STRANGER

By yanjah

296K 33.5K 5.2K

Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang... More

Basa-basi
01 - Pertemuan pertama
02 - bersama Satya
03 - misi kecil
4 - hasil
5 - dendam Tarendra
6 - sarapan
7 - penyusup
8 - tidak sama sekali
9 - masih misteri
10 - usaha
12 - mimpi buruk
13 - sifat yang menurun
14 - pelakunya
15 - rawrr
16 - enak
17 - hari sial
18 - ketemu
19 - Renata tahu
20 - flashback
21 - suruh dia pulang
22 - menyesal kan?
23 - dijemput
24 - ada Ayah
25 - yang tidak mau menerima
26 - main
27 - malam yang berbeda
28 - tanda cinta
29 - liburan
30 - seperti sihir
31 - pilihan
32 - terungkap
33 - selalu menerima
34 - bukan salahnya
35 - mengobati
36 - yang terjadi

11 - bakat terpendam

6.8K 664 55
By yanjah

Nama tokoh, tempat kejadian dan konflik cerita ini hanya fiktif belaka.

.

.

.

.

Keesokan harinya Tarendra benar-benar datang menjemput Jesher, lagi-lagi pria itu mengendarai mobilnya sendiri tanpa bantuan sopir. Dan kini keduanya terjebak dalam keheningan tak berujung di dalam mobil sejak Rival mengambil alih kemudi.

Sesekali Jesher melirik sang Ayah yang hanya diam memainkan ponselnya. Sudah hampir 5 menit mereka disini namun belum juga ada percakapan yang terjalin diantara mereka. Yang anak itu lakukan sejak tadi hanyalah memilah pertanyaan apa yang cocok untuk mengambil perhatian Tarendra, yang pasti pertanyaan itu harus mendapat jawaban agar suasana tak semakin canggung.

"Kenapa bawa mobil sendiri? Tumben."

Jesher menatap Tarendra mengharap respon dari lelaki itu, namun hingga detik berganti menit pun suaranya tak juga terdengar. Rival yang sedang menyetir bahkan mencuri-curi pandang dari kaca spion untuk merekam interaksi Ayah dan anak itu namun ternyata tidak ada yang terjadi.

"Kak Ellie mana? Kok nggak ikut?" Lagi. Jesher kembali mencoba, pikirnya dengan membahas Ellie lelaki itu mungkin akan membuka mulut. 

Namun nihil, pandangan Tarendra tetap jatuh pada layar ponselnya seolah suara Jesher barusan hanyalah suara bising biasa yang didengar ditengah jalan. Tak perlu diperhatikan.

"Kata dokter Tama—"

Drrtt! Drrrt! Drrt!

Usaha Jesher lagi-lagi gagal saat ponsel milik Tarendra bergetar, mendapat panggilan dari Danu. Segera lelaki itu menerimanya dan menempelkan benda pipih tersebut ke telinga kiri, sisi dimana Jesher bisa melihatnya dengan jelas.

"Oke. Lo urus aja semuanya, gue ke sana kalo dia udah ketangkep."

Awalnya Jesher tak penasaran dengan yang sedang Tarendra dan Danu bicarakan. Namun setelah mendengar balasan Tarendra ia jadi ingin tahu, apakah yang lelaki itu maksud adalah orang yang menyerangnya?

"Iya," ucap Tarendra lalu memutus panggilannya. Saat itu juga Jesher mendekat, mengikis jarak hingga sontak ia melayangkan tatapan tajam pada anak itu.

"Penyusup itu udah ketangkep?" 

Tarendra membuang muka dan mendengus. Namun kali ini ia memilih membalas rasa penasaran Jesher. "Belum, belum dipastiin orang yang kita curigain bener penyusup itu atau bukan."

Entah kenapa ada satu sisi dihati Jesher yang merasa lega. Karena sejujurnya ia masih takut untuk mengetahui identitas orang misterius itu, Jesher takut jika ternyata dia adalah suruhan Wira. Lalu jika dia tertangkap, maka identitasnya juga otomatis akan terungkap.

Sebaliknya ia akan bernapas lega jika orang itu bukanlah suruhan Wira yang datang untuk mengejarnya.

"Kalo ketangkep, Bapak mau serahin ke polisi?" Tanya Rival yang juga penasaran akan hal itu.

