VIA Bagian Pertama

By dirgita

171 1 0

Terlahir dengan kemampuan telekinesis, membuat Via tak leluasa dalam bergaul. Bahkan akibat kemampuan itu, ia... More

01 - panas
02 - galau
03 - jengkel
04 - ragu
05 - pahit
06 - gundah
07 - cemas
08 - takut
09 - cukup
10 - usil
11 - bodoh
12 - konyol
13 - gemas
14 - aneh
15 - risih
16 - curiga
17 - palsu
VIA Bagian Kedua

18 - licik

7 0 0
By dirgita

Mita baru tiba di meja kerjanya. Belum ia duduk, Yasmin lekas-lekas bangkit dan mendekat.

"Eh, eh!" tegurnya. "Aku dapat kabar angin. Katanya, kau pacaran dengan mahasiswa sini. Apa itu benar?" Gosip tentang Mita sudah ia dengar sejak kemarin. Namun, baru kali ini ia bisa berjumpa dengan orang yang bersangkutan. Ia bisa saja tanya via chat, tapi bertanya langsung jauh lebih gereget.

"Aduh?" Mita pura-pura kaget. Lalu, dirinya pun menyahut enteng, "Kalau sudah cinta, mau diapakan lagi?"

Yasmin geregetan. Ingin ia jewer kedua pipi Mita. Dosen baru itu tiba-tiba saja bertampang lugu. Kontras dengan pembawaannya selama ini yang dikenal anggun.

"Tapi, apa kau tidak kasihan dengan pacarmu? Aku dengar juga, ia kadang dikerjai di kelas."

Mita mendesah. Ia lalu berucap dengan suara yang mudah didengar siapa saja dalam ruangan itu, "Aku pernah tanya dengannya siapa yang suka berbuat tak baik padanya di kelas. Kau tahu apa yang ia jawab?"

Yasmin menggeleng.

"Tidak apa-apa. Itu bukan masalah besar. Aku tidak suka membesar-besarkan masalah."

"Wah..., dia bilang begitu?" Yasmin seolah takjub.

"Iya," jawab Mita bangga. "Dia itu memang lebih muda, tapi jiwanya lebih bijak dibanding orang-orang yang katanya sok intelek. Orang-orang yang hanya bisa merundung orang lain, itu menandakan bahwa mereka bukanlah lelaki sejati. Aku sangat-sangat benci orang-orang seperti itu."

"Ouh...!" Yasmin manggut-manggut.

Bagi beberapa dosen pria yang ada di sana, ucapan Mita amat menohok. Mita pun tersenyum puas di lubuk hatinya.

"Ini adalah perbuatan licik pertama yang pernah aku lakukan," batinnya kemudian.

***

Toilet kampus. Seorang mahasiswi tengah merapikan dandanannya ketika isak tangis sayup-sayup terdengar. Ia segera berpaling pada temannya yang sudah siap untuk pergi.

"Hei, kamu dengar?" tegurnya.

"Dengar apa?" balas temannya yang berambut pirang.

"Sepertinya, ada yang menangis."

Keduanya memasang kuping. Tangis yang semula sayup, pelan-pelan mulai terdengar jelas. Seperti berasal dari sebuah bilik paling ujung di toilet. Pelan-pelan, mahasiswi yang hendak berdandan itu mulai meninggalkan cermin. Temannya yang pirang mengekor.

"Halo. Siapa itu? Anda baik-baik saja?"

Tidak ada yang menyahut. Tangis dari kamar paling ujung semakin jelas. Mereka terus mendekat.

Namun, teringat akan sebuah kisah, mahasiswi berambut pirang tiba-tiba berhenti. Lengan sang teman ia rangkul erat-erat, hingga tak mampu terus melangkah.

"Jangan gegabah, Agnes. Kau tak pernah dengar cerita tentang toilet ini?"

Sang teman dengan rambut hitam sebahunya hanya menggeleng.

"Pernah ada yang bunuh diri di toilet ini. Di kamar itu. Walau sudah tiga tahun, aku rasa arwahnya masih gentayangan." Beberapa mahasiswi yang ikut kegiatan malam di kampus mengaku pernah melihat seorang gadis berambut panjang menyelonong masuk ke kamar itu. Setelah masuk, tidak pernah keluar lagi.

"Ah, mustahil. Ini masih siang. Mana ada hantu siang bolong begini."

"Ini zaman modern. Siapa tahu, hantu tidak hanya keluar malam."

"Ada-ada saja." Agnes berbalik hendak ke luar.

