INCOMPLETED LOVE [✓]

Galing kay redeuquinn

13.5K 1.2K 233

Meera Chopra. Putri satu-satunya Mukesh Chopra, seorang konglomerat India, kini berulah lagi. Ini tahun ke ti... Higit pa

Tugas Ringan
Dimana Meera?
Saksi Kunci
Penyergapan Anak Kucing
Gara-gara Annu
Dimana Cerita itu Bermula
Tak Semudah Itu
Selamat Hari Holi, Annand!
Sekarang
Terlalu Lelah
Undangan
Dress Shopping
Obrolan Ringan
Pengakuan Intensi
Permohonan Kecil
Melodi Kerinduan
Yang Tak Terlupakan
Perjalanan Yang Ditakutkan
Selamat Pagi, London
His Home
Yang Ditinggalkan
Long Time No See
Perasaan Aneh
Sebuah Keputusan
Aku Bersedia
Dia Mendatangi
First Date
Yang Tak Tersampaikan
Yang Tak Terpenuhi
Penjelasan
Bantuan
Tak Terduga
Hingga Akhir
Epilog: Cinta Yang Terlengkapi

Ammar. Hanya Ammar

395 34 0
Galing kay redeuquinn




***


.Flashback.



"Bhai! Coba dengarkan ini.."

Annand mengayunkan bow ditangan. Dengan wajah yang tersenyum simpul, ia melirik sang kakak di layar laptop. Perlahan Annand mulai menggesek biola yang sudah bertengger di bahu.


< Janam Janam (Intro) - Dilwale >



Tak sampai 30 detik, Annand sudah menghentikan permainan. Ia menatap Ammar yang memandang serius kearahnya. "H-how?" tanyanya yang entah kenapa jadi gugup. Padahal dia sudah biasa bermain biola di depan kakak kembarnya itu.


Di layar komputer lipat miliknya, terlihat sekali kalau Ammar sedang mengerutkan dahi. "Hanya itu? Kenapa sebentar sekali? Aku baru saja menikmatinya."


Annand tertawa, "It's just a teaser.."


"Teaser for what?" tanya Ammar yang kemudian melihat semburat merah di kedua pipi sang adik dan menggaruk belakang kepalanya gugup.


"A teaser for.... an occasion...?" jawab Annand yang terlihat menyembunyikan sesuatu.


"Annand..." tegur Ammar, ia sampai melipat tangannya di dada.


"Bhai! Berkomentarlah untuk permainan biolaku tadi." Ia mengalihkan pembicaraan.


Alis Ammar terangkat. "Untuk apa? Permainanmu selalu menakjubkan seperti biasanya. Mungkin kalau kau bermain lebih lama lagi, aku sudah meneteskan air mata.." Ammar pura-pura mengelap sudut matanya.


"Lagi-lagi kau terlalu terbawa perasaan." Annand tertawa. "Kau yang memakai seragam tentara dan mempunyai lengan berotot, tapi hatimu lebih lembek dariku."

"Hei.. hatiku ini tidak lembek. Hanya... mudah tersentuh." Elak Ammar.

"Apa bedanya? Aku yakin, kau di sana lebih sering menangis dibanding aku."

"You wanna bet?" tanya Ammar yang dibalas tawa oleh Annand. 


"So.. How's Kashmir?"


"Dua bulan berada di sini ternyata rasanya hanya lebih dingin dibanding Delhi." Ammar mengedikkan bahu. Annand menatap kakaknya penuh kekhawatiran. "Take care of yourself, haan?" Ammar tersenyum dan mengangguk pelan.

"Suno.. Lagu tadi terdengar lebih romantis dari biasanya, sepertinya aku tau apa "occasion" mu itu." Ammar mengalihkan pembicaraan, tak mau adiknya terlalu khawatir. Ia ngedipkan mata pada yang lebih muda. "Sudah sampai mana kisah cintamu, Annand? Sudah menyatakannya?"


Wajah Annand kembali bersemu, tapi malah memandang Ammar dengan jahil. Ia tahu kakaknya tidak terlalu suka kisah romantis. "Mau aku beritahu?" 

Ammar mengerti tatapan adiknya itu. "Tidak. Tidak perlu.." Ammar membalas dengan tatapan jahil yang sama. Keduanya terlihat begitu identik sekarang. "Pasti ceritanya sangat cringe, seperti di film-film romansa.."

