Di dalam kamar sudah ada tiga MUA yang akan mendandani ku, juga membantu om Haris. Setelah menanggalkan seluruh hiasan yang ku kenakan, aku menyegarkan diri dengan mandi. Selesai aku berganti om Haris menyegarkan dirinya pula.
"A!!"
Segera ku tutup tubuh bagian atasku yang hanya mengenakan bra tank top melihat om Haris keluar dari dalam kamar mandi.
"Ya ampun mbak, itukan suami mbak" ujar MUA terkekeh, aku hanya menyengir kuda, mereka tak tahu saja di balik pernikahanku bersama om Haris.
Om Haris mengerti ia berjalan tanpa menatap ku, ia duduk di tepian tempat tidur dengan membelakangi ku. Kembali MUA mendandani ku. Dengan saling membelakangi aku dan om Haris di dandani sesiap mungkin.
Kali ini gaun pengantin yang ku kenakan lebih mewah juga elegan dari yang tadi siang, aku sengaja memilih gaun itu mengingat Mila dan Luna mengatakan resepsi malam akan lebih banyak kedatangan tamu-tamu penting, rekan-rekan, juga kerabat jauh.
"Pak Haris coba lihat istrinya" seru MUA membalik ku kehadapan om Haris. Lagi-lagi tatapan yang sama saat ia menatapku berjalan kearah pelaminan ia berikan membuatku malu.
"Bagaimana pak?" tanya MUA
"Cantik" sahut om Haris singkat dengan senyum, lagi rasa malu bertambah ku rasa.
Begitu siap, bersama kami kembali ke gedung resepsi.
Benar saja resepsi malam jauh lebih banyak kedatangan tamu, terlihat mereka dari kalangan atas. Mereka tak hentinya memuji aku ini cantik juga masih muda, bahkan beberapa tamu pria iri pada om Haris mempersunting ku yang jauh lebih muda darinya.
Beberapa jam terlewat, kembali ku rasakan tubuhku lemas, kepalaku pusing, pijakan kakiku gamang. Ku genggam tangan om Haris erat takut jikalau aku jatuh dan mempermalukan keluarganya.
"Kamu kenapa?" tanyanya khawatir
"Kepala ku pusing om, kaki ku rasanya lemas"
"Kita turun"
Ku tahan tangannya. "Jangan, masih banyak tamu yang berdatangan, biarkan aku berpegangan pada om" ia menggenggam tanganku lebih erat dari genggamanku.
Sekuat tenaga ku tahan perasaanku yang tak enak, aku ingin segera resepsi ini usai, aku tak tahan lagi, terlebih lagi gaun pengantin ku serasa memberi beban.
Tiba acara berfoto-foto bersama, sebagai istri dari seorang Harisba Kamil, aku selalu memberi senyum pada setiap foto.
Dan tiba di penghujung acara, sebelum acara bebas kami di minta untuk berpose berdua di mana semua tamu bersiap-siap dengan kamera di tangan mereka.
Aku berdiri di hadapan om Haris bingung apa yang harus ku lakukan, gaya apa yang akan kami lakukan.
"Cium..! Cium..! Cium..!"
Seru tamu-tamu yang hadir membuat ku malu begitupun om Haris. Tapi untuk menghargai kedatangan mereka, juga menambah koleksi foto di album pernikahan kami nanti, aku turut hanya untuk menutupi kebenaran di balik pernikahan kami.
Aku mendekat ke arah om Haris di mana ia pun berdiri sangat dekat di hadapan ku. Ia menurunkan wajahnya dengan perlahan di depan wajahku yang terdiam memejamkan mata.
Aku bisa merasakan hembusan nafasnya beberapa saat didepan wajahku pertanda ia sangat dekat.
Cup
Di kecupnya bibir ku semua tamu-tamu riuh. Sesaat ciumannya terlepas ku peluk erat tubuhnya, menyandarkan kepalaku ke dada bidangnya menoleh kearah berlawanan dari tamu.
Dengan posisi itu mataku berat sangat berat tak mampu ku buka lagi, kedua tangan ku tergelincir dari tubuhnya, hanya tubuh atasku yang kini menahan diri.
"Tami.. Tami.." panggil om Haris mengusap punggung ku, ku dengar panggilan itu tapi tak mampu ku buka mata. Lalu tiba-tiba aku merasa terangkat, di situ ku dengar keriuhan tamu-tamu terdengar khawatir.
Meski mataku tak sanggup ku buka, aku sadar aku berada di gendongan seseorang yang berjalan cepat membawaku.
"Om,." panggil ku parau juga lemas ingin memastikan yang menggendong ku om Haris suamiku.
"Iya, saya di sini"
Nafasnya terengah, tubuhnya bergetar berjalan cepat. Aku lega aku di gendongannya. Tak ku tahan lagi mataku yang sangat berat memasuki alam bawah sadar.
Tami..
Nak..
Kakak....
Tamiana...