"Iya. Tapi setelah kita interogasi," jawab Tarendra cepat. Lalu ia kembali fokus dengan ponselnya, membuka apa saja hanya untuk terlihat sibuk agar anak disampingnya tak memulai kembali pembicaraan.

"Boleh aku tahu nggak siapa yang kalian curigain? Aku mau lihat fotonya buat mastiin."

Tapi dugaan Tarendra salah, rupanya Jesher tetap kekeuh bertanya. Mengundang rasa jengkel hingga tanpa sadar ia mendesis.  Sekarang, Tarendra bahkan benci mendengar suaranya yang sangat mengganggu.

"Nggak ada," ketusnya.

Bagai sembilu tajam mengiris hatinya, Jesher terhenyak mendengar nada bicara sang Ayah yang kasar, jauh berbeda saat ia menyahuti Rival barusan. Lalu cara lelaki itu membalikkan ponsel dan memalingkan muka pada pemandangan diluar mobil cukup menyadarkannya, bahwa yang ia lakukan sudah terlalu jauh mengusik sang Ayah.

Dengan sabar Jesher akhirnya menarik diri, membentangkan jarak sejauh yang ia bisa sampai lengan kirinya menempel pada pintu mobil. Lalu ia juga memalingkan wajah pada jalanan agar Tarendra tak perlu berlama-lama menengok keluar hanya karena tak ingin melihat wajahnya.

Sementara itu, Rival yang menyadari maksud tindakan Jesher tak bisa melakukan apapun untuk membantu. Berbeda dengan Ellie yang bisa secara gamblang memprotes Tarendra ini itu, Rival justru merasa sungkan dan berpikir tidak berhak baginya untuk ikut campur dengan urusan keduanya.

Sampai tiba-tiba ide konyol muncul diotaknya. Dengan sengaja Rival memutar setir, berpura-pura nyaris menabrak mobil lain dan menghindarinya hingga Jesher yang tidak siap harus rela sisi kiri kepalanya yang masih dibalut perban terbentur pada kaca mobil.

Rival tidak tahu apalah benturan itu membuat luka Jesher bertambah parah atau tidak. Tapi seharusnya itu cukup untuk menarik perhatian Tarendra bukan?

"Rival!"

Berhasil.

Setelah Tarendra melayangkan teguran, lelaki itu segera memeriksa Jesher yang saat itu hanya diam memegangi kepalanya.

"Sini!" Tarendra menurunkan tangan Jesher untuk memeriksa apakah luka disana kembali berdarah atau tidak.

Untuknya tidak. Hanya saja itu tetap berefek pada Jesher yang memang belum pulih sepenuhnya.

Lebih dari itu, Jesher tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan. Mungkin sudah saatnya bakat akting yang ia miliki dipergunakan.

"Berdarah nggak? Kok sakit banget," keluhnya dengan sedikit dilebih-lebihkan. Padahal sakitnya tidak seberapa, tapi kali ini ia biarkan dirinya terlihat sangat lemah.

"Enggak," jawab Tarendra menyentuh perban kepala Jesher menggunakan ujung jarinya penuh perhitungan, mencoba merekatkan plaster yang sebenarnya masih melekat kuat. Ia sendiri tak sadar sudah sedekat ini dengan putranya, tubuhnya bergerak begitu saja karena khawatir. "Makanya jangan nempel di kaca."

Setelah itu Tarendra menjauh, kembali memberi jarak seperti semula. Lalu saat melihat ke arah jalan, ia menyadari sesuatu.

"Val, kenapa lewat sini? Kejauhan."

"Bapak nggak liat tadi? Macet disitu, ada yang kecelakaan," dustanya berusaha tetap berwajah datar agar Tarendra tak curiga.

Mau tak mau Tarendra menerima fakta tersebut. Walau itu berarti ia akan terjebak dimobil ini kurang lebih 20 menit lamanya.

Berbeda dengan Tarendra yang kesal, Jesher justru merasa senang karenanya. Ia jadi memiliki lebih banyak waktu untuk melakukan tipu muslihat lainnya.

Untuk sesaat remaja itu biarkan suasana menjadi lebih tenang. Hening sekali hingga menjadi waktu yang tepat untuk tidur.

Sesuai dengan ucapan Tarendra sebelumnya untuk tak menempel pada pintu mobil, kini ia menyandarkan tubuh condong ke arah lelaki itu. Secara perlahan, sedikit demi sedikit ia biarkan tubuhnya melemas semakin dekat pada bahu Tarendra yang terlihat cocok untuk dijadikan sandaran.

