Metallospaera

Door _Bearcy_

11.3K 934 337

Zombie Escape [Boboiboy Fanfiction] Meteor jatuh ke bumi. Ilmuwan menemukan banyak kandungan pada meteor itu... Meer

[Awal]
[ 1. Game Dimulai! ]
[ 2. Misi Menyelamatkan Adik ]

[ 3. Reuni yang Mengharukan ]

1.7K 180 117
Door _Bearcy_

[Reuni yang Mengharukan]

•́⁠ ⁠ ⁠‿⁠ ⁠,⁠•̀

"Demi apapun, gue mau tobat sekarang."

Ice menangis dalam hati-- tidak, sekarangpun, matanya sudah berkaca-kaca.

Ia menoleh ke belakang. Menatap segerombolan mayat hidup yang meraung buas. Helaan nafas pasrah keluar dari bibir Ice. Bila kaca tipis tak menghalangi, tak bisa ia bayangkan raganya akan menjadi menjijikkan seperti mereka.

Ice mengingat-ngingat kejadian beberapa menit lalu, dimana saat itu ia sedang terpojok. Ice bersyukur diberi otak pintar sejak lahir. Begitu ia memanfaatkan detik-detik terakhir, Ice dengan cepat melesat keluar melalui jendela, yang hanya berjarak beberapa senti, tak terhubung dengan koridor. Dan sialnya lagi, berada dilantai tiga.

Iya, Ice sadar ia selamat dari puluhan zombie itu karena beruntung. Dan kini, Ice tidak tahu keberuntungan akan kembali datang kepadanya atau tidak.

Karena kini, ia sedang berada diambang maut.

Dengan bermodalkan pijakan kecil yang kurang dari ukuran sepatunya, Ice menempelkan punggung serekat mungkin pada jendela. Mengabaikan dobrakan para zombie dari balik kaca, yang terasa sampai ke punggungnya. Sampai merasa yakin bahwa kaca itu sebentar lagi akan pecah.

Jika terpeleset sedikit, ia akan mati.

Jika kaca itu pecah, ia akan mati.

Jika berdiam diri, ia akan mati.

Tempo nafasnya menjadi cepat dan kuat. Keringat mengalir disekujur badan. Jantungnya berdegup sangat kencang.

Ice menggigit bibir bawah. Menetralkan deruh nafas. Berujar kepada diri sendiri, bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Seraya berpikir, Ice melirik ke bawah, melihat lapangan hijau yang sudah dipenuhi oleh zombie. Berjalan tak tentu arah, sedang mencari mangsa. Ada yang masih menggerogoti sisa bagian tubuh manusia. Ada pula yang jalannya mengesot karena tak memiliki kaki.

Satu kata, mimpi buruk.

"Oke, tenang, Ice. Kalau ajal lo bukan di sini, lo gak akan mati."

Dengan sangat amat perlahan, Ice menyeret diri ke samping, menuju tembok penyangga gedung. Nafas tertahan. Seolah jika ia tidak melakukan itu, kesialan akan menghampiri dirinya.

Gerakannya terhenti. Jantung terasa berhenti berdetak tatkala merasakan retakan pada kaca, tempat punggung Ice menempel. Tak butuh waktu lama untuk mendengar suara retakan yang lebih kencang.

Firasatnya buruk. Tak peduli akan hidup dan mati, Ice bergerak cepat, lalu segera melompat memeluk tiang tebal itu, bertepatan dengan nyaringnya suara pecahan kaca.

Kristal tajam bertebangan. Disusul satu-persatu zombie jatuh akibat kerakusannya, ingin berusaha menggapai Ice. Hingga zombie tak lagi jatuh, hanya tangan dan kepala yang muncul, memenuhi lubang pecahan kaca, masih ingin menggapai kaki Ice yang hanya berjarak seperempat meter.

Ice merinding setengah mati. Sekuat tenaga, kaki kanan dan kirinya berada disetiap sisi tiang, menahan bobot tubuh. Pelukan pada tiang dipererat. Begitu ia sudah memantapkan diri, Ice dengan cepat memutar tubuh ke sisi kiri. Punggungnya kembali menempel pada jendela.

Niat hati ingin masuk ke dalam, berharap jika ada beberapa murid yang berlindung di sana. Namun, niatnya diurungkan tatkala melihat kondisinya, membuat Ice menghela nafas kasar. Ternyata sama seperti kelasnya.

"Duh, adek-adek gue apa kabar, ya?"