Mahasiswi berambut pirang tersebut kembali menahan. "Untuk memastikan saja. Coba kamu lihat kakinya."

Meski tak percaya, Agnes akhirnya pelan-pelan merebahkan tubuh mendekati lantai. Ia mengintip dari celah pintu di bagian bawah. Dan seketika itu, ia membelalak dan kembali berdiri.

"Bagaimana?"

"Kakinya tak kelihatan!"

"Sudah kubilang, itu hantu!"

"Kau ini!" sanggah sang rekan. "Siapa tahu cuma mahasiswi biasa. Orangnya duduk di atas kloset."

Mahasiswi berambut pirang tersebut tidak ingin ambil risiko. Jika benar hantu, bagaimana nasib tidurnya nanti malam? Maka, ia pun mengusulkan untuk mencari seorang mahasiswa.

Apes, Alwi melintas di depan toilet ketika mereka keluar. Lebih apes lagi, keduanya mengenal Alwi karena berada dalam satu jurusan dan satu kelas. Berdasarkan faktor tersebutlah, keduanya kemudian menyeret Alwi masuk ke dalam toilet.

"Cepat, Alwi! Cepat! Ada hantu!" gegas mahasiswi berambut pirang. Tak sadar ia memeluk erat lengan Alwi sembari menunjuk-nunjuk bilik toilet paling ujung.

"Hantu apa? Belum tentu!" protes Agnes.

"Lalu, hubungannya denganku?" sisip Alwi. "Kalau memang hantu, kalian tinggal lari saja. Kenapa harus membawaku masuk toilet? Reputasiku terancam kalau-kalau orang lain tahu. Kau juga, Mutia! Kenapa peluk-peluk?"

Sang gadis berambut pirang cemberut. Terpaksa dilepasnya lengan Alwi.

"Sudah, reputasimu sudah hancur," ujar Agnes. "Tadi, banyak yang lihat waktu Mutia menyeretmu kemari."

Alwi menepuk jidat dan menggeleng-geleng.

"Mutia takut kalau benar ada hantu. Aku mau buktikan bahwa yang menangis di toilet bukan hantu. Kau ada di sini supaya Mutia berani saja."

"Tapi, tangis itu sepertinya tidak lagi terdengar." Mutiara, mahasiswi berambut pirang, mengajak teman-temannya untuk membisu barang sejenak.

Benar saja. Suara tangis yang sempat sayup-sayup itu kini sudah menghilang. Mutiara semakin yakin bahwa itu adalah tangis hantu, arwah penasaran mahasiswi yang dulu bunuh diri di toilet ini.

"Pasti bukan!" Tidak mudah bagi temannya untuk yakin bahwa tadi adalah tangis hantu. Cepat saja ia meraih gagang pintu bilik toilet tersebut. Begitu gagang diputar, pekik Mak Lampir menggema dari dalam.

Mutiara begitu saja terkulai mendekap Alwi. Sementara Agnes, tanpa sadar melenting mundur dengan wajah pucat.

Alwi yang pada mulanya turut tersentak, dengan sigap menguasai perasaan. Dengan rasa penasaran yang tiba-tiba muncul, ia mengambil alih membuka pintu. Saking kencangnya ia memutar gagang, rumah kunci sampai terbengkas.

Tampaklah seorang gadis tengah duduk jongkok di atas kloset yang masih menutup. Ia hendak mendekatkan ponsel ke telinga ketika pintu terbuka. Mata gadis itu merah. Pipinya basah. Ulah Alwi membuatnya kaget.

"Wiwid?"

Begitu tahu yang membuat teman-teman satu jurusannya takut setengah mati tak lain tetangga di samping rumah, Alwi tak kuasa menahan geli di perut. Puas menertawai Wiwid, giliran ia iba terhadap gadis itu. Diajaknya Wiwid ke kantin. Setelah Mutiara membuka mata karena gelak tertawa Alwi, kedua teman satu jurusannya itu bergegas pamit.

"Aku akan dijodohkan...!" Akhirnya, setelah nyaris lima menit hanya memandangi segelas teh es di depannya, Wiwid membuka mulut. Alwi sendiri makin terenyuh karena mata Wiwid yang sembab. Kira-kira, sudah setengah jam ia menangis di toilet. Ditambah lagi, kemarin malam ia juga lebih memilih menangis berjam-jam sampai akhirnya tertidur. Kabar bahwa sang ayah akan menjodohkannya, seakan membuat dunianya rontok.

