Loversation

By valeriepatkar

97.9K 11K 4.9K

Semoga semua orang punya teman bicara. Agar hidupnya bisa bertambah, satu juta hari lamanya. More

Clue 0.
Clue 1.
Clue 2.
Clue 3.
Clue 4.
Clue 5.
Clue 6.
Clue 7.
Clue 8.
Clue 9.
Clue 10.
Hati-Hati di Jalan, Dirga

Jatuh Cinta Seperti di Fiksi-Fiksi

3.8K 416 169
By valeriepatkar

Inspired by the conversation while watching Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

**

Theala

How do people fall in love actually?

Gue pikir selama ini gue tau bagaimana caranya.

It sounded so easy for me.

Cari seseorang yang ingin lo miliki. Ideal bukan hanya di mata tapi juga di hati. Berangan-angan akan jadi seperti apa hidup lo jika ada orang seperti mereka yang mengisi, kemudian mencintai dengan bertubi-tubi.

Why people fall in love?

They fall in love because the object they've fallen for is someone.. something that could draw a clear vision of happines for them. The clear vision of their blurred and unclear victory.

The clear vision of hope.

"Kalau punya dia di hidup gue, pasti rasanya bakal sempurna banget.."

Turns out, it's not that easy.

Itu gak mudah ketika seseorang yang begitu lo kagumi berkata, "Maaf."

Dan itu gak mudah ketika seseorang yang lo pikir menjadi yang terbaik itu membuat lo berpikir, "Bukan dia orangnya.."

Jatuh cinta...

Gak segampang itu.

"Gue mau kasih hadiah buat lo.."

Ada gitu ya, orang mau kasih hadiah bilang-bilang ke orangnya. Udah gitu...

"Harus di depan gue banget?" tanya Ardan bingung karena...

HARUS BANGET DI DEPAN ORANG LAIN GINI?

"Anggep yang tadi ngomong nyamuk."

"Gue bukan-"

"Diem gak!" Bentak Dirga dan lagi-lagi gue harus mendapati perdebatan dua orang tinggi yang kalau bertengkar seperti melihat sutet perang. "Siapa suruh lo dateng ke sini gak bilang-bilang dulu anjir! Lo kan udah gue usir!"

"Kan dikit lagi Thea balik ke Belanda! Gue kan di sini hanya menjadi temen yang baik.. Mana tau idup lo merana lagi tinggal sendirian kayak waktu itu?"

Bagus juga ya cara Ardan ini bertahan hidup.

"Tuh lo sih pake balik-balik ke sana segala!"

Nah, jadi gue yang dimarahin.

"Ya..... kan.... kerjaan?" Pura-pura bego aja gue.

"Hhhh balik ke topik awal lagi!"

Kenapa sih dia? Lagi dapet?

"Lo! Diem! Gue lagi serius ngomong sama cewek gue... gue lagi nganggep lo gak ada."

"..." Ardan tercenung. "Syap... Syap.." tapi tetep nurut demi tempat tinggal gratis tanpa cicilan.

"Sebelum lo balik bulan depan, gue tau mau kasih lo apa.."

".... Apaan?"

"Anak."

"OHOK!"

Bukan gue.

"OHOK. HOKK! HOAAKK." Ardan menepuk-nepuk dadanya sendiri setelah hampir memuncratkan Coca Cola dari mulutnya. "Keselek, keselek. Maap. Gak ada gue kok. Gak ada... Lanjut.."

".... Kasih apaan?" gue kira gue salah denger.

"Anak. Gue mau kasih lo anak... Jadi lo gak bakal kesepian di sana karena ada yang nemenin.."

"......"

At least ya...

At least nih...

Anak yang dia maksud gak sesuai sama apa yang ada di bayangan gue.

"GUK!"

"Queensy!!!!"

Meskipun gue speechless sama nama yang dia kasih.

"Siapa namanya?"

"Queensy!"

Gue menatap anjing Bichon Frise putih yang sedang balas menatap gue dengan polos seolah bilang, "Bukan gue yang mau ya kak dinamain gitu."

"Lucu kaaan?"

"..... Haha. Iya.. Lucu."

"GUK!"

"Oh, anaknya langsung jadi.." Masih ada Ardan guys.

"Gue kira dibikin dulu.."

Gue dan Dirga sama-sama menatap ke arah Ardan.

