Gara-Gara Abang

By Stephn_

28.2K 2.8K 234

"Abang gue bukan super hero, tapi super kepo!" ♠️♦️♣️ Valeri... More

Prolog
Satu; Hari Pertama Sekolah
Dua; Teman Sebangku
Tiga; Payung Hitam
Empat; Si Sulung
Lima; Kali Kedua
Enam; Pesan Singkat
Delapan; Membuka Pintu
Sembilan; Kencan Pertama
Sepuluh: Ayah
Sebelas; Tipuan
Dua Belas; Mata-Mata
Tiga Belas; Salah Paham
Empat Belas; Tamu Tak Diundang
Lima Belas; The Hobbit
Enam Belas; Patah
Tujuh Belas; Distraksi
Delapan Belas; Ayam Bakar Madu

Tujuh; Garis Singgung

781 83 3
By Stephn_

"Takdir hanya bertanggung jawab pada apa yang harus terjadi, bukan apa yang seharusnya."

***

"NGGAK MAU!"

Valeria tanpa sadar meninggikan nada suaranya. Tindakannya itu membuat ruangan seketika berubah hening dan canggung. Aktivitas sarapan terhenti. Bunyi denting sendok yang semula mendominasi tergantikan dengan suara tarikan napas Reza yang entah mengapa terdengar sedikit kasar pagi ini.

Di samping Reza, Leo bergeming dengan mulut penuh nasi goreng, Jerry berhenti mengoles selai nanas di lembar roti tawarnya, dan Damian mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Mereka menampilkan ekspresi serupa; terkejut dan bingung.

"Kenapa?" pertanyaan mereka berempat diwakili oleh Karina. "Kalian, kan, satu sekolah. Sekelas lagi. Nggak ada salahnya berangkat bareng."

"Nggak mau!" Valeria masih bersikeras menolak. Ia memutar otak, mencari alasan agar Bunda berubah pikiran. "Walaupun sekelas, aku sama Zion nggak akrab, Bun."

Karina meraih selembar tisu, membersihkan jejak remahan roti di ujung bibirnya. "Kalau belum ya diakrabin, dong. Sama tetangga masa nggak akrab?"

Valeria melirik keempat abangnya. Menunggu mereka membantunya membantah keinginan Bunda.

Biasanya, Abang paling tidak suka Valeria berangkat ke sekolah tanpa di antar salah satu di antara mereka. Apalagi dengan laki-laki asing. Tidak heran jika Valeria masih jomlo sampai sekarang. Tetapi, di saat Valeria berharap abang-abangnya bertindak, mereka justru bungkam. Tidak memberi tanggapan sama sekali.

"Atau kamu mau berangkat sama Bang Jerry aja?"

Secercah harapan terbit di wajah Valeria usai mendengar tawaran dari Jerry. Akan tetapi, selayaknya senja, harapan itu tidak bertahan lama.

"Nggak boleh," Karina menekan ucapannya. "Bunda udah terlanjur bilang sama Jeng Tiara. Zion juga udah mengiyakan. Nggak enak kalau tiba-tiba dibatalin."

Siapa suruh buat kesepakatan sendiri? Batin Valeria kesal.

Sepertinya, Jerry dapat membaca suara hati Valeria karena abang ketiganya itu tiba-tiba berbisik pelan, "Kamu berangkat sama Zion dulu, ya?"

Valeria mencebikkan bibir. "Nggak mau."

"Hari ini aja," Jerry menepuk lembut puncak kepala Valeria. "Nanti pulang kerja abang bawain ice cream mint choco ukuran besar, deh."

Sebenarnya, Valeria masih kesal. Tetapi, ia tahu, emosinya tidak akan bisa merubah apa pun. Terlebih, tawaran Jerry lumayan menggiurkan. Jadi, demi ice cream mint choco ukuran besar, Valeria rela mengalah.

Valeria menghela napas berat. "Janji?" tanyanya sembari mengacungkan jari kelingking.

Jerry mengaitkan jari kelingkingnya dengan milik Valeria. "Janji."