"Dijodohkan dengan siapa?"

Wiwid menjawab lunglai, "Aku tak mau bahas...!"

"Kalau begitu, minumlah es tehmu. Aku sudah mengeluarkan uang lima ribu rupiah untuk mentraktir. Jangan sia-siakan. Siapa tahu, perasaanmu jadi lebih dingin."

Wiwid melirik tak semangat gelas bening berembun di depannya. Meski dengan tusukan mata tak berminat, tangannya justru meraih sedotan, lalu mulai menghirup teh es hingga habis separuh.

"Oh iya...." Alwi merogoh kocek, menaikkan benda mungil yang sangat Wiwid kenal. Boneka beruang yang kemarin ia hadiahkan kepada Alwi, kini telah duduk manis di atas telapak tangan kanannya.

"Kau bilang, boneka ini melambangkan keamanan. Aku rasa, yang perlu keamanan sekarang adalah dirimu. Semoga dirimu bisa selamat dari perjodohan itu."

Wiwid tercenung. Apakah Alwi balas mengerjainya? Ia menoleh pada Alwi. Tatapan pemuda itu sepertinya sungguh-sungguh. Sungguh-sungguh bodoh.

***

Bisa dikata, jalan bareng malam ini adalah suatu rapat koordinasi. Mita dengan bangga memberi laporan bahwa telah berhasil membuat orang-orang iseng itu berhenti mengiriminya bunga. Begitu pula dengan pesan-pesan sok romantis yang pernah ia ceritakan. Begitu saja tidak pernah lagi menyambangi ponsel.

Alwi tak ketinggalan melapor. Beberapa oknum dosen yang kemarin sinis, kini berubah manis.

"Itu berarti, kerja sama kita berhasil," simpul Mita.

"Sampai kapan kita akan begini?"

"Hm...?" Mita terlihat menimbang-nimbang. "Mungkin, sampai kau lulus."

"Mustahil!" Alwi terperanjat. "Paling cepat aku lulus tiga tahun lagi!"

"Mau bagaimana lagi?" Mita tersenyum. "Kalau kau cepat lulus, aku yang bingung. Berpindah ke lain hati itu tidak mudah." Untuk melengkapi sandiwara mereka, Mita sampai harus belajar menggombal.

"Kalau harus sampai selama itu, bagaimana hubunganku dengan Danti, Bu?"

Dengan sok polos, Mita menjawab, "Wah, aku belum berpikir sampai sejauh itu."

"Ibu ini bagaimana, sih? Jangan-jangan, Ibu tidak niat menolongku?"

"Eh? Jangan main tuduh sembarangan. Aku ini orangnya selalu menepati janji. Asal kau tahu. Aku sekarang sedang cari informasi tentang gadis pujaanmu itu. Jadi, kusarankan kau untuk bisa lebih percaya pada kekasihmu ini."

Alwi mendesah, "Terpaksa...."

Mita justru tertawa renyah. "Ternyata, enak juga hubungan kita yang sekarang."

"Enak dari mana? Enak dari Hong Kong!" gerutu Alwi.

"Dih!" Mita menyenggol pelan Alwi. "Kapan lagi, kan, bisa pacaran dengan orang yang manis, baik hati, rajin menabung, dan tidak sombong?"

Alwi geleng-geleng. "Ngelunjak."

"Eh, iya. Setahuku, cowok-cowok itu akan selalu nurut yang diminta pacarnya."

"Itu info dari mana?" tanggap Alwi.

"Begini-begini, aku juga pernah pacaran, Alwi. Waktu SMA dulu."

"Ibu jangan banding-bandingkan saya dengan pacar Ibu yang lama."

"Kamu cemburu?" Mita lagi-lagi menyenggol Alwi.

"Nggak."

"Ya, sudah. Kalau begitu, aku mau kau ke kios yang ada di seberang. Belikan aku es cendol."

"Es? Malam-malam begini?"

"Kebiasaan burukku. Kau harus bisa terima."

"Kalau begitu...," Alwi menyodorkan tangan dengan telapak menengadah.

"Kau bokek? Ya, ampun. Bikin malu!" Mita menarik selembar lima puluh ribu rupiah dari dompet. "Kalau mau, kau juga boleh beli es cendol untukmu. Kembaliannya juga ambil saja. Untuk ongkosmu pulang."

Meski sedikit merasa diejek, Alwi tanpa sungkan menarik dan mencium tangan Mita. Hitung-hitung upah kerja.

"Terima kasih, Bu!" ucapnya haru.