"Lama amat sih.."

Dirga suka ngeluh.

Gue rasa, ngeluh bisa masuk di tengah-tengah namanya untuk jadi satu rangkaian karena mereka gak bisa dipisahin.

"Ampe laper nih gue nunggunya."

Dan dia tetap nunggu.

Entah selama apapun dia harus berdiri sampai sandaran di tembok karena kaki panjangnya jadi makin cepat pegal karena usia, atau entah udah selaper apapun dia karena gue gak kunjung menunjukkan batang hidung juga..

Dirga akan tetap nunggu gue di lobi kantor.

"Denger gak perut gue? Udah meronta-ronta nih gara-gara nungguin wanita karir sibuk banget meeting gak abis-abis."

Dirga akan tetap mengambil sebelah tangan gue, menggenggamnya dengan erat walaupun sesekali (seringkali sih) dia akan tetep melakukan hal-hal sebodoh menaruh tangan gue di perutnya dengan tampang serius.

"Yang nempel di perut lo tuh tangan, bukan kuping. Bisa denger apaan gue? Suara ghoib?" tukas gue diiringi tampang melongo yang muncul setelah sadar dengan kebodohannya sendiri.

"Oh iya ya." Lalu dengan absurdnya dia akan memegang kepala gue dengan kedua tangannya yang besar, pura-pura menariknya dengan pelan sambil cengengesan. "Ya udah kalo gitu, tempelin kupingnya biar bisa denger... Haloo halo gitu ngomong.."

"Ga, ah!!? Tabok ya!"

"Lambungnya Dirgaa, sorry ya nunggu lama. Gue lupa kalo di dunia hape itu fungsinya buat ngabarin, bukan buat nonton Youtube doang."

"AAAAA LEPASIN GAK! AUDIRGA!"

Dirga yang akan membuat gue masih memiliki tenaga untuk teriak, tarik-tarikan rambut dan tangan sambil menertawakan diri masing-masing setelah 10 jam duduk dengan topeng tebal yang dihadapkan pada layar laptop dan manusia-manusia yang akan selalu membicarakan hal-hal membosankan yang harus selalu dikejar.

"HAAAH HAAAH. PEDES!"

Dirga gak suka makanan pedas.

Dia akan heboh sendiri minum bergelas-gelas es teh tawar setelah merasakan satu suap Bebek Madura Bu Lala, dan bodohnya, dia masih berusaha untuk lanjut ke suapan ke dua.

"Ya lo juga sih! Udah tau nyium sambel aja kepedesan, masih aja sok-sokan makan Bebek Madura." Omel gue karena kasihan sendiri melihat kaos hitamnya udah terlihat basah karena keringat yang mengucur. "Mas mas! Tolong dong es tehnya lagi! Ini manusia sebelah saya dikit lagi udah mau pingsan nih!" Teriak gue jadi ikutan heboh.

"HAAAAH."

"Eeeeh!"

"HAA PANAS! PANAS AMAT SIH TEH LO ANJIR!"

"Ya gue kan emang pesennya teh anget!"

Perdebatan itu akan terus terjadi di setiap makan malam kami sepulang kantor hanya karena satu alesan.

"Lo kan dikit lagi bakal balik ke Groningen, nanti kalo gak bisa rasain Ayam Geprek sama Bebek Madura lagi gimana? Nangis lagi lo entar."

Iya, Dirga akan selalu makan makanan yang gue suka sekalipun dia gak bisa memakannya.

Setiap dia ngomong gitu, pasti ada waktu beberapa detik gue untuk menatap wajahnya.

Gak tau ya. Gue merasa kemampuan gue untuk nutupin apa yang benar-benar gue rasain udah semakin berkurang. Kalau dulu gue bisa pasang tampang gak-tertarik andalan gue, tapi sekarang... gue gampang tersentuh sama hal-hal yang sederhana.

Apa karena selama ini gue baru sadar kalau gue selalu kesepian?

"Hah.." Gue melepas tawa kecil setelah udah cukup lama tergugu menatapnya. "Lo pikir gue cewek apaan perkara Ayam Geprek aja nangis?"

Kenyataannya...

"..... Kak lo gak laper apa? Seharian lo gak makan apa-apa gilaaa. Bisa mati lo kalo sehari makan cuma sekali gini."

Nangis sih enggak.