***

"Tiga detik belum naik, gue tinggal."

Valeria mendongak, menatap kesal Zion yang sedang bercokol di motor Vixion hitamnya dengan gaya pongah. "Nggak lihat gue lagi ngiket tali sepatu?"

"Nggak lihat gue nggak peduli lo lagi ngapain?" balas Zion menirukan cara bicara Valeria.

Demi seluruh malaikat maut dan antek-anteknya yang buruk rupa, Valeria ingin sekali mendorong tubuh jangkung Zion sekuat tenaga hingga terguling-guling di aspal. Sayangnya, ia tidak memiliki kekuatan sebesar itu untuk menumbangkan Zion. Bisa-bisa, sebelum menjalankan rencana, malah dirinya yang terjerembab ke aspal karena kalah tenaga.

"Eh, kalau nggak niat nebengin, tuh, bilang!" sinis Valeria. "Lagian dari awal bukan gue yang minta—"

"Tiga."

"Harusnya tadi lo tolak—"

"Dua."

Valeria menggeram marah. "Bisa nggak lo dengerin gue—"

"Sa..."

"IYA-IYA SABAR!" Valeria buru-buru menyambar helm putih yang menggantung di kaca spion. "Lo pasti sengaja, kan?"

Sebelah alis Zion terangkat naik. "Apa?"

"Sengaja nggak bilang kalau kita tetangga. Padahal, kata nyokap gue, lo pindah ke sini udah hampir seminggu yang lalu sebelum masuk sekolah."

"Oh," Zion mengedikkan bahu cuek. "Gue udah pernah bilang."

"Kapan?" Valeria mengerutkan kening. "Kok, gue nggak inget?"

"Tempat percetakan," ujar Zion memberi clue.

Mulanya, Valeria tidak memahami maksud Zion. Namun, sekelebat ingatan tiba-tiba terputar di kepalanya. Zion memang pernah menanyakan soal tempat percetakan di dekat rumahnya. Tapi, saat itu, Valeria tidak benar-benar memedulikan maksud pertanyaan Zion.

"Ya, lo juga aneh banget, sih, nggak ada angin nggak ada hujan tanya tempat percetakan. Di deket rumah gue pula."

"Lebih aneh cowok yang tiba-tiba pinjemin lo payung."

Valeria tertegun. "Maksud lo Kak Doni?"

"Memang ada cowok aneh lain yang pinjemin lo payung selain dia?" balas Zion.

"Cowok baik," koreksi Valeria. "Kalau nggak baik, mana mungkin dia rela hujan-hujanan demi pinjemin payungnya ke gue."

"Itu namanya modus bukan baik," Zion mendorong pelan helm Valeria. "Gue tahu lo bego. Tapi nggak nyangka ternyata sebego ini."

"Eh, maksud lo apa ngata-ngatain gue kayak gitu?" Valeria berkacak pinggang. "Ngajak berantem?"

Zion tidak menggubris ucapan Valeria. Laki-laki itu bergegas menyalakan mesin motor, dan langsung melajukannya sesaat setelah Valeria menjatuhkan pantatnya di kursi belakang. Takut terjatuh, Valeria terpaksa memeluk erat ransel Zion. Sekejap melupakan pertengkaran yang sempat terjadi di antara mereka.


***


Valeria menyesal telah membiarkan dirinya duduk di boncengan motor Zion. Beberapa kali jantungnya nyaris keluar dari rongga tatkala Zion melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Tidak terhitung pula berapa kali Valeria menjerit tertahan melihat motor Zion terjebak di antara sebuah truk dan bus kota.

Andai saja pengemudinya oleng sedikit saja, Valeria yakin ban sebesar hampir separuh tubuhnya itu pasti akan langsung melindasnya habis. Untung saja kejadian mengerikan di kepala Valeria tidak terjadi lantaran Zion ternyata sangat ahli mengendarai motornya.

"Zi!" Valeria membuka kaca helmnya. "Setelah gue pikir-pikir mendingan gue turun duluan nanti!"