"Aku beritahu ya?" Annand tersenyum lebar.

"Tidak. Tidak. Tidak-"

"Akan aku beri-"

"Annand!" terdengar panggilan dari kejauhan.

"Oops. Mum's calling. Gotta go!" Ucap Annand yang dengan cepat menaruh biolanya.

"Kahaa*?" tanya Ammar.

( *Kemana? )

"Biasa, check up rutin.."

Terlihat Ammar mengerutkan dahi. "Jadwal check up mu minggu depan Annand."

Annand tersenyum. "Senang sekali kakakku ini sangat hafal jadwal pemeriksaan rutinku." Ucapnya lalu menarik napas dengan perlahan dan meraba dadanya pelan. "Dua hari ini aku sedikit tak nyaman saat menarik napas. Rasanya sedikit sesak. Jadi Mum menyuruhku memajukan jadwal pemeriksaan."

"Kau baik-baik saja? Kenapa baru mengatakan sekarang?" Wajah Ammar terlihat panik.

Annand terkekeh. "Relax, Bhai! Aku baik-baik saja. Aku hanya lupa bilang padamu."

"Annand.. jangan seperti itu lagi. Apapun yang kau rasakan, harus menceritakannya. Understand?"

Annand memberi hormat pada kakaknya itu. "Yes, sir!" ucapnya seperti seorang tentara yang membuat Ammar tertawa. Hingga suara sang ibu kembali terdengar. "Baiklah aku pergi dulu sebelum Mum mulai mengomel. Bye, Bhaiya!"

"Tell me the result soon!"

Saat Ammar akan mematikan panggilan video mereka, terlihat Annand kembali berbalik dan tersenyum lebar padanya.


"By the way.. Selamat atas kenaikan pangkatmu, Mayor Raichand!"


***






"Ammar.."

Rematan di bahu membuat pikiran sang Mayor kembali ke tempat dimana ia berpijak sekarang. Tiupan angin yang cukup kencang mengibas rambut, akhirnya terasa. Ia menoleh, dilihatnya Dokter Naina mengembangkan senyum. Buru-buru Ammar mengusap wajah yang terasa basah. Entah oleh keringat karena sengatan matahari langsung, atau karena air matanya. 


"Kenapa suka sekali berada di atas sini?" tanya Naina, "Kekasihmu datang.." bisiknya. 


"Hm?" Ammar memandang orang-orang di balik punggung sang dokter. Tapi lebih tepatnya, pada salah satu gadis yang terlihat canggung untuk menghampiri.


"Naina..." tegur Ammar yang memberikan tatapan tajam pada dokter itu. Naina terkekeh dan memberi isyarat mengunci bibirnya. "Sorry..".


Setelah ayahnya pulang, Ammar mencurahkan semuanya pada Naina. Bagaimana ia mendapat ingatannya kembali, seperti apa kehidupan 25 tahun sebelumnya, dan apa yang terjadi sesaat sebelum ia terkena ledakan bom.

Juga.. Siapa Meera Chopra sebenarnya.


Mendengar semua itu, Naina ikut menangis bersama sang Mayor. Sekarang ia tau kenapa memori Ammar begitu lama kembali. Trauma itu baginya terlalu dalam. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti dia curiga.." Naina menghapus jejak air mata Ammar. Ternyata ia tak dapat menyembunyikan apapun dari gadis di hadapannya. 

Keintiman yang terlihat dari pasangan itu, membuat langkah terhenti dari tiga orang pengunjung yang menghampiri.

"Mereka... terlihat sangat dekat?" Bisik gadis berkacamata merah.

"Mereka... memang dekat." Jawab pelan laki-laki berseragam loreng, yang membuat hati seorang gadis tiba-tiba mencelos.


Ingat Meera. Dia bukan Annand.


Trio itu kembali menghampiri pasien yang mereka jenguk. "Sir!" Ibrahim langsung memberi hormat begitu tepat berada di depan sang Mayor. Ammar memberi anggukan agar sang Kapten bisa menurunkan tangannya.

Ibrahim tentu saja datang bersama Pia dan Meera. Kapten Khan itu diikut sertakan dalam rombongan setelah Pia menceritakan awal pertemuan mereka sampai dengan hari penyergapan,  pada Meera. Yang akhirnya dia diajak untuk menjenguk sang Mayor.