Cuma uring-uringan aja karena ternyata gue gak bisa makan European cuisin sama sekali dan kangen sama sambal terasi.

Adek gue sampe capek ingetin gue makan terus di sana, saking gak napsunya gue makan pasta ataupun roti-rotian gak jelas itu.

Dan Dirga yang paling tau itu.

"Iya.. Nangis sih enggak. Cuma gue jamin Ayam Geprek bakal kesebut tiap lo ngigo sih.."

Dirga paling suka ada banyak suara di rumahnya.

Sekalipun dia mengunci kamarnya rapat-rapat dan berdiam diri di dalamnya, dia suka ketika suara gaduh dan tawa yang berasal dari sahabat-sahabatnya ikut tinggal bersama, menemani dia.

"Ga?"

Tapi di tempat tinggal gue yang hampa tanpa satupun suara, dia tetap terbaring di atas sofa dan menonton film-film Marvel kesukaan kita.

"La?"

Dia akan excited bangkit berdiri, tersenyum lebar ketika suara pintu kamar kos gue terbuka dan gue ada dibalik pintunya.

"Ela kan? YEAY UDAH BALIK!"

Dia akan memeluk gue erat seolah keheningan gue bisa mengganti semua suara kesukaannya itu.

Jatuh cinta memang gak segampang itu.

Jatuh cinta memang gak seperti di film-film, seperti yang kita tonton.

"Aneh juga ternyata ya nonton film romance sama lo." Ujarnya pelan disela-sela kunyahan pop corn caramel yang selalu dia elu-elukan.

"Siapa suruh milihnya action mulu.." protes gue sambil tertawa kecil mendengar dialog Nirina Zubir ke Ringgo Agus Rahman. Lebih tepatnya, gue ketawa karena ekspresi melongonya Ringgo sih setiap denger Nirina ngoceh.

"Abis lo bilang geli nonton film romance.."

"Gelinya karena tiap ada adegan romance lo langsung nyeletuk yang enggak-enggak kali. Bukan karena filmnya." Protes gue bela diri.

"Apa tuh contohnya?" tanya Dirga masih fokus mengunyah pop corn dengan mata yang terarah pada layar bioskop, sama seperti gue.

"Banyak. Kalo gue sebutin di sini.. Geli lagi dong gue?"

"Tapi masa kalo gue ngomong gue sayang sama lo, lo masih geli?"

Seketika gue langsung berhenti mengunyah pop corn untuk menengok ke samping, mematung.

Gak nunggu lama, yang gue pandangin langsung ikut menatap gue.. Masih khusyuk ngunyah pop corn dengan tampang polis.

"Okeh.. Lo geli." Dirga menyimpulkan dengan satu anggukan kepala sebelum balik nonton.

Iya, seharusnya gue geli.

Tapi ternyata, gak segeli yang gue bayangin.

"Gak sih. Gak geli-geli amat ternyata."

"Kenapa? Udah tau gue sayang beneran ya?" sekarang dia yang balik menengok ke arah gue, serius.

"Iya kayaknya."

Bisa jadi iya.

Bisa jadi enggak.

"Jadi gak kedengeran bullshit banget gitu."

Lama dia menatap sebelum akhirnya, "Hahahaha."

"Dih? Ketawa lo?"

"Cobaa.. Coba biar gak kedengeran bullshit gue harus ngomong kayak gimana?" Dirga sepenuhnya memutar tubuhnya ke samping untuk menatap gue. "Gimana coba? Contohin."

Di studio bioskop ini gak ada siapa-siapa selain kita berdua. Ini hari terakhir penayangan film dan sebagai 2 orang sibuk yang mau napas aja susah, bisa nonton sepulang kantor di jam terakhir alias tengah malam adalah sebuah kegilaan berkedok privilege.

"Gak usah dicontohin apa-apa.."

Gue sungguh-sungguh ketika berkata gue udah menyerah untuk berkeras hati.

"Lo gak perlu ngomong apa-apa.."

I've had enough.

"Gue punya mata.. Gue bisa lihat sendiri. Gue punya perasaan.. Gue bisa rasain sendiri. Semua udah lo tunjukin jadi lo gak perlu ngomong apa-apa lagi."

Enough with my own thoughts, enough with my past, and enough with my loneliness.

Wajahnya terkejut dan gak bisa ditutupi.

