus, tak peduli bahwa adiknya sedang berada dalam kondisi basah kuyup, dan tatapan yang kosong. Baju nya yang lusuh dan topinya yang hilang itu membuat seisi rumah khawatir.

Terlebih lagi luka yang cukup dalam di bagian lengannya. Darah mengucur deras dari lengannya. Mereka dengan cepat membopong Gempa kedalam rumah. Walau begitu, tetap terlihat tatapan khawatir sekaligus panik dari mata ruby tersebut.

Gempa masih tak bersuara, dia pucat bukan main. Tangannya tak berhenti bergetar. Taufan yang menyadari itu langsung menggenggam kedua tangan Gempa, mengobati nya. "Ada apa, Gem?" tanya Taufan.

Pertanyaan Taufan tadi membuat bola mata Gempa semakin mengecil, dia panik, dia ketakutan, dia was-was, membuat seisi rumah semakin ketakutan dan memutuskan untuk mendekati Gempa. "Yaya.. Dia.."

"Yaya kenapa, Gem?" tanya Taufan yang semakin penasaran. Bukannya menjawab Gempa malah menjerit keras, menjambak kedua rambutnya, dan berteriak sekeras-kerasnya.

"KITA HARUS LARI! KITA HARUS BERSEMBUNYI!" pekik Gempa yang membuat adik adiknya ke-heranan. "Maafkan aku Yaya... Maafkan aku..."

"Gempa. Jelaskan." tegas Halilintar, netra Ruby miliknya masih setia memandangi netra adiknya itu. Lidah Gempa kelu, untuk berhenti panik saja susah, sehingga membuat dia hanya menangis tak jelas, dan meronta ronta.

"Gem! Ayo jelas─"

"Hali.."

Suara Thorn membuat semua mata tertuju padanya. Thorn yang saat itu memang berada di dekat jendela, diam tak berkutik. Dia terus disitu, seakan ada sesuatu di luar sana.

"Ada apa, Thorn?" tanya Blaze, sembari mendekati Thorn yang masih kaku di dekat jendela itu. Karena tak mendapatkan respon dari Thorn, Blaze memutuskan untuk melihatnya sendiri.

Deg

Blaze terdiam, nafasnya tercekat. Jika sekarang ini memang mimpi, tolong bangun kan ia segera. "Blaze?"

"Kenapa.. mereka saling menyerang satu sama lain..." cicit Blaze. Dalam kondisi yang masih berdiri itu, tubuhnya bergetar hebat. Berbeda dengan Thorn yang sudah terduduk lemas, kakinya tak kuat untuk bertumpu. Lemas.

Iris emas milik Gempa itu kembali mengecil. Lelaki ini sepertinya sudah tahu apa yang terjadi di luar sana. "Ada apa, Blaze?!" tegur Halilintar.

"Mereka... orang orang diluar sana..." Blaze terdiam sebentar, membuat seisi rumah menunggu nya melanjutkan percakapan.

"Mereka saling membunuh..."

Gempa berteriak panik, membuat kondisi rumah semakin menjadi kacau. Taufan dan Ice berusaha menenangkan Gempa, sedangkan Hali dan Solar segera pergi ke depan jendela, membuka tirai yang menjadi pembatas antara jendela. Saat tirai dibuka, Halilintar mendapatkan pemandangan yang benar benar membuat jantungnya seakan ingin copot.

"Ti-tidak mungkin..."

Halilintar terdiam, begitu pula dengan Solar. Lemas. Rasanya lemas sekali, betul kata Blaze.

Diluar sana, sebagian besar warga di kota pulau rintis ini berkumpul, tapi mereka.. sudah tak bersikap seperti manusia pada umumnya. Halilintar terdiam melihat pemandangan mengerikan itu, mereka saling membunuh dan menyiksa manusia yang masih 'waras' di luar sana.

Bahkan mereka tak segan segan memakan daging korbannya layaknya memakan daging sapi. Terlebih lagi mereka mengukir senyum lebar di wajah mereka. Senyuman yang membuat semua orang ketakutan dan menjerit sekeras kerasnya. Sesekali mereka terkekeh sambil terus menyiksa korban nya dengan alat yang mereka bawa.

Halilintar semakin dibuat mematung saat mengetahui, tetangga nya, Gopal, berdiri diluar sana. Menyiksa seorang anak kecil dengan pisau kecil yang entah sejak kapan berada di genggamannya. Senyum mematikan itu kini terukir jelas di wajah milik Gopal.