"Apa?" Zion ikut membuka kaca helmnya. "Nggak denger!"

"Jangan turunin gue di sekolah!" ulang Valeria.

"Kenapa?"

"Gue nggak mau ada yang salah paham lihat kita berangkat bareng!" Valeria mengibaskan tangan. "Turunin gue di deket sekolah aja."

Zion mengangguk kecil seraya kembali menutup kaca helm. Lima menit kemudian, tiba-tiba laki-laki itu menepikan motornya. Tingkah Zion membuat Valeria mengerutkan kening dalam.

"Kok, berhenti?"

"Turun."

Valeria membelalakkan mata. "Hah?"

"Tadi lo bilang nggak mau temen-temen salah paham, kan?" Zion menatap Valeria melalui kaca spion. "Lebih aman lo turun di sini."

"Tapi..." Valeria menoleh ke kanan dan ke kiri. "Bukannya ini masih jauh dari sekolah?"

"Lo nggak pernah hapalin jalan, ya? Tinggal lurus doang udah sampai sekolah. Deket banget, kok," Zion mengulurkan tangan kanannya. "Sini helm lo."

Valeria menyerahkan helmnya dengan ragu-ragu. Sebagai anak yang ke mana-mana selalu di antar, Valeria memang terbiasa tidak menghapal jalan. Tak jarang selama perjalanan Valeria lebih sering melamun atau menikmati pemandangan tanpa pernah benar-benar merekamnya dalam memori ingatan. "Beneran deket?"

"Deket," ujar Zion dengan bibir menyunggingkan senyuman simpul. "Gue duluan. Hati-hati di jalan."

Zion buru-buru melajukan motornya. Laki-laki itu bahkan tidak memberi kesempatan pada Valeria sekadar untuk mengucapkan terima kasih. Seolah, sudah tidak tahan tinggal berlama-lama dengan Valeria.

Jelas saja tingkah laku Zion memancing emosi Valeria. Tetapi, untuk sekarang, Valeria memilih tidak mempermasalahkan tingkah laki-laki itu.

Melihat jam masih menunjukkan pukul tujuh kurang tiga puluh menit, Valeria melambatkan tempo langkah kakinya. Pikirnya, masih ada banyak waktu untuknya menikmati pemandangan pagi sembari berjalan santai menuju ke sekolah.

Menit-menit pertama, Valeria sangat menikmati perjalanannya. Namun, setelah sepuluh menit berlalu, sinar matahari yang semula terasa menyenangkan mulai menyengat permukaan kulitnya hingga meninggalkan jejak kemerahan. Senyuman di bibirnya lambat laun sirna, luruh bersama dengan semangatnya yang perlahan padam.

Akhirnya, genap lima belas menit berlalu. Keringat sudah membasahi kening dan tengkuk leher Valeria, kulitnya terbakar, sedang betisnya terasa kebas. Bangunan demi bangunan, pohon demi pohon, gang demi gang telah Valeria lalui. Akan tetapi, sampai saat itu, bangunan bertingkat tiga yang sebelumnya Zion janjikan sudah dekat, tak kunjung terlihat.

Putus asa, Valeria menghampiri sebuah warung tenda biru di tepi trotoar. Ia memberanikan diri bertanya pada bapak berkumis yang sedang menikmati secangkir kopi dan tempe goreng di warung itu. "Maaf, Pak. Mau tanya SMA Pelita Harapan dari sini masih jauh nggak, ya?"

"Lumayan jauh kalau jalan kaki, Neng. Kalau naik kendaraan paling sepuluh menitan."

Jawaban bapak berkumis itu langsung membuat kedua kaki Valeria melemas. Padahal, tadi kata Zion jarak ke sekolah sudah dekat. Lantas, mengapa perjalanan panjang yang telah ia tempuh sejak tadi tidak juga membawanya sampai ke sekolah? Jangakan sampai, dekat pun tidak. Hanya ada satu jawaban yang terbesit dalam benak Valeria; Zion sedang mengerjainya.