Panggilan samar-samar itu menarikku bangun dari tidurku. Ku dengar panggilan itu disertai tangis juga goyangan pelan di pipiku. Ku buka mataku sedikit susah, seakan mata ku di tumpuk sesuatu yang berat.
"Tami..."
Kembali aku di panggil sesaat membuka mata, meski belum jelas aku melihat, yang jelas ada banyak wajah di hadapan ku.
"Kakak...."
Pemilik suara itu menyentuh tangan ku di kedua sisi.
"Reza.. Rezi.." gumamku lesu.
"Kakak nggak apa-apa kan?"
Kekhawatiran tergambar jelas di wajah kedua adikku yang menangis.
"Kakak nggak apa-apa, kakak tadi ngantuuuk banget sampai-sampai kakak ketiduran di pelaminan" kilah ku tak ingin mereka khawatir.
Seketika ketegangan di wajah semua orang lenyap, aku pun mencoba bangun.
"Rebahan saja" kata om Haris duduk di sampingku.
"Aku mau duduk"
Ia membantu mendudukkan ku, memberi sebuah bantal di belakang punggung ku sebagai sandaran.
"Kasih air minum Mil" pinta om Haris pada adiknya, lalu membantuku minum.
"Aku bisa sendiri om"
"Tangan mu masih lemas, biar aku saja"
Ku tatap ia yang membantuku minum. Sebenarnya aku tak begitu haus, tapi aku hampir menghabiskan segelas air putih itu karena terus menatapnya yang terlihat mengkhawatirkan ku.
"Makasih" lagi ku tatap wajah semua anggota keluarga ku juga wajah anggota keluarga Kamil yang terlihat khawatir menatap ku. "Maaf, aku membuat resepsinya berantakan"
Aku merasa tak enak hati pada keluarga Kamil, aku takut aku membuat mereka malu karena ulah ku.
"Tidak nak, acara sudah selesai, itu hanya acara bebas" sahut buk Hani ibu mertuaku dengan tutur lembutnya mengerti keadaanku.
"Sebenarnya sedari tadi Tami memang mengeluh pusing, tapi dia menahannya hingga acara selesai" sela om Haris.
"Ya ampun nak, seharusnya kamu bilang, kalau kamu sampai kenapa-napa bagaimana" sedih buk Hani khawatir akan diriku.
"Aku udah nggak apa-apa buk, untung seseorang menggendong ku membawa ku pergi"
Semua orang tersenyum menatap om Haris.
"Kamu tau siapa yang menggendong mu?" tanya Mila aku menggeleng. "Tuh, yang duduk di sampingmu, suami mu Harisba Kamil" tunjuk Mila pada om Haris yang duduk di samping ku, aku menoleh ke arahnya, lagi ia tersenyum lembut padaku. "Nggak hanya itu, bahkan di dalam mobil suamimu terus menggendong mu, dia nggak pernah menurunkan mu dari gendongannya sekejap pun hingga kamu tiba di tempat tidur ini" tambahnya. Lagi aku menoleh kearahnya.
"Aku berat yah pasti?"
Aku merasa bersalah, semua orang malah tertawa.
"Nggak lebih berat dari ku" papar om Haris mengusap puncak kepalaku. Di situ aku merasa tenang juga ada rasa teduh saat ia melakukan nya.
"Sepertinya kita harus meninggalkan pengantin baru nih, mereka udah nggak sadar kita ada" celoteh Mila membuat semua orang kembali tertawa. "Yuk tante," candanya memeluk lengan tanteku, membawanya keluar di susul yang lain.
"Bagaimana keadaan mu?" tanya om Haris sekali lagi memastikan keadaan ku.
"Udah mendingan sih"
"Kok bisa sih kamu seperti tadi?"
"Aku belum minum obat dari tadi siang, juga belum makan apapun"
"Ya ampun Tami, kamu mogok makan karena menikah denganku"
Aku tertawa kecil mendengar ucapan tak masuk akalnya. "Nggak om, aku nggak makan waktu pagi, rasanya lidah ku pahit, apapun nggak enak, tapi aku juga takutnya nanti lemas, makanya ku handle dengan minuman bersereal, eh tau-tau nya jadi lupa makan lupa minum obat juga" terang ku ia tampak lega, bahunya yang tadi tegang kini turun lebih santai.
"Seharusnya kamu bilang, sebentar ku pesan makan dulu"
Aku hanya mengangguk pelan, saat ini aku memang sudah sangat lapar.
Sembari menunggu pesanan, om Haris kembali duduk di atas tempat tidur yang sama, ia duduk dekat kakiku,. Kembali kecanggungan terjadi kala kami berdua tanpa pembahasan.
Tok! Tok! Tok!
"Hum! Cepat sekali"
Seingat ku om Haris belum lama memesan makanan kini telah tiba.
"Aku juga nggak nyangka secepat ini"
Om Haris tak kalah heran. Ia berdiri membuka pintu, yang ia bawa justru tiga kantong tas belanjaan, bukan nampan makanan.