Tiba-tiba terpikirkan dalam benak Ice. Padahal, nyawanya disini sedang sangat terancam. Tapi, kan, gawat, jika kedua adiknya sudah menjadi mayat hidup.

Kata Ice, itu adalah kematian yang sangat tidak elit.

Semakin panik pula ketika mengingat bahwa Thorn dan Solar tidak bisa beladiri. Dua anak bungsu. Penakut. Manja. Cengeng.

Tunggu, bagaimana dengan kakak-kakaknya?

"Kan, mereka jago beladiri. Kuat. Gagah. Berani. Zombie segini, mah, kecil." Ice kembali menghibur diri. Padahal, mereka memang kuat, kok.

Sudah memutuskan apa yang harus ia lakukan, dengan ekor mata, Ice melirik lantai dua.

Kembali menahan nafas, Ice berjalan menyamping ke sisi kiri. Ia usahakan untuk tetap serekat mungkin pada kaca. Begitu sampai, Ice langsung memeluk tiang tebal itu dan berpindah ke sisi yang lain. Saat mengintip ke dalam, kondisinya masih tetap sama.

Jika semua kelas begitu, apakah toilet yang jarang dikunjungi dan selalu tertutup akan seperti itu pula?

Dinding dengan satu kaca terlihat dari balik tiang penyangga. Itu toilet. Ice berpindah tempat dengan melakukan hal yang sama dan mengintip ke dalam.

Kosong. Darahpun tak ada.

Ice mendesah lega. Tapi, tujuannya bukan toilet lantai tiga. Melainkan, toilet yang berada tepat di bawahnya. Toilet kelas dua.

Ice terdiam sejenak. Berpikir keras bagaimana ia bisa turun ke lantai dua. Lantas, Ice berbalik, wajahnya menghadap dinding, menjaga keseimbangan dengan memegang tiap ujung jendela. Dengan gerakan cepat, Ice berjongkok, kedua tangannya memegang tempat berpijak, membawa tubuhnya ke bawah hingga membuatnya bergelantungan.

Saat sudah dalam posisi itu, Ice baru sadar jika jendela pasti terkunci dari dalam. Ice mengutuki diri.

Masih dengan posisi bergelantungan, kakinya menendang jendela. Langsung terbuka. Tidak terkunci. Astaga, apa ia harus berterima kasih kepada murid pembuat onar? Yang selalu merokok di toilet? Atau ini sepenuhnya keberuntungan Ice?

Begitu Ice melempar tubuhnya masuk, raganya langsung terjungkal ke belakang. Seolah tak sanggup lagi menompang berat badan. Kakinya sudah seperti jelly. Gemetar hebat. Nafasnya kembang kempis. Netra birunya menatap hampa langit-langit toilet yang redup.

Tak lama, Ice menegakkan tubuh. Mengedarkan pandangan untuk mencari senjata tajam. Tunggu, apa yang ia harapkan dari toilet? Senjata api? Pisau?

Jika tak menemukan benda tajam, maka, Ice membuat senjata sendiri dengan mematahkan sapu kayu hingga ujungnya menjadi tajam.

Ia tahu ini gila. Melawan segerombolan mayat hidup hanya dengan benda kayu yang tak sepenuhnya berguna.

Tapi, asalkan demi saudara-saudaranya, ia akan menjadi orang tegila, tersinting, ternekat, dan terbodoh dibanding siapapun. Tak peduli jika ia dicap orang paling sinting sedunia.

Ice memegang gagang pintu. Jantungnya kembali berdegup kencang. Ragu, ia mengubah posisi menjadi berjongkok. Seusai meneguk ludah kasar, Ice membuka pintu dengan perlahan. Mengintip dari sela pintu yang sangat amat kecil. Setelah memastikan para zombie jauh dari jangkauan, Ice keluar. Dengan cara merangkak, ia mengendap-endap sepelan mungkin.

Tungkainya langsung lemas melihat dua zombie menghadang. Berjalan kaku, tak tentu arah. Kecapan liur dan raungan memberi kesan jijik. Usus salah satu dari mereka bergelantungan.

Ice langsung menutup mulut. Entah agar tidak mengeluarkan suara atau menahan sesuatu yang akan keluar dari perutnya.

Ketika kedua zombie itu membelakangi, Ice langsung mengambil kesempatan untuk kembali berjalan. Manik biru lautnya terlalu fokus dengan gerak-gerik kedua zombie itu. Membuatnya lupa jika zombie di sini tak hanya dua butir saja.