Emosi Valeria telah mencapai batas. Namun, tidak tahu kepada siapa ia harus menumpahkannya. Entah pada Bunda yang membuat kesepakatan dengan orang yang salah, Zion yang menurunkannya sembarangan di tepi jalan, atau dirinya sendiri yang dengan bodoh bersedia mempercayai laki-laki itu.

Valeria ingin sekali meneror nomor Zion dengan ratusan pesan umpatan dan makian. Masalahnya, waktu yang ia miliki tidak banyak lagi. Sementara ia harus melupakan emosinya dan lebih fokus pada logikanya untuk segera memesan ojek online. Untungnya, walaupun Abang tidak pernah memperbolehkan Valeria naik ojek online, ia tidak menghapus aplikasi itu dari ponselnya.

Saat sedang khusyuk mengetik alamat di kolom penjemputan, tiba-tiba terdengar deru mesin motor menepi. Valeria masih fokus menatap layar ponsel, sampai akhirnya seseorang menegurnya.

"Valie?"

Panggilan akrab itu sontak menghentikan aktivitas Valeria. Perlahan ia mendongak, ingin memastikan tidak salah mengenali orang. Karena sejauh ini, hanya ada satu orang yang menyebutnya dengan panggilan itu.

"Kak Doni?" Valeria mengerjap beberapa kali. Tidak percaya dengan apa yang ia lihat. "Kok, bisa ada di sini?"

"Rumah gue di daerah ini. Kalau lo?" Doni menatap Valeria dengan pandangan menelisik. "Perasaan gue nggak pernah lihat lo berkeliaran di sekitar sini. Atau gue yang salah? Jangan bilang ternyata rumah lo deketan sama rumah gue?"

Andai bisa memilih, Valeria akan dengan senang hati tinggal berdekatan dengan Doni. Sayangnya, takdir lebih suka melihatnya sengsara daripada senang. Tidak heran jika di antara 273,52 juta jiwa di Indonesia, takdir mengutus Zion sebagai tetangganya.

"Salah kasih alamat ke ojek online. Mau ke sekolah tapi malah diturunin di sini," dusta Valeria.

"Loh, terus driver ojeknya ke mana sekarang?"

"Udah pergi."

"Dia nggak mau nganterin kamu ke alamat yang bener?" melihat Valeria menggelengkan kepala, Doni berdecak kesal. "Ya ampun, nggak punya hati banget."

Valeria mengangguk setuju. Di kepalanya terbayang wajah Zion saat sedang membohinginya beberapa menit yang lalu. Valeria bersumpah akan mencari cara agar Zion membayar perbuatannya hari ini. Dengan harga mahal tentu saja.

"Ayo."

"Hmm?" Valeria menaikkan kedua alisnya. "Ke mana?"

"Ke sekolah dong cantik. Masa ke tempat wisata?" tanya Doni dengan nada jenaka. Tindakannya melukis rona merah di pipi Valeria.

"Sini." Doni mengulurkan tangan, membantu Valeria naik ke boncengan motornya. Setelah memastikan Valeria duduk nyaman, barulah laki-laki itu melajukan motornya.

Perlakuan Doni tanpa sadar membuat Valeria membandingkan laki-laki itu dengan Zion. Doni diibaratkan seperti pangeran berkuda putih, sedangkan Zion penyihir jahat yang egois dan senang melukai semua orang. Namun, meskipun jahat, Valeria ingin berterima kasih pada penyihir itu. Berkatnya, pagi ini Valeria dapat menghabiskan waktu lebih lama dengan pangeran berkuda putih.

***

Continue Reading

You'll Also Like

846K 24K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
2.1K 192 5
Retorika kosong. Opini-opini gila menghantam ego-ego yang lupa mengamati. Penghakiman menjadi jongos para nurani yang menolak mengerti. Segala sesuat...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

4.3M 252K 54
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
12.2K 3.2K 68
Sejalan, tak searah. Nachandra Renjana dan Naraya Hysteria adalah dua remaja yang terbelenggu dalam trauma masa lalu. Tentang kehilangan orang-orang...