Mungkin Dirga gak siap. Dia gak pernah denger gue ngomong begini.

Gue kembali menatap layar, menikmati bagaimana dalam waktu yang cukup lama, Dirga hanya memandang gue dari samping tanpa suara.

Kita berdua menonton film ini hingga selesai.

Dengan pikiran kita masing-masing.

Filmnya bagus. Lucu. Tapi bukan cuma sekedar lucu karena gue jadi mengerti satu hal

Jatuh cinta gak seperti di film-film.

Jatuh cinta gak gampang bertemu dengan seseorang dengan gak sengaja, mengagumi dia, yakin kalau dia adalah takdir lo, menghadapi masalah bareng, berjuang bersama, terus bahagia selamanya.

"Tadi farewell sama orang kantor lo gimana?" tanya Dirga pelan, memandang lurus ke depan.

"Seru. Bener kata lo.. Gue dikasih donat J.Co."

"Hahahah."

Jatuh cinta kadang membuat lo harus tertawa meskipun situasi gak lucu sama sekali.

"Tapi lo kan gak resign.. Tetep di kantor yang sama cuma balik aja ke Groningen."

Jatuh cinta kadang membuat lo harus mengatakan sesuatu yang gak sesuai sama yang lo mau hanya demi membuat orang yang lo cintai itu merasa nyaman dan gak merasa dituntut sama sekali.

"Terus gak balik-balik.." Dirga mengakhiri kalimatnya dengan nada tang dia tata sedemikian rupa supaya gak terdengar mengeluh.

Gue tau ada banyak skenario di kepalanya.

Karena jatuh cinta memang kadang begitu.

Lo harus berhati-hati supaya gak salah ngomong.

Hanya demi untuk menjaga.

Entah itu menjaga hubungannya atau orangnya untuk gak ke mana-mana.

"Gue kasih lo waktu 5 menit," ujar gue membuat Dirga menoleh. "Lo boleh ngeluh, ngomel-ngomel karena gak seneng gue pergi."

Dia terlihat mikir beberapa detik sebelum berkata, "Gak. Gue gak ngeluh.. Gue juga gak ngomel. Pergi ya pergi aja.."

Tapi jatuh cinta juga membuat lo gampang berprasangka.

Kadang satu kalimat bisa diartikan seribu dan lima ratus di antaranya adalah skenario buruk yang akan terus terbayang-bayang di kepala seseorang yang sudah berkawan baik dengan trauma.

"That's your home... Your hard work.. Lo kerja keras banget buat bisa ada di sana, dan sebete apapun gue karena ditinggal lagi... Gue gak mau lo yang ribet. Biar gue aja yang ribet nanti bolak-balik ke sana.."

Dan jatuh cinta juga bisa membuat lo berusaha.

Berusaha tentang apapun sekalipun itu gak pernah masuk dalam radar hal-hal yang ingin lo usahakan.

Gue melirik genggaman tangan Dirga.

Waktu gelisah dia akan mengambil sebelah tangan gue, menatapnya sambil memainkan jari jemari gue dengan kedua tangannya.

"Tenang aja.. Gue udah gede. Udah tua bangka.. Kalo kangen, gue gak bakal rewel.. Paling telpon lo sekali udah cukup. Asal denger suara aja. Makanya kalo ditelpon tuh coba bersuara jangan cuma ngang ngong aja diem.. Berasa telponan sama ikan maskoki tau gak gue?"

Gue melepas tawa

"Kontradiktif banget ya bacot lo sekarang sama apa yang dia bilang barusan. Gak rewel dari Hongkong."

"Eh beneran! Gue gak bakal rewel. Ini aja gue bacot banget karena lagi bela diri.." semakin dia bicara, semakin random dia memainkan jari jemari gue.

Dia gak akan mau menatap sepasang mata gue karena gue pasti akan menangkap isi hatinya.

Dengan jelas seperti sekarang.

But again, ini jatuh cinta.

Jatuh cinta yang gak seperti di film-film.

"Tapi kalo gue pengen lo ikut gimana?"

Seketika tangan Dirga berhenti memainkan tangan gue. Sepasang matanya yang gurau langsung menatap mata gue hanya untuk pastiin kalau dia gak salah dengar.

"Kalo gue pengen lo ninggalin semua yang ada di sini buat gue.. Lo mau gak?"