Tatapan Meera dan Ammar seketika bertemu. Tapi keduanya tak bersuara, seolah tak sanggup mengeluarkan kata bahkan untuk sekedar menyapa. Napas Pia pun tercekat. Tanpa kaca mata hitamnya, laki-laki berseragam pasien dihadapan mereka itu sangat mirip dengan Annand.


"Cairan infus mu ini ternyata sudah hampir habis Ammar, sini aku copot." Ucapan sang dokter memutus kesunyian. Di samping Ammar memang berdiri tiang pengait kantong infus yang tak lupa dibawa sang Mayor. Ammar mengangguk, memperhatikan Naina melakukan tugasnya dengan sedikit mencuri pandang pada Meera, yang sedang mengedarkan pandang sembarangan.

Setelah selesai, Naina menoleh pada Ibrahim. "Silahkan mengobrolah, tapi kembalikan dia ke kamar pasien nanti."


Ibrahim mengangguk. "Tentu saja Dokter Malhotra. Terima kasih sudah mengantar kami ke tempat persembunyiannya."

Setelah melihat kamar pasien yang ditempati Ammar tak berpenghuni, Meera, Pia dan Ibrahim  diantar dr. Naina untuk mencapai rooftop lantai 5 rumah sakit. Naina selalu tahu kemana pasiennya itu jika sedang ingin menyendiri. Dan benar saja, dari pintu rooftop yang tidak ditutup, punggung lebar Ammar dapat terlihat.


"Ini bukan lagi tempat persembunyianku jika kalian sudah mengetahuinya." Jawaban Ammar membuat Ibrahim dan Naina tertawa.


"Jangan terlalu lama di atas sini jika besok kau ingin pulang.." ucap sang dokter yang melangkah pergi dengan membawa kantong infus yang hampir kosong beserta tiangnya.



"M-mayor.." Akhirnya Pia memberanikan diri untuk menyapa. "Kau baik-baik saja?"


Ammar mengangguk pelan. "Kalian datang untuk menjengukku? How sweet.." Ia melipat tangan sembari memandang tiga orang itu bergantian. Pia tersenyum tipis.


"Mayor, anda benar-benar sudah pulih? Kenapa tidak istirahat saja di kamar?"


"Aku baik-baik saja, Kapten. Terima kasih sudah khawatir. Aku hanya sedang ingin menikmati hembusan angin dari atas."


Setelahnya, tak ada lagi yang bicara. Keheningan kembali terjadi. Entah kenapa rasanya begitu canggung. Tapi semua netra mengarah pada Meera sekarang. Seolah mereka mengatakan, Bicaralah sesuatu. Dan tatapan Ammar pun seperti menunggu gadis itu mengeluarkan suaranya.


 "Aah.." Meera menarik oksigen pelan. "I-I'm sorry.." ucapnya yang terdengar seperti hembusan napas.

Ammar mengerutkan dahi. Walaupun jarak mereka tak begitu jauh, tapi tiupan angin rooftop yang kencang membuat suara Meera tenggelam. "Maafkan aku, Mayor Raichand.." ulangnya. Kini suaranya terdengar lebih berani. Gadis itu mengangkat dagu dan menatap Ammar, membuat sang Mayor sedikit memundurkan tubuh. "Maaf karena kelakuanku, kau jadi masuk rumah sakit. Maaf sudah mengerjaimu saat aku berusaha melarikan diri. Juga maaf, karena sudah merepotkan seorang tentara sepertimu dalam pencarian bodohku."

Semua bergeming, tertegun dengan Meera yang sejak tadi diam tapi tiba-tiba berbicara secepat angin yang sedang mengibarkan rambut mereka. 

Sang putri Chopra kembali menarik napasnya, "Dan... Papa menitipkan salam juga untukmu." Ia mengakhiri dengan lebih perlahan.


Seketika Ammar terkekeh. Membuat yang lain menatapnya aneh. "Ternyata kau ini banyak bicara juga, Nona.." ucapnya setelah selesai tertawa. "Tapi.. kurang ekspresif." Ia mengangkat bahu. "Kenapa datar sekali wajahnya." Ia membuat lelucon yang membuat Ibrahim dan Pia tergelak.


Tapi tidak dengan Meera. Mendengar apa yang dikatakan sang Mayor, malah membuat Meera mengatupkan lagi bibirnya. Wajahnya kembali menunduk. 