Hingga pandangannya kembali fokus ke depan, Ice menemukan sepasang kaki lusuh. Berhenti tepat di depan wajahnya.

Meneguk ludah kasar, dengan patah-patah, Ice mengangkat kepala. Teriakan nyaring tak bisa ditahan ketika berkontak mata dengan wajah menjijikkan itu. Apalagi saat mayat hidup itu ikut meraung kencang. Seolah sama-sama terkejut.

Ice langsung membungkam mulut saat menyadari apa yang sudah ia lakukan. Namun na'as. Suara nyaring yang ia hasilkan langsung menarik semua zombie, dari segala sisi, untuk berlari ke arahnya.

Seusai menusuk kepala zombie di depannya, dengan susah payah Ice berdiri dan berlari sekencang mungkin. Menghindari para zombie yang menghadang. Atau menusuk kepala zombie ketika tak bisa lagi dihindari. Sesekali Ice menoleh ke belakang. Menemukan segerombolan zombie yang mengejarnya dengan brutal. Tak lupa dengan raungan buasnya. Lantas, ia langsung mempercepat tempo larian hingga melebihi batas kemampuannya.

Kelas Thorn dan Solar sudah tak jauh. Hingga hanya beberapa senti, hampir saja Ice membuka pintu kelas kedua adiknya yang sudah dipenuhi oleh zombie. Dengan perasaan yang berkecamuk, Ice kembali lari dari kejaran para zombie.

Tak mungkin 'kan, Thorn dan Solar sudah menjadi seperti 'mereka'?

Tak mungkin pula 'kan, dua dari segerombolan para zombie yang sedang mengejar, adalah adik-adiknya?

Pikiran Ice langsung dipenuhi hal-hal negatif. Sampai tak menyadari jika dirinya sudah terpojok.

Dengan pasrah, ia menyandarkan diri pada tembok. Memandang hampa para zombie yang sudah semakin dekat. Senjata kayu sudah lama terjatuh dari genggaman.

Ia gagal melindungi adik-adiknya.

~

Tak terhitung sudah berapa kali matanya hampir tertutup sempurna. Tak terhitung juga sudah berapa kali perutnya bernyanyi minta diisi.

Lapar. Suntuk. Ngantuk.

Solar menguap kecil. Tak kuasa menahan semua hal yang akan bergelojak, ia bangkit dari duduk di lantai, merenggangkan otot-otot. Setidaknya, dapat membuat tubuhnya sedikit lebih segar.

"Dek, laper, ya? Kakak juga."

"Aku, sih, bosen."

"Gak ada yang nanya lo, Bocah Ijo."

"Kakak juga Ijo."

"Lo lebih Ijo."

"Aku imut, kok."

"Kakak lebih--"

"Gue laper, bosen, suntuk! Bisa langsung mati aja gak, sih?" sela Solar dengan nada tinggi. Berniat untuk menghentikan adu bacot kedua manusia hijau tersebut.

"Solar! Kok gitu?"

"Bercanda, kak."

"Mau ke kantin, gak?" Ajak Sori seolah tak terjadi apa-apa.

"Ayo-- eh, serius?" Solar melongo.

"Serius. Ayo, cari senjata dulu." Sori bangkit dari duduk di atas meja. Mulai menggeledah setiap sudut ruangan. Tak lupa memeriksa kolong meja.

"Nanti mati gimana?"

"Kalau takdir lo hidup lama, mau digigit, pun, pasti bakalan kebal. Atau jadi manusia setengah zombie gitu."

Memasang wajah datar, hampir Solar ingin berceletuk tatkala merasa tak asing dengan lontaran yang baru saja Sori keluarkan.

"Anjir, kak Thorn, bang Ice apa kabar?" ujar Solar. Alisnya menekuk. Menatap Thorn lekat. Perutnya sedikit mual lantaran dilanda kepanikan.

Thorn langsung menepuk dahi. "Iya, ya. Ayo, kita cari, Sol!"

"Tapi kalau udah jadi zombie gimana?!"

"Kebiasaan banget suka mikir kayak gitu!"

"Tunggu, Ice anak 12 IPA 2, bukan? Yang tukang molor? Judes? Bau iler?" celetuk Sori dalam keadaan sedang berjongkok di depan kolong meja.

"Kak Ice bau bayi, kok!"

"Gak judes, sih, sebenarnya. Lebih ke males ngeladenin aja-- eh, iya! Yang itu! Sebelumnya bang Sori lihat gak?"