Jadi ini rasanya punya keinginan.

Selama ini gue pikir lulus kuliah, pinter, jadi kebanggaan Mama, jadi perempuan hebat yang bisa diandalin keluarga gue dan dilihat sama banyak orang adalah keinginan gue.

To live well and good.

It was what I wanted.

Tapi kayaknya gue salah.

I just want to live like this.

Like this.

"Gue pengen ditemenin, Ga di sana. Gue gak mau sendiri.. Gue pengen tinggal sama lo."

Jatuh cinta gak seperti di film-film karena ada orang yang harus bertahun-tahun berdamai sama dirinya sendiri dulu untuk bisa menerima cinta yang pantas dia dapat.

"Iya.. Gue ikut."

Jatuh cinta gak seperti di film-film karena ada orang yang harus bertahun-tahun bersabar untuk bisa dengar serangkaian ucapan cinta yang seumur hidup gak pernah dia dapat.

"Beneran mau ikut? Minggu depan?" Karena terlalu mudah untuk gue mendapatkan sesuatu di saat selama ini, gak pernah... gak ada satupun keinginan gue yang terwujud meskipun gue susah payah memperjuangkan itu.

"Iya sayaaang. Gue ikut lo." Dirga mengulas senyum lebar. "Jangankan minggu depan.. Besok juga gue ikut. Gue urusin semua visa. Kalo gak bisa, gue dimasukkin ke koper juga gapapa kok. Pokoknya gue bakalan ikut."

Gue itu ribet dan melelahkan. Gak jarang gue sampe capek meladeni diri gue sendiri karena... Gue kesal ketika orang lain gak mau mementingkan gue, tapi di sisi lain gue takut mengekang mereka karena terlalu banyak mau hingga mereka meninggalkan gue.

"Kerjaan lo?"

"Bisa gue atur."

"Nyokap lo?"

"Dia udah tinggal sama Rama sekarang. Kalo tinggal sama gue kepala dia bisa pecah denger gue ngoceh mulu."

"Gue gak mau lo jadi gegabah ya cuma karena ikutin mau gue."

"Lo gak pernah mau apa-apa, La.." Saat Dirga membalas ucapan gue tanpa jeda, gue hanya bisa terhenyak menyadarinya. "Nyadar gak? Selama ini... Lo gak pernah minta apapun dari gue. Dan mungkin tanpa lo sadarin, lo gak pernah minta apapun, dari siapapun buat diri lo sendiri."

Sebelah tangan Dirga berjalan mendekat ke wajah gue. Menyampirkan rambut yang selanjutnya hanya dia main-mainin dan acak-acak pelan sesuka hatinya.

"Makanya.. Waktu lo akhirnya minta gue ikut sama lo, mentingin lo.. Gue pasti akan langsung bilang iya.. Gue nunggu lo ngomong itu udah terlalu lama."

And therefore I realized, jatuh cinta gak seperti
di film-film.

Jatuh cinta gak seperti di fiksi-fiksi.

Termasuk fiksi ini.

Di dunia nyata, akan selalu ada orang yang bertanya, "Thea akhirnya jadian sama Dirga? Emang dia lupa ya Dirga dulu cowok kayak apa?"

Akan ada hari di mana Dirga gak bisa hadir di hari-hari penting gue dan gue akan kecewa karenanya.

Akan ada hari di mana dia minta maaf dan gue masih memaafkannya dengan separuh hati karena ketakutan-ketakutan gue yang masih tersisa.

Akan ada juga hari di mana gue gak bisa menjadi apa yang selama ini Dirga mau.

Akan ada hari di mana dunia luar bisa lebih menyenangkan Dirga dibanding kehidupan gue yang membosankan

Dan lalu...

Akan ada hari-hari itu...

"Kok udah bangun?"

"Ga?"

Akan ada hari-hari di mana gue merasakan rengkuhannya yang erat dan mendapati sepasang matanya masih sibuk menjaga gue saat pukul 4 pagi.

"Hmm. Iya ini Dirga. Kalo orang lain udah gue gebuk pasti."

Iya. Ini Dirga. Dengan suara pelannya.

"Kok...? Di sini?"

"Iya.. Mau pastiin kesayangan gue tidur, terus gak kebangun-bangun."