Kalimat itu,


Ternyata kau ini bisa banyak bicara dan sangat ekspresif.


Seperti baru kemarin Meera mendengar Annand mengatakan itu padanya dengan senyum yang lebar.



Annand..



Ingin sekali Meera berlari dan memeluk pria di depannya. Tapi kenyataan yang mengatakan kalau dia bukanlah Annand, membuat hatinya kembali terasa sakit.



Lagi-lagi... Kenapa mereka harus semirip ini? 




"Temanku ini sebenarnya memang banyak bicara, Sir. Jangan tertipu dengan wajahnya yang terlihat seperti orang pendiam. Dia hanya kurang menyukai bersosialisasi saja." Ucap Pia yang merangkul bahu Meera.

Anehnya, Meera malah mendorong tangan itu menjauh dengan bahunya. Ia menolak rangkulan dari sang sahabat, yang membuat Pia menatapnya terkejut. "Meera..?"


"I'm sorry.." ucap Meera dengan jelas terdengar terisak sambil menghapus air matanya. Gadis itu berjalan menjauh menuju sisi lain rooftop.


"Mee-"

Ammar mengangkat tangannya, menghentikan Pia menghapiri gadis yang air mukanya tiba-tiba berubah itu. Sang Mayor menunjuk dirinya sendiri, tanpa suara ia berkata, Biar aku saja.


"Nona.." panggil Ammar perlahan, begitu berada di belakang Meera.


Stop it, Meera. Hentikan pikiranmu tentang Annand!

Dengan mantra itu, cepat-cepat Meera menghapus air mata yang sudah mengalir deras. Tapi gadis itu tak berbalik, membuat Ammar memberanikan diri bersisian dengannya. Tak mau kalah, Meera langsung mengalihkan wajahnya ke arah lain.


"Maaf, jika perkataanku tadi menyinggungmu.." mulai Ammar. Gadis di sebelahnya menggeleng cepat. "Nahin.." Meera kembali berusaha menghapus air matanya, sampai akhirnya memberanikan diri menatap sang Mayor. Dengan suara parau ia kembali bicara, "Suasana hatiku saja yang sedang tidak baik. Sorry."

Ammar menatap dalam iris coklat kehijauan yang berlinang di hadapannya. Entah kenapa kepiluan yang terasa itu membuat kedua netranya ikut mengeluarkan air mata.

Meera sedikit terkejut dengan apa yang ia lihat pada indra penglihatan sang Mayor. Disisi lain, Ammar pun berkutat dengan pikirannya. Andai saja Meera tau kalau-


"Kau-"


"Kau-"


Merasa lucu dengan ucapan mereka yang bisa serentak, tawa kecil kini terdengar beriringan dari keduanya sembari mengusap air mata masing-masing.


"Kenapa kau jadi menangis, Mayor..?" tanya Meera, berusaha menahan kesedihannya.


Ammar berdecak. "Adikku mengatakan kalau hatiku ini memang lembek." Ia terkekeh sendiri, sedikit melirik Meera untuk melihat ekspresinya atas penyebutan seseorang. Tapi tak ada perubahan dari roman wajah gadis itu. "Entahlah kenapa Tuhan memberiku hati yang mudah tersentuh ini," jawabnya. "Kau sendiri, apa yang membuat suasana hatimu buruk?"


Meera menggeleng pelan. "Kita baru saja bertemu kemarin, tapi kau sudah bertanya tentang perasaan pribadiku. Teman saja bukan." Ia menyunggingkan senyum, berusaha mengalihkan pembicaraan.


"A-ah.. Nona-"


"Meera," potong gadis itu sambil mengulurkan tangan. "Panggil Meera saja. Maaf, aku belum memperkenalkan diri dengan baik. For your information, kemarin aku sudah pulang ke rumah. Jadi kau tidak perlu lagi bekerja untuk papaku, Mayor. Tak usah memanggilku dengan sebutan nona. Dan aku harap kau bisa memaafkan segala kesalahanku yang telah aku sebutkan tadi." runtutnya. 


Ammar ikut tersenyum, walaupun tak selebar gadis di itu. "Aku akan memaafkan semua kesalahanmu jika kau berhenti mengatakan maaf. Lagipula aku masuk rumah sakit memang karena keadaanku sendiri, bukan atas kesengajaanmu. How?" Ia menyambut tangan Meera.


"Deal!" Jawaban Meera kini terdengar lebih bersemangat. 