Mendapat pisau kecil-- yang mungkin digunakan untuk pelajaran prakarya-- Sori tersenyum senang. Menegakkan diri sebelum menghadap kedua kembar seutuhnya. "Kakak lihat, sih, dia lagi tidur dibangku. Kayaknya sampe sekarang masih."

"Udah bukan 'masih', dah jadi zombie kali." Solar menimpal dengan wajah murung. Langsung meringis ketika merasakan cubitan pada pinggangnya.

"Dibilang jangan suka mikir gitu. Bang Ice pasti masih hidup, kok! Dia 'kan, kuat, gagah, berani."

Ucapan Thorn begitu kontras dengan sifat sang kakak yang ia kenal. Bahkan, Solar tak dapat membayangkan jika Ice, yang sudah seperti bersaudara dengan mayat hidup itu menjadi 'kuat, gagah, berani'. Hal itu membuat Solar tersenyum kecut. "Sshh... iya, iya, Bang Ice masih hidup."

Lantas membuat Thorn sumringah dan melepas cubitan mautnya. Membuat Solar mendesah lega.

"Dek Thorn, lo ada gunting 'kan?" Sori mendekati Thorn dan Solar.

"Ada."

"Oke. Jadi pisaunya untuk dek Solar, ya."

Jengah dengan panggilan 'adek', Solar menerima pisau kecil dari genggaman Sori dengan ogah-ogahan. Ayolah, bahkan kakak-kakaknya tidak pernah memanggil dengan embel-embel seperti itu!

"Bisa jangan manggil 'dek', gak? Lo jadi kelihatan kayak om-om pedo yang suka nge'halo dek'."

"Kok, lo tau banget? Pengalaman pernah digituin, ya? Atau sering?"

"Anjing," umpat Solar setelah mendapat tuduhan yang tidak-tidak.

Sori terkekeh kecil. Begitu selesai dengan tawanya, Sori mengintip keadaan di luar melalui jendela. Setelah memastikan semuanya aman, ia mulai menjauhkan satu-persatu meja yang menghalangi pintu.

"Sini, bantu, tapi jangan berisik."

Lantas Solar dan Thorn langsung membantu.

"Bang, senjata lo apa?" tanya Solar ketika semua meja sudah disingkirkan. Ia menghentikan Sori saat kakak kelasnya mengambil ancang-ancang untuk langsung menerobos keluar.

"Nah, dek Solar gak tau 'kan," jawab Sori dengan senyum sumringah.

"Iya, mangkanya gue nanya." Berusaha mengabaikan panggilan 'dek', Solar tersenyum lembut (terpaksa). Seolah kesabarannya sedang diuji oleh Sori.

"Lo percaya gak anak kelas sepuluh udah bawa senjata gelud ke sekolah?"

"Gak, sih."

"Sama, kakak juga." Sori langsung mengeluarkan sebuah knuckle besi dengan ujung besi tajam di atas setiap lubang. Lalu menyelipkan empat jarinya diantara lubang yang tersedia.

"Anjay." Solar bersiul antara kagum dan tak percaya.

Ketika pintu dibuka, Sori menimbulkan kepalanya. Menoleh kekanan-kekiri. Merasa sudah 'oke', ia  memberi kode rahasia melalui gerakan tangan. Dengan direspon anggukkan antusias oleh Thorn--yang sebenarnya pura-pura mengerti. Dan tatapan jengah oleh Solar.

Mereka keluar berbarengan. Berjalan ke arah kiri untuk menuju kantin. Dengan Sori menjaga bagian depan. Dan kedua kembar menjaga belakang. Saling memunggungi.

Di tengah perjalanan, Sori melihat seorang zombie yang menghalangi, sedang membelakangi. Lantas langsung berhenti membuat dua orang yang berjalan dengan langkah mundur sedikit merosot ke bawah. Kaget.

"Ada satu zombie di arah jam dua belas," bisik Sori.

Solar dan Thorn mengangguk mengerti.

Sori mengendap maju. Langsung mencekik leher zombie itu dengan satu tangan sebelum menghantam kepalanya dengan tinju, yang sudah terpasang knuckle. Sampai kepalanya hancur lebur.

Memilih mengabaikan bau amis akibat darah menempel di baju, Sori mengacungkan jempol. Seolah tak terjadi apa-apa.

Mereka terus berjalan dalam posisi itu sampai tiba dijalan masuk utama gedung, terhubung menuju lapangan. Pintu kaca yang biasa digunakan untuk menutup jalan, pecah berkeping-keping. Ketiganya bersembunyi di balik dinding. Sori sedikit mengintip keluar. Na'asnya, sekitar enam zombie berada di dekat jalan masuk.

