RUMAH TUJUH ENAM [END]

Od sasanrr

3.3K 1K 191

[FOLLOW SEBELUM MEMBACA. PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa keenam... Více

00
01
02
03
04
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
-Kilas balik-
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
end

05

105 39 5
Od sasanrr

Lima laki-laki berpakaian serba hitam sedang berkumpul di ruang tamu di rumah Rafka usai menghadiri pemakaman sahabat yang menyusul kepergian Narel. Mereka berlima izin tidak masuk sekolah dan langsung diberikan izin oleh wali kelasnya.

Tampak seorang wanita paruh baya tengah duduk sambil menatap kearah mereka berlima dengan tatapan sayu. Dengan ditemani suaminya, wanita tersebut berbicara,

"Kenapa anak saya bisa meninggal? Rasanya tidak mungkin jika Rafka terpeleset dari tangga lalu terjatuh begitu saja. Sedangkan, Rafka sudah sering lari-larian turun naik tangga." Ujar Ningsih sambil mencoba menahan air matanya karena masih tidak dapat menerima anak tunggalnya pergi secepat ini.

Daren yang biasanya selalu aktif berbicara, sekarang dirinya hanya terdiam, tak bisa menjelaskan apa-apa karena dia sendiri pun baru mendapat kabar saat setelah Rafka sudah tiada. Itupun Alvaro yang memberitahu pada mereka melalui pesan grup.

"Alvaro juga yakin kalau Rafka gak jatuh dari tangga dengan sendirinya atau ketidaksengajaan." Ungkap Alvaro yang suaranya kini serak.

"Apa yang bisa bikin lo berfikir kayak gitu?" Renan mengerutkan dahinya.

"Saat gue ngecek badan Rafka, gue liat ada memar dibelakang lehernya. Memar itu bisa aja bekas benda keras yang sengaja dipukulkan ke leher Rafka agar dia jatuh, kan?" Ucap Alvaro lagi.

Daren menghela nafas, "Yakin? Bisa aja itu efek karena Rafka terguling di tangga dan bikin lehernya terkena sisi-sisi dari anak tangga."

"Tapi bukan itu aja. Kalaupun Rafka nggak sengaja kepeleset, darah yang keluar dari hidung dan mulutnya gak mungkin sebanyak itu. Palingan biasanya cuma di kepala doang. Toh tangga yang Rafka turunin juga gak tinggi-tinggi banget."

Daren terdiam saat mendengar ucapan Alvaro yang kedua kalinya ini ada benarnya juga. Dia sekarang kembali menunduk karena tidak tahu harus berbicara apa.

Seno mengangguk setuju pada Alvaro, "Yang dibilang sama Alvaro ada benarnya juga. Mungkin aja emang ada yang berniat jahat sama Rafka dan melakukan aksinya sebab si pembunuh ini udah tau kalau Rafka lagi sendirian di rumah saat kemarin malam."

"Tapi siapa yang tau, Sen? Siapa yang tau kalau Rafka semalam tuh lagi sendirian di rumah? Sedangkan di kelas kemarin tuh cuma ada kita berenam aja." Daren mengacak rambutnya frustasi.

Perdebatan mereka itu sontak membuat Ningsih menangis karena mereka mengklaim Rafka sebagai korban pembunuhan berencana.

"Siapa yang tega membunuh anak saya? Mengapa? Rafka salah apa hingga dia harus merasakan ini semua?" Suara Ningsih bergetar. Haris-selaku ayah dari Rafka pun langsung memeluk tubuh kurus istrinya guna untuk menenangkan.

"Ini sudah takdir. Semua pasti merasakan yang namanya kehilangan. Kemarin orang lain, dan sekarang giliran kita. Rafka tidak meninggalkan kita semua, dia hanya pergi untuk belajar mandiri. Rafka pernah bilang bahwa dia tidak ingin menyusahkan kita, kan? Tapi kamu selalu melarangnya untuk pergi kemanapun. Dan pada akhirnya, Rafka tetap ingin pergi. Tidak apa-apa, nanti pada saat kita berkumpul kembali, kita berdua akan melihat anak satu-satunya kita yang sudah bisa hidup mandiri." Haris berbicara lembut kepada Ningsih, layaknya sedang mengasihi anak kecil.