Lalu saat mobil mengalami sedikit guncangan, kepalanya secara sempurna jatuh dipundak Tarendra. Terlihat sangat natural.

Beberapa detik Jesher lewati masih dalam posisi yang sama lantaran Tarendra tak mencoba menghindarinya.

"Pelan-pelan Val, dia tidur."

Suara Tarendra terdengar sangat pelan, memperingatkan Rival untuk mengendarai mobil lebih hati-hati agar tak mengusik tidur putranya yang beberapa menit lalu membenturkan kepalanya sendiri di kaca mobil.

Sisa perjalanan mereka yang hanya beberapa menit itu menjadi sangat menyenangkan, Jesher tak pernah mengira kalau semesta memberinya kesempatan berada sedekat ini dengan sang Ayah. Bahkan saat Rival iseng mengerem mendadak, Tarendra dengan sigap menahan kepalanya agar tetap dalam posisi aman.

Sepertinya Jesher harus berterima kasih ratusan kali pada Rival setelah ini.

Hingga mobil itu sampai di pelataran rumah, Jesher masih betah terpejam. Tak berniat mengakhiri aksi pura-puranya karena mengharapkan hal lebih dari Ayahnya sendiri.

Disis lain Tarendra dengan hati-jati mendorong kepala Jesher saat ia hendak keluar lebih dulu. Ia pikir semuanya selesai saat mereka telah sampai di rumah, tapi ternyata Rival masih saja berniat merepotkannya.

"Pak, Jesher gimana?" Tanya Rival mencegah Tarendra untuk beranjak, menyadari bahwa pria itu hendak berlalu begitu saja.

"Kamu gendong. Apa susahnya?"

Sontak Rival memegangi bahu kanannya, memasang wajah cemberut. "Tiga malam saya tidur disofa rumah sakit Pak, bahu saya jadi nggak enak. Tadi aja sampe diurut sama Ellie."

Tentu saja Tarendra tak bisa menyalahkan hal itu. Memang wajar Rival mengeluh tubuhnya pegal-pegal karena sudah beberapa hari ini tidak tidur ditempat yang layak. Karena itu, alih-alih memaksakan Rival yang sudah jelas tidak mampu ia akan meminta bantuan Benny yang tadi membukakan gerbang untuk mereka.

Namun saat kepalanya menoleh, yang ia lihat adalah Benny yang berjalan pincang tersenyum kearahnya.

"Kakinya cantengan Pak. Tadi sampe ke dokter," celetuk Rival seolah bisa melihat tanda tanya besar di kepala Bosnya. "Pak Rendra aja—"

"Bangunin," potong Tarendra tak mau repot.

"Kayaknya jangan Pak. Soalnya dari semalem tidurnya nggak nyenyak, bangunnya juga kepagian, abis itu dia nggak tidur lagi. Kalo dibangunin takutnya susah tidur lagi."

Entahlah, Rival tidak tahu apakah alasan itu terdengar masuk akal atau tidak ditelinga Tarendra. Sangat konyol tapi hanya itu yang terlintas diotaknya.

Mendengar itu Tarendra sempat diam, terlihat berpikir keras kemudian memandangi Rival cukup dalam. Memastikan lelaki itu tak mempermainkannya, namun kedua netranya hanya menemukan wajah kuyu dan lingkaran hitam dibawah mata Rival.

Sepertinya memang ia harus berhenti merepotkan orang lain. Rival juga butuh istirahat. "Masuk. Bersih-bersih abis itu istirahat."

"Trus Jesher?" Rival menatap bingung dan didetik selanjutnya Tarendra berjalan mendekati mobil.

Dengan pelan Tarendra menyisipkan lengannya dibelakang Jesher juga dilipatan lututnya. Tanpa kesulitan ia mengeluarkan anak itu dari dalam mobil dan membawanya masuk.

Ellie yang menyambut di ruang tengah sampai terheran-heran melihat apa yang Tarendra lakukan. Ia hendak menginterupsi namun Rival yang berjalan dibelakang memberi kode agar dia tetap diam.

Akhirnya Ellie menelan rasa penasarannya dan mengikuti mereka sampai di depan kamar Jesher yang masih tertutup. Sejak kejadian malam itu, Danu melarang siapapun untuk memasukinya tanpa ijin.