"Jalan sambil nunduk. Secepat mungkin," bisik Sori, menggunakan jumlah kata sesingkat mungkin. Lalu membuat angka enam pada jarinya.

Solar langsung mengerti. Tanpa disuruh, ia langsung menyerahkan diri sebagai orang pertama.

Usai merasa para zombie tak melihat ke arah mereka, dengan cepat Solar melesat. Dan bersembunyi ditembok seberang. Jantungnya berdegup kencang ketika para zombie dengan cepat menoleh ke arah jalan masuk, Seolah menyadari bahwa ada sesuatu yang lewat.

Lewat ekor mata, Solar melirik Thorn yang berada diseberang, sedang melakukan ancang-ancang untuk berjalan secepat mungkin.

Dan, set! Thorn sudah berada di samping Solar. Sama seperti tadi, para zombie itu kembali menoleh cepat ke arah jalan masuk. Menyeramkan.

"Ayo, lanjut," cicit Sori ketika ia sudah berada di samping Solar.

Sesampainya di depan pintu kantin yang tertutup rapat. Sori mengintip isi kantin melalui jendela kecil yang tersedia di pintu. Namun, isinya membuat Sori mengerutkan alis. Bingung.

"Semua zombie mati di dalam," ujar Sori seraya membuka pintu kantin. Masih dalam posisi siaga,"Tapi tetap hati-hati, ya."

"Oh, iya, 'kan, kami dikejar dari kantin. Pintunya gak ketutup. Siapa yang nutup, ya?"

"Mungkin ada orang yang selamat." Solar ikut berceletuk. Memasuki kantin seraya mengedarkan pandangan. Gelap. Amis. Darah menempel disetiap sudut ruangan. Atmosfer jauh lebih menyeramkan karena gelap.

"Ada busur panah."

Lantas Solar dan Thorn mendekati Sori, yang sedang mencabut busur dari kepala zombie. Mereka bertiga memandang panah itu lekat-lekat.

"Kak Ice?" celetuk Thorn.

"Semoga aja. Yuk, ambil makanannya. Gawat kalau lama-lama disini."

Thorn dan Solar mengangguk. Begitu usai melepas tas gendong--yang mereka ambil dari kelas tadi--mereka berjalan mendekati meja counter kantin. Namun, tanpa aba-aba, Sori langsung terdiam. Memerintah untuk menunduk.

"Bang--"

Begitu ingin bertanya, mulutnya langsung dibekap. Melirik Sori yang meletakkan satu jari di depan bibir. Dan menunjuk ke arah counter--tidak, bukan counter, melainkan pintu dapur, yang ada di samping counter, terbuka lebar.

Zombie sedang berkumpul di sana.

Solar meneguk ludah kasar. Mengangguk. Ia memegang pergelangan tangan Thorn erat-erat. Lalu menuntun sang kakak untuk berjalan menunduk, mengekori Sori.

Sesampainya di dalam counter, Sori menyuruh Thorn dan Solar mengambil makanan sampai dua tas itu penuh. Dengan hati-hati. Sedangkan ia menjaga situasi.

Namun, sepertinya mereka tak bisa membuat kedua tas penuh. Hanya tersisa sedikit makanan. Itupun sudah berceceran. Solar menebak-nebak jika orang--si pemilik busur--yang melakukan semua ini.

"Udah, bang."

Lantas, Sori kembali memimpin jalan, menuju pintu keluar.

Namun, di tengah perjalan, Thorn tak sengaja menyenggol kaleng soda sampai menggelinding nyaring. Terlalu sunyi suasana kantin hingga suara kaleng menggema. Cukup membuat zombie yang berada di dapur meraung buas. Langsung mengejar.

Panik, Sori menarik tangan kedua adik kelasnya. Mendorong punggung mereka untuk berlari di depan, sedangkan ia berada di belakang. Seolah sedang menyerahkan diri menjadi tumbal jikalau mereka tak memiliki kesempatan untuk kabur lebih jauh.

Setidaknya, Thorn dan Solar harus selamat.

Sori tak sempat lagi untuk menutup pintu kantin. Mayat hidup itu berlari sangat cepat. Mereka hanya bisa berlari dan terus berlari.

Ternyata, keberuntungan tak memihak kepada mereka, para zombie yang lain ikut mengejar dari arah berlawanan. Suara larian mereka begitu menggema hingga menarik atensi semua zombie.