Mita tiba-tiba menggetok ubun-ubun Alwi. "Sudah kubilang, di luar sini, jangan panggil aku 'Ibu'!Tingkahmu juga tolong dikondisikan. Selain mengundang curiga, aku juga merasa...."

"Merasa apa?" Alwi mengusap-usap kepalanya usai digetok. Tak sakit, tapi membuat kaget.

"Aku sudah dandan begini, loh!" protes Mita. "Masak masih dipanggil 'Ibu'?" Dirinya sudah merasa cocok dengan outfit yang dipinjamkan kemarin. Sepulang dari kafe, setelan itu langsung ia tawar. Paginya ia cuci, malamnya ia pakai lagi.

"Ya, ya, ya!" Alwi ngeloyor. Ia menyeberang setelah menunggu sebuah mobil sedan hitam melintas.

***

Selain ditraktir oleh Alwi, amplop pemberian Mita sepulang kuliah turut andil membuat hatinya sedikit teduh. Namun, Wiwid tetap tidak menyangkal bahwa ia masih merasa gusar. Perjodohan itu. Akankah tetap terlaksana? Wiwid tidak ingin hidup bersama orang yang tidak ia cintai. Pasti rasanya sangat tidak enak. Neraka dunia.

"Bapak orangnya kolot!" Wiwid menggerutu. Tubuhnya membentang di tempat tidur. Matanya jauh menerobos langit-langit kamar.

"Apa aku harus bikin konspirasi seperti Ibu Mita?" Selintas ide licik terbersit di kepalanya. "Bagaimana kalau pura-puranya aku dan Alwi memang benar-benar pacaran? Lalu, kami sudah...." Wiwid terbatuk-batuk. Ia sendiri kaget mampu berpikir jorok. "Bapak pasti batal menjodohkanku. Alwi sungguh malang."

Terdengar deru mesin mobil yang segera senyap. Itu pasti Kijang Bapak. Pasti ada urusan penting, sampai-sampai pulangnya semalam ini. Jangan-jangan, Bapak menemui sohibnya untuk membicarakan perjodohan kedua anak mereka.

Terdengar pintu mobil bagai dibanting. Wiwid terkaget. Ada apa dengan si Bapak? Bapak juga tahu-tahu masuk rumah memanggil Ibu. Kedengarannya jengkel.

"Ada apa, Pak? Pulang-pulang, kok, bawa muka jeruk?" sambut Ibu.

"Edan! Anak muda sekarang edan!"

"Edan kenapa?" Ibu menyodorkan segelas air putih, supaya sang suami agak mendingan.

"Ibu tahu anak temanku yang ingin Bapak jodohkan dengan Wiwid?"

"Iya, Bapak sudah cerita kemarin. Yang sarjana itu, kan? Yang ganteng. Sekarang sudah kerja. Gajinya lima kali UMR. Memangnya, ada apa dengan anak itu?"

"Edan! Dia kecelakaan dulu dengan anak orang lain."

"Innalilahi waina ilaihi rojiun...."

"Bukan mati, Bu! Tapi hamil! Di sudah lebih dulu bikin hamil anak orang. Rencananya, minggu depan dia nikah. Edan! Edan! Edan!"

Di kamar, Wiwid merem-melek. Kabar yang ia dengar, apakah mimpi atau nyata? Setelah mencubit pipi sendiri, ia yakin bahwa ini bukanlah mimpi. Ketika baru ingin melonjak girang, pekik Mak Lampir tiba-tiba melantun. Buru-buru, ia sambut sang penelepon. Rupa-rupanya dari Mita.

Malam-malam begini, ada apa gerangan?

Continue Reading

You'll Also Like

Hostium (END) By Keila

General Fiction

1.2M 58.9K 47
Reanka adalah gadis pendiam dengan sejuta rahasia, yang hidup di keluarga broken home. Di sekolahnya ia sering ditindas oleh Darion Xaverius. Reanka...
JAKA EL WILSON By RIPKI

Historical Fiction

1K 130 30
Jaka El Wilson adalah seorang kesatria yang memiliki darah campuran Jawa × Inggris. Banyak sekali masa-masa sulit yang dialaminya dari ia kecil hingg...
1K 155 44
Kumpulan tugas cerita pendek Mi Casa
20.1K 1.4K 43
Jika memang kau datang karena sebuah kesalahan, maka aku siap menerima kesalahan itu dalam kehidupanku. Hanya kau yang berhasil membuatku menjadi ora...