Melihat Tarendra berhenti dan menunggu untuk dibukakan pintu, Ellie segera menghampiri. Bukan untuk membantu membuka pintu namun ia mengutarakan hal lain yang membuat Tarendra nyaris mengumpatinya.

"Di kamar Bapak aja. Kamarnya 'kan belum dibersihin, masih ada darahnya. Takutnya dia masih trauma," tutur Ellie setengah berbisik.

Lantaran tak ingin membuang-buang waktu untuk berdebat dengan wanita itu, Tarendra buang egonya dan memilih memutar arah menuju kamarnya yang justru terbuka lebar seolah memang dibuat siap menyambut mereka. Lantas diletakkannya tubuh Jesher di atas tempat tidur begitu saja.

Merasa tugasnya sudah selesai, lelaki pemilik wajah sangar itu memilih segera pergi, tak mau berlama-lama diruangan yang sama dengan putranya sendiri.

Sialnya Ellie sudah berdiri menunggunya di depan kamar. Tatapan dari balik kacamata itu menyala memberitahu Tarendra bahwa wanita itu memiliki ide cemerlang untuk membuat hidupnya susah.

"Apalagi?"

"Bapak tidur di sini 'kan?" Kalian tidur bareng 'kan?"

"Ya enggaklah. Saya bisa tidur dikamarnya, saya 'kan nggak trauma," balas Tarendara menyelipkan sedikit sindiran.

Tetapi bukannya merasa tersindir, Ellie malah semakin gencar mendesaknya. "Pak, justru kalau dia sendiri itu yang bahaya. Kalo kebangun terus nggak nemu siapa-siapa dia pasti takut. Soalnya selama di rumah sakit selalu ada Rival yang nemenin."

"Enggak." Tegas Tarendra menolak, mencoba tetap pada pendiriannya.

"Ya udah. Kalo nanti malam dia kebingungan terus nangis karena keingat kejadian malam itu, saya nggak mau nolongin, Rival juga nggak bisa soalnya dia pasti tidur kek orang mati abis ini." Kedua matanya menyipit, mencoba menakut-nakuti.

Walau atasannya ini sosok yang selalu mengandalkan logika, pada waktu-waktu tertentu Tarendra bisa dengan mudah dikelabuhi seperti yang saat ini coba Ellie lakukan.

"Terserah," ketus Tarendra lalu melenggang pergi.

Melihat betapa keras kepalanya lelaki itu membuat Ellie hanya bisa menggeleng putus asa. Lalu saat punggung kokoh Tarendra tak lagi terlihat, ia baru masuk menghampiri Jesher, membantu melepaskan sepatu juga menyelimutinya agar lebih nyaman. Hal yang harusnya dilakukan oleh Tarendra.

Awalnya ia ingin bergegas pergi melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda, namun wajah polos Jesher yang tertangkap sudut mata berhasil menghipnotisnya. Ia akhirnya kembali mendudukkan diri ditepi kasur, memperhatikan setiap lakukan wajah anak itu yang mengingatkannya pada sosok Tarendra muda, yang dulu selalu datang ke panti asuhan untuk membagikan mainan atau makanan pada semua anak-anak di sana.

Saat itu wajah Tarendra terlihat masih lugu, berbeda dengan sekarang yang terlihat penuh masalah hidup.

"Kak, tangan aku kedudukan."

.

.

.

To Be Continued

Continue Reading

You'll Also Like

5.5K 866 23
Kavi Aland Daran, seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun harus meregang nyawa karena kecelakaan saat sedang melakukan balap liar. Namun bukannya...
15.8K 2.5K 34
Keseharian mereka penuh dengan perdebatan tidak penting antara Kendra dan Axel Belum lagi Noah, Bagas dan Gala yang suka sekali memperlakukan Aidan s...
GRHYA By Moon

Fanfiction

32.5K 5K 73
Masih tentang Harsa... Dengan segala kebucinan sepupu-sepupunya yang terus menjaga Harsa dari apapun... Saga dan Yudhis yang selalu menjauhkan Harsa...
24.3K 1.9K 27
main cast : - Luhan - Kris -Member exo -Tao -dll Seorang ayah yang ingin bertemu dengan anaknya yang pergi sudah 15 tahun lamanya...