Darah bersimbah di sepanjang jalan. Air hujan itu bersatu dengan darah para korban. Jeritan pasrah dari satu persatu orang terdengar begitu jelas, membuat ke-tujuh saudara kembar itu panik bukan main. Perasaan ketakutan kini menyelimuti mereka.

Namun, yang lebih mengejutkan nya lagi adalah, Gopal.

Kepala pria itu bergerak, memperhatikan rumah antik yang ditempati oleh tujuh bersaudara tersebut. Halilintar yang saat itu masih mengintip di jendela kaget bukan main.

Terlambat, Gopal tampaknya sudah mengetahui keberadaan nya. Dengan senyum yang sama persis seperti orang orang diluar sana, Gopal menatap Halilintar, Gopal juga menyunggingkan senyuman yang membuat Halilintar cepat cepat menutup tirai. Nafasnya tersenggal. Tatapan Gopal kosong, namun tatapan itu membuat seakan dia siap menerkam Halilintar kapan saja.

Terlebih lagi senyuman mengerikan itu...

Halilintar melihat ke belakang, melihat adik adiknya yang memasang wajah ketakutan. Sama seperti dirinya.

Beberapa dari mereka mulai meneteskan air mata. Mereka sudah tahu apa yang terjadi. Baru saja ditayangkan sebuah berita di televisi tersebut secara siaran langsung.

Mereka bilang, sebuah virus menyerang pulau rintis, pulau yang mereka tinggali ini.

Virus yang entah datang darimana, dan virus yang sangat berbahaya. Menurut beberapa ilmuwan, virus ini membuat orang yang terjangkit akan kehilangan akal dan menggapai kesenangannya, yaitu : membunuh dan menyiksa para manusia.

Para ilmuwan diluar sana sibuk mencari tahu asal usul sekaligus cara menangani virus ini. Sementara itu, para warga yang berada di pulau rintis diharapkan berhati hati dan menunggu bala bantuan tiba─ yang entah kapan dikirim kemari.

Selain itu, pemerintah juga melarang keras warga disana untuk keluar dari rumah mereka masing masing. Mungkin hujan sekarang ini adalah suatu pertanda akan terjadi nya musibah.

Namun tentu saja mereka tak mungkin berdiam diri di rumah antik ini terus terusan. Yang pasti, stok makanan mereka akan habis, selain itu lama kelamaan bisa saja orang orang yang terjangkit virus itu memasuki rumah mereka dan menyerang mereka.

Yang harus mereka lakukan sekarang adalah, membuat rencana untuk terus bertahan hidup sampai bala bantuan tiba.

Sekarang, mereka semua harus memasuki awalan baru, mau tak mau, siap siaga, saling melindungi. Mereka tak bisa hidup seperti kemarin lagi, hidup aman, damai, tentram. Tidak, itu tidak akan terjadi lagi, sampai mereka bisa keluar atau bertahan hidup sampai bala bantuan tiba.

Lidah Ice kelu, susah sekali untuk berbicara. Rasanya baru beberapa jam yang lalu mereka menikmati hidup dengan tenang.

Apa yang sebenarnya terjadi?

─ CHAPTER 0 END ─
𝐒𝐀𝐃𝐑𝐀𝐇 : ᴇsᴄᴀᴘᴇ ᴏʀ ᴅɪᴇ

[ A/N ]


Halo semuanya !

Akhirnya prolog beres, lama banget pls, makan waktu berhari hari buat namatin chapter kali ini. Soalnya emang harus lebih detail ngejelasin nya.

Chapter 2/3 siap siap ada yang mayat ya─

Thanks buat yang udah baca, ditunggu kelanjutan nya !

[ 3635 word ]

-Esya

Continue Reading

You'll Also Like

8.2K 392 12
karena sebuah permainan konyol Alex mavelos pria tampan namun cenderung cantik harus terjebak dalam suatu permainan taruhan bersama teman para teman...
1.3K 122 10
trund or dare adalah sebuah permainan lakukan atau jawab jujur namun bagaimana jika permainan itu berbuah menjadi permainan mematikan yang merebut se...
58.2K 9.2K 52
~Sequel of RUN~ Setelah 5 tahun kedamaian tanpa adanya makhluk mengerikan tersebut. Kali ini makhluk mengerikan tersebut datang kembali ke kehidupan...
212K 19.5K 32
Hanya satu yang bisa mereka lakukan. Yaitu berlari. Berlari untuk menghindari para ancaman yang datang ke mereka. Semua orang sudah terkena virus ya...