Tangan mereka masih saling terpaut. Meera merasakan genggaman itu malah menguat.


"Dan aku, Ammar. Hanya Ammar. Biar Kapten Ibrahim saja yang tetap memanggilku Mayor.." Ucapnya sambil menoleh pada sang Kapten yang diam-diam mencuri dengar percakapan mereka, bersama Pia.


"Sir..?" Ibrahim menatap sang atasan dengan raut wajah ingin protes tapi tak bisa.


"Bagaimana denganku?" sahut Pia yang tiba-tiba melompat kearah mereka sambil mengacungkan tangan. Membuat Meera tergelak di sisinya. Genggaman tangan putri Chopra itu dan Ammar pun terlepas.


"Tentu saja, kau bukan prajuritku kan, Pia?"


Pia tersenyum lebar. "Senang mengenalmu, Ammar!" Ia ikut mengulurkan tangan. "Semoga ini bisa mengubah kesan pertemuan pertama kita.."


Ammarpun menjabatnya. "Of course. And the pleasure is all mine, Madam.." Ia sedikit membungkuk hormat, yang membuat Pia terus tertawa. Tatapan sang Mayor kini kembali pada Meera. "Jadi, mau bercerita padaku? Kita sudah menjadi teman, kan?"


Meera mengerutkan wajahnya dan berpura-pura berpikir. "Memangnya semudah itu menjadi teman dari Meera Chopra?"


"Are.. Kenapa kau selalu saja mempersulit seseorang yang ingin menjadi temanmu sih, Meera? Hitunglah sekarang berapa banyak temanmu ini." cerocos Pia yang menunjuk dirinya sendiri. Ia bicara seolah mewakili Ammar. 


Meera tertawa kecil, kembali mentap Ammar. "Dia masih menjadi pasien rumah sakit ini, Pia. Selesaikan dulu perannya disini, lalu mungkin kita bisa berteman.." ucapnya yang merangkul Pia. "Sudah semakin siang, matahari semakin terik disini. Tidak bisa kita mengobrol di bawah saja?" tanya Meera, sembari membawa Pia melangkah menuju pintu keluar rooftop.


"M-Meera! Bagaimana denganku?" sahut Ibrahim. "Kita belum berteman?"


"Haan, Kapten! Selama kau terus membuat Pia tersenyum, kau adalah temanku."


"Meera, chup raho*! Kenapa berkata seperti itu padanya?" bisik Pia yang wajahnya memerah. Tapi Meera hanya tertawa sampai mereka menghilang dibalik pintu.

( *Diam! )


"Sir.. Mari kembali ke kamarmu. Sudah waktunya minum obat." Ajak Ibrahim yang memperhatikan jam tangannya.


Ammar berdecak. "Bagaimana kalau kita ke kantin saja? Aku ingin minum kopi, Kapten.." ucapnya sambil menepuk bahu Ibrahim dan bertingkah seperti tak pernah berderai air mata tadi pagi.


"Dokter Malhotra akan membunuhku jika dia tau kalau kau menenggak kopi sebelum meminum obatmu, Mayor."


Ammar terkekeh. "Sejak kapan seseorang dengan seragam loreng sepertimu takut dengan wanita berjas putih?" candanya yang menarik Ibrahim keluar rooftop

Walaupun langkahnya lebih riang, tapi Ammar tak bisa begitu saja tidak memikirkan sang putri Chopra. Juga memikirkan memori-memorinya yang selama lima tahun ini tertidur.



Mungkin.. Belum saatnya Meera mengetahui semuanya.

Kenapa rasanya tak ingin melihat manik coklat kehijauan itu kembali berlinang?



***






Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

132K 6.6K 43
Lika liku kisah cinta Raisya yang rumit, membuatnya bingung harus bagaimana. Gadis cantik yang berusia 16 tahun jatuh cinta pada seorang tentara bern...
1.7M 120K 44
"Why the fuck you let him touch you!!!"he growled while punching the wall behind me 'I am so scared right now what if he hit me like my father did to...
69.4K 1.3K 23
(Y/N) is a short tempered girl who always talks before she thinks. She is a spunky and adventurous girl who loves going out and trying new things. Sh...
2M 112K 96
Daksh singh chauhan - the crowned prince and future king of Jodhpur is a multi billionaire and the CEO of Ratore group. He is highly honored and resp...