Seno tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju sebuah lemari kaca yang terletak di belakang sofa yang diduduki oleh Renan. Lemari itu berukuran setinggi pinggangnya. Matanya memandangi jejeran foto berbingkai yang tersusun rapi di atas lemari. Foto itu terdiri dari 2 foto keluarga Rafka, 3 foto mereka bertujuh yang sedang berpelukan, tertawa bersama di Rumah Kita. Lalu ada 5 foto Rafka bersama Seno berdua yang seperti kakak beradik.

Seno menggerakkan tangannya untuk mengambil salah satu bingkai yang berisikan fotonya bersama dengan Rafka. Jari-jarinya mengusap lembut foto tersebut.

"Rafka yang menaruhnya di sana. Ia sangat suka membuat kenangan disetiap momen," Celetuk Hasan.

Seno semakin tidak dapat membendung air matanya untuk terus menangis. Tetes demi tetes air mata Seno mulai berjatuhan mengenai kaca pelapis foto tersebut. Teman-temannya yang melihat kondisi Seno kian memburuk, mereka langsung menghampiri Seno lalu Daren mengusap punggung sahabatnya.

"Kita sebaiknya pulang dulu, biar Seno bisa menenangkan diri." Saran Alvaro yang melihat wajah Seno memucat.

"Oke," Jawab Daren.

Seno meletakkan kembali foto itu dan menatap kedua orang tua Rafka, "Om, Tante, kami pamit pulang dulu. Soal masalah ini, serahin sama kami aja. Kami bakal mencari pelakunya dan meminta pertanggungjawaban atas perbuatannya."

Hasan menjawab sambil terus melingkarkan tangannya pada tubuh sang istri. "Hati-hati,"

Kelima lelaki itu mengangguk dan berjalan menuju pintu keluar. Seno berbalik sebentar, menatap kembali kearah jejeran foto itu untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi. Momen didalam foto itu aka selamanya terpatri dalam benaknya.

--------

Alvaro mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang, agar tidak membuat Kenzie yang notabenenya mabuk darat itu tidak akan merasa mual sekarang. Ditambah lagi jika di mobil itu dinyalakan AC lalu dipakaikan Stella jeruk. Hal tersebut pasti membuat perut Kenzie menjadi terkocok. Untung saja mobil Alvaro sentiasa bersih. Tidak ada bau rokok dan tidak menggunakan pengharum apapun. Kenzie selalu nyaman jika berada di mobil Alvaro.

Daren menepuk pundak Alvaro, "Kita nganter Seno dulu biar dia bisa cepat istirahat."

Lawan bicaranya pada saat itu hanya mengangguk dengan pandangan yang masih kearah ramainya jalan, sesekali beralih ke kaca spion untuk melihat keadaan 3 orang dibelakang.

Renan menggenggam erat tangan Seno. "Kita semua kehilangan. Ini emang susah, tapi kita harus ikhlas. Lo nangis sebanyak ini nggak bakal bisa bikin Rafka balik lagi ke kita. Dia udah tenang sama Narel sekarang." Renan berkata sambil tersenyum dan menyeka air mata yang membasahi pipi merah muda milik Seno. "Lo harus kuat, masih ada kami di sini." Lanjutnya lagi.

"Rafka..." Lirih Seno lalu membenamkan wajahnya di bahu Renan.

"Udah hampir sampai," Alvaro memutar setir mobilnya, masuk ke dalam jalan yang di kedua sisinya dipenuhi dengan pohon sawit. Tempat ini tidak terlalu banyak penghuninya.

Setelah tiba, Seno pun keluar dari mobil, "Makasih udah nganterin gue."

Alvaro tersenyum sebagai balasan. "Datangnya berlima, pulang juga harus berlima."