Ingin menangis rasanya.

"Naik ke lantai dua!"

~

Ice memejamkan matanya pasrah. Satu zombie sudah berada tepat di depan mata. Siap menerkam. Tunggu, apa ia harus mengucapkan kata-kata terakhir? Sudahlah, sepertinya tak sempat.

Begitu Ice yakin jikalau ia benar-benar tak bisa selamat, sekilas, telinganya yang masih berfungsi dapat mendengar suara yang amat familiar. Itu suara lesatan. Terdengar sunyi dan indah.

Membuka mata perlahan, Ice bertatapan mata dengan zombie yang ingin menerkam, kepalanya sudah tertanam anak panah. Lantas, tubuh zombie itu langsung ambruk.

"Bang Ice!"

Tiga siluet manusia berada cukup jauh dari tempat ia berdiri. Dan akibat suara teriakan yang dihasilkan pemuda--si pelaku yang menyelamatkan nyawa Ice--atensi para zombie langsung beralih menuju tiga pemuda itu.

"Huwee! Zombienya kesini! Kamu, sih, teriak!"

"Aku lupa, hehe."

"Anjing, gimana, sih, cara pakai panah?"

Sepertinya mereka sedang berbicara. Atau bertengkar? Atau sibuk sendiri? Yang Ice tahu, hanya orang berjaket biru yang bisa menggunakan panah. Sisanya beban. Oh, sepertinya, Ice mengenali pemuda berjaket biru itu.

"Bang Ice! Pas aku buat jalan, bang Ice langsung lari kesini, ya! Tenang, aku jagain, kok!"

Itu Glacier. Juniornya dalam klub memanah.

Lantas, begitu Glacier menumbangkan satu-persatu zombie hingga celah mulai terlihat, Ice masuk ke dalam segerombolan zombie itu. Melalui celah besar. Berlari sekencang mungkin. Begitu ada zombie yang menyadari kehadiran Ice, Glacier langsung melepaskan anak panahnya.

"Gue mau bantu juga!"

"Diem, bang Supra. Aku lagi fokus."

Glacier tersenyum sumringah melihat Ice sudah dekat. Begitu senang bertemu dengan seniornya hingga melupakan alasan mengapa Ice yang jarang bergerak menjadi suka berlari.

"Bang--"

"Lari! Cepet! Cepet!" Ice mendorong paksa ketiga orang yang masih berdiam diri. Orang aneh. Bukannya langsung kabur. Ingin sekali Ice melontarkan kalimat itu dari mulutnya.

Glacier memimpin. Begitu tangga sudah dekat, ia malah menuntun mereka ke lantai satu.

"Anjing, ngapa ke lantai satu? Kita mau ke balkon, bego!"

"Ya, maaf. Aku 'kan, pa-- HUWAA!"

"HUWAAA!"

Glacier berteriak nyaring tatkala hampir bertabrakan dengan sesosok manusia berkacamata visor. Apalagi ia hampir jatuh dari tangga jika Rimba tak menahan dari belakang. Lantas, keenam orang lainnya ikut berteriak.

Mereka terdiam sejenak. Tak lama, jari telunjuk terarah satu sama lain.

"Bang Ice?!"

"Huwee, bang Ice!"

"Solar, Thorn?!"

"Saudaranya bang Ice?!"

"Mata empat?!"

"Sayur ijo?!"

"Kak Sori~"

Tatkala keterkejutan usai, mereka saling membelakangi satu sama lain. Membuat pose siaga. Atmosfer langsung berubah menjadi tegang.

"Kalian dikejar juga?" tanya Ice dengan raut serius.

"Iya," jawab Solar tak kalah serius. Mengeratkan genggamannya pada pisau kecil.

"Jangan sampai mati, teman-teman. Kita baru reunian, loh."

TBC

Akhirnya.

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

165K 471 6
(FIKSI) Vivi terbangun dari tidurnya dalam kondisi tanpa busana... cairan lendir yg masih merembes dari Lubang surgawi miliknya membuat gadis itu pah...
33.2K 962 45
•BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA• Setelah meninggalkan tempat dirinya di lahirkan, Erlang pergi nge-kost. Tidak di sangka juga, Tetangga nya adala...
17.6K 2.8K 13
[ SHORT STORY ] Semuanya bermula ketika mereka berlibur di villa itu.
921K 7.1K 9
(FIKSI) Lulu,gadis manis bertubuh indah menikah dengan jin,bukan untuk "pesugihan" tapi untuk "perlindungan"