Ada hari di mana yang gue tatap bukan langit-langit kamar lagi dengan perasaan hampa, melainkan sebuah punggung yang luasnya mampu menampung semua keluh kesah gue.

Ada hari-hari di mana gue akan menemukannya di balik pintu kamar kos gue di saat dia lagi sibuk-sibuknya mengejar mimpinya sendiri.

"Haaai, hehe."

"Lah, bukannya lo hari ini ada party sama temen-temen lo?"

"Udah kok tadi.. Gak liat gue udah teler begini?" Wangi khas Whiskey menguar dari tubuhnya. Emang sih ini orang kuat banget minum. Gue juga heran bisa-bisanya dia minum yang enggak-enggak dan gak mabok sama sekali.

"Lo dianterin siapa? Ardan? Gak mungkin lo nyetir kan begini?"

"Gak... Naik taksi dong sayaaang. Mereka kan masih ngumpul. Gue balik duluan."

Gue yang selalu kasih dia space.

Karena gue tau hidup dia gak melulu tentang gue. Terlebih gue tau bedanya kita kayak apa..

Gue ngerasa dia bisa berkali-kali lipat lebih bahagia sama mereka ketimbang sama gue yang... begini-begini aja.

Tapi kadang.

"Lo-"

Ada hari-hari di mana Dirga juga gak bersuara.

Hanya bibirnya yang mendarat dengan tepat di bibir gue seolah mereka sudah terbiasa. Menyatu.

Tubuhnya akan mengunci tubuh gue dengan rapat hingga dingin di tubuhnya itu bergabung dengan kehangatan tubuh gue. Tangannya akan dengan bebas menyentuh wajah gue agak gak ada satupun sela yang memisahkan bibir kami.

Dan semua itu adalah bentuk dari  terjemahan sebuah kalimat, "Gue sedih lo bakal pergi lagi.."

Cuma tubuhnya yang akan berbicara karena mulutnya gak akan pernah mampu bilang, "Gue gak mau lo pergi.."

Kalau gue gak mau mengganggu Dirga dan dunianya yang ramai dan penuh kejutan.

Dirga gak mau mengganggu gue dan dunia gue yang tenang dan selalu pasti.

Entah itu di apartemennya atau di kamar kos gue, yang ada hanya suara napas kami yang saling bersahut dan bibir yang saling bertaut.

Dan cuma akan ada pelukan yang erat ketika tubuh kami menyatu. Kulitnya membungkam kulit gue sama seperti kata-katanya yang akan berdiam dibalik bibirnya.. dan tanpa memejamkan mata, Dirga hanya akan menyenderkan keningnya di kepala belakang gue hingga yang gue dengar hanya deru napasnya.

"Temenin gue ya, Ga.."

Akan ada hari itu.

Hari-hari di mana gue memutuskan untuk berhenti mencari orang baik dan yang sempurna karena....

Orang seperti itu gak pernah ada di dunia ini.

Termasuk gue.

"La.."

"Hmm?"

"Lo kacau banget sih.."

"... Iya, emang."

"Lo ngeselin.. Suka semaunya.. Lo gak pernah mau buka hati lo buat gue sampe gue capek sama lo.. Lo bikin gue nunggu dan lo bisa dateng, pergi seenaknya sesuka hati lo tanpa mikirin gue.. Lo gak pernah takut kehilangan gue karena lo tau gue gak bakal lakuin itu, and that's how messed up you are.. Lo jahat."

Ada hari-hari di mana Dirga akan bicara.

Seperti sekarang.

Pelan namun menggebu-gebu seolah akan ada batu yang keluar begitu saja dari mulutnya.

"Iya gue emang sejahat itu.." Gue gak bela diri.

"Jadi bisa gak jadi orang yang lebih baik sama gue?" tanyanya lirih. "You know.. I am messed up too."

Ya.

He used to treat girls really bad, thinking it was cool to show off dengan membawa-bawa bokap abusivenya sebagai alasan.

He used to say, 'Gue pengen buktiin kalo banyak orang di luar sana yang gak bisa hidup tanpa gue.. Mereka jauh lebih bisa hargain gue ketimbang bokap gue sendiri.'

He used to think that he owned the world because he had everything.

"Gue pengen jadi orang yang lebih baik bareng lo.. Gue pengen lo jadi alasan gue bisa jadi Dirga yang lebih baik, dan gue jadi alasan lo bisa jadi Ela yang lebih baik.. Udah itu aja."