"Kami pulang." Renan melambaikan tangan kepada Seno.

Alvaro kembali memutar setir untuk melanjutkan mengantar temannya yang lain. Tapi, Alvaro merasa ada sesuatu yang kurang. Suara yang biasanya selalu memenuhi mobil, sekarang ini sedang hening.

"Kenzie tumben diem, biasanya juga dia yang banyak ngomong." Celetuk Alvaro yang diakhiri dengan tertawa kecil.

"Tidur Noh. Capek banget kayaknya." Jawab Renan yang berada di samping Kenzie. "Eh, gue ke rumah Ken aja, Al, mau jenguk kucing mbul nya si Kenzie." Renan berkata pada si sopir.

"Siap!"

Tak berselang lama, mereka akhirnya tiba di depan rumah ber-cat kuning keemasan itu. Renan pun turun bersama dengan Kenzie yang sudah ia bangunkan saat sebelum mereka tiba.

"Makasih," Ucap Kenzie dengan nada melas dan ekspresi yang masih mengantuk.

Daren mengacungkan jempolnya. Setelah mobil Alvaro menghilang dari pandangan mereka berdua, Kenzie dan Renan pun masuk ke dalam rumah milik pria bertubuh setinggi 176cm itu.

"Gue capek banget." Keluh Kenzie sambil melangkah menuju kamarnya yang searah dengan ruang tamu. Renan juga ikut masuk ke kamar sang sahabat.

"Wow!" Mata Renan berbinar kala melihat pemandangan kamar Kenzie.

"Kenapa?" Kenzie terkekeh dan duduk di meja belajar minimalis.

Kamar yang di cat hitam putih dan terdapat sebuah lukisan balon besar berwarna merah di dinding di atas tempat tidurnya menambah kesan misterius yang senada dengan aura dari dalam diri Kenzie.

"Kamar lo kece."

"Kenzie gitu, loh!" Kenzie tertawa puas sambil mengeluarkan sebuah pass foto dari laci, dimana pass foto itu bukan hanya fotonya saja, melainkan keenam temannya juga. Renan menautkan kedua alisnya, lalu menghampiri Kenzie dan meletakkan tangannya pada bahu pria itu untuk topangan.

"Udah berapa?" Renan bertanya sambil memandang lekat tujuh wajah para laki-laki itu, termasuk wajahnya juga ada di sana. tujuh pass foto itu sengaja Kenzie satukan dan di tempel di sebuah kertas HVS putih karena ada tujuan tertentu.

"Dua." Kenzie menjawab dengan mencoret wajah Rafka memakai huruf X menggunakan spidol merah. Sama halnya dengan Rafka, wajah Narel pun sudah lebih dulu di coret menggunakan simbol yang sama.

Renan yang melihat itu langsung menyunggingkan sebuah seringai serigala. Kenzie menyimpan kertas itu di laci meja belajarnya dan menoleh kearah Renan, lalu menaikkan sebelah alisnya.

"Hebat, kan?"

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

1.8K 1.6K 9
Kelas 3-1 Vivere high school yang biasanya aman tentram tanpa gangguan, tiba tiba berubah. Berbagai kejadian kejadian aneh terjadi setelah salah sat...
1.8K 171 10
Lanjutan dari Bima Sakti series 1 Pembunuhan merajalela setelah pengeboman di pulau Carnavero. Kepolisian Metropolitan Jakarta harus membentuk suatu...
519K 45K 26
"Ini tentang si laki-laki nyaris sempurna, kekurangannya hanya satu yaitu menyandang gelar anak yatim piatu." ⚠️LAGI REVISI ULANG⚠️ ©NunaLullaby, 1 J...
MAS BULE ~ BL Od July

Nezařaditelné

1.5M 121K 153
"You do not speak English?" (Kamu tidak bisa bahasa Inggris?) Tanya pria bule itu. "Ini dia bilang apa lagi??" Batin Ruby. "I...i...i...love you" uca...