Ya.

He is that messed up.

"Ga.."

And ya, I am messed up too.

"Apa?"

"If I could never be a better person... could you never let me go?"

Dirga benar.

Gue gak pernah menginginkan sesuatu.
Gue gak pernah tau apa rasanya benar-benar menginginkan sesuatu dan bahagia setelah mendapatkan itu.

Entah seratus, seribu, bahkan sejuta kali pun gue mengingatkan diri gue untuk gak lupa bahagia setiap hari... gue gak pernah benar-benar tau rasanya bisa mendapatkan apa yang benar-benar gue mau.

Semua yang gue sayangi meninggalkan gue.
Semua yang gue percaya membodohi gue.
Semua yang gue cari menghilang.
Semua yang gue raih bukan untuk diri gue sendiri.

Dan baru kali ini..

Gue benar-benar menginginkan sesuatu. Untuk diri gue sendiri.

"Gue gak yakin gue bisa jadi orang yang lebih baik lagi, tapi gue akan usaha... Dan selama itu, bisa gak lo gak nyerah sama gue?" Gue memohon.

As stupid as it sounds... It is what it is.

Lama Dirga menatap gue.

Dibanding nangis sendirian, gue lebih sering nangis di depan dia. Kadang gue tau kenapa gue nangis, kadang gue cuma pengen nangis aja.. dan dia gak pernah tanya kenapa.

Because he knows.

"Life is sucks kan, La?"

He knows.

"That's why I want to do it with you."

Jatuh cinta gak seperti di film-film.

Karena gak ada orang yang benar-benar protagonis di dunia ini.

Terlalu banyak plot hole dalam kehidupan di mana hole itu sendiri adalah hati kita yang hampa... keinginan kita yang gak tau ke mana ujungnya... dan kelelahan yang gak pernah ada abisnya.

It sucks to spend your whole life with things you don't want. Yet it's bearable to go through it with someone who's worth to fight for.

Dan pada akhirnya..

"Ini... Jadi.... Gimana ya?" tampangnya udah serius.

"Gimana apanya?"

"Lo.... Gue...? Kalo udah begini... Bukan temenan doang dong harusnya?"

Gue menatapnya datar.

"Terus lo maunya apa?"

"Terus- HAH.. Terus mau gue apa kata lo? HAHAH..." Dia langsung melihat ke atas sambil tertawa gak percaya. "Gila lo ya.."

"GUK!"

Gak suka nih gue. Sekarang Dirga udah punya tim sukses berupa anabul putih yang selalu nyahut tiap kali Dirga ngomong sesuatu.

"Heh!" marah gue.

"GUK!" Galakan dia.

"Jangan omelin Queensy! Dia cuma lagi belain bapaknya."

Oh baik.

Dilihat dari caranya ngomong, Queensy ini kedengeran kayak manusia ya.

Bukan anjing.

Dirga lalu dengan cepat mengeluarkan sesuatu dari celana jinsnya.

Mata gue sampe kesulitan untuk melihat barang apa itu karena selain bentuknya kecil, tangannya juga benar-benar cepat membuka benda yang ternyata kotak beledi kecil dan mengambil sesuatu yang lain di dalamnya.

"Tangaaaaan...."

Dia memberi gestur meminta dengan sebelah tangannya karena tangannya yang lain sedang memegang sesuatu.

Gue terpaku setelah menyadari benda yang dia pegang apa.

".. Itu apaan...."

"Udaah. Banyak nanya deh.." dia langsung mengambil tangan kiri gue, dan secepat kilat memasang cincin itu ke jari manis. "Nih ya.. Pokoknya kalo ada cowok brengsek yang deketin lo di kantor atau di manapun, tunjukin tangan lo kayak gini. NIH!" Dia langsung menunjukan lima jarinya di mana jari manisnya juga terpasang cincin yang sama. "Udah ada yang punya! Bilang gitu! Sorry, gue udah punya temen.."

Dia lalu mendekatkan wajahnya ke gue dengan cengiran lebar.

"Temen hidup.. Hehe."

At the end, I do life with Audirga.

That's the movie,

That's the fiction,

And that's also the life we live in.

**

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 288K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.2M 57K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.7M 24.4K 41
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
6